Tampilkan postingan dengan label Sejarah Islam Khilafah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Islam Khilafah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Agustus 2009

Perjanjian 1463 : Khilafah Usmani-Kristen Bosnia

Ahdnama adalah kesepakatan yang ditulis oleh Sultan Muhammad al-Fatih (ra) yang terkenal sebagai penakluk Konstantinopel dan pemenuh nubuat Nabi Muhammad (saw) bahwa umat Islam suatu hari nanti akan menaklukkan kota ini.Kakek buyut dari Sultan Muhammad al-Fatih adalah Sultan Murad I (ra) yang memulai penaklukan untuk membuka wilayah Balkan agar masuk ke dalam kekuasaan Islam. Ia terkenal karena telah mengalahkan bangsa Serbia di tanah pertempuran Kosovo pada tahun 1389 dan menegakkan kewenangan Islam di seluruh wilayah Kosovo. Allah (swt) menganugerahi Sultan Murad I dengan kematian syahid di dalam pertempuran ini.

Ayah dari Sultan Muhammad adalah Murad II, yang turun dalam kancah pertempuran kedua di Kosovo dan mulai menaklukan Bosnia, agar terbuka dengan dakwah Islam. Mengikuti jejak sang ayah dan kakek buyutnya, Sultan Muhammad al-Fatih melengkapi kerja keras mereka dan berhasil membuka seluruh wilayah tersebut untuk dimasuki dakwah Islam.

Islam, sebagai nasihat/agama terakhir bagi umat manusia, telah menetapkan aturan-aturan yang jelas dan mendetail terkait hak-hak umat Kristen dan Yahudi yang hidup di dalam naungan negara Islam [1]. Perjanjian Ahdnama adalah catatan historis yang terang dan jelas tentang hak-hak yang diberikan oleh Islam kepada umat Kristen yang hidup di dalam kekuasaan Islam. Teks perjanjian Ahdnama yang asli masih tersimpan hingga hari ini di Biara Franciscan (Franciscan Monastery) di sekitar Fojnica [2], Bosnia-Hercegovina.

Bandingkan perlakuan adil yang diberikan Negara Islam kepada umat Kristen di Bosnia pada tahun 1463 dengan apa yang dilakukan kalangan Gereja di Spanyol 39 tahun kemudian, ketika Inkuisisi Kristen mengultimatum umat Islam untuk berpindah agama atau pergi dari tanah Andalusia. Pada penerapannya, ternyata hal ini berarti pindah agama atau mati.

Di bawah ini adalah terjemahan dari perjanjian Ahdnama; Kekhilafahan diterjemahkan sebagai Imperium(kekaisaran) . Sultan Muhammad diterjemahkan menjadi Sultan Mehmet :

AHDNAMA OF THE FATIH SULTAN MEHMET

MEHMET THE SON OF MURAT KHAN, ALWAYS VICTORIOUS!

THE COMMAND OF THE HONORABLE, SUBLIME SULTAN’S SIGN AND SHINING SEAL OF THE CONQUEROR OF THE WORLD IS AS FOLLOWS:

I, THE SULTAN MEHMET - KHAN INFORM ALL THE WORLD THAT THE ONES WHO POSSESS THIS IMPERIAL EDICT, THE BOSNIAN FRANCISCANS, HAVE GOT INTO MY GOOD GRACES, SO I COMMAND:

LET NOBODY BOTHER OR DISTURB THOSE WHO ARE MENTIONED, NOT THEIR CHURCHES. LET THEM DWELL IN PEACE IN MY EMPIRE. AND LET THOSE WHO HAVE BECOME REFUGEES BE AND SAFE. LET THEM RETURN AND LET THEM SETTLE DOWN THEIR MONASTERIES WITHOUT FEAR IN ALL THE COUNTRIES OF MY EMPIRE.

NEITHER MY ROYAL HIGHNESS, NOR MY VIZIERS OR EMPLOYEES, NOR MY SERVANTS, NOR ANY OF THE CITIZENS OF MY EMPIRE SHALL INSULT OR DISTURB THEM. LET NOBODY ATTACK INSULT OR ENDANGER NEITHER THEIR LIFE OR THEIR PROPERTY OR THE PROPERTY OF THEIR CHURCH. EVEN IF THEY BRING SOMEBODY FROM ABROAD INTO MY COUNTRY, THEY ARE ALLOWED TO DO SO.

AS, THUS, I HAVE GRACIOUSLY ISSUED THIS IMPERIAL EDICT, HEREBY TAKE MY GREAT OATH.

IN THE NAME OF THE CREATOR OF THE EARTH AND HEAVEN, THE ONE WHO FEEDS ALL CREATURES, AND IN THE NAME OF THE SEVEN MUSTAFAS AND OUR GREAT MESSENGER, AND IN THE NAME OF THE SWORD I PUT, NOBODY SHALL DO CONTRARY TO WHAT HAS BEEN WRITTEN, AS LONG AS THEY ARE OBEDIENT AND FAITHFUL TO MY COMMAND.


(AHDNAMA DARI SULTAN MUHAMMAD AL FATIH

MUHAMMAD BIN MURAT KHAN, SELALU MENANG!

PERINTAH DARI YANG MULIA, TANDA TANGAN SULTAN YANG AGUNG DAN SEGEL ISTIMEWA DARI PENAKLUK DUNIA, ADALAH SEBAGAI BERIKUT:

AKU, SULTAN MUHAMMAD KHAN MEMBERITAHUKAN KEPADA SELURUH DUNIA BAHWA, YANG MEMILIKI DEKRIT KEKAISARAN INI, KAUM BOSNIA FRANCISCAN, TELAH BERADA DI DALAM PERLINDUNGAN DAN NIAT BAIKKU, MAKA AKU MEMERINTAHKAN:

AGAR TIDAK ADA SATU ORANG PUN YANG MENGGANGGU DAN MEMBUAT SUSAH MEREKA-MEREKA YANG TELAH DISEBUTKAN DI ATAS, DAN TIDAK PULA MENGGANGGU GEREJA-GEREJA MEREKA, BIARKAN MEREKA TINGGAL DENGAN DAMAI DI DALAM KEKAISARANKU. DAN BIARKANLAH ORANG-ORANG YANG MENJADI PENGUNGSI, MENGUNGSI DAN AMAN. BIARKANLAH MEREKA KEMBALI DAN BIARKAN MEREKA MENDIRIKAN BIARA-BIARA MEREKA, TANPA ADA RASA TAKUT, DI SELURUH PENJURU NEGERI KEKAISARANKU.

TIDAKLAH ANGGOTA PEJABAT TINGGIKU YANG MULIA, TIDAK PULA PARA PEMBANTUKU (WAZIR) ATAU PARA PEGAWAIKU, TIDAK PULA PARA PELAYANKU, TIDAK PULA WARGA NEGARA KEKAISARANKU, DAPAT MENGHINA ATAU MENGGANGGU MEREKA. JANGANLAH ADA SATU ORANG PUN YANG MENYERANG, MENGHINA, ATAU MEMBAHAYAKAN BAIK HIDUP MEREKA ATAU KEPEMILIKAN MEREKA ATAU KEPEMILIKAN GEREJA MEREKA. BAHKAN JIKA MEREKA MEMBAWA SESEORANG DARI LUAR NEGERI KE DALAM NEGERIKU, MEREKA DIPERBOLEHKAN UNTUK MELAKUKANNYA.

DENGAN DEMIKIAN, AKU TELAH DENGAN BAIK HATI MENGELUARKAN DEKRIT KEKAISARAN INI, DAN OLEH KARENANYA PEGANGLAH SUMPAH AGUNGKU INI.

DENGAN NAMA SANG PENCIPTA BUMI DAN LANGIT, SATU-SATUNYA YANG MEMBERI REZKI KEPADA SELURUH CIPTAANNYA, DAN DENGAN NAMA TUJUH MUSTAFA DAN RASUL BESAR KITA, DAN DENGAN NAMA PEDANGKU, TIDAK BOLEH ADA SATU ORANG PUN YANG MELAKUKAN HAL-HAL YANG BERLAWANAN DENGAN APA YANG TELAH TERTULIS DI DALAM DEKRIT INI, SEPANJANG MEREKA –YANG DISEBUT DI ATAS– TAAT DAN SETIA DENGAN PERINTAHKU.

28 MEI 1463)
»»  read more

Kamis, 13 Agustus 2009

Sistem Pendidikan di Era Kekhalifahan Islam

Sejak berkembangnya agama Islam ke berbagai wilayah, jumlah umat Islam pun semakin banyak. Untuk meningkatkan pemahaman keagamaan umat, para khalifah yang memerintah dari berbagai kekhalifahan, seperti Abbasiyah, Fatimiyyah, Ottoman, dan Umayyah, mendirikan berbagai lembaga pendidikan.

Selama masa kekhalifahan Islam itu, tercatat beberapa lembaga pendidikan Islam yang terus berkembang dari dulu hingga sekarang. Kendati beberapa di antaranya hanya tinggal nama. Namun, nama-nama lembaga pendidikan Islam itu pernah mengalami puncak kejayaan dan menjadi simbol kegemilangan peradaban Islam.

Beberapa lembaga pendidikan itu, antara lain, Nizamiyah di Baghdad, Al-Azhar di Mesir, al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, dan Sankore di Timbuktu, Mali, Afrika. Masing-masing lembaga ini memiliki sistem dan kurikulum pendidikan yang sangat maju ketika itu. Dari beberapa lembaga itu, berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan Muslim yang sangat disegani. Misalnya, al-Ghazali, Ibnu Ruysd, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, Al-Farabi, al-Khawarizmi, dan al-Ferdowsi.

Berikut profil singkat lembaga pendidikan Islam tersebut.

Madrasah Nizamiyah, Sekolah Islam Pertama

Institusi pendidikan Islam ideal lainnya yang lahir dari masa kejayaan Islam adalah Perguruan (Madrasah) Nizamiyah. Perguruan ini didirikan oleh Nizam al-Mulk, perdana menteri pada kesultanan Seljuk pada masa Malik Syah, pada tahun 1066/1067 M. Ketika itu, lembaga pendidikan ini hanya ada di Kota Baghdad, ibu kota dan pusat pemerintahan Islam pada waktu itu. Kemudian, berkembang ke berbagai kota dan wilayah lain.

Di antaranya di Kota Balkh, Nisabur, Isfahan, Mowsul, Basra, dan Tibristan. Dan, kota-kota ini menjadi pusat studi ilmu pengetahuan dan menjadi terkenal di dunia Islam pada masa itu.

Philip K Hitti dalam Sejarah Bangsa Arab menulis, Madrasah Nizamiyah merupakan contoh awal dari perguruan tinggi yang menyediakan sarana belajar yang memadai bagi para penuntut ilmu. Madrasah Nizamiyah menerapkan sistem yang mendekati sistem pendidikan yang dikenal sekarang.Madrasah Nizamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang menggunakan sistem sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, kenaikan tingkat, dan juga ujian akhir kelulusan.

Selain itu, Madrasah Nizamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, punya fasilitas perpustakaan yang berisi lebih dari 6.000 judul buku laboratorium, dan beasiswa yang berprestasi.

Bidang yang diajarkan meliputi disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fikih, kalam, dan lainnya) dan disiplin ilmu akliah (filsafat, logika, matematika, kedokteran, dan lainnya). Kurikulum Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.

Namun, keberadaan Madrasah Nizamiyah ini hanya ber tahan hingga abad ke-14, sebelum Kota Baghdad dihancurkan oleh tentara Mongol di bawah pimpinan Ti mur Lenk pada tahun 1401 M.


Universitas Al-Qarawiyyin, Obor Renaisans dari Kota Fez

Setelah Nizamiyah, lembaga pendidikan yang terbilang sangat modern dan tertua di dunia adalah Universitas al-Qarawiyyin, di Fez, Maroko. Guiness Book of Record (Museum Rekor Dunia) mencatat, lembaga ini merupakan perguruan tinggi pertama di dunia yang memberikan gelar kesarjanaan. Gelar itu baru diberikan pada tahun 1998.

Menurut Majalah Time edisi 24 Oktober 1960, lembaga ini didirikan pada tahun 859 M. Dalam tulisannya, Majalah Time menjuluki universitas ini sebagai Renaissance in Fez.

Awalnya, Universitas Al-Qarawiyyin adalah sebuah komunitas Qairawaniyyin, masyarakat pendatang dari airawan, Tunisia di Kota Fez (Maroko). Komunitas membuat diskusi-diskusi kecil di sebuah masjid.

Dalam perkembangannya, masjid yang berfungsi sebagai tempat ibadah di halakah, banyak diikuti para penduduk sekitar. Akhirnya, semakin meluas hingga menjadi lembaga pendidikan. Dan materi yang dibahas semakin meluas, baik bidang agama maupun umum.

Beragam bidang yang disajikan mampu membetot perhatian para pelajar dari berbagai belahan dunia.

Sejak itulah, aktivitas keilmuan di Masjid Al-Qarawiyyin berubah menjadi kegiatan keilmuan bertaraf perguruan tinggi. Jumlah pendaftar yang berminat untuk menimba ilmu di universitas itu bertambah banyak.

Lembaga pendidikan ini pernah melahirkan sejumlah tokoh Muslim kenamaan. Di antaranya, Abu Abullah Al-Sati, Abu Al-Abbas al-Zwawi, Ibnu Rashid Al-Sabti, Ibnu Al-Haj Al-Fasi, serta Abu Mazhab Al-Fasi, yang memimpin generasinya dalam mempelajari mazhab Maliki. Tak heran bila kemudian, Universitas al-Qarawiyyin ini menjadi perguruan tinggi paling prestisius di abad pertengahan.

Peradaban Barat turut berutang budi kepada Universitas Al-Qarawiyyin. Lembaga ini memiliki peran penting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan di Barat pada abad ke-15 M. Pemimpin tertinggi umat Katolik, Paus Sylvester II, turut menjadi saksi keunggulan Universitas Al-Qarawiyyin. Sebelum menjadi Paus, ia sempat menimba ilmu di universitas favorit dan terkemuka ini.

Universitas Al-Azhar, Institusi Pendidikan Islam Modern

Salah satu lembaga pendidikan tinggi yang dikenal modern adalah Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Lembaga ini menggunakan sistem pendidkan pada akhir ke-10 M oleh Jenderal Jauhar al-Sigli, seorang panglima perang dari Daulah Bani Fatimiyyah pada 972 M. Sebutan al-Azhar merujuk pada nama putri Rasulullah SAW, Fatimah az-Zahra.

Universitas ini terhubung dengan masjid al-Azhar. Masjid al-Azhar didirikan pada 969 M. Sementara itu, universitas ini baru mulai dibuka pada bulan Ramadhan atau Oktober 975 M, ketika Ketua Mahkamah Agung, Abdul Hasan Ali bin al-Nu'man, mulai mengajar yurisprudensi yang diambil dari buku Al-Iktishar.

Al-Azhar dikenal sebagai lembaga pendidikan yang menerapkan sistem pengajaran modern. Dalam kurikulumnya, terdapat berbagai materi disiplin ilmu. Antara lain, ilmu agama, hukum Islam, tata bahasa Arab, filsafat, dan logika. Kemudian, berkembang dan mulai mengajarkan bidang ilmu pengetahuan modern dan eksakta.

Sejak pusat kebudayaan dan pengetahuan Islam di Kota Baghdad dan Andalusia hancur setelah invasi bangsa Mongol, Universitas Al-Azhar menjadi satu-satunya tempat tujuan para sarjana di seluruh penjuru dunia yang ingin mempelajari Islam dan bahasa Arab. Untuk mendukung peran tersebut, sejak awal universitas ini sudah dilengkapi dengan perpustakaan dan laboratorium.

Keberadaan Universitas Al-Azhar sebagai sebuah institusi pendidikan Islam terbesar dan modern, juga mendapat pengakuan dari Napoleon Bonaparte. Dalam pengasingan di Pulau Saint Helena, Napoleon menuliskan sebuah catatan harian yang isinya mengungkapkan kekagumannya terhadap Universitas Al-Azhar saat tentaranya melakukan penyerangan ke Mesir.

Dalam catatan hariannya, ia menyebut Al-Azhar merupakan tandingan Universitas Sorbonne di Paris. Sorbonne merupakan universitas tertua di Prancis.

Kemudian, di masa Pemerintahan Ottoman, Al-Azhar tumbuh menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mandiri secara finansial dengan sumber pendanaan berasal dari dana wakaf.

Universitas Al-Mustansiriyah, Cahaya Peradaban di Akhir Kejayaan Abbasiyah

Al-Mustansiriyah merupakan salah satu lembaga yang sangat penting di Irak. Nama universitas tertua yang berdiri di Kota Baghdad ini memang tak setenar Al-Azhar di Kairo, Mesir, atau Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko. Meski begitu, perguruan tinggi yang dibangun Khalifah Al-Mustansir Billah (1226 M-1242 M) ini turut memainkan peranan penting dalam sejarah peradaban Islam.

Perguruan tinggi yang namanya masih tetap dijadikan universitas di era modern itu, tercatat sebagai universitas pertama yang secara konsisten mengajarkan ilmu Alquran, seni berpidato, serta matematika. Universitas al-Mustansiriyah pun mencatatkan dirinya sebagai perguruan tinggi perintis di Baghdad, yang mampu menyatukan pengajaran berbagai bidang ilmu dalam satu tempat.

Pada awalnya, madrasah-madrasah di Baghdad kerap mengajarkan ilmu tertentu secara khusus. Namun, Khalifah Al-Mustansir Billah menyatukan empat studi penting pada masa itu ke dalam satu perguruan tinggi. Keempat bidang studi itu, antara lain, ilmu Alquran, biografi Nabi Muhammad, ilmu kedokteran, serta matematika.

Kendati lembaga ini baru dibangun pada 1227 M dan diresmikan pada 1234 M, Universitas al-Mustansiriyah termasuk salah satu perguruan tinggi tertua dalam sejarah. Pamor dan popularitas universitas ini mampu membetot perhatian para pelajar dari seluruh dunia untuk menimba ilmu di Kota Baghdad. Para pelajar berbondong-bondong datang ke Mustansiriyah untuk mempelajari beragam ilmu pengetahuan.

Gedung universitas yang dibangun Khalifah Al-Mustansir ini juga dilengkapi dengan beragam fasilitas kebutuhan pelajar, seperti dapur, tempat shalat, kamar tidur, dan tempat mandi. Bangunan universitas ini juga sempat dipugar oleh Sultan Abdul Aziz--Khalifah Turki Usmani--ketika kerajaan Islam yang berpusat di Turki itu menguasai Baghdad.

Gedung dan bangunan Universitas Al-Mustansiriyah yang terletak di tepi kiri Sungai Tigris ini terkenal dengan keindahannya. Namun, kejayaannya tak berlangsung lama. Setelah Khalifah Al-Mustansir wafat dan digantikan Al-Mu'tasim (1242 M-1258 M), kekuasaan Dinasti Abbasiyah pun ambruk.

Kemudian lembaga ini didirikan pada tahun 1963. Perguruan tinggi ini memiliki 10 fakultas, dua institut, dan empat pusat studi dan kajian, baik bidang agama maupun pengetahuan umum.

Universitas Sankore, Cahaya Peradaban Islam di Afrika Barat

Meski tak setenar Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko, pada era kejayaan Islam Universitas Sankore yang terletak di Timbuktu, Mali, ini telah menjadi obor peradaban dari Afrika Barat. Laiknya magnet, perguruan tinggi yang berdiri pada 989 M itu mampu membetot minat para pelajar dari berbagai penjuru dunia Islam untuk menimba ilmu di universitas itu.

Pada abad ke-12 saja, jumlah mahasiswa yang menimba ilmu di Universitas Sankore mencapai 25 ribu orang. Dibandingkan Universitas New York di era modern sekalipun, jumlah mahasiswa asing yang belajar di Universitas Sankore pada sembilan abad yang lampau masih jauh lebih banyak. Padahal, jumlah penduduk Kota Timbuktu di masa itu hanya berjumlah 100 ribu jiwa.

Penulis asal Prancis, Felix Dubois dalam bukunya Timbuctoo the Mysterious, menyatakan Universitas Sankore telah menerapkan standar dan persyaratan yang tinggi bagi para calon mahasiswa dan alumninya. Tak heran jika universitas tersebut mampu menghasilkan para sarjana berkelas dunia.

Universitas Sankore diakui sebagai perguruan tinggi berkelas dunia. Karena, lulusannya mampu menghasilkan publikasi berupa buku dan kitab yang berkualitas. Buktinya, baru-baru ini di Timbuktu, Mali, ditemukan lebih dari satu juta risalah. Selain itu, di kawasan Afrika Barat juga ditemukan tak kurang dari 20 juta manuskrip.

Tingkat keilmuan para alumni Sankore juga diperhitungkan universitas lain di dunia Islam. ''Secara mengejutkan, banyak sarjana lulusan Universitas Sankore diakui sebagai guru besar di Maroko dan Mesir. Padahal, belum tentu kualitas keilmuan sarjana lulusan Al-Azhar dan Al-Qarawiyyin memenuhi standar di Sankore,'' ungkap Felix Dubois.

Pada era kejayaan Islam di Timbuktu, banyak sarjana berkulit hitam terbukti lebih pandai dibandingkan sarjana asal Arab. Sejarawan terkemuka, Al-Hasan bin Muhammad Al-Wazzan atau Leo Africanus dalam bukunya, The Description of Africa (1526), mengungkapkan geliat keilmuan di Timbuktu pada abad ke-16 M. Kisah sukses dan keberhasilan perabadan Islam di benua hitam Afrika yang ditulis Leo, konon telah membuat masyarakat Eropa terbangun dari jeratan era kegelapan hingga mengalami Renaisans.

Universitas ini lalu menjadi sangat dikenal dan disegani sebagai pusat belajar terkemuka di dunia Islam pada masa kekuasaan Mansa Musa (1307 M-1332 M) dan Dinasti Askia (1493 M-1591 M). Pada masa itulah, Sankore menjadi tujuan para pelajar yang haus akan ilmu agama dan pengetahuan lainnya.

Universitas ini dilengkapi dengan perpustakaan yang memuat sekitar 400 ribu hingga 700 ribu judul buku. Dengan fasilitas buku dan kitab yang lengkap itu, para mahasiswa akan belajar sesuai tingkatannya. Tingkat paling tinggi yang ditawarkan Universitas Sankore adalah 'program superior' (setara PhD), waktu kuliahnya selama 10 tahun. rol/dia/rid
»»  read more

Senin, 10 Agustus 2009

Dekonstruksi Khilafah, Skenario Jahat di Balik Runtuhnya Khilafah, Sejauh mana peran Wahabi

Bani Utsman, kurang lebih selama dua abad kekuasaan mereka, telah dipimpin oleh delapan sultan, sebelum akhirnya mereka melakukan ekspansi ke sebagian negeri Arab. Turki Utsmani sama dengan para pendahulu mereka, seperti Turki Saljuk dan kabilah Hun. Mereka berasal dari keturunan Mongol, atau Thurani. Mereka mulai merambah ke Eropa pada abad ke-5 M. Mereka lahir dan dibesarkan di Asia Tengah dan Utara. Etnis yang sama juga dimiliki bangsa Bulgaria, yang telah merambah ke Eropa Timur, dan menetap di sana selama dua abad, ke-7 dan ke-9 M. Turki Utsmani adalah etnis Asia terakhir yang telah merambah dan mendiami Eropa, bahkan merupakan negara Mongol yang paling penting dan kuat, yang pernah lahir dalam sejarah.

Sejarah Turki Utsmani dimulai dengan peristiwa agung, yang notabene menunjukkan kepahlawanan dan kesatriaan mereka. Pada pertengahan abad ke-13 M, Turki Utsmani merupakan salah satu kabilah kecil di Asia Tengah, yang telah dikalahkan oleh Mongol —di bawah pimpinan Artoghul, kepala suku Turki Utsmani— menyusuri Asia Tengah, berdekatan dengan Ankara. Ketika mereka menyaksikan dua kelompok berperang, yaitu Kekaisaran Romawi dengan Dinasti Saljuk Rum, yang berpusat di Iconium di bawah pimpinan Sultan ‘Alauddin, maka para pemuka kabilah kecil ini tak punya pilihan lain, kecuali melibatkan diri dalam peperangan ini, karena dorongan naluri berperang mereka demi melindungi pihak yang lemah, sehingga Artoghûl dan sekutunya (Sultan ‘Alâ’uddîn) yang lemah tersebut menuai kemenangan. Kabilah kecil dan tokohnya, Arthaghul, inilah yang merupakan cikal bakal Turki Utsmani. Dialah bapak Utsman, yang namanya kemudian digunakan untuk menyebut negara yang dibangunnya.

Setelah Artoghul meninggal dunia pada tahun 1288 M, anak tertuanyalah yang kemudian menggantikannya. Dialah Utsman. Utsman dikenal sebagai pemimpin yang mempunyai keberanian luar biasa untuk mengalahkan kabilah dan trah yang berdekatan. Inilah yang mendorong Sultan ‘Alauddin untuk mengangkatnya menjadi pemimpin dan menjadikannya sebagai penguasa yang independen di semua wilayah yang telah ditaklukkannya.


Pada tahun 1300 M, Mongol telah menyerang Daulah Saljuk di Asia Kecil, dan berhasil menghancurkannya. Sultan Alauddin kemudian meninggal, lalu tiap emir melepaskan diri dengan wilayahnya sendiri-sendiri; Utsman pun akhirnya memisahkan diri dan mempunyai kekuasaan tersendiri. Dari sanalah kekuasaannya sedikit demi sedikit berkembang hingga beliau mendengar penaklukan Bursa, ketika beliau tengah terbaring menjelang kematiannya. Utsman memberikan perhatian besar pada strukturisasi tentara dan pemerintahan sehingga namanya menjulang, dan negaranya pun menjadi besar. Namanya begitu dikenal dan disebut-sebut di kalangan para pemimpin sehingga dia disebut sebagai pendiri negaranya. Karena itu, negaranya dinisbatkan kepada dirinya.

Pada tahun 1336 M, Utsman meninggal, kemudian digantikan oleh puteranya, Ourkhan, yang memang telah dilatih dengan berbagai kegiatan peperangan dan pemerintahan, hingga berhasil menguasai Bursa, dan menjadikannya sebagai ibokuta bagi negara baru ini. Dengan manuver inilah, keluarga Utsman telah mendekati Konstantinopel, ibukota Bizantium.

Sebelum perang di antara kedua pemerintahan ini berlangsung —yang satu negara muda, kuat, dan berambisi untuk mengembangkan kekuasaannya; sedangkan yang satu lagi negara tua, yang mulai merosot dan sebelum sampai ke Konstantinopel, Ourkhan terlebih dulu menduduki Izmir. Dia melihat pentingnya dilakukan sejumlah pembenahan, yang kelak akan mempunyai pengaruh langsung bagi kemenangan yang akan diraih Turki Utsmani, pertama-tama di Asia Kecil, kemudian di Eropa. Dia menaklukkan Nicomedia (Izmit) dan Nicaea (Iznik) serta negeri-negeri Asia dan Bizantium yang lain. Setelah itu, selama 20 tahun, dia mengokohkan pilar-pilar pemerintahannya, memperbaiki urusan internal negara, serta mendirikan angkatan bersenjata baru, yang dikenal dengan Inkisyâriyah. Angkatan bersenjata inilah yang dalam kurun waktu cukup lama menjadi penopang kekuatan negara Utsmani, baik dalam peperangan maupun penaklukan.

Ketika Muhammad II bin Murad II naik tahta, dia segera merealisasikan cita-cita kaum Muslim sejak zaman permulaan Islam untuk menaklukkan Konstantinopel hingga cita-cita itu benar-benar berhasil diwujudkan pada tahun 857 H/1453 M. Akhirnya, dia dikenal dengan nama Muhammad al-Fatih (Muhammad sang Penakluk), dan tak lama kemudian Islâm bûl —atau yang kini dikenal dengan Istambul— itu menjadi ibukota negara Utsmani, dan menjadi titik tolak untuk melakukan penaklukan ke seluruh Eropa, setelah sebelumnya penaklukan telah terhenti, dengan meninggalnya Abdurrahman al-Ghafiqi, di bagian Selatan Prancis. Tak lama kemudian, Muhammad al-Fatih bertolak untuk menundukkan Murrah, Serbia, dan Bosnia. Beliau juga melakukan tekanan terhadap Italia, Hungaria, dan Jerman. Akhirnya, Tharabzun dan Cremia di kawasan Asia pun tunduk kepadanya. Setelah itu, dia kembali untuk menaklukkan Jerman dan beberapa bagian wilayah Italia, namun dia meninggal dunia sebelum bisa merealisasikan rencananya untuk menaklukkan Rodesia.

Dia kemudian digantikan oleh putranya, Yazid II, yang telah berhasil mewujudkan kemenangan armada laut Utsmani yang pertama, melawan armada Bunduqiyah (Italia). Kekuasaannya kemudian diserahkan kepada anaknya, Salim I. Dialah yang kemudian menjadi sultan Utsmani yang paling besar dan mendapatkan kemenangan serta penaklukan paling banyak. Dia menyerang Sultan Safawi, Shah Ismail, yang telah berusaha menyebarkan mazhab Syiah, dan mengembangkan kekuasaan Persia hingga ke Irak. Dia berhasil dikalahkan di Galadiran, berdekatan dengan Tibriz. Sultan Salim I kemudian menduduki Diyarbakar dan Kurdistan, yang merupakan langkah awal untuk menaklukkan Syam dan Mesir, seiring dengan kemenangannya di Maraj Dabiq dan Raidaniyah. Pada saat itu, Kekhilafahan Islam secara syar‘î telah berpindah ke tangannya, setelah Khalifah al-Mutawakkil Alallah, Khalifah Abbasiyah terakhir di Mesir, menyerahkan tampuk kekhilafahan kepadanya. Sultan Salim I pun resmi menjadi khalifah kaum Muslim di seluruh dunia sejak tahun 923 H/1517 M. Dia kemudian meninggal setelah 8 tahun berkuasa. Syarif Makkah juga telah menyerahkan kunci-kunci dua tanah suci, Makkah dan Madinah, kepadanya.

Setelah itu, dia digantikan oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M). Era kepemimpinannya dianggap sebagai era Kekhilafahan Utsmani yang paling jaya berkat kebangkitan sains yang diikuti penemuan ilmiah dan geografis Eropa, sementara Khilafah Utsmani telah meninggalkan jauh negara-negara Eropa, di bidang militer, sains, dan politik. Sulaiman juga telah berhasil menaklukkan Belgrade dan mengambil Rodesia dari pasukan berkuda Santo (Karel Agung) Yohana. Dia menuai kemenangan atas Hongaria dalam pertempuran Mouhackz, serta berhasil menaklukkan Armenia dan Irak, hingga armada laut Khilafah Utsmaniah disegani di seluruh perairan laut; mulai dari Laut Putih, Laut Merah, hingga Samudera Hindia —meskipun kekuatannya belum bisa mengalahkan pasukan berkuda Santo Yohana, penguasa kepulauan Malta. Kepulauan ini merupakan pemberian Charles V, ketika mereka diusir oleh tentara Khilafah Utsmaniah dari Rodesia pada tahun 1522 M.

Para ahli sejarah sepakat, bahwa zaman Sulaiman al-Qanuni merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Utsmaniyah. Hanya dalam waktu 3 abad, kabilah kecil ini berhasil melebarkan sayap kekuasaannya dari Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam. Penaklukannya terbentang dari Makkah hingga Budapest di satu sisi dan dari Baghdad hingga ke Aljazaer di sisi lain. Dua pantai, utara dan selatan, Laut Hitam pun jatuh ke tangannya. Sebagian besar Kerajaan Austria dan Hongaria pun jatuh ke tangannya. Kekuasaan mereka sampai di bagian utara Afrika dari arah negeri Syam hingga perbatasan Marokesh. Setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia pada tahun 974 H/1566 M, negara mulai mengalami kemerosotan terus-menerus.


Realitas Politik Dalam Dan Luar Negeri Khilafah Ustmaniah Menjelang Keruntuhannya

Politik dalam negeri di sini, maksudnya adalah penerapan hukum-hukum Islam oleh negara di dalam negeri, ketika negara menerapkan hukum-hukum Islam di dalam wilayah yang tunduk di bawah kekuasaannya; mengatur muamalah, menegakkan hudûd, menerapkan sanksi hukum, menjaga akhlak, menjamin pelaksanaan syiar-syiar dan ibadah, serta mengurus seluruh urusan rakyat sesuai dengan hukum-hukum Islam. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara yang telah dijelaskan oleh Islam.

Dalam hal ini, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Utsmaniah. Pertama, faktor buruknya pemahaman Islam. Kedua, faktor kesalahan dalam menerapkan Islam. Sebenarnya, buruknya pemahaman dan kesalahan dalam menerapkan Islam ini bisa diperbaiki ketika Khilafah Utsmaniah dipegang oleh orang yang kuat dengan keimanannya yang tinggi, namun sayangnya kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Sulaiman, yang dijuluki al-Qânûni, karena jasanya mengadopsi undang-undang (al-qânûn) sebagai sistem yang diterapkan dalam Khilafah Utsmaniah, yang ketika itu juga seorang khalifah yang sangat kuat, justru menyusun undang-undang berdasarkan mazhab tertentu, yaitu mazhab Hanafi, dengan kitab Multaqâ al-Abhur (Pertemuan Berbagai Lautan)-nya yang ditulis Ibrahim al-Halabi (w. 1549 M). Padahal, Khilafah Islam bukanlah negara mazhab. Dengan kata lain, semua mazhab Islam seharusnya mempunyai tempat di dalam negara dan bukan hanya satu mazhab. Dengan tidak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk melakukan perbaikan, pemahaman Islam yang buruk dan penerapan Islam yang salah selama ini tidak pernah diperbaiki. Sebagai contoh, dengan diadopsinya undang-undang oleh Sultan Sulaiman, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan khalifah bisa dihindari, namun justru kasus ini tampak tak tersentuh oleh undang-undang. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan, atau lemah. Sebut saja kasus Sultan Musthafa I (1026 H/1617 M), Utsman II H/1617-1621 M), Murad IV H/1622-1640 M), Ibrahim bin Ahmad H/1639-1648 M), Muhammad IV H/1648-1687 M), Sulaiman II H/1687-1690 M), Ahmad II H/1690-1694 M), Musthafa II H/1694-1702 M), Ahmad III H/1703-1730 M), Mahmud I H/1703-1727 M), Utsman III H/1758-1761 M), Musthafa III H/1757-1773 M), dan Abdul Hamid I H/1773-1788 M). Inilah yang kemudian mendorong pihak militer, Inkisyâriyah —yang dibentuk oleh Sultan Ourkhan— kala itu melakukan kudeta; masing-masing pada tahun 1525, 1632, 1727 dan 1826 M. Akhirnya, Inkisyâriyah dibubarkan tahun 1241 H/1785 M. Di samping itu, kemajemukan rakyat, baik dari segi agama, etnik, maupun mazhab memerlukan penguasa yang kuat, baik secara intelektual maupun yang lain. Jadi wajar, tampilnya penguasa yang lemah ini pada akhirnya memicu terjadinya gerakan sparatisme, seperti yang dilakukan oleh kaum Druz yang dipimpin oleh Fakhruddin bin al-Ma‘ni.

Inilah yang juga menyebabkan politik luar negeri Khilafah Islam, yaitu dakwah dan jihad yang bertujuan untuk melakukan penaklukan, telah terhenti sejak abad ke-17 M. Berhentinya penaklukan ini juga menyebabkan jumlah pasukan Inkisyâriyah semakin membesar, melebihi pasukan dan pegawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara semakin merosot. Kenyataan ini menyebabkan ekonomi Khilafah Utsmaniah terpuruk, ditambah banyaknya praktik suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatan mereka untuk menumpuk kekayaan dan menjilat Sultan. Ditambah dengan menurunnya pendapatan pajak yang dipungut dari komoditas dari Timur Jauh yang melintasi wilayah Utsmaniah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga komoditas tersebut bisa diekspor langsung ke Eropa. Semua ini menyebabkan mata uang Utsmaniah tertekan, sementara sumber pendapatan negara, seperti bahan tambang, tidak mampu menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.

Pada paruh kedua abad ke-16 M, telah terjadi krisis moneter, ketika emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru (Amerika) melalui kolonial Spanyol. Mata uang Utsmaniah ketika itu benar-benar terpuruk; inflasi melambung. Mata uang Barah diluncurkan oleh Khilafah Utsmaniah pada tahun 1620 M tetap tidak berhasil menyelesaikan inflasi. Kemudian, dikeluarkan pula uang Qisry pada abad ke-17 M. Faktor-faktor ekonomi inilah yang menjadi sebab pasukan Utsmaniah di Yaman melakukan pemberontakan pada paruh kedua abad ke-16 M. Dengan kehidupan pejabat yang korup seperti itu, akhirnya negara harus menanggung utang sebesar 300 juta lira.

Dengan tidak dijalankannya politik luar negeri sesuai dengan hukum Islam, yaitu dakwah dan jihad, mafhûm jihad sebagai metode untuk mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak kaum Muslim, termasuk para khalifahnya. Ini terlihat dengan jelas pada tindakan Sultan Abdul Hamid Khan ketika meminta syaikh al-Azhar agar membacakan Shahîh al-Bukhâri di al-Azhar supaya Allah memenangkan Sultan atas Rusia dalam peperangan yang berlangsung pada bulan Rajab tahun 1203 H. Sultan kemudian meminta Pasha (Gubenur) di Mesir kala itu agar memilih sepuluh ulama dari berbagai mazhab untuk membaca Shahîh al-Bukhâri setiap hari.

Sementara itu, di luar negeri, sejak penaklukan Konstantinopel pada abad ke-15, Eropa-Kristen telah melihatnya sebagai awal dari masalah ketimuran (al-mas’alah as-syarqiyyah), hingga abad ke-16 M, saat terjadinya penaklukan sebagian besar wilayah Balkan, seperti Bosnia dan Albania, serta Yunani dan kepulauan Ionia. Masalah ketimuran inilah yang mendorong Paus Paulus V M) menyatukan negeri-negeri Eropa yang sebelumnya terlibat dalam konflik antaragama, antara sesama Kristen, yaitu Protestan dan Katolik. Konflik ini baru bisa diakhiri setelah diselenggarakanya Konferensi Westavalia tahun 1667 M. Pada saat yang sama, penaklukan Khilafah Utsmaniah pada tahun-tahun tersebut telah terhenti. Memang, setelah kekalahan Khilafah Utsmaniah atas Eropa (Paus Paulus V, Spanyol, Hungaria dan Perancis) dalam Perang Lepanto tahun 1571 M, Khilafah nyaris hanya mempertahankan wilayahnya. Kelemahan Khilafah Utsmaniah pada abad ke-17 M itu juga dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul Khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 M), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg. Bahkan, Khilafah Utsmaniah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dengan Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 M, dan semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887 M).

Menghadapi kemerosotan tersebut, Khilafah Utsmaniah sebenarnya telah melakukan reformasi (ishlâh) sejak abad ke-17 M, yang diteruskan pada abad-abad berikutnya. Namun, lemah pemahaman Islam justru telah menyebabkan reformasi ini gagal. Sebab, ketika itu para penguasa Khilafah Utsmaniah tidak bisa membedakan antara hadhârah dan madaniyah; antara sains/teknologi dan tsaqâfah. Kelemahan para penguasa ini dimanfaatkan untuk membentuk struktur baru dalam negara, yang ketika itu dikenal dengan shadr al-a‘zham (perdana menteri). Struktur seperti ini tidak dikenal dalam sejarah Khilafah Islam, kecuali setelah terpengaruh dengan tradisi demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh Khilafah Islam. Pada saat yang sama, para penguasa dan juga syaikh al-Islâm ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi melalui fatwa-fatwa syaikh al-Islâm yang penuh kontroversi. Bahkan, dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839 M semakin mengokohkan tsaqâfah Barat, setelah disusunnya beberapa undang-undang, seperti Undang-undang Acara Pidana (1840 M), dan Undang-undang Dagang (1850 M), ditambah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan khalifah.

Di dalam negeri, ahli dzimmah —khususnya orang Kristen— yang mendapatkan hak istimewa pada zaman Sulaiman al-Qanuni, pada akhirnya menuntut persamaan hak dengan kaum Muslim. Bahkan, kemudian hak-hak istimewa inilah yang akhirnya dimanfaatkan untuk melindungi para provokator dan mata-mata asing dengan jaminan perjanjian. Masing-masing, antara Khilafah Utsmaniah dan Bizantium (1521 M) serta Prancis (1535 M) dan Inggeris (1580 M). Dengan hak-hak istimewa ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat. Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris yang mulai melakukan gerakannya secara intensif di Dunia Islam sejak abad ke-16 M. Malta dipilih sebagai pusat gerakan mereka. Dari sanalah, mereka menyusup ke wilayah Syam pada tahun 1620 M, dan tinggal di sana hingga tahun 1773 M. Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh Dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka. Pusat-pusat kajian ini kebanyakan milik Inggeris, Prancis, dan Amerika. Gerakan inilah yang digunakan oleh Barat untuk mengemban intellectual leadership mereka di Dunia Islam, disertai dengan serangan-serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini memang sejak lama telah dipersiapkan oleh para Orientalis Barat, yang sejak abad ke-14 M telah mendirikan center of the Oriental Studies (pusat kajian ketimuran).

Jadi, gerakan misionaris dan orientalis itu jelas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasai dunia Islam, Islam —meminjam istilah Imam al-Ghazali— sebagai asas harus dihancurkan, dan Khilafah Islam sebagai penjaganya harus diruntuhkan. Untuk meraih tujuan yang pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan yang kedua, mereka sengaja menghembuskan paham nasionalisme, dan menciptakan stigma terhadap Khilafah Utsmaniah, dengan sebutan the Sick Man (orang yang sakit). Supaya kekuatan Khilafah Utsmaniah lumpuh, sehingga dengan mudah bisa dijatuhkan dengan sekali pukulan, maka dilakukan upaya intentif untuk memisahkan wilayah Arab dan wilayah lain dari Khilafah Utsmaniah. Dari sinilah, lahir gerakan-gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Bahkan, gerakan-gerakan keagamaan juga tak luput dari eksploitasi, seperti kasus Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 M, gerakan ini telah dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibn Sa‘ud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Hijaz dan sekitarnya, yang sebelumnya tidak berhasil dilakukan oleh Inggris melalui gerakan kesukuan. Meskipun demikian, laju gerakan ini di beberapa wilayah akhirnya berhasil dibendung oleh Khilafah Utsmaniah melalui Muhammad Ali Pasha, Gubernur Mesir yang —ternyata juga agen Prancis— didukung oleh Prancis. Sementara itu, di wilayah Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan, sejak abad ke-19 M hingga abad ke-20, seperti kasus Serbia, Yunani, Bulgaria, Armenia dan terakhir Krisis Balkan. Begitulah, akhirnya Khilafah Utsmaniah kehilangan banyak wilayahnya, dan yang tersisa akhirnya hanya Turki.


Konspirasi Barat Dan Yahudi Menghancurkan Khilafah

Seperti telah dimaklumi, nasionalisme dan sparatisme yang telah dipropagandakan oleh negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia sengaja dilakukan untuk menghancurkan Khilafah Islam. Keberhasilan mereka menggunakan sentimen kebangsaan dan sparatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorong mereka untuk menggunakan cara yang sama di seluruh wilayah Khilafah Islam. Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di wilayah Arab dan Turki. Sementara itu, kedutaan besar Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis Khilafah Islam yang lain —seperti Baghdad, Damaskus, Beirut, Kaero dan Jeddah— telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, telah dibangun dua markas, Beirut dan Istambul. Markas Beirut memainkan peranan jangka panjang, yaitu mengubah putra-putri umat Islam agar menjadi kafir serta mengubah sistem Islam menjadi sistem kufur. Sedangkan markas Istambul memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul Khilafah Islam dengan telak.

Kedutaan-kedutaan negara Eropa juga mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo, dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai oleh Rafiq al-‘Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum Literal dibentuk. Inggris dan Prancis mulai menyusup di tengah orang-orang Arab yang cenderung memperjuangkan nasionalisme. Tanggal 18 Juni 1913 M, pemuda-pemuda Arab telah mengadakan kongres di Paris, dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis di Damaskus telah membongkar rencana pengkhianatan mereka kepada Khilafah Utsmaniah yang didukung oleh Inggris dan Prancis.

Sementara itu, di Markas Istambul, negara-negara Eropa tidak hanya puas dengan merusak putra-putri umat Islam di sekolah-sekolah dan universitas-universitas melalui propaganda. Mereka ingin memukul Khilafah Islam dari jarak dekat dengan telak. Caranya adalah dengan mengubah sistem pemerintahan Islam dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan ala Barat dan hukum-hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan oleh Rasyid Pasha, menteri luar negeri zaman pemerintahan Abdul Majid I, pada tahun 1839 M. Tahun yang sama, Honourable Script —yang dikenal dengan dengan Khalkhanah— yang dijiplak dari perundang-undangan Eropa diperkenalkan. Pada tahun 1855 M, negara-negara Eropa, khususnya Inggris, telah memaksa Khilafah Utsmaniah untuk melakukan amandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Hemayun Script pada tanggal 11 Pebruari 1855 M. Midhat Pasha, salah seorang anggota Free Masonry, pada tanggal 1 September 1876 M diangkat menjadi Perdana Menteri. Midhat membentuk panitia Ad Hoc untuk menyusun UUD, sebagaimana yang dikehendaki oleh Inggris. Komisi ini berhasil menyusun UUD berdasarkan Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak oleh Sultan Abdul Hamid II, dan Sublime Port pun tidak bersedia melaksanakannya, karena dinilai bertentangan dengan Islam. Medhat Pasha pun akhirnya dipecat sebagai Perdana Menteri. Pada tahun 1908 M, Turki Muda yang berpusat di Salonika —pusat komunitas Yahudi Dunamah— melakukan pemberontakan. Khalifah dipaksa oleh Turki Muda, yang menjalankan hasil keputusan Konferensi Berlin, untuk mengumumkan UUD yang diumumkan oleh Turki Muda di Salonika, dan tanggal 17 Nopember 1908 merupakan tanggal pembukaan parlemen yang pertama dalam Khilafah Utsmaniah. Bekerjasama dengan syaikh al-Islâm, Sultan Abdul Hamid II akhirnya dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak saat itulah, sistem pemerintahan Islam telah berakhir.

Namun, Inggris tampaknya belum puas sebelum menghancurkan Khilafah Utsmaniah secara total. Perang Dunia I tahun 1914 M dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915 M. Kemal Pasha, seorang agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika itu akhirnya menjalankan agenda Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan Khilafah Islam. Pada tahun 1919 M, dia menyelenggarakan Konggres Nasional di Sivas, yang berhasil menelorkan Deklarasi Sivas. Deklarasi ini mencetuskan kemerdekaan Turki dan negeri-negeri Islam yang lain dari penjajah, sekaligus melepaskan negeri-negeri tersebut dari Khilafah Utsmaniah. Irak, Syria, Palestina, Mesir, dan lain-lain kemudian mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga masing-masing menjadi negara merdeka. Pada saat itulah, sentimen kebangsaan semakin mengental, seiring dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan-Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.


Perseteruan Antara Mustafa Kemal Dan Khalifah

Sejak tahun 1920 M, Kemal Pasha telah menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah Inggris berhasil menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara, dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan Khalifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan Khalifah dan sebaliknya memihak kaum nasionalis. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional, yang menobatkan dirinya sebagai ketuanya. Karena itu, pada saat itu ada dua pemerintahan; pemerintahan Khilafah di Istambul, dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional yang berpusat di Ankara. Meski kedudukannya semakin kuat, Kemal Pasha tetap tidak berani membubarkan Khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan draft yang mengatur pemisahan antara Khilafah dengan kesultanan (pemerintahan). Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, draft Kemal Pasha ini ditolak. Kemal Pasha pun mencari alasan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Nasional ini. Caranya adalah dengan melibatkan Dewan Perwakilan Nasional ini dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah krisis memuncak, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Kemal Pasha sebagai ketua Parlemen, yang diharapkan bisa menyelesaikan kondisi kritis tersebut.

Setelah resmi dipilih menjadi ketua parlemen, Kemal Pasha mengumumkan kebijakannya; mengubah sistem khilafah dengan republik, yang dipimpin seorang presiden yang dipilih melalui pemilihan umum. Pada tanggal 29 Oktober 1923 M, Kemal Pasha dipilih oleh Parlemen menjadi presiden Turki yang pertama. Namun, karena track record Kemal Pasha yang dikenal buruk di mata kaum Muslim, ambisinya untuk membubarkan Khilafah Islam ini tidak mulus. Mustafa Kemal Pasha dianggap murtad, dan rakyat pun mendukung Sultan Abdul Majid, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tidak menyurutkan langkah Kemal Pasha. Justru sebaliknya, dia melancarkan serangan balik, dengan melakukan penyesatan politik dan pemikiran, bahwa siapa saja yang menentang sistem republik adalah pengkhianat bangsa, dan harus dihukum mati. Akhirnya, berbagai teror dilakukan oleh Kemal Pasha untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Pada saat yang sama, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing sehingga harus dienyahkan.

Setelah situasinya kondusif, Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional, dengan draft keputusan yang sudah di tangan. Tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, Kemal Pasha mengumumkan pemecatan Khalifah, pembubaran sistem khilafah dan menjauhkan Islam dari negara. Inilah titik klimaks revolusi kufur yang dilakukan oleh Kamal Attaturk, la‘natu Allâh ‘alayh.


Kesimpulan

Dari uraian di atas, bisa disimpulkan, bahwa faktor utama yang menyebabkan kemunduran dan hancurnya Khilafah Utsmaniah tak lain adalah buruknya pemahaman keislaman umat Islam dan kesalahan dalam menerapkan Islam pada waktu itu. Dari kedua faktor inilah, persoalan-persoalan derivat lainnya lahir dan berkembang. Akhirnya, berbagai konspirasi yang dilakukan oleh negara-negara imperialis Barat dengan mudah mendapatkan tempat. Inilah yang juga menjadi pintu masuknya orang-orang non-Muslim, termasuk mata-mata asing, di dalam negeri, sehingga gerakan misionaris bergerak dengan leluasa di negeri-negeri Islam, sembari menyebarkan racun nasionalisme dan patriotisme. Dari sinilah, gerakan-gerakan nasionalisme dan patriotisme, yang menuntut kemerdekaan negeri mereka, yang notabene akan menyebabkan wilayah mereka terlepas dari Khilafah Islam itu bermunculan. Karena faktor yang sama, usaha mulia dan brilian Sultan Abdul Hamid II melalui Pan-Islamisme-nya pun kandas di tangan para anggota Free Masonry, yang notabena adalah putra-putri umat Islam.

Lepasnya wilayah Islam, satu persatu dari negara induk menyebabkan lemahnya kekuasaan Khilafah Utsmaniah sehingga yang tersisa hanya Turki. Dengan mundurnya taraf pemikiran politik umat dan penguasa pada saat itu, upaya Inggris, Prancis, dan Rusia untuk menyeret Khilafah Utsmaniah dalam Perang Dunia I pun tak terbendung. Kekalahan pihak Jerman-Utsmaniah ini menyebabkan Khilafah Utsmaniah tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh negara pemenang perang. Akhirnya, tinggal sekali pukulan telak, institusi yang telah rapuh ini telah cukup untuk diruntuhkan. Eksekusi itu diserahkan pada Markas Istambul, dengan Mustafa Kemal Attaturk sebagai eksekutornya. [Hizbut Tahrir Online]
»»  read more

Selasa, 04 Agustus 2009

Kebijakan Khilafah di Bidang Kesehatan

Berbagai fakta historis kebijakan di bidang kesehatan yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam sejak masa Rasul saw. menunjukkan taraf yang sungguh maju. Pelayanan kesehatan gratis diberikan oleh negara (Khilafah) yang dibiayai dari kas Baitul Mal. Adanya pelayanan kesehatan secara gratis, berkualitas dan diberikan kepada semua individu rakyat tanpa diskriminasi jelas merupakan prestasi yang mengagumkan.
Hal itu sudah dijalankan sejak masa Rasul saw. Delapan orang dari Urainah datang ke Madinah menyatakan keislaman dan keimanan mereka. Lalu mereka menderita sakit gangguan limpa. Nabi saw. Kemudian merintahkan mereka dirawat di tempat perawatan, yaitu kawasan penggembalaan ternak milik Baitul Mal di Dzi Jidr arah Quba’, tidak jauh dari unta-unta Baitul Mal yang digembalakan di sana. Mereka meminum susunya dan berada di tempat itu hingga sehat dan pulih.
Raja Mesir, Muqauqis, pernah menghadiahkan seorang dokter kepada Nabi saw. Beliau menjadikan dokter itu untuk melayani seluruh kaum Muslim secara gratis. Khalifah Umar bin al-Khaththab, menetapkan pembiayaan bagi para penderita lepra di Syam dari Baitul Mal. Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah membangun rumah sakit bagi pengobatan para penderita leprosia dan lepra serta kebutaan. Para dokter dan perawat yang merawat mereka digaji dari Baitul Mal. Bani Thulan di Mesir membangun tempat dan lemari minuman yang di dalamnya disediakan obat-obatan dan berbagai minuman. Di tempat itu ditunjuk dokter untuk melayani pengobatan.
Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”
Menurut Ketua Institut Internasional Ilmu Kedokteran Islam, Husain F Nagamia MD, di dunia, rumah sakit yang sebenarnya baru dibangun dan dikembangkan mulai awal kejayaan Islam dan dikenal dengan sebutan ‘Bimaristan’ atau ‘Maristan’. Rumah sakit, meski baru tahap awal dan belum bisa benar-benar disebut RS, pertama kali dibangun pada masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah. RS Islam pertama yang sebenarnya dibangun pada era Khalifah Harun ar-Rasyid (786 M - 809 M). Konsep pembangunan beberapa RS di Baghdad itu dan pemilihan tempatnya merupakan ide brilian dari ar-Razi, dokter Muslim terkemuka. Djubair, seorang sejarahwan yang pernah mengunjungi Baghdad tahun 1184 M, melukiskan bahwa rumah sakit-rumah sakit itu memiliki bangunan megah dan dilengkapi dengan peralatan modern.
Menurut M. Husain Abdullah, pada masa Khilafah Abbasiyah, banyak rumah sakit dibangun di Baghdad, Kairo, dan Damaskus. Pada masa itu pula, untuk pertama kalinya, ada rumah sakit berjalan (semacam ambulans). (M. Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikri al-Islami, hlm. 88).
Menurut Dr. Hossam Arafa dalam tulisannya, Hospital in Islamic History, pada akhir abad ke-13, RS sudah tersebar di seantero Jazirah Arabia. Rumah sakit-rumah sakit itu untuk pertama kalinya di dunia mulai menyimpan data pasien dan rekam medisnya. Konsep itu hingga kini digunakan RS yang ada di seluruh dunia.
Semua itu didukung dengan tenaga medis yang profesional baik dokter, perawat dan apoteker. Di sekitar RS didirikan sekolah kedokteran. RS yang ada juga menjadi tempat menempa mahasiswa kedokteran, pertukaran ilmu kedokteran, serta pusat pengembangan dunia kesehatan dan kedokteran secara keseluruhan. Dokter yang bertugas dan berpraktik adalah dokter yang telah memenuhi kualifikasi tertentu. Khalifah al-Muqtadi dari Bani Abbasiyah memerintahkan kepala dokter Istana, Sinan Ibn Tsabit, untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad. Dokter yang mendapat izin praktik di RS hanyalah mereka yang lolos seleksi yang ketat. Khalifah juga memerintahkan Abu Osman Said Ibnu Yaqub untuk melakukan seleksi serupa di wilayah Damaskus, Makkah dan Madinah.
Pada masa Khilafah Abbasiyah itu pula untuk pertama kalinya ada apotik. Yang terbesar adalah apotik Ibnu al-Baithar. Saat itu, para apoteker tidak diijinkan menjalankan profesinya di apotik kecuali setelah mendapat lisensi dari negara. Para apoteker itu mendatangkan obat-obatan dari India dan dari negeri-negeri lainnya, lalu mereka melakukan berbagai inovasi dan penemuan untuk menemukan obat-obatan baru (M. Husain Abdullah, Dirâsât fî al-Fikri al-Islâmî, hlm. 89).

Paradigma Islam Tentang Kesehatan
Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، آمِنًا فِي سِرْبِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).
Dalam hadis ini kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus terpenuhi.
Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar itu. Nabi saw. bersabda:
اْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).
Tidak terpenuhi atau terjaminnya kesehatan dan pengobatan akan mendatangkan dharar bagi masyarakat. Dharar (kemadaratan) wajib dihilangkan. Nabi bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارً
Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri (HR Malik).
Dengan demikian, kesehatan dan pengobatan merupakan kebutuhan dasar sekaligus hak rakyat dan menjadi kewajiban negara.

Kebijakan Kesehatan
Dalam Islam, sistem kesehatan tersusun dari 3 (tiga) unsur sistem. Pertama: peraturan, baik peraturan berupa syariah Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif. Kedua: sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Ketiga: SDM (sumber daya manusia) sebagai pelaksana sistem kesehatan yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya. (S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hlm. 148).
Kebijakan kesehatan dalam Khilafah akan memperhatikan terealisasinya beberapa prinsip. Pertama: pola baku sikap dan perilaku sehat. Kedua: Lingkungan sehat dan kondusif. Ketiga: pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau. Keempat: kontrol efektif terhadap patologi sosial. Pembangunan kesehatan tersebut meliputi keseimbangan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Promotif ditujukan untuk mendorong sikap dan perilaku sehat. Preventif diprioritaskan pada pencegahan perilaku distortif dan munculnya gangguan kesehatan. Kuratif ditujukan untuk menanggulangi kondisi patologis akibat penyimpangan perilaku dan munculnya gangguan kesehatan. Rehabilitatif diarahkan agar predikat sebagai makhluk bermartabat tetap melekat.
Pembinaan pola baku sikap dan perilaku sehat baik secara fisik, mental maupun sosial, pada dasarnya merupakan bagian dari pembinaan kepribadian Islam itu sendiri. Dalam hal ini, keimanan yang kuat dan ketakwaan menjadi keniscayaan. Dr. Ahmed Shawky al-Fangary1 menyatakan bahwa syariah sangat concern pada kebersihan dan sanitasi seperti yang dibahas dalam hukum-hukum thaharah. Syariah juga memperhatikan pola makan sehat dan berimbang serta perilaku dan etika makan seperti perintah untuk memakan makanan halal dan thayyib (bergizi), larangan atas makanan berbahaya, perintah tidak berlebihan dalam makan, makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, mengisi perut dengan 1/3 makanan, 1/3 air dan 1/3 udara, termasuk kaitannya dengan syariah puasa baik wajib maupun sunah. Syariah juga menganjurkan olah raga dan sikap hidup aktif. Syariah juga sangat memperhatikan masalah kesehatan dan pola hidup sehat dalam masalah seksual.
Jadi, menumbuhkan pola baku sikap dan perilaku sehat tidak lain adalah dengan membina kepribadian Islam dan ketakwaan masyarakat. Tentu hal itu bukan hanya menjadi domain kesehatan tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat umumnya.
Kebijakan kesehatan Khilafah juga diarahkan bagi terciptanya lingkungan yang sehat dan kondusif. Tata kota dan perencanaan ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian, dsb. Hal itu sudah diisyaratkan dalam berbagai hadis, seperti:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ, نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ, كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ, جَوَادٌ يُحِبُّ الْجُودَ, فَنَظِّفُوا بُيُوْتَكُمْ وَ أَفْنِيَتَكُمْ وَلاَ تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُودِ
Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan, Mahabersih dan mencintai kebersihan, Mahamulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu, bersihkanlah rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi (HR at-Tirmidzi dan Abu Ya’la).
اتَّقُوا الْمَلاَعِنَ الثَّلاَثَةَ الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَالظِّلِّ
Jauhilah tiga hal yang dilaknat, yaitu buang air dan kotoran di sumber/saluran air, di pinggir atau tengah jalan dan di tempat berteduh (HR Abu Dawud).
Rasul saw. juga bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian buang air di air yang tergenang.” (HR Ashhab Sab’ah).
Jabir berkata, “Rasulullah melarang buang air di air yang mengalir.” (HR Thabarani di al-Awsath).
Di samping itu juga terdapat larangan membangun rumah yang menghalangi lubang masuk udara rumah tetangga, larangan membuang sesuatu yang berbahaya ke jalan sekaligus perintah menghilangkannya meski hanya berupa duri.
Beberapa hadis ini dan yang lain jelas mengisyaratkan disyariatkannya pengelolaan sampah dan limbah yang baik, tata kelola drainasi dan sanitasi lingkungan yang memenuhi standar kesehatan, dan pengelolaan tata kota yang higienis, nyaman sekaligus asri. Tentu saja itu hanya bisa direalisasikan melalui negara, bukan hanya melibatkan departemen kesehatan, tetapi juga departemen-departemen lainnya. Tata kota, sistem drainase dan sanitasi kota kaum Muslim dulu seperti Baghdad, Samara, Kordoba, dsb telah memenuhi kriteria itu dan menjadi model bagi tata kota seperti London, kota-kota di Perancis dan kota-kota lain di Eropa.
Pelayanan kesehatan berkualitas hanya bisa direalisasikan jika didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta sumber daya manusia yang profesional dan kompeten. Penyediaan semua itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara (Khilafah) karena negara (Khilafah) berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar berupa kesehatan dan pengobatan. Karenanya, Khilafah wajib membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotik, pusat dan lembaga litbang kesehatan, sekolah kedokteran, apoteker, perawat, bidan dan sekolah lainnya yang menghasilkan tenaga medis, serta berbagai sarana prasarana kesehatan dan pengobatan lainnya. Negara juga wajib mengadakan pabrik yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan; menyediakan SDM kesehatan baik dokter, apoteker, perawat, psikiater, penyuluh kesehatan dan lainnya.
Pelayanan kesehatan harus diberikan secara gratis kepada rakyat baik kaya atau miskin tanpa diskriminasi baik agama, suku, warna kulit dan sebagainya. Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik negara ataupun harta milik umum.
Semua pelayanan kesehatan dan pengobatan harus dikelola sesuai dengan aturan syariah termasuk pemisahan pria dan wanita serta hukum-hukum syariah lainnya. Juga harus memperhatikan faktor ihsan dalam pelayanan, yaitu wajib memenuhi 3 (tiga) prinsip baku yang berlaku umum untuk setiap pelayanan masyarakat dalam sistem Islam: Pertama, sederhana dalam peraturan (tidak berbelit-belit). Kedua, cepat dalam pelayanan. Ketiga, profesional dalam pelayanan, yakni dikerjakan oleh orang yang kompeten dan amanah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [KH. dr. Muhammad Utsman dan Yahya Abdurrahman]

Catatan Kaki:
1 Dr. Ahmed Shawky al-Fangary, The Impact of Islam and Its Teachings on Preservation of Individual and Public Health, http://www.crescentlife.com/wellness/impact_of_islam_on_health.htm
»»  read more

Sabtu, 18 Juli 2009

Tahukah Anda: Bunga Tulip, Warisan Kekhilafahan Islam Turki Ustmani

Eramuslim.com – Bunga tulip selalu diidentikkan dengan negara Belanda. Ribuan wisatawan datang ke Belanda hanya untuk mengagumi bunga yang cantik dan berwarna cerah ini, yang banyak ditanam di taman-taman negara Kincir Angin itu. Kota Keukenhof di Belanda, setiap tahunnya bahkan dikunjungi sekitar 800.000 orang dari seluruh dunia yang ingin menyaksikan keindahan aneka bunga tulip dalam Festival Tulip yang diselenggarakan setiap tahun di kota itu. Tak heran masih banyak orang yang beranggapan bahwa bunga tulip adalah bunga asli dari Belanda.

Bunga tulip sebenarnya bukan bunga asli Belanda, karena sebenarnya bunga ini berasal dari Asia Tengah dan Belanda sebenarnya berhutang budi pada kekhalifahan Islam Ustmaniyah di Turki, karena atas peran kekhilafahan Islam inilah Belanda sekarang jadi terkenal karena bunga tulipnya.

Bunga tulip sebenarnya bunga liar yang tumbuh di kawasan Asia Tengah. Orang-orang Turki yang pertama kali membudidayakan bunga ini pada di awal tahun 1000-an dan pada masa pemerintahan kekhalifahan Ustmaniyah, terutama pada masa kekuasaan Sultan Ahmed III (1703-1730) bunga tulip berperan penting, sehingga masa Sultan Ahmed III disebut juga sebagai “Era Bunga Tulip.”

Pada masa itu, istana Sultan memiliki sebuah dewan khusus untuk membudidayakan bunga-bunga tulip. Dewan itu dipimpin oleh seorang Turki yang juga kepala perangkai bunga istana yang tugasnya memberikan penilaian pada kualitas berbagai jenis bunga tulip dan memberikan nama yang indah dan puitis bagi bunga-bunga itu antara lain dengan nama “Those that burn the heart”, “Matchless Pearl”, “Rose of colored Glass”, “Increaser of Joy”, “Big Scarlet”, “Star of Felicity”, “Diamond Envy”, or “Light of the Mind”.

Hanya bunga-bunga yang memiliki kualitas sempurna yang dimasukkan dalam daftar jenis-jenis bunga tulip itu, yaitu bunga tulip yang memenuhi standar dari ukuran tinggi dan kerampingan kelopak bunganya, bentuk helaian kelopaknya lancip dan jarak antar helaiannya sempit. Helaian kelopaknya harus halus tapi kuat, satu warna, ukuran lebar dan panjangnya pas. Tiga ratus tahun kemudian, komunitas holtikultura Belanda dan Inggris mengajukan baru memikirkan untuk melakukan klasifikasi bunga tulip yang sudah dilakukan jauh sebelumnya oleh ahli perangkai bunga Turki di kesultanan Ahmed III.

Bunga tulip baru dikenal di Belanda pada abad ke-16 dan menjadi sangat populer di kalangan masyarakat kelas atas di negeri itu. Kata “tulip” sendiri berasal dari bahasa Turki yang artinya “sorban”, semacam kain yang dililit untuk menutupi kepala. Tidak diketahui kapan persisnya negara Kincir Angin itu mulai membudidayakan bunga tulip itu, tapi disebut-sebut bunga tulip mulai dibawa ke Belanda pada sekitar tahun 1550-an oleh kapal-kapal yang berasal dari Istanbul.

Dokumentasi pertama tentang penanaman bunga tulip bertahun 1954 di Kebun Raya Universitas Leiden. Menurut catatan itu, bunga tulip yang ditanam di kebun raya universitas Leiden dibawa oleh Carolus Clusius dari Wina, Austria, penanggungjawab taman istana di Austria. Ketika itu, pengaruh budaya Turki sangat kuat di Austria terutama dari gaya berpakaian yang oriental dan tradisi minum kopi.

Memasuki abad ke-17, perekonomian Belanda tumbuh pesat dan memicu persaingan antara pecinta bunga tulip. Mereka berlomba-lomba mencari bunga tulip yang paling indah dan tidak segan-segan membayar dengan harga mahal untuk membeli bunga tulip itu. Harga bunga tulip di Belanda pun makin mahal, bahkan kabarnya ada jenis bunga tulip yang harganya sama dengan harga sebuah rumah. Tahun 1635, satu set bunga tulip yang berjumlah 40 tangkai dijual dengan harga 100.000 florin, bandingkan dengan pendapatan kalangan kelas menengah pada masa itu di Belanda yang hanya 150 florin.

Tahun 1636, usaha bunga tulip menjadi salah satu bisnis yang perdagangan yang masuk dalam bursa saham dan diminati banyak orang. Kalangan pengusaha rela menjual tanah, rumah dan harta bendanya untuk berinvestasi di bisnis bungan tulip. Jenis bunga tulip yang sangat terkenal saat itu adalah jenis tulip yang bernama Viceroy, yang harganya bisa ribuan florin. Belanda menyebut fenomena “demam tulip” ini sebagai fenomena “wind trade” (perdagangan kontrak tulip) yang murni dilakukan dengan spekulasi. Ironisnya, masa keemasan bisnis bunga tulip di Belanda hanya berlangsung setahun, karena pada tahun 1637 pasar bunga tulip jatuh dan harga bunga tulip ikut melorot.

Sampai hari ini, istilah “tulip mania” atau “tulipomania” atau “kegilaan tulip” masih digunakan sebagai istilah untuk menggambarkan goncangnya perekonomian karena munculnya spekulan terhadap sesuatu trend bisnis yang sifatnya untung-untungan. Meski cerita di balik “tulip mania” ini sedikit memalukan, tapi Belanda tetap mencintai tulip dan banyak orang yang tak ingat bahwa tulip-tulip yang indah dan cantik itu hasil budidaya dari jaman kekhilafahan Islam Turki Utsmani.

»»  read more

Senin, 29 Juni 2009

Keagungan Khilafah: Fakta Sejarah

Oleh: Arif B Iskandar|

Tidak dipungkiri (kecuali oleh mereka yang percaya ilusi), saat wafat, salah satu 'harta ber-harga' yang diwariskan Baginda Rasulullah SAW kepada umat ini adalah Daulah Islam (Negara Islam)., yang kemudian dikenal dengan Khilafah Islam. Dalam Negara Islamlah, penerapan Islam betul-betul nyata, dan Islam berkembang pesat sekaligus menguasai seluruh jazirah Arab. Negara semacam inilah yang kemudian diwarisi Khalifah Abu Bakar ra., sesaat setelah Baginda Nabi SAW wafat. Pada masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar ra, Islam semakin menyebar ke luar jazirah Arab.

Setelah Abu Bakar ra wafat, Umar bin al-Khaththab ra diangkat menjadi khalifah. Pada masanya, Kota Damaskus (Syria) berhasil dikuasai. Pasukan Muslim berhasil menembus benteng Aleppo. Kaisar Herak-lius terpaksa mundur ke Konstantinopel meninggalkan seluruh wilayah Syria yang telah lima abad dikuasai Romawi.

Penguasa Yerusalem juga menyerah. Khalifah Umar ra. lalu berangkat ke Yerusalem. Kaum Gereja Syria dan Gereja Kopti-Mesir bahkan begitu mengharapkan kedatangan Islam. Sebab, semasa kekuasaan Romawi mereka sangat ter-tindas.

Islam segera menyebar dengan cepat ke arah Memphis (Kairo), Iskandariah hingga Tripoli. Ke wilayah Timur, pasukan Muslim juga merebut Ctesiphon, pusat Ke-rajaan Persia pada 637 Masehi. Dari Persia, Islam menyebar ke wilayah Asia Tengah; mulai Turkmenistan, Azerbaijan bahkan ke timur ke wilayah Afganistan sekarang.

Tibalah Utsman bin Affan ra. diang-kat sebagai khalifah berikutnya setelah Umar ra. wafat. Untuk pertama kalinya, Islam mempunyai armada laut yang tangguh. Muawiyah bin Abu Sufyan yang menguasai wilayah Syria, Palestina dan Libanon membangun armada itu. Sekitar 1.700 kapal dipakainya untuk mengem-bangkan wilayah ke pulau-pulau di Laut Tengah. Siprus, Pulau Rodhes digempur. Konstantinopel pun sempat dikepung.

Berikutnya, penerus Khalifah Utsman ra., adalah Khilafah Ali bin Abi Thalib ra. Pada masanya, meski sempat dilanda 'krisis politik', Islam dan kekuasaannya semakin mantap.

Kekhilafahan Umayah (661-750 M)

Pada masa Muawiyah, kekuasaan melebar ke Barat hingga Tunisia yang berada di seberang Italia. Di Timur, wilayah kekuasaan telah menjangkau seluruh tanah Afganistan sekarang. Wilayah Asia Tengah seperti Bukhara, Khawarizm, Ferghana hingga Samarkand mereka kuasai. Pasukan Umayah bahkan menjangkau wilayah Sind dan Punyab di India dan Pakistan.

Dengan rentang wilayah kekuasaan yang sangat luas pada abad ke-8 M ter-sebut, saat itu Kekhilafahan Islam meru-pakan kekuasaan yang paling besar di dunia, mengalahkan kekuasaan besar lain-nya, yakni Dinasti Tang di wilayah Cina dan Kerajaan Romawi yang berpusat di Kons-tantinopel.

Pada masa ini pula, Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) berhasil mensejah-terakan seluruh rakyatnya tanpa kecuali. Saat itu, tidak ada seorang pun yang mau menerima pembagian harta zakat.

Daulah Abbasiyah (750-1258 M)

Pada masa ini, Baghdad dibangun sebagai pusat peradaban. Sains dan teknologi berkembang pesat. Kemak-muran masyarakat terwujud pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785). Program irigasi berhasil meningkatkan produksi pertanian berlipat kali. Jalur perdagangan dari Asia Tengah dan Timur hingga Eropa melalui wilayah Kekhalifahan Abbasiyah berjalan pesat. Pertambangan emas, perak, besi dan tembaga berjalan dengan baik. Basrah di Teluk Persia tumbuh menjadi satu pelabuhan terpenting di dunia.

Puncak peradaban Islam terjadi pada masa Harun ar-Rasyid (786-809 M). Bukan hanya kemakmuran masyarakat yang di-capai, namun juga pendidikan, kebu-dayaan, sastra dan lain-lain.

Masa keemasan ini dilanjutkan oleh Al-Ma'mun (813-833). Dia mendirikan ba-nyak sekolah. Ia mendirikan pula "Bait Al-Hikmah", perpustakaan sekaligus pergu-ruan tinggi. Hingga Khalifah al-Mutawakkil (847-861).

Pada awal masa Bani Buwaih (945-1055), kemakmuran kembali berkembang di wilayah Kekhalifahan Abbasiyah. Banyak intelektual bermunculan, sebagian besar-nya bahkan menjadi rujukan di Barat sampai Abad 19.

Pada tahun 1065 dibangun Univer-sitas Nizhamiyah di Baghdad. Inilah yang disebut model pertama universitas yang kini dikenal dunia. Di berbagai kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang universitas ini. Pengetahuan berkembang sangat pesat. Banyak intelektual lahir pada masa ini.

Secuil kisah sukses Negara Islam atau Khilafah Islam itu benar-benar nyata, bukan ilusi, kecuali bagi mereka yang buta sejarah, atau mungkin buta mata hatinya. Wallâhu a'lam bi ash-Shawâb. []mediaumat.com

»»  read more

Minggu, 28 Juni 2009

Keagungan Khilafah: Fakta Sejarah

Oleh: Arif B Iskandar

Tidak dipungkiri (kecuali oleh mereka yang percaya ilusi), saat wafat, salah satu 'harta ber-harga' yang diwariskan Baginda Rasulullah SAW kepada umat ini adalah Daulah Islam (Negara Islam)., yang kemudian dikenal dengan Khilafah Islam. Dalam Negara Islamlah, penerapan Islam betul-betul nyata, dan Islam berkembang pesat sekaligus menguasai seluruh jazirah Arab. Negara semacam inilah yang kemudian diwarisi Khalifah Abu Bakar ra., sesaat setelah Baginda Nabi SAW wafat. Pada masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar ra, Islam semakin menyebar ke luar jazirah Arab.

Setelah Abu Bakar ra wafat, Umar bin al-Khaththab ra diangkat menjadi khalifah. Pada masanya, Kota Damaskus (Syria) berhasil dikuasai. Pasukan Muslim berhasil menembus benteng Aleppo. Kaisar Herak-lius terpaksa mundur ke Konstantinopel meninggalkan seluruh wilayah Syria yang telah lima abad dikuasai Romawi.

Penguasa Yerusalem juga menyerah. Khalifah Umar ra. lalu berangkat ke Yerusalem. Kaum Gereja Syria dan Gereja Kopti-Mesir bahkan begitu mengharapkan kedatangan Islam. Sebab, semasa kekuasaan Romawi mereka sangat ter-tindas.

Islam segera menyebar dengan cepat ke arah Memphis (Kairo), Iskandariah hingga Tripoli. Ke wilayah Timur, pasukan Muslim juga merebut Ctesiphon, pusat Ke-rajaan Persia pada 637 Masehi. Dari Persia, Islam menyebar ke wilayah Asia Tengah; mulai Turkmenistan, Azerbaijan bahkan ke timur ke wilayah Afganistan sekarang.

Tibalah Utsman bin Affan ra. diang-kat sebagai khalifah berikutnya setelah Umar ra. wafat. Untuk pertama kalinya, Islam mempunyai armada laut yang tangguh. Muawiyah bin Abu Sufyan yang menguasai wilayah Syria, Palestina dan Libanon membangun armada itu. Sekitar 1.700 kapal dipakainya untuk mengem-bangkan wilayah ke pulau-pulau di Laut Tengah. Siprus, Pulau Rodhes digempur. Konstantinopel pun sempat dikepung.

Berikutnya, penerus Khalifah Utsman ra., adalah Khilafah Ali bin Abi Thalib ra. Pada masanya, meski sempat dilanda 'krisis politik', Islam dan kekuasaannya semakin mantap.

Kekhilafahan Umayah (661-750 M)

Pada masa Muawiyah, kekuasaan melebar ke Barat hingga Tunisia yang berada di seberang Italia. Di Timur, wilayah kekuasaan telah menjangkau seluruh tanah Afganistan sekarang. Wilayah Asia Tengah seperti Bukhara, Khawarizm, Ferghana hingga Samarkand mereka kuasai. Pasukan Umayah bahkan menjangkau wilayah Sind dan Punyab di India dan Pakistan.

Dengan rentang wilayah kekuasaan yang sangat luas pada abad ke-8 M ter-sebut, saat itu Kekhilafahan Islam meru-pakan kekuasaan yang paling besar di dunia, mengalahkan kekuasaan besar lain-nya, yakni Dinasti Tang di wilayah Cina dan Kerajaan Romawi yang berpusat di Kons-tantinopel.

Pada masa ini pula, Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) berhasil mensejah-terakan seluruh rakyatnya tanpa kecuali. Saat itu, tidak ada seorang pun yang mau menerima pembagian harta zakat.

Daulah Abbasiyah (750-1258 M)

Pada masa ini, Baghdad dibangun sebagai pusat peradaban. Sains dan teknologi berkembang pesat. Kemak-muran masyarakat terwujud pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785). Program irigasi berhasil meningkatkan produksi pertanian berlipat kali. Jalur perdagangan dari Asia Tengah dan Timur hingga Eropa melalui wilayah Kekhalifahan Abbasiyah berjalan pesat. Pertambangan emas, perak, besi dan tembaga berjalan dengan baik. Basrah di Teluk Persia tumbuh menjadi satu pelabuhan terpenting di dunia.

Puncak peradaban Islam terjadi pada masa Harun ar-Rasyid (786-809 M). Bukan hanya kemakmuran masyarakat yang di-capai, namun juga pendidikan, kebu-dayaan, sastra dan lain-lain.

Masa keemasan ini dilanjutkan oleh Al-Ma'mun (813-833). Dia mendirikan ba-nyak sekolah. Ia mendirikan pula "Bait Al-Hikmah", perpustakaan sekaligus pergu-ruan tinggi. Hingga Khalifah al-Mutawakkil (847-861).

Pada awal masa Bani Buwaih (945-1055), kemakmuran kembali berkembang di wilayah Kekhalifahan Abbasiyah. Banyak intelektual bermunculan, sebagian besar-nya bahkan menjadi rujukan di Barat sampai Abad 19.

Pada tahun 1065 dibangun Univer-sitas Nizhamiyah di Baghdad. Inilah yang disebut model pertama universitas yang kini dikenal dunia. Di berbagai kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang universitas ini. Pengetahuan berkembang sangat pesat. Banyak intelektual lahir pada masa ini.

Secuil kisah sukses Negara Islam atau Khilafah Islam itu benar-benar nyata, bukan ilusi, kecuali bagi mereka yang buta sejarah, atau mungkin buta mata hatinya. Wallâhu a'lam bi ash-Shawâb. []

»»  read more

Sabtu, 06 Juni 2009

Layanan Pos di Masa Kejayaan Islam

Sumber literatur, bukti dokumen, dan catatan arkeologi menunjukkan pada waktu itu sistem per- posan sudah sangat mutakhir. Sistem per- posan dikelola secara terpusat dan berhubungan langsung dengan khalifah.

Ketika Dinasti Umayyah berkuasa (661 M750 M), wilayah kekuasaan Islam terbentang semakin luas. Guna menjalin komunikasi dengan para gubernur yang berkuasa di berbagai provinsi, Kekhalifahan Umayyah mulai membentuk sistem perposan di dunia Islam. Dinasti ini tercatat sebagai salah satu pencipta sistem perposan yang sangat penting dalam sejarah dunia.

Sejarawan Paul Lunde dalam tulisannya berjudul, The Appointed Rounds, mengungkapkan bahwa jasa pos telah mulai dikenal peradaban manusia Mesir Kuno sejak tahun 2000 SM. Selain itu, peradaban Cina dan Romawi pun sudah menerapkannya jauh sebelum Islam hadir di muka bumi. Meski begitu, Lunde memaparkan bahwa jasa perposan mulai dibangun secara mutakhir pada abad ke-9 M— era kejayaan Islam.

Secara khusus, Adam Silverstein dalam bukunya bertajuk, Postal System in PreModern Islam, mengungkapkan sejarah awal mula jasa pos berdiri di dunia Islam. Menurut Silverstein, dalam peradaban Islam sistem perposan dikenal dengan nama barid. Bangsa Romawi menyebut jasa per posan sebagai cursus publicus.

“Khalifah Muawiyyah bin Abi Sufyan meru pakan orang pertama yang membentuk barid atau layanan pos di dunia Islam,” papar Silverstein. Muawiyyah membentuk barid untuk mempercepat kedatangan informasi dari provinsi kekuasaan Umayyah yang terpencil. Sejak itu, jasa perposan terus berkembang pesat di dunia Islam yang dikuasai oleh Dinasti Umayyah.

Salah satu kontribusi penting Kekhalifahan Umayyah bagi dunia perposan dilakukan oleh Ziyad bin Abi Sufyan—salah seorang gubernur penting di era itu. Menurut Akbar Shah Najeebabad dalam bukunya, History of Islam, ketika Ziyad berkuasa, Dinasti Umayyah mulai mendirikan departemen pos. Pada masa itu sudah mulai diangkat para petugas pos dan dibangun sistem perposan.

“Untuk pertama kalinya, Ziyad memperkenalkan sistem pemasangan segel pada surat atau dokumen yang dikirimkan melalui pos,” ungkap Akbar. Hal itu dilakukan untuk menjaga kerahasiaan surat atau dokumen yang dikirim melalui pos. Menurut Akbar, pada segel yang dipasang di setiap surat dan dokumen yang dikirim tercantum kalimat, ‘setiap amal ada pahalanya’.

Selain itu, ciri khas segel yang terpasang pada dokumen atau surat yang dikirim melalui jasa pos pada waktu itu terdapat gambar Ka’bah. Gambar Ka’bah terpampang dalam segel surat bertahan hingga kekuasaan Dinasti Umayyah tumbang pada 750 M. Selain itu, setiap surat yang dikirim akan dibuatkan salinannya dan disimpan di kantor kekhalifahan.

Menurut Silverstein, pembangunan infrastruk tur umum jasa pos— seperti rute dan kantor pos—di zaman Dinasti Umayyah dilakukan pada awal kepemimp inan Khalifah Marwan bin Al-Hakam. Tak heran, jika selepas kekuasaan Marwan berakhir, jasa perposan berkembang pesat di bawah AlWalid bin Abdul-Malik bergelar Al-Walid I (668 M-715 M).

“Sumber literatur, bukti dokumen, dan catatan arkeologi menunjukkan pada waktu itu sistem perposan sudah sangat mutakhir. Sistem perposan dikelola secara terpusat dan berhubungan lang sung dengan khalifah,” imbuh Silverstein. Ketika rezim penguasa dunia Islam mulai berganti di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah, pada tahap awal jasa perposan tak mengalami perubahan secara sistem.

Saat itu, hanya terjadi perubahan penguasa yang mengelola departemen pos.

Sejarawan Muslim dari abad ke-10 M, Alt Mas’udi, menyatakan bahwa barid untuk pertama kali melayani pengantaran surat pada zaman kekuasaan Abbasiyah. Sejarah mencatat, pengelolaan sistem perposan yang efektif dan efisien juga dilakukan di era kekuasaan Dinasti Seljuk pada abad ke-9 M.

Seljuk merupakan dinasti Islam yang pernah menguasai Asia Tengah dan Timur Tengah. Wilayah kekuasaan Kekaisaran Seljuk Agung terbentang dari Anatolia hingga ke Rantau Punjab di Asia Selatan. Dinasti ini didirikan oleh suku Oghuz Turki yang berasal dari Asia Tengah.

Menurut Lunde, pengelolaan sistem perposan pada era Dinasti Seljuk mendapat perhatian penuh dari Perdana Menteri Kesultanan Seljuk Turki, Nizam Al-Mulk. Jasa perposan dikembangkan penguasa Dinasti Seljuk agar dapat memperoleh informasi yang cepat dan akurat.

“Adalah tugas seorang raja untuk mengetahui secara benar kondisi para petani dan tentaranya, baik jauh maupun dekat. Seorang raja harus mengetahui informasi mengenai hal itu sebanyak-banyaknya,” tutur Lunde, mengutip pernyataan Nizam Al-Mulk. Untuk menguasai informasi itulah, AlMulk mengangkat pejabat yang khusus mengurusi bidang perposan.

Pada masa itu, Dinasti Seljuk sudah memiliki seorang Diwan Al-Barid—Menteri Pos dan Komunikasi. Bagi pemerinta han Al-Mulk, layanan perposan merupakan lembaga negara yang penting. Departemen Pos dan Telekomunikasi dijadikannya sebagai sebuah agen informasi. Melalui layanan pos, seorang perdana menteri bisa berkomunikasi dengan gubernur di berbagai provinsi yang terbentang begitu luas.

“Pejabat inspektur pos pada masa itu tak hanya memastikan surat-surat yang dikirim sampai di setiap kantor pos,” cetus Lunde. Namun, imbuh dia, para inspektur pos juga bertugas untuk mengumpulkan informasi bagi pemerintah pusat. Secara periodik mereka harus menyampaikan laporannya.

Menurut Lunde, laporan yang harus disampaikan inspektur pos itu berkisar pada kondisi dan hasil panen para petani di daerah, situasi politik, serta kinerja para gubernur di provinsi. “Pengelolaan barid di era Seljuk sebenarnya sangat mirip dengan Pony Express di Amerika Barat,” tegas Lunde.

Namun, di era kekuasaan Seljuk, unta dan kedelai menjadi alat transportasi. Sedangkan di Amerika Barat menggunakan kuda. Lunde mengungkapkan, di setiap empat hingga enam mil sebuah wilayah terdapat kantor pos.

Untuk menghindari kelelahan, petugas penyampai pesan akan diganti di kantor pos berikutnya. Pemerintah Seljuk menggaji ribuan pegawai pos.

Saat itu, yang boleh mengirim pesan hanya pemerintah. Warga negara biasa yang ingin mengirimkan pesan harus menitipkannya pada rombongan pedagang atau menyewa kurir khusus untuk hal-hal mendesak. Pada masa itu, surat baru akan sampai dalam waktu beberapa hari ke tujuan. Jika seseorang mengirim surat dari Kairo dengan tujuan Damaskus, akan sampai dalam empat hari.

Berbeda dengan Pony Express yang hanya dapat bertahan selama 16 bulan, dari tahun 1860 M hingga Oktober 1861 M. Sistem perposan Islam alias barid mampu bertahan hingga beberapa abad. Bahkan, mampu menjangkau hinga ke India. Penjelajah Muslim dari Maroko, Ibnu Batutta, dalam catatan perjalanannya mengungkapkan aktivitas layanan pos di Sind, India, tahun 1333 M. Begitulah layanan pos di dunia Islam berlangsung.

Merpati Pos Ala Dinasti Mamluk

Layanan pos di era kejayaan Islam tak hanya sekadar sebagai pengantar pesan. Dinasti Mamluk yang berkuasa di Mesir pada 1250 M hingga 1517 M juga menjadikan pos sebagai alat pertahanan. Guna mencegah invasi pasukan tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan pada medio abad ke-13 M, para insinyur Mamluk membangun menara pengawas di sepanjang rute pos Irak hingga Mesir.

Di atas menara pengawas itu, selama 24 jam penuh para penjaga telah menyiapkan tanda-tanda bahaya. Jika bahaya mengancam di siang hari, petugas akan membakar kayu basah yang dapat mengepulkan asap hitam. Sedangkan di malam hari, petugas akan membakar kayu kering.

Upaya itu ternyata tak sepenuhnya berhasil. Tentara Mongol mampu menembus Baghdad dan memorak-poran dakan metropolis intelektual itu. Meski begitu, peringatan awal yang ditempatkan di sepanjang rute pos itu juga berhasil mencegah masuknya tentara Mongol ke Kairo, Mesir.

Hanya dalam waktu delapan jam, berita pasukan Mongol akan menyerbu Kairo sudah diperoleh pasukan tentara Muslim. Itu berarti, sama dengan waktu yang diperlukan untuk menerima telegram dari Baghdad ke Kairo di era modern. Berkat informasi berantai dari menara pengawas itu, pasukan Mamluk mampu memukul mundur tentara Mongol yang akan menginvasi Kairo.

Menurut Paul Lunde, layanan pos melalui jalur darat pada era kekuasaan Dinasti Mamluk juga sempat terhenti ketika pasukan Tentara Salib memblokir rute pos. Meski begitu, penguasa Dinasti Mamluk tak kehabisan akal. Sejak saat itu, kata dia, Dinasti Mamluk mulai menggunakan merpati pos.

Dengan menggunakan burung merpati sebagai pengantar pesan, pasukan Tentara Salib tak dapat mencegah masuknya pesan dari Kairo ke Irak. “Merpati pos mampu mengantarkan surat dari Kairo ke Baghdad dalam waktu dua hari,” tutur Lunde. Sejak itu, peradaban Barat juga mulai meniru layanan pos dengan merpati seperti yang digunakan penguasa Dinasti Mamluk.

Lunde menuturkan, pada 1300 M Dinasti Mamluk memiliki tak kurang dari 1.900 merpati pos. Burung merpati itu sudah sangat terlatih dan teruji mampu mengirimkan pesan ke tempat tujuan. Seorang tentara Jerman bernama Johan Schiltberger menuturkan kehebatan pasukan merpati pos yang dimiliki penguasa Dinasti Mamluk.

“Sultan Mamluk mengirim surat dengan merpati, sebab dia memiliki banyak musuh,” cetus Schiltberger.

Dinasti Mamluk memang bukan yang pertama menggunakan merpati pos. Penggunaan merpati untuk mengirimkan pesan kali pertama diterapkan peradaban Mesir kuno pada 2900 SM.

Pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk, merpati pos juga berfungsi untuk mengirimkan pesanan pos parsel. Alkisah, penguasa Mamluk sangat puas dengan kiriman buah ceri dari Lebanon yang dikirimkan ke Kairo dengan burung merpati. Setiap burung merpati membawa satu biji buah ceri yang dibungkus dengan kain sutra. Pada masa itu, sepasang burung merpati pos harganya mencapai 1.000 keping emas.

Layanan merpati pos ala Dinasti Mamluk itu tercatat sebagai sistem komunikasi yang tercepat di abad pertengahan. Hingga akhirnya, Samuel Morse menemukan telegraf pada 1844 M dan Guglielmo Marconi menciptakan radio. heri ruslan

Merpati Pos Ala Dinasti Mamluk

Layanan pos di era kejayaan Islam tak hanya sekadar sebagai pengantar pesan. Dinasti Mamluk yang berkuasa di Mesir pada 1250 M hingga 1517 M juga menjadikan pos sebagai alat pertahanan. Guna mencegah invasi pasukan tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan pada medio abad ke-13 M, para insinyur Mamluk membangun menara pengawas di sepanjang rute pos Irak hingga Mesir.

Di atas menara pengawas itu, selama 24 jam penuh para penjaga telah menyiapkan tanda-tanda bahaya. Jika bahaya mengancam di siang hari, petugas akan membakar kayu basah yang dapat mengepulkan asap hitam. Sedangkan di malam hari, petugas akan membakar kayu kering. Upaya itu ternata tak sepenuhnya berhasil. Tentara Mongol mampu menembus Baghdad dan memorak-porandakan metropolis intelektual itu. Meski begitu, peringatan awal yang ditempatkan di sepanjang rute pos itu juga berhasil mencegah masuknya tentara Mongol ke Kairo, Mesir.

Hanya dalam waktu delapan jam, berita pasukan Mongol akan menyerbu Kairo sudah diperoleh pasukan tentara Muslim. Itu berarti, sama dengan waktu yang diperlukan untuk menerima telegram dari Baghdad ke Kairo dieramodern. Berkat informasi berantai dari menara pengawas itu, pasukan Mamluk mampu memukul mundur tentara Mongol yang akan menginvasi Kairo. Menurut Paul Lunde, layanan pos melalui jalur darat pada era kekuasaan Dinasti Mamluk juga sempat terhenti ketika pasukan Tentara Salib memblokir rute pos. Meski begitu, penguasa Dinasti Mamluk tak kehabisan akal.

Sejak saat itu, kata dia, Dinasti Mamluk mulai menggunakan merpati pos. Dengan menggunakan burung merpati sebagai pengantar pesan, pasukan Tentara Salib tak dapat mencegah masuknya pesan dari Kairo ke Irak. Merpati pos mampu mengantarkan surat dari Kairo ke Baghdad dalam waktu dua hari, tutur Lunde. Sejak itu, peradaban Barat juga mulai meniru layanan pos dengan merpati seperti yang digunakan penguasa Dinasti Mamluk.

Lunde menuturkan, pada 1300 M Dinasti Mamluk memiliki tak kurang dari 1.900 merpati pos. Burung merpati itu sudah sangat terlatih dan teruji mampu mengirimkan pesan ketempat tujuan. Seorang tentara Jerman bernama Johan Schiltberger menuturkan kehebatan pasukan merpati pos yang dimiliki penguasa Dinasti Mamluk. Sultan Mamluk mengirim surat dengan merpati, sebab dia memiliki banyak musuh, cetus Schiltberger. Dinasti Mamluk memang bukan yang pertama menggunakan merpati pos. Penggunaan merpati untuk mengirimkan pesan kali pertama diterapkan peradaban Mesir kuno pada 2900 SM.

Pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk, merpati pos juga berfungsi untuk mengirimkan pesanan pos par sel. Al kisah, penguasa Mamluk sangat puas dengan kiriman buah ceri dari Lebanon yang dikirimkan ke Kairo dengan burung merpati. Setiap burung merpati membawa satu biji buah ceri yang dibungkus dengan kain sutra. Pada masa itu, sepasang burung merpati pos harganya mencapai 1.000 keping emas. Layanan merpati pos ala Dinasti Mamluk itu tercatat sebagai sistem komunikasi yang tercepat di abad pertengahan. Hingga akhirnya, Samuel Morse menemukan telegraf pada 1844 M dan Guglielmo Marconi menciptakan radio. hri (Republika, 28/10/08)

»»  read more

Followers