Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiqih. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Februari 2010

Imlek Adalah Hari Raya Agama Kafir Bukan Sekedar Tradisi : Haram Atas Muslim Turut Merayakannya

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi

Anda mungkin pernah mendengar pernyataan begini. Bahwa Imlek itu hanyalah tradisi dan bukan bagian ajaran agama tertentu. Karenanya umat Islam khususnya yang beretnis Tionghoa boleh-boleh saja merayakan Imlek. Benarkah Imlek hanya tradisi? Apakah boleh muslim turut merayakan Imlek? Tulisan ini berusaha untuk menjelaskan persoalan ini kepada umat Islam, dengan menelaah ajaran agama Khonhuchu, serta menelaah hukum syariah Islam yang terkait dengan keterlibatan kaum muslimin dalam perayaan hari raya agama lain.

Imlek Bagian Ajaran Agama Khonghucu, Bukan Sekedar Tradisi Tionghoa

Memang tak jarang kita dengar dari orang Tionghoa, termasuk tokoh-tokohnya yang sudah masuk Islam, bahwa Imlek itu sekedar tradisi. Tidak ada hubungannya dengan ajaran suatu agama, sehingga umat Islam boleh turut merayakannya. Sebagai contoh, Sekretaris Umum DPP PITI (Pembina Iman Tauhid Islam), H. Budi Setyagraha (Huan Ren Cong), pernah menyatakan bahwa Imlek adalah tradisi menyambut tahun baru penanggalan Cina, datangnya musim semi, dan musim tanam di daratan Cina. H. Budi Setyagraha berkata,”Imlek bukan perayaan agama.” (Lihat “Sekjen DPP PITI : Rayakan Imlek Jangan Berlebihan”, Kedaulatan Rakyat, Selasa, 13 Pebruari 2007, hal. 2).

Jika kita mendalami agama Khonghucu, khususnya mengenai hari-hari rayanya, akan terbukti bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Sebab sebenarnya Imlek adalah bagian integral dari ajaran agama Khonghucu, bukan semata-mata tradisi.

Dalam bukunya Mengenal Hari Raya Konfusiani (Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003) hal. vi-vii, Hendrik Agus Winarso menyebutkan bahwa masyarakat kurang memahami Hari Raya Konfusiani. Kata beliau mencontohkan,”Misalnya Tahun Baru Imlek dianggap sebagai tradisi orang Tionghoa.” Dengan demikian, pandangan bahwa Imlek adalah sekedar tradisi, yang tidak ada hubungannya dengan agama, menurut penulis buku tersebut, adalah suatu kesalahpahaman (Ibid., hal. v).

Dalam buku yang diberi kata sambutan oleh Ketua MATAKIN tahun 2000 Hs. Tjhie Tjay Ing itu, pada hal. 58-62, Hendrik Agus Winarso telah membuktikan dengan meyakinkan bahwa Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu. Hendrik Agus Winarso menerangkan, Tahun Baru Imlek atau disebut juga Sin Cia, merupakan momentum untuk memperbarui diri. Momentum ini, kata beliau, diisyaratkan dalam salah satu kitab suci Khonghucu, yaitu Kitab Lee Ki, bagian Gwat Ling, yang berbunyi :

“Hari permulaan tahun (Liep Chun) jadikanlah sebagai Hari Agung untuk bersembahyang besar ke hadirat Thian, karena Maha Besar Kebajikan Thian. Dilihat tiada nampak, didengar tiada terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia… (Tiong Yong XV : 1-5).

(Lihat Hendrik Agus Winarso, Mengenal Hari Raya Konfusiani, [Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003], hal. 60-61).

Penulis buku tersebut lalu menyimpulkan Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu. Beliau mengatakan :

“Dengan demikian, menyambut Tahun Baru bagi umat Khonghucu Indonesia mengandung arti ketakwaan dan keimanan.” (ibid.,hal. 61).

Maka tidaklah benar pendapat yang menyebutkan bahwa Imlek hanya sekedar tradisi orang Tionghoa, atau Imlek bukan perayaan agama. Yang benar, Imlek justru adalah bagian ajaran agama Khonghucu, bukan sekedar tradisi.

Lagi pula, harus kami tambahkan bahwa boleh tidaknya seorang muslim melakukan sesuatu, tidaklah dilihat apakah sesuatu itu berasal dari tradisi atau ataukah dari agama. Seakan-akan kalau berasal dari tradisi hukumnya boleh-boleh saja dilakukan, sementara kalau dari agama lain hukumnya tidak boleh.

Standar semacam itu sungguh batil dan tidak ada dalam Islam. Karena standar yang benar menurut Islam, adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman :

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS Al-A’raaf [7] : 3)

Kalimat “maa unzila ilaykum min rabbikum” dalam ayat di atas yang berarti “apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”, artinya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Tafsir Al-Baidhawi, [Beirut : Dar Shaadir], Juz III/2).

Jadi suatu perbuatan itu boleh atau tidak boleh dilakukan, tolok ukurnya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Apa saja yang benar menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, berarti boleh dikerjakan. Sebaliknya apa saja yang batil menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, berarti tidak boleh dilakukan.

Maka kalau kita hendak menilai perbuatan muslim turut merayakan Imlek menurut Islam, tolok ukurnya harus benar. Yaitu harus kita lihat adalah apakah perbuatan itu boleh atau tidak menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan melihat apakah Imlek itu dari tradisi atau dari agama.

Sungguh kalau seorang muslim menggunakan tolok ukur tadi, yaitu melihat sesuatu itu dari tradisi atau agama, ia akan tersesat. Sebab suatu tradisi tidak selalu benar, adakalanya ia bertentangan dengan Islam dan adakalanya sesuai dengan Islam. Contoh, free sex pada masyarakat Barat yang Kristen. Free sex jelas telah menjadi tradisi Barat, meski perbuatan kotor itu bukan bagian agama Kristen/Katholik, karena agama ini pun mengharamkan zina. Lalu, apakah karena free sex itu sekedar tradisi, dan bukan agama, lalu umat Islam boleh melakukannya? Jelas tetap tidak boleh, bukan?

Walhasil, mari kita gunakan barometer yang benar untuk menilai suatu perbuatan. Barometernya, bukan dilihat dari segi asalnya apakah suatu perbuatan itu dari tradisi atau agama, melainkan dilihat dari segi boleh tidaknya perbuatan itu menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah. Inilah pandangan yang haq, tidak ada yang lain.

Haram Atas Muslim Turut Merayakan Imlek

Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah, haram hukumnya seorang muslim turut merayakan hari raya agama lain, termasuk Imlek, baik dengan mengikuti ritual agamanya maupun tidak, termasuk juga memberi ucapan selamat Gong Xi Fat Chai. Semuanya haram.

Imam Suyuthi berkata,”Juga termasuk perbuatan mungkar, yaitu turut serta merayakan hari raya orang Yahudi, hari raya orang-orang kafir, hari raya selain orang Arab [yang tidak Islami], ataupun hari raya orang-orang Arab yang tersesat. Orang muslim tidak boleh melakukan perbuatan itu, sebab hal itu akan membawa mereka ke jurang kemungkaran…” (Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ‘An Al-Ibtida` (terj.), hal. 91).

Khusus mengenai memberi ucapan selamat, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata,”Adapun memberi ucapan selamat yang terkait syiar-syiar kekufuran yang menjadi ciri khas kaum kafir, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama, misalnya memberi selamat atas hari raya atau puasa mereka...” (Ahkam Ahli Adz-Dzimmah, [Beirut : Darul Kutub Al-'Ilmiyah], 1995, Juz I/162).

Dalil Al-Qur`an yang mengharamkan perbuatan muslim merayakan hari raya agama kafir di antaranya firman Allah SWT :

“Dan (hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah) orang-orang yang tidak menghadiri kebohongan…” (QS Al-Furqan [25] : 72).

Kalimat “laa yasyhaduuna az-zuur” dalam ayat tersebut menurut Imam Ibnu Taimiyah maknanya yang tepat adalah tidak menghadiri kebohongan (az-zuur), bukan memberikan kesaksian palsu. Dalam bahasa Arab, memberi kesaksian palsu diungkapkan dengan kalimat yasyhaduuna bi az-zuur. Jadi ada tambahan huruf jar yang dibaca bi. Bukan diungkapkan dengan kalimat yasyhaduuna az-zuur (tanpa huruf jar bi). Maka ayat di atas yang berbunyi “laa yasyhaduuna az-zuur” artinya yang lebih tepat adalah ” tidak menghadiri kebohongan”, bukannya ” memberikan kesaksian palsu.” (M. Bin Ali Adh-Dhabi’i, Mukhtarat min Kitab Iqtidha` Shirathal Mustaqim Mukhalafati Ash-habil Jahim (terj.), hal. 59-60)

Sedang kata “az-zuur” (kebohongan) itu sendiri oleh sebagian tabi’in seperti Mujahid, adh-Dhahak, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah artinya adalah hari-hari besar kaum musyrik atau kaum jahiliyah sebelum Islam (Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ‘An Al-Ibtida` (terj.), hal. 91-95).

Jadi, ayat di atas adalah dalil haramnya seorang muslim untuk merayakan hari-hari raya agama lain, seperti hari Natal, Waisak, Paskah, Imlek, dan sebagainya.

Imam Suyuthi berdalil dengan dua ayat lain sebagai dasar pengharaman muslim turut merayakan hari raya agama lain (Lihat Imam Suyuthi, ibid., hal. 92). Salah satunya adalah ayat :

“Dan sesungguhnya jika kamu [Muhammad] mengikuti keinginan mereka setelah datangnya ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah [2] : 145).

Menurut Imam Suyuthi, larangan pada ayat di atas tidak hanya khusus kepada Nabi SAW, tapi juga mencakup umat Islam secara umum. Larangan tersebut adalah larangan melakukan perbuatan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh atau orang kafir [seperti turut merayakan hari raya mereka]. Sedangkan yang mereka lakukan bukanlah perbuatan yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya (Lihat Imam Suyuthi, ibid., hal. 92).

Adapun dalil As-Sunnah, antara lain Hadits Nabi SAW,“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Dawud).

Dalam hadits ini Islam telah mengharamkan muslim untuk menyerupakan dirinya dengan kaum kafir pada hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka, seperti hari-hari raya mereka. Maka dari itu, haram hukumnya seorang muslim turut merayakan hari-hari raya agama lain (Lihat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penjelasan Tuntas Hukum Seputar Perayaan, [Solo : Pustaka Al-Ummat], 2006, hal. 76).

Berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah di atas, haram hukumnya seorang muslim turut merayakan Imlek dalam segala bentuk dan manifestasinya. Haram bagi muslim ikut-ikutan mengucapkan Gong Xi Fat Chai kepada orang Tionghoa, sebagaimana haram bagi muslim menghiasi rumah atau kantornya dengan lampion khas Cina, atau hiasan naga dan berbagai asesoris lainnya yang serba berwarna merah. Haram pula baginya mengadakan berbagai macam pertunjukan untuk merayakan Imlek, seperti live band, karaoke mandarin, demo masak, dan sebagainya.

Semua bentuk perbuatan tersebut haram dilakukan oleh muslim, karena termasuk perbuatan merayakan hari raya agama kafir yang telah diharamkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Himbauan Kepada Muslim Etnis Tionghoa

Terakhir, kami sampaikan seruan dan himbauan kepada saudara-saudaraku muallaf dari etnis Tionghoa, hendaklah Anda masuk ke dalam agama Islam secara keseluruhannya (kaffah). Janganlah Anda -semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda semua- mengikuti langkah-langkah setan, yakni masuk ke dalam agama Islam namun masih mempertahankan sebagian ajaran lama yang dulu Anda peluk dan Anda amalkan, seperti perayaan Imlek. Marilah kita renungkan firman Allah SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah [2] : 208)

Wallahu a’lam bi al-shawab.

»»  read more

Sabtu, 09 Januari 2010

HUKUM OPERASI GANTI KELAMIN

Operasi ganti kelamin (taghyir al-jins) adalah operasi pembedahan untuk mengubah jenis kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya. Pengubahan jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan dilakukan dengan memotong penis dan testis, kemudian membentuk kelamin perempuan (vagina) dan membesarkan payudara. Sedang pengubahan jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki dilakukan dengan memotong payudara, menutup saluran kelamin perempuan, dan menanamkan organ genital laki-laki (penis). Operasi ini juga disertai pula dengan terapi psikologis dan terapi hormonal. (M. Mukhtar Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibbiyah, hal. 199).

Hukum operasi ganti kelamin adalah haram, berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. (M. Mukhtar Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibbiyah, hal. 199; Fahad Abdullah Hazmi, Al-Wajiz fi Ahkam Al-Jirahah Al-Thibbiyyah, hal. 12; Walid bin Rasyid Sa’idan, Al-Ifadah al-Syar’iyah fi Ba’dh Al-Masail al-Thibbiyyah, hal. 128).

Dalil Al-Qur`an firman Allah SWT (artinya) : "Dan aku (syaithan) akan menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar mengubahnya". (QS An-Nisaa` [4] : 119). Ayat ini menunjukkan upaya syaitan mengajak manusia untuk melakukan berbagai perbuatan maksiat. Di antaranya mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah). Operasi ganti kelamin termasuk mengubah ciptaan Allah, karena dalam operasi ini terdapat tindakan memotong penis, testis, dan payudara. Maka operasi ganti kelamin hukumnya haram.

Dalil hadis adalah riwayat Ibnu Abbas RA bahwa,"Rasulullah SAW telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki." (HR Bukhari). Hadis ini mengharamkan perbuatan laki-laki menyerupai wanita atau perbuatan wanita menyerupai laki-laki. Maka, operasi ganti kelamin haram hukummya, karena menjadi perantaraan (wasilah) bagi laki-laki atau perempuan yang dioperasi untuk menyerupai lawan jenisnya. Kaidah fiqih menyebutkan,"Al-Wasilah ila al-haram muharromah." (Segala perantaraan menuju yang haram hukumnya haram juga). (Fahad Abdullah Al Hazmi, Taqrib Fiqih Al-Thabib, hal. 74; M. Utsman Syabir, Ahkam Jirahah At-Tajmil, hal. 19).

Operasi ganti kelamin juga merupakan dosa besar (kaba`ir), sebab salah satu kriteria dosa besar adalah adanya laknat (kutukan) dari Allah dan Rasul-Nya. (Imam Dzahabi, Al-Kaba`ir, hal. 5; Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Juz V/120; Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, Juz 11/650).

Yang berdosa bukan hanya orang yang dioperasi, tapi juga semua pihak yang terlibat di dalam operasi itu, baik langsung atau tidak, seperti dokter, para medis, psikiater, atau ahli hukum yang mengesahkan operasi tersebut. Semuanya turut berdosa dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah pada Hari Kiamat kelak, karena mereka telah bertolong menolong dalam berbuat dosa. Padahal Allah SWT berfirman (artinya) : "Dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS Al-Maa`idah [5] : 2).

Adapun operasi penyempurnaan kelamin (takmil al-jins) hukumnya boleh. Hal ini berlaku bagi orang yang memiliki alat kelamin ganda, yaitu mempunyai penis dan vagina sekaligus. Operasi ini hukumnya mubah, berdasarkan keumuman dalil yang menganjurkan berobat (al-tadawiy). Nabi SAW bersabda,"Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah menurunkan pula obatnya." (HR Bukhari, no.5246). Wallahu a'lam [ ]


Muhammad Shiddiq al-Jawi

»»  read more

Rabu, 30 Desember 2009

Pernikahan Beda Agama

Hukum pernikahan beda agama sesungguhnya amat jelas. Perkara ini telah banyak dikupas dalam berbagai literatur Islam, mulai dari kitab fikih, tafsir hingga hadis. Kesimpulan para ulama juga tidak jauh berbeda. Hal itu disebabkan karena perkara tersebut didasarkan pada dalil-dalil yang qath’i, baik tsubût maupun dalâlah-nya.


Menikah dengan Kaum Musyrik

Kaum Muslim haram menikah dengan kaum musyrik. Hukum ini berlaku bagi Muslim maupun Muslimah. Laki-laki Muslim haram menikahi wanita musyrik dan wanita Muslimah haram dinikahi laki-laki musyrik. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:

وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ

Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik daripaada wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya (QS al-Baqarah [2]: 221).

Ayat ini secara tegas menunjukkan keharaman menikah dengan kaum musyrik.1 Bahkan tidak ada perbedaan di kalangan para ahli ilmu tentang keharaman menikahi wanita kafir (selain Ahlul Kitab) dan memakan sembelihannya.2

Menurut pendapat yang râjih, kata al-musyrikât tidak mencakup Ahlul Kitab. Di antara dalilnya adalah adanya beberapa ayat yang menyebut orang kafir itu terdiri dari dua golongan, yakni Ahlul Kitab dan musyrik (lihat QS al-Baqarah [2]:105; al-Maidah [5]: 82, al-Bayyinah [96]: 1 dan 6). Dalam ayat-ayat itu, al-musyrikîn di-athaf-kan kepada Ahli Kitab. Adanya athaf itu menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya. Oleh karena itu, kata al-musyrikât dalam ayat ini tidak mencakup wanita Kitabiyah. Sebagaimana dinyatakan al-Shabuni, ini merupakan pendapat jumhur ulama.3


Menikahi Ahlul Kitab

Terdapat perbedaan hukum antara pria Muslim dan wanita Muslimah dalam hal menikah dengan Ahlul Kitab. Seorang pria Muslim boleh menikahi wanita Muslimah dan Ahlul Kitab. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

Pada hari ini telah dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik. Makanan Ahlul Kitab juga halal bagi kalian dan makanan kalian halal bagi mereka. Demikian pula dengan perempuan yang menjaga kehormatannya dari orang-orang Mukmin dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari Ahlul Kitab sebelum kalian (QS al-Maidah [5]: 5).

Patut dicatat, hukum mubah itu bukan berarti harus dikerjakan. Sebab, dalam memilih istri, Rasulullah saw, telah mendorong pria Muslim untuk lebih memperhatikan aspek agamanya. Beliau bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Perempuan dinikahi karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah yang beragama niscaya kamu akan beruntung (HR al-Bukhari).

Sebaliknya, haram wanita Muslimah menikah dengan laki-laki Ahlul Kitab, baik Yahudi ataupun Nasrani. Allah SWT berfirman:

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Jika kalian mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kalian mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka (QS al-Mumtahanah [60]: 10).

Ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa orang-orang kafir tidak halal bagi perempuan Mukmin. Kata al-kuffâr adalah kata umum yang mencakup seluruh orang-orang kafir, baik Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) maupun orang musyrik.


Bantahan terhadap Klaim Kaum Liberal

Bertolak dari uraian di atas, hukum pernikahan beda agama sudah amat jelas. Namun, bukan kaum Liberal jika tidak suka menggugat hukum-hukum yang telah mapan. Dengan berbagai dalih, mereka menggulirkan ide tentang kebolehan pernikahan beda agama dalam segala bentuknya. Bahkan di antara mereka ada yang sudah melangkah jauh: memfasilitasi pernikahan beda agama. Berikut ini di antara beberapa dalih yang mereka kemukakan beserta bantahan terhadapnya.

a. Pluralisme.

Alasan pluralisme kerap dijadikan sebagai dalih kebolehan pernikahan lintas agama. Dalam pandangan ide ini, pernikahan beda agama tidak boleh dipermasalahkan karena hakikatnya semua agama adalah sama. Ulil Abshar Abdalla, misalnya, mengatakan bahwa larangan pernikahan lintas agama sudah tidak relevan lagi sebab al-Quran juga tidak pernah secara tegas melarang hal itu. Sebaliknya, al-Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan.4

Pluralisme jelas tidak boleh dijadikan penentu halal-haramnya perbuatan. Bahkan ide pluralisme sendiri adalah batil sehingga tidak boleh diyakini kebenarannya. Pandangan bahwa al-Quran memandang manusia sederajat tanpa melihat perbedaan agama juga merupakan pandangan batil. Al-Quran telah menetapkan perbedaan kemuliaan di antara manusia dan standar yang digunakan adalah aspek keimanan dan amal shaleh (QS at-Tin [95]: 4-6) dan ketakwaannya (QS al-Hujurat [49]:14). Dalam QS al-Bayyinah [98]: 6-7 juga dinyatakan bahwa kaum kafir disebut sebagai syarr al-bariyyah (seburuk-buruknya makhluk); sebaliknya, orang yang beriman dan beramal salih disebut sebagai khayr al-bariyyah (sebaik-baik makhluk). Bahkan dalam QS al-Anfal [8]: 85 kaum kafir disebut sebagai syarr al-dawâb (seburuk-buruknya binatang). Itu semua menunjukkan batilnya anggapan yang menyamakan semua manusia, apa pun agamanya.

b. Nâsikh-Mansûkh.

Tokoh liberal lainnya, Abdul Moqsith Ghazaly, mengatakan bahwa di dalam al-Quran tidak dicantumkan hukum pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Yang dicantumkan adalah sebaliknya. Ini merupakan min bab al-iktifa’. Karena itu, berlaku hukum sebaliknya (mafhûm al-mukhâlafah). Selain itu, dalam teks-teks agama tidak ditemukan dalil yang melarang pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Karena tidak ada dalil al-Quran yang melarang maka itu berarti sudah menjadi dalil kebolehannya sehingga pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim dibolehkan.5

Selain itu, menurutnya, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa ayat yang terakhir turun yakni QS al-Maidah [5]: 5 itu adalah ayat yang membolehkan nikah dengan Ahlul Kitab serta telah mengamandemen pelarangan menikah dengan orang kafir dan orang musyrik yang sebelumnya dilarang dalam QS al-Baqarah [5]: 221 dan QS al-Mumtahanah [60]: 10.6

Pandangan bahwa tidak ada dalil yang menyebutkan larangan wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim jelas dusta. Manthûq firman Allah SWT dalam QS al-Mumtahanah [60]: 10 dengan tegas menjelaskan tidak halalnya wanita Muslimah bagi orang-orang kafir. Teks dalam QS al-Baqarah juga menyatakan al-muhshanât min al-ladzîna ûtû al-kitâb adalah isim muannats yang tidak dapat mencakup laki-laki dari Ahlul Kitab sehingga mereka halal bagi perempuan Muslimah.

Pernyataan bahwa QS al-Maidah [5]: 5 merupakan ayat yang turun setelah QS al-Baqarah [2]: 221 dan QS al-Mumtahanah [60]: 10 sehingga hukum kedua ayat terakhir di-naskh dengan ayat terakhir juga tidak bisa diterima.

Metode penetapan nâsikh-mansûkh—bahwa suatu hukum yang dikandung oleh suatu dalil diganti oleh hukum yang lain harus ditetapkan secara syar’i—bukan sekadar karena adanya perbedaan pada dua dalil. Harus ada nash yang menerangkan baik secara tekstual ataupun dalâlah bahwa hukum sebelumnya telah di-naskh oleh hukum yang dikandung oleh nash berikutnya atau kedua nash tersebut tidak dapat dikompromikan satu sama lain.7

Dengan mencermati ketiga ayat di atas tampak bahwa masing-masing ayat tersebut tidak ada yang saling menegasikan sehingga salah satunya harus di-naskh sebagaimana yang dijelasakan di atas. Oleh karena itu, menggunakan konsep nâsikh-mansûkh untuk membedah ayat-ayat tersebut tidak pada tempatnya. Memang di antara ulama ada yang menganggap terdapat nâsikh-mansûkh pada kedua ayat itu. Namun, jika diteliti, kesimpulannya sama: keharaman menikah dengan kaum musyrik dan kebolehan bagi pria Muslim menikahi wanita Ahlul Kitab.

c. Perbedaan penafsiran.

Dalih lain lainnya terdapat dalam buku ‘Fiqih Lintas Agama’, bahwa ada keragaman di dalam menafsirkan teks-teks ayat-ayat yang dianggap melarang pernikahan beda agama. Menurut buku ini, dengan merujuk pendapat Rasyid Ridha dalam Al-Manâr, sebenarnya cakupan Ahlul Kitab tidak terbatas hanya Yahudi dan Nasrani. Jika seseorang sudah percaya pada salah satu nabi maka bisa dikategorikan Ahlul Kitab. Jadi pengertian dan cakupan Ahlul Kitab semakin meluas seiring dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, tidak ada larangan menikah dengan penganut agama lain seperti Hindu, Budha, dll selama mereka mempunyai kitab suci. Untuk mendukung pendapat tersebut penulis juga mencomot nama Abu Hanifah dan Abu A’la al-Maududi—tanpa menyertakan sumbernya—yang dianggap sejalan dengan pendapat tersebut.8

Argumentasi tersebut tidak dapat diterima karena istilah ahlul kitab adalah istilah syar’i yang memiliki batasan spesifik. Dengan demikian, istilah itu tidak dapat ditafsirkan semaunya tanpa ada pijakan yang kukuh. Ahlul Kitab dalam berbagai kitab-kitab tafsir yang mu’tabar hanya diartikan sebagai Yahudi dan Nasrani saja. Sejumlah nash telah menafsirkan frasa ahlul kitab sebagai Yahudi dan Nasrani di antaranya QS Ali Imran [3]:65; al-Maidah [5]:68; al-An’am [6]: 156.

Pandangan Rasyid Ridha yang dijadikan pijakan penulis juga tidak dapat diterima. Al-Baghdadi—sebagaimana yang dikutip Rasyid Ridha—memang menyatakan bahwa Majusi dan sejumlah firqah lainnya mengklaim memiliki nabi yang menerima wahyu dari Allah SWT. Namun demikian, al-Baghdadi tidak menyatakan bahwa mereka termasuk Ahlul Kitab.9

Adapun klaim bahwa Imam Ali mengganggap Majusi sebagai Ahlul Kitab maka hal tersebut telah dibantah oleh Imam as-Sarkhasi. Beliau juga menjelaskan posisi Abu Hanifah dalam masalah ini yang kontradiktif dengan apa yang diklaim oleh orang-orang Liberal.10

Bahkan dalam Marâtib al-Ijmâ’, Ibnu Hazm menyatakan bahwa umat telah bersepakat bahwa selain Yahudi dan Nasrani dari ahlu al-harb dinamakan sebagai orang-orang musyik. Mereka juga bersepakat tentang penamaan Yahudi dan Nasrani sebagai orang-orang kafir, kendati mereka berbeda pendapat dalam menamakan keduanya sebagai orang-orang musyrik.11

d. Konteks politik.

Alasan lain yang digunakan untuk membolehkan perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki kafir adalah karena larangan tersebut bersifat politis dan karenanya bersifat temporal. Suhadi dalam, Kawin Beda Agama; Perspektif Kritis Nalar Islam, menyatakan bahwa larangan perbedaan nikah beda agama adalah kembali pada asbâb an-nuzûl ayat-ayat yang melarang perempuan Muslimah menikahi laki-laki kafir. Menurutnya, hal tersebut hanya karena alasan politis karena pada awal kehidupan Muhammad di Madinah, beliau masih traumatik dengan benturan kekerasan dengan kafir Qurays Makkah.12

Pandangan bahwa setiap ayat harus dikembalikan pada asbâb an-nuzul-nya yang dianggap bersifat temporal dan parsial merupakan salah satu logika khas orang-orang Liberal. Kesimpulan ini jelas salah. Alasannya: Pertama, dari sisi redaksi, ayat-ayat yang memiliki sabab nuzûl seluruhnya berbentuk umum sehingga ia diterapkan atas keumumannya. Kedua, Rasulullah saw. dan diikuti para Sahabat ra. telah memberlakukan hukum yang umum tersebut pada seluruh perkara lain dalam kasus serupa.

Ayat tentang pencurian, misalnya, meski sabab nuzûl-nya berkaitan dengan pencurian perisai atau selendang Shafwan, oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat ia tetap diberlakukan untuk seluruh kasus pencurian. Demikian pula dengan ayat tentang li’ân yang berkenaan dengan Hilal bin Umayyah dan zhihâr yang berkenaan dengan Salamah binti Shakhr atau Khaulah binti Sa’labah. Oleh karena itulah para ulama membuat suatu kaidah: al-Ibrah bi ‘umûmi al-lafdz lâ bi khusûs al-Sabab.13 Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. [M. Ishak dan Abu Burhanuddin]

Catatan kaki:

1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/582 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1997).

2 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, XV/151.

3 Ash-Shabuni, Rawâ’i al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, 1/267 (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Pendapat ini juga dinyatakan Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir lebih tepat. Lihat: ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, IV/365: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/582.

4 Ulil Abshar Abdalla. 2002. “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.” Kompas. Senin, 18 November.

5 http://islamlib.com/id/artikel/fatwa-nu-tentang-sesatnya-islam-liberal

6 Ibid.

7 Taqiyuddin an-Nabhani. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Beirut: Dar al-Ummah, 2005) III/284.

8 Lihat: Nurcholis Madjid, at.al., Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina, 2004), hlm. 42-54 dan 153-165.

9 Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu bayna al-Firâq, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, tt.), hlm. 223.

10 Lebih lanjut lihat: Syamsuddin As-Sarkhasi, Al-Mabsûth, al-Maktabah asy-Syamilah. IV/385; al-Kâsani, Badâi’u ash-Shanâi’, II/271, al-Maktabah asy-Syamilah.

11 Ibnu Hazm al-Andalusi, Marâtib al-Ijmâ’. Al-Maktabah asy-Syamilah.

12 Suhadi, Kawin Lintas Agama; Pespektif Kritis Nalar Islam (Yogyakarta: LKis, 2006) hlm. 112

13 Atha Ibnu Khalil, Taysîr al-Wushûl fi ‘Ilmi al-Ushûl (Beirut: Dar al-Ummah, 2000) hlm. 223.

»»  read more

Hukum Kartu Kredit dan Kartu Debet

Berdasarkan bentuk dan karakteristiknya, bank lazimnya mengeluarkan kartu plastik yang bisa digunakan sebagai alat transaksi. Kartu tersebut bisa dibagi menjadi dua: kartu kredit dan kartu debit. Kartu kredit adalah suatu jenis penyelesaian transaksi ritel (retail) dan sistem kredit, yang namanya berasal dari kartu plastik yang diterbitkan untuk pengguna sistem tersebut. Kartu kredit berbeda dengan kartu debit. Bedanya, penerbit kartu kredit meminjami konsumen uang dan bukan mengambil uang dari rekening. Kebanyakan kartu kredit memiliki bentuk dan ukuran yang sama, seperti yang dispesifikasikan oleh standar ISO 7810. Lazimnya pinjaman, pengguna kartu tersebut wajib mengembalikan pinjamannya pada tenggat waktu yang telah ditetapkan. Jika tidak bisa, selain terkena beban bunga, juga denda atau pinalti. Contoh kartu kredit: Mastercard, VISA, American Express, Diners Club, JCB dan lain-lain.

Adapun kartu debit adalah sebuah kartu pembayaran secara elektronik yang diterbitkan oleh sebuah bank. Kartu ini mengacu pada saldo tabungan bank Anda di bank penerbit kartu tersebut. Apabila tabungan Anda Rp 1 juta, misalnya, Anda tidak bisa melakukan transaksi di atas nilai tersebut. Dengan kata lain, nilai transaksi dibatasi oleh nilai tabungan Anda. Setiap pembayaran dengan kartu debit akan mengurangi saldo tabungan Anda secara langsung (realtime) seperti halnya Anda menarik tabungan di ATM. Fungsi dari kartu debit adalah untuk memudahkan pembayaran ketika berbelanja tanpa harus membawa uang tunai. Kartu tersebut akan digesekkan pada sebuah alat pembaca kartu (magstripe reader) di merchand tempat Anda belanja dan Anda akan diminta untuk memasukkan nomor PIN sebagai bukti Anda mengakui pembelanjaan tersebut. Info dari hasil pembacaan beserta informasi total belanja akan di teruskan ke bank penerbit untuk dilakukan verifikasi keabsahan dari kartu tersebut. Sesudah verifikasi berhasil, saldo tabungan Anda langsung didebit (dikurangi). Contoh kartu debit ini seperti Kartu Debit BCA, Mandiri, BNI, BRI dan sebagainya.

Berdasarkan kedua fakta di atas, hukum kartu kredit berbeda dengan hukum kartu debit. Kartu kredit jelas-jelas haram. Dalil keharamannya dikembalikan pada dalil tentang keharaman riba. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang Mukmin (QS al-Baqarah [2]: 278).

Ini karena transaksi dengan menggunakan kartu kredit merupakan bentuk qardh (hutang) dari pengguna kartu kepada pihak bank, disertai dengan bunga dan denda. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana kalau dalam pengemba-liannya bisa menghindari bunga, misalnya dibayar tepat waktu, sehingga bisa terhindar dari bunga. Yang pasti, bunga tidak bisa dihindari oleh pemegang kartu, karena memang sudah ditetapkan oleh pihak bank. Adapun yang bisa dihindari, sebenarnya bukanlah bunga, melainkan denda atau pinaltinya. Dengan demikian, jelas bahwa kartu kredit tersebut nyata-nyata transaksi riba, yang status akadnya batil dan diharamkan di dalam Islam.

Berbeda dengan kartu debit. Penggunaan kartu debit statusnya bukanlah dayn dari pemegang kartu kepada pihak bank, melainkan pemindahan hak yang dimiliki oleh pengguna kartu kepada pihak lain, yang dilakukan oleh bank atas perintah pengguna kartu tersebut. Dalam kasus ini, status penggunaan kartu debit tersebut sama dengan hawalah. Hawalah itu sendiri hukumnya mubah. Rasulullah saw. bersabda:

مَطَلُ الْغَنِيُّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُحِيْلَ أَحَدُكُمْ عَلَى غَنِيٍّ فَلْيَسْتَحِلْ

Orang kaya yang menangguh-nangguhkan (pembayaran hutang) adalah zalim. Jika salah seorang di antara kalian memindahkan (hutang) kepada orang kaya maka hendaknya dia memindahkan (hutangnya) (Dikeluarkan oleh Ibn Rusyd dalam Al-Bidâyah).

Menurut Ibn Rusyd, hawalah ini merupakan bentuk transaksi yang sah, dan dikecualikan dari praktik pembayaran hutang dengan hutang.1 Dalam praktik hawalah, biasanya ada empat hal: muhil (orang yang memindahkan hak), muhtal (orang yang diminta memindahkan hak), muhal ‘alayhi (orang yang menerima hak), muhal bihi (hak/tanggungan yang dipindahkan). Dengan logika hawalah ini bisa dipetakan, bahwa pemegang kartu debit tadi bertindak sebagai muhil, pihak bank adalah muhtal, pihak ketiga yang mendapatkan haknya disebut muhal ‘alaihi, dan hak (uang) yang diberikan kepadanya disebut muhal bihi.

Hukum hawalah pada dasarnya mubah. Hawalah tidak akan terjadi manakala muhil tidak memiliki hak yang ada pada muhtal, yang bisa dipindahkan kepada pihak ketiga (muhal ‘alayhi). Karena itu, Ibn Qudamah menyebut hawalah ini sama dengan taslîm (penyerahan hak/tanggungan).2Dalam praktiknya, hawalah tidak hanya berupa debit dari dana pengguna kartu bank tertentu, tetapi juga bisa berupa transfer dan pengiriman uang. Ini juga sama-sama bisa dikategorikan sebagai praktik hawalah. Praktik hawalah yang terakhir ini juga tidak hanya dilakukan oleh bank, tetapi juga dilakukan oleh jasa pengiriman uang, seperti Western Union, Kantor Pos dan lain-lain.

Hawalah juga bisa dilakukan dengan menggunakan kertas berharga yang mempunyai nilai nominal tertentu, seperti cek. Ini biasanya disebut Hawalah al-’Ayn. Ada juga yang berbentuk bill of exchange, yang biasanya disebut Hawalah ad-Dayn. Harus dicatat, meski di dalam praktiknya hawalah tersebut melibatkan empat hal: muhil, muhtal, muhal ‘alaihi dan muhal bihi; hawalah ini bukanlah akad sehingga harus memenuhi unsur ijab dan qabul, dan suka sama suka. Hawalah adalah tindakan pribadi, yang bisa dilakukan tanpa harus menunggu persetujuan pihak lain, baik pihak kedua maupun pihak ketiga.3

Ini berbeda dengan pinjaman, tepatnya qardh. Qardh adalah akad. Dalam kasus kartu kredit, pihak bank bertindak sebagai muqridh (pemberi pinjaman), sedangkan pihak pengguna kartu kredit disebut muqtaridh (penerima pinjaman). Antara muqridh dan muqtaridh terjadi akad peminjaman (qardh), dengan disertai bunga yang diberikan kepada muqridh. Sebagai akad, qardh seharusnya merupakan bentuk pinjaman dengan pengembalian yang fixed dan sama, baik dari segi jenis maupun nominalnya.4 Karena itu, seharusnya pengguna kartu kredit, yang bertindak sebagai muqtaridh tersebut, tidak boleh mengembalikan, kecuali dengan jumlah yang sama. Tanpa bunga dan denda. Ditetapkannya bunga dan denda dalam syarat qardh, dalam kasus kartu kredit tersebut, menurut Mazhab Syafii, bukan saja fasad di dalam syaratnya, tetapi juga merusak akadnya. Dengan kata lain, akadnya tidak sah.5

Mungkin ada yang bertanya, bukankah kartu kredit dan kartu debit, di dalamnya sama-sama mempraktikkan hutang? Mengapa yang satu diharamkan, yang satu tidak? Jawabannya, hutang (qardh) di dalam kartu kredit merupakan transaksi dasar, sedangkan hutang (dayn) atau tepatnya tanggungan (dzimmah) dalam kartu debit merupakan konsekuensi dari hawalah. Sebagai perbandingan, seorang suami yang menanggung nafkah istri dan keluarganya bisa disebut berhutang atau mempunyai dayn; begitu juga seorang wanita yang mengajukan khulû’ juga mempunyai dayn, karena harus membayar sejumlah uang. Namun, dayn di sini merupakan konsekuensi dari kewajiban membayar nafkah dan khulû’, sebagaimana dalam kasus hawalah di atas. Karena itu, status qardh dalam kartu kredit dengan dayn dalam kartu debit jelas berbeda. Selain itu, praktik qardh dalam kasus kartu kredit tersebut merupakan bentuk akad, sementara dayn dalam kasus kartu debit tersebut tidak bisa disebut akad, tetapi tindakan derivatif dari hawalah, yang bisa berlangsung tanpa harus menunggu suka sama suka ataupun ijab dan qabul.

Lalu ada satu lagi pertanyaan, bagaimana dengan syarat bunga yang diberikan oleh bank selaku peminjam kepada pengguna kartu debit selaku pemberi pinjaman? Menurut mazhab Syafii, syarat seperti ini memang fasad, tetapi tidak merusak akad.6 Dengan kata lain, akadnya tetap sah, selama syarat tersebut diabaikan. Wallâhu a’lam. []

Catatan kaki:

1 Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, II/383.

2 Ibn Qudamah, Al-Mughni, Dar al-Afkar ad-Duwaliyyah, Yordania, 2006, I/1048.

3 Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz II, Dar al-Ummah, Beirut, Edisi Muktamadah, 2003, hlm. 350.

4 Ini berbeda dengan hutang (dayn), yang boleh saja dikembalikan dalam bentuk nilai yang sama, jika hutangnya harus dibayar berdasarkan nilainya. Lihat: Samih ‘Athif az-Zain, Mawsû’uah al-Ahkam as-Syar’iyyah al-Muyassarah fi al-Kitab wa as-Sunnah: al-Mu’âmalât, wa al-Bayyinât, wa al-’Uqûbât, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, cet. I, 1995, hlm. 285.

5 Lihat, Ibid, hlm. 308.

6 Lihat, Ibid.

Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id
»»  read more

Selasa, 15 September 2009

Soal Jawab : Hisab Astronomis dalam Masalah Puasa

Pertanyaan:

Bolehkah berargumentasi menggunakan hisab astronomis terhadap waktu-waktu puasa dan berbuka sebagaimana berargumentasi menggunakan hisab astronomis terhadap masalah waktu-waktu shalat?

Jawab:

Allah SWT menuntut kita untuk beribadah menyembah-Nya sebagaimana yang diminta oleh-Nya. Jika kita beribadah dengan selain yang diminta maka kita telah berbuat buruk meskipun kita beranggapan kita sedang berbuat baik.

Allah SWT meminta kita untuk berpuasa dan berbuka karena rukyat hilal. Allah SWT menjadikan rukyat sebagai sebab puasa dan berbuka

«صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ»

Berpuasalah kamu karena melihat hilal (ru’yat al-hilal) dan berbukalah kamu karena melihatnya

Jika kita melihat hilal Ramadhan maka kita berpuasa dan jika kita melihat hilal Syabab kita pun berbuka.

Jika kita tidak melihat hilal syawal karena misalnya tertutup mendung, maka kita genapkan puasa hingga meskipun hilal itu secara riil sudah ada; akan tetapi kita tidak melihatnya dikarenakan adanya sesuatu yang menghalangi rukyat itu. Artinya kita tidak berpuasa dan berbuka karena datangnya awal bulan secara hakiki. Hadis yang ada secara jelas menyatakan hal itu:

«فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ»

Jika kalian terhalang mendung (untuk melihat hilal) maka genapkanlah hitungan Sya’ban

Allah SWT tidak membebani kita untuk beribadah menyembahnya dengan selain yang diminta. Misalnya, seandainya hisab mengatakan secara pasti bahwa besok Ramadhan –dan sekarang hisab astronomis bisa menetapkan posisi-posisi bulan sejak kelahiran bulan sampai menjadi bulan purnama kemudian mengecil kembali dengan hitungan dalam detik- tetapi kita tidak melihat hilal karena misalnya tertutup mendung, maka orang yang berpuasa berdosa, perlu diketahui bahwa Ramadhan secara hakiki telah mulai. Dia berdosa karena hilal tidak terlihat (tetapi ia berpuasa). Yang wajib dalam kondisi tersebut adalah menggenapkan Sya’ban 30 hari kemudian esoknya baru berpuasa. Maka orang yang berpuasa berdasarkan hakikat Ramadhan dalam kondisi ini dia berdosa karena dia menyalahi yang diminta. Dan sebaliknya orang yang menggenapkan hitungan Sya’ban sehingga ia tidak berpuasa meski hilal secara riil sudah ada akan tetapi tertutup mendung sehingga tidak terlihat, maka ia mendapatkan pahala karena mengikuti hadits.

Dari sini jelaslah bahwa kita tidak boleh berpuasa dan berbuka karena hakikat bulan, tetapi karena melihat hilal (ru’yat hilal). Maka jika kita melihat hilal kita berpuasa dan jika kita tidak melihatnya maka kita tidak berpuasa hingga meskipun bulan secara riil menurut hisab telah mulai.

Jika datang beberapa orang saksi yang menyampaikan kesaksian mereka melihat (ru’yat) maka perlakuan terhadap mereka itu seperti perlakuan terhadap suatu kesaksian. Jika orang yang bersaksi itu seorang muslim dan bukan orang fasik maka kesaksiannya diterima. Jika tampak bahwa orang yang memberikan kesaksian itu non muslim dan tidak adil yaitu dia seorang yang fasik maka kesaksiannya tidak diterima.

Penetapan kefasikan seorang saksi dilakukan dengan bukti-bukti syar’iy, bukan dengan hisab astronomis. Yaitu hisab astronomis tidak bisa dijadikan hujah atasnya. Jadi tidak bisa Anda katakan bahwa kelahiran bulan baru beberapa saat yang lalu sehingga tidak (mungkin) terlihat …– Sudah diketahui bersama bahwa ada perbedaan diantara ahli astronomis tentang berapa jam setelah kelahiran bulan hilal mungkin dilihat–. Jadi argumentasi hisab astronomis tidak bisa digunakan terhadap orang yang memberikan kesaksian itu. Akan tetapi orang tersebut bisa diajak diskusi dan ditegaskan penglihatannya dan dia ditanya dimana hilal itu, adakah orang lain yang juga melihat, begitulah. Kemudian kesaksiannya diterima atau ditolak berdasarkan asas seperti itu.

Siapa yang mendalami nas-nas yang dinyatakan dalam masalah puasa, ia akan mendapati bahwa nas-nas itu berbeda dengan nas-nas yang dinyatakan dalam masalah shalat. Puasa dan berbuka telah dikaitkan dengan rukyat (melihat hilal).

« صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ »

Berpuasalah kami karena melihat hilal (ru’yat al-hilal) dan berbukalah kamu karena melihatnya

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS al-Baqarah [2]:185)

Jadi rukyat adalah hukum.

Sedangkan dalam masalah shalat, nas-nas syara’ telah mengaitkan shalat dengan waktu.

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ …

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir … (QS al-Isra’ [17]: 78)

« إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ فَصَلُّوْا»

Jika matahari telah tergelincir maka shalatlah kalian

Jadi shalat disandarkan pada waktu. Maka dengan wasilah apapun Anda bisa menetakan waktu itu, Anda boleh menunaikan shalat. Jika Anda melihat matahari untuk mengetahui waktu tergelincirnya atau Anda melihat bayangan untuk mengetahui bayangan sesuatu itu sama atau lebih panjang sebagaimana yang dinyatakan didalam hadis-hadis tentang waktu-waktu shalat. Jika Anda melakukan itu dan Anda bisa menetapkan waktu shalat, maka shalat Anda sah. Jika Anda tidak melakukannya tetapi Anda menggunakan hisab astronomis sehingga Anda mengetahui waktu tergelincir matahari adalah jam sekian lalu Anda melihat arloji Anda tanpa keluar melihat matahari atau bayangan benda, maka shalat Anda juga sah. Artinya, waktu itu bisa dicapai (ditetapkan) menggunakan wasilah apapun. Kenapa? Karena Allah SWT menuntut Anda agar menunaikan shalat karena masuknya waktu dan menyerahkan kepada Anda untuk menetapkan masuknya waktu itu tanpa ditentukan tatacara penetapannya. Sedangkan puasa, Anda dituntut untuk berpuasa dengan rukyat dan untuk Anda telah ditentukan sebab, bahkan lebih dari itu nas berkata kepada Anda “Jika rukyat tertutup mendung sehingga Anda tidak bisa melihat hilal, maka jangan berpuasa hingga meskipun Hilal itu ada di balik mendung dan Anda merasa yakin eksistensi hilal itu menggunakan hisab astronomis.”

Sesungguhnya Allah SWT adalah pencipta alam semesta ini. Dia lah yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui manusia. Pengetahuan tentang pergerakan benda-benda langit dan detil-detilnya adalah karunia Allah SWT kepada manusia. Akan tetapi Allah SWT tidak menuntut kita agar bersandar kepada hisab astronomis untuk berpuasa, akan tetapi justru menuntut agar kita bersandar kepada rukyat. Maka kita beribadah menyembah Allah SWT sebagaimana yang dituntut dan kita tidak menyembah Allah SWT dengan apapun yang tidak dituntut dari kita.

Demikianlah, hanya rukyat sajalah hukum dalam masalah puasa dan berbuka, bukan hisab astronomis. Berdasarkan hal itu, kami katakan ketidakbolehan hisab astronomis dijadikan sandaran dalam masalah puasa dan berbuka. Akan tetapi masalah puasa dan berbuka itu hanya berdasarkan rukyat saja karena rukyat itulah yang dinyatakan di dalam nas-nas yang ada dalam masalah tersebut.

2 Syawal 1424 H

25 November 2003 M

(sumber : al maktab al I’lami li Hizb at Tahrir)

»»  read more

Sabtu, 29 Agustus 2009

Hukum Operasi Plastik untuk Mempercantik Diri

Operasi plastik (plastic surgery) atau dalam bahasa Arab disebut jirahah at-tajmil adalah operasi bedah untuk memperbaiki penampilan satu anggota tubuh yang tampak, atau untuk memperbaiki fungsinya, ketika anggota tubuh itu berkurang, hilang, atau rusak. (Al-Mausu'ah at-Thibbiyah al-Haditsah, 3/454).

Hukum operasi plastik ada yang mubah dan ada yang haram. Operasi plastik yang mubah adalah yang bertujuan untuk memperbaiki cacat sejak lahir (al-'uyub al-khalqiyyah) seperti bibir sumbing, atau cacat yang datang kemudian (al-'uyub al-thari`ah) akibat kecelakaan, kebakaran, atau semisalnya, seperti wajah yang rusak akibat kebakaran/kecelakaan. (M. Al-Mukhtar asy-Syinqithi, Ahkam Jirahah Al-Thibbiyyah, hal. 183; Fahad bin Abdullah Al-Hazmi, Al-Wajiz fi Ahkam Jirahah Al-Thibbiyyah, hal. 12; Hani` al-Jubair, Al-Dhawabith al-Syar'iyyah li al-'Amaliyyat al-Tajmiliiyah, hal. 11; Walid bin Rasyid as-Sa'idan, Al-Qawa'id al-Syar'iyah fi al-Masa`il Al-Thibbiyyah, hal. 59).

Operasi plastik untuk memperbaiki cacat yang demikian ini hukumnya adalah mubah, berdasarkan keumuman dalil yang menganjurkan untuk berobat (al-tadawiy). Nabi SAW bersabda, "Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah menurunkan pula obatnya." (HR Bukhari, no.5246). Nabi SAW bersabda pula, "Wahai hamba-hamba Allah berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan satu penyakit, kecuali menurunkan pula obatnya." (HR Tirmidzi, no.1961).

Adapun operasi plastik yang diharamkan adalah yang bertujuan semata untuk mempercantik atau memperindah wajah atau tubuh, tanpa ada hajat untuk pengobatan atau memperbaiki suatu cacat. Contohnya, operasi untuk memperindah bentuk hidung, dagu, buah dada, atau untuk operasi untuk menghilangkan kerutan-kerutan tanda tua di wajah, dan sebagainya.

Dalil keharamannya firman Allah SWT (artinya) : "dan akan aku (syaithan) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya". (QS An-Nisaa` : 119). Ayat ini datang sebagai kecaman (dzamm) atas perbuatan syaitan yang selalu mengajak manusia untuk melakukan berbagai perbuatan maksiat, di antaranya adalah mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah). Operasi plastik untuk mempercantik diri termasuk dalam pengertian mengubah ciptaan Allah, maka hukumnya haram. (M. Al-Mukhtar asy-Syinqithi, Ahkam Jirahah Al-Thibbiyyah, hal. 194).

Selain itu, terdapat hadits Nabi SAW yang melaknat perempuan yang merenggangkan gigi untuk kecantikan (al-mutafallijat lil husni). (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadits ini terdapat illat keharamannya, yaitu karena untuk mempercantik diri (lil husni). (M. Utsman Syabir, Ahkam Jirahah At-Tajmil fi Al-Fiqh Al-Islami, hal. 37). Imam Nawawi berkata, "Dalam hadits ini ada isyarat bahwa yang haram adalah yang dilakukan untuk mencari kecantikan. Adapun kalau itu diperlukan untuk pengobatan atau karena cacat pada gigi, maka tidak apa-apa." (Imam Nawawi, Syarah Muslim, 7/241). Maka dari itu, operasi plastik untuk mempercantik diri hukumnya adalah haram. Wallahu a'lam.[]
»»  read more

Selasa, 25 Agustus 2009

Hukum-Hukum Seputar Puasa (III)

Niat Puasa

Niat dalam melaksanakan puasa merupakan rukun yang harus dipenuhi. Rasulullah saw bersabda:

إنّمَا الأَعْمَالُ بالنِّيّاتِ

“Sesungguhnya amal itu ditentukan oleh niatnya.” (HR.Bukhari)

Namun demikian para ulama berbeda pendapat tentang pelaksanaan niat dalam ibadah puasa. Abdullah bin Umar, Jabin bin Zaid dari kalangan sahabat, Malik, al-Laits dan Ibnu Abi Zi’bin berpendapat bahwa niat puasa baik yang wajib dan sunnah adalah di malam hari mulai dari pasca terbenamnya matahari hingga sebelum terbitnya fajar. Abu Hanifah. Syafi’I, Ahmad berpendapat bahwa wajib berniat di malam hari untuk puasa wajib (puasa Ramadlan, nadzar dan kaffarat) sementara puasa sunnah tidak wajib di malam hari dan boleh di siang hari. Pendapat ini adalah yang rajih dengan dalil:

عَنْ حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ.

Dari Hafsah istri Rasulullah saw dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar maka tidak ada puasa atasnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan ia menshahihkannya demikian pula dengan al-A’dzamy)

Hadits ini berlaku umum baik puasa wajib ataupan sunnah. Namun terdapat riwayat lain yang menjelaskan bahwa Rasulullah berniat puasa setelah terbit fajar.

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ فَقُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا فَأَكَل

Dari Aisyah Ummul Mu’minin ia berkata: pada suatu hari Nabi saw masuk menemui saya dan berkata: “Apakah engkau memiliki sesuatu?” Kami berkata: “Tidak ada.” Beliau lalu bersabda: “(kalau begitu) saya berpuasa.” Kemudian di hari lain beliau mendatangi kami dan kami berkata: “Ya Rasulullah saw kami diberi hadiah hais.” Ia lalu bersabda: “Perlihatkan kepadaku meski sejak pagi saya berpuasa.” Lalu beliau memakannya. (HR. Muslim). Hais adalah makanan yang terbuat dari minyak samin dan keju yang kadang diganti dengan tepung.

Konteks hadits di atas adalah puasa sunnah. Hal ini karena tidak mungkin bagi Rasulullah mencari makanan jika ia wajib berpuasa pada hari itu. Dengan demikian maka hadits sebelumnya telah ditakhsis oleh riwayat diatas sehingga puasa yang harus diniatkan sebelum fajar adalah puasa wajib sementara puasa sunnah dapat dilakukan setelah terbit fajar dengan catatan sebelumnya ia melakukan hal-hal yang membatalkan puasa yaitu makan, minum dan melakukan hubungan seksual.

Hal tersebut senada juga sejalan dengan sikap Ibnu Abbas

عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ يُصْبِحُ حَتَّى يُظْهِرَ ، ثُمَّ يَقُوْلُ : وَاللهِ لَقَدْ أَصْبَحْتُ وَمَا أُرِيْدُ الصَّوْمَ ، وَمَا أَكَلْتُ مِنْ طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ مُنْذُ الْيَوْمِ وَلَأَصُوْمَنَّ يَوْمِي هَذَا

Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a. bahwa beliau dari pagi sampai dzhur kemudian berkata: demi Allah saya tidak menginginkan puasa namun pada hari ini saya belum makan dan minum. Maka saya akan puasa pada hari ini. (HR. at-Thahawy dalam kitab Syarh Ma’ani al-Atsar)

Meski hadits di atas merupakan atsar sahabat sehingga tidak dapat dijadikan dalil namun ia adalah hukum syara’ yang boleh diadopsi apalagi tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut telah ditentang oleh sahabat yang lain. Riwayat tersebut juga menyatakan bahwa niat puasa dapat dilakukan meski telah masuk waktu dhuhur selama sebelumnya belum makan dan minum.

Niat dalam puasa Ramadhan wajib ditunaikan setiap hari karena ibadah tersebut adalah berdiri sendiri yang waktunya mulai dari terbit fajar dan berakhir ketika matahari terbenam. Puasa hari ini tidak rusak karena rusaknya puasa sebelum dan setelahnya. Dengan demikian niat tidak cukup hanya dengan niat berpuasa sebulan penuh namun harus ditunaikan setiap malam.

Menahan diri dari yang membatalkan puasa

Orang yang berpuasa wajib menahan diri dari makan dan minum serta memasukkan sesuatu ke dalam rongga otaknya (dimagh) seperti memasukkan air lewat hidung dan telinga. Allah swt berfirman:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian antara benang putih dan benang hitam dari fajar dan sempurnakanlah puasa kalian hingga malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Rasulullah saw bersabda:

عَنْ عَاصِمِ بْنِ لَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ لَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِى عَنِ الْوُضُوءِ. قَالَ « أَسْبِغِ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

Dari Ashi bin Laqith bin Shabrah dari Bapaknya ia berkata: Ya Rasulullah terangkanlah kepadaku tentang wudlu. Beliau bersabda: sempurnakanlah wudlu, silanglah bagian jari-jemari dan hiruplah air kuat-kuat kehidung kecuali engkau dalam keadaan puasa.” (HR. Abu Daud. Al-Albany menshahihkan hads ini)

Ini merupakan mafhum mubalaghah agar orang yang berpuasa tidak menghisap air ke hidung dengan kuat sehingga air masuk ke rongga otak. Ini berarti memasukkan sesuatu ke rongga otak dalam keadaan berpuasa mengakibatkan batalnya puasa. Oleh karena itu makan, minum, menghirup sesuatu lewat hidung, meneteskan sesuatu ke telinga baik yang dimakan, diminum, seperti nasi, air, tembakau, atau yang biasa diteteskan ke hidung dan telinga membatalkan puasa.

Orang yang berpuasa juga dilarang untuk melakukan hubungan seks baik mengeluarkan sperma atau tidak. Firman Allah swt:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Maka sekarang gaulilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah atas kalian dan makan dan minumlah hingga jelas benang putih atas benang hitam dari fajar.” (QS. Al- Baqarah [2] : 187)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa dimalam hari diperbolehkan untuk menjima’ istri hingga terbit fajar. Mafhum mukhalafah ayat ini (mafhum al-ghayah) adalah setelah fajar maka kalian tidak boleh menjima’ mereka.

Demikian pula bersenang-senang dengan istri tanpa jima’ pada saat berpuasa maka puasanya tetap sah. Hal ini didasarkan pada hadits riwayat :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ هَشِشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ. قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنَ الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ

Dari Jabir bin Abdullah berkata: Umar bin Khattab berkata: saya merasa …..maka saya mencium istri saya maka saya berkata: Ya Rasulullah hari saya membuat sesuatu yang besar sementara saya berpuasa. Beliau bersabda: bagaimana jika kamu berkumur dari air sementara kamu berpuasa?” (HR. Abu Daud. Al-Albany menshahihkan hadits ini)

Berkumur dalam keadaan berpuasa jelas tidak batal. Namun jika sampai menelannya maka puasanya batal. Demikian pula dengan mencium istri dan aktivitas selain jima’, tidak membatalkan puasa. Sebagian ulama mengatakan bahwa mencium wanita sampai mengeluarkan air mani maka puasanya batal berdasarkan hadits di atas. Alasannya berkumur-kumur dapat menyebabkan air masuk ke tenggorokan demikian pula dengan mencium dapat menggerakkan syahwat. Namun pendapat tersebut ditolak oleh Uwaidhah karena takwilnya dianggap lemah. Dengan demikian bersenang-senang dengan istri tanpa jima’ menurut beliau tidak membatalkan puasa.[i]

Orang yang sengaja muntah ketika berpuasa juga membatalkan puasa.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَنْ اسْتَقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ القَضَاءَ وَمَنْ ذَرَعَهُ القَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka hendaknya ia mengqadha puasanya dan barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak ada qadla atasnya.” (HR. Ad- Daruqthny. Seluruh perawinya tsiqah)

Orang yang berpuasa kemudian melakukan hal-hal yang membatalkan puasa dalam keadaan lupa maka ia tidak wajib mengqadla puasanya.

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَ لَا كَفَّارَةَ

Dari Ummu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadlan dalam keadaan lupa maka tidak ada qadha dan kaffarat. (HR. Ibnu Hibban. Menurut al-Arnauth sanad hadits ini hasan)

Orang-orang yang tidak wajib berpuasa

a. Musafir

Orang yang sedang melakukan perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa.

عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها أَنَّهَا قَالَتْ سَأَلَ حَمْزَةُ بْنُ عَمْرٍو الأَسْلَمِىُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصِّيَامِ فِى السَّفَرِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ

Dari Aisyah r.a. ia berkata: Hamzah bin ‘Amr al-Aslamy bertanya kepada Rasulullah tentang puasa dalam perjalanan maka belia bersabda: Jika engkau mau berpuasalah dan jika engkau mau berbukalah.” (HR. Muslim)

Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama apakah berpuasa atau berbuka di dalam perjalanan. Namun menurut Ali Raghib jika ia tidak merasa berat berpuasa dalam perjalanan maka lebih utama baginya untuk berpuasa. Allah swt berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka barangsiapa diantara kalian yang sakit atau dalam perjalanan maka hendaklah ia menggantinya di hari lain dan orang-orang yang merasa berat maka hendaklah mereka membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin dan barangsiapa yang melebihkan kebaikan maka itu adalah kebaikana baginya dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 184)

Namun jika dengan berpuasa membuat dirinya kesulitan maka lebih utama baginya berbuka.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نَاسًا مُجْتَمِعِينَ عَلَى رَجُلٍ فَسَأَلَ فَقَالُوا رَجُلٌ أَجْهَدَهُ الصَّوْمُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ

Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah saw melihat orang-orang berkumpul pada seseorang. Beliau lalu bertanya, maka orang-orang menjawab bahwa orang tersebut merasa berat dengan puasanya maka Rasulullah saw bersabda: bukanlah bagian dari kebaikan berpuasa dalam perjalanan.” (HR. an-Nasai dan al-Albany mensahihkannya)

b. Orang Sakit

Bagi orang yang sakit yang masih diharapkan untuk sembuh maka ia diperkenankan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain. Adapun jika sakitnya diperkirakan sulit untuk sembuh maka ia diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan fidyah. Allah swt berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan Allah tidak menjadikan bagi kalian kesulitan dalam agama ini.” (QS. Al-Haj: 78)

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan orang-orang yang tidak mampu melakukannya maka mereka harus mengeluarkan fidyah dengan memberi makan orang-orang miskin.”

c. Orang Tua

Orang yang lanjut usia yang merasa berat untuk berpuasa juga diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar fidyah. Dalilnya firman Allah swt:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan orang-orang yang tidak mampu melakukannya maka mereka harus mengeluarkan fidyah dengan memberi makan orang-orang miskin.” (al-Baqarah: 184).

Ibnu Abbas berkata tentang ayat (وَعَلَى الذين يُطِيقُونَهُ) “yakni fidyah dimana mereka yang tidak mampu berpuasa yakni orang tua dan orang yang lemah yang tua dan tidak mampu berpuasa maka atas mereka membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin …”[ii]

d. Orang hamil dan menyusui

Bagi wanita hamil dan menyusui maka mereka mendapatkan rukhsah untuk tidak berpuasa sebagaimana halnya seorang musafir namun mereka wajib mengqadla puasa yang mereka tinggalkan di hari lain.

عن أنس بن مالك- رجل من بني عبد الله بن كعب إخوة بني قُشَيْرٍ - قال:أغارت علينا خَيْل لرسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فانتهيت- أو فانطلقت- إلى رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهو يأكل، فقال:” اجلس فأصب من طعامنا هذا “. فقلت: إني صائم!. قال: ” اجلس أُحَدثكَ عن الصلاة وعن الصيام: إن الله تعالى وضع شَطْرَ الصلاةِ- أو نصفَ الصلاة- والصومَ عن المسافر وعن المرضع والحُبْلَى “؛ والله! لقد قالهما جميعاً أو أحدهما. قال: فتَلَهفَتْ نَفْسِي أن لا أكونَ أكلتُ من طعام رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Dari Anas bin Malik bahwa seseorang dari Abdullah bin Ka’ab saudara Bani Qusyair berkata: kami mencari kuda Rasulullah saw lalu saya pergi menemui Rasulullah saw sementara beliau sedang makan. Beliau bersabda kepadaku: duduklah dan makan makanan kami. Saya berkata: saya sedang berpuasa. Duduklah saya akan memberitahukan engkau tentang shalat dan puasa. Sesungguhnya Allah telah meletakkan separuh shalat dan puasa orang yang dalam perjalanan, orang menyusui dan orang hamil. Demi Allah Ia telah mengatakan semuanya atau salah satunya. Ia berkata: maka saya menyesal tidak memakan makanan Rasulullah saw. (HR. Tirmidzy dan menurutnya hadits ini hasan, sementara Ibnu Khuzaimah menshahihkannya)

Dari hadits tersebut Rasulullah saw menjelasakan bahwa musafir, orang hamil dan orang yang menyusui dapat meninggalkan puasa. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa rukhsah bagi orang yang hamil dan menyusui hanya berlaku jika dikhawatirkan membahayakan ibu dan atau anaknya mendasarkan pendapat mereka pada hadits:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْحُبْلَى الَّتِي تَخَافُ عَلَى نَفْسِهَا أَنْ تُفْطِرَ وَلِلْمُرْضِعِ الَّتِي تَخَافُ عَلَى وَلَدِهَا

Namun demikian hadits ini menurut al-Albany dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh Rabi’ bin Badar yang didhaifkan oleh Ibnu Hibban. Dengan demikian hadits ini tidak dapat digunakan untuk mentakhsis keumuman hadits pertama. Oleh karena itu wanita hamil dan menyusui baik ia khawatir atas diri dan anaknya, atau anaknya saja atau tidak khawatir maka ia boleh tidak berpuasa secara mutlak. Adapun kewajiban untuk mengganti puasa dihari lain maka dalilnya adalah karena puasa merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Namun karena mereka diperbolehkan berbuka karena ada udzur maka menjadi utang yang harus ditunaikan dihari lain. Sabda Rasulullah saw:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا قَالَ: أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ أَكَانَ يُؤَدِّى ذَلِكِ عَنْهَا. قَالَتْ نَعَمْ. قَالَ: فَصُومِى عَنْ أُمِّكِ

Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: seorang wanita datang kepada Rasulullah saw dan berkata: Wahai Rasulullah ibu saya telah meninggal sementara dia memiliki kewajiban untuk berpuasa nadzar, maka apakah saya harus berpuasa untuknya. Rasul bertanya: apakah jika ibumu memiliki utang lalu engkau membayarnya apakah itu dapat menebusnya? Wanita itu menjawab: iya. Lalu Rasul bersabda: maka berpuasalah untuk ibumu. (HR. Bukhari Muslim)

Orang yang hamil dan menyusui juga tidak diwajibkan membayar fidyah karena tidak ada dalil yang memerintahkan keduanya untuk melakukan hal tersebut.[iii]

e. Haid dan Nifas

Keluarnya haid dan nifas merupakan salah satu yang membatalkan puasa. Oleh karena itu wanita yang mengalami haid dan nifas tidak diwajibkan untuk berpuasa di bulan Ramadlan namun wajib mengganti di hari lain ketika ia telah suci. Berbeda halnya dengan shalat, maka wanita yang haid tidak diperintahkan untuk mengqada’ shalat mereka.

أَلَيْسَ إِذا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ: بَلى، قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصانِ دِينِها

“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak shalat dan tidak puasa? Mereka menjawab betul. Beliau bersabda: demikianlah bentuk kekurangan agama mereka.” (HR. Bukhari)

عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

Dari Muadzah ia bertaka: saya bertanya kepada Rasulullah saw: mengapa orang yang haid wajib mengqadla puasanya sementara ia tidak wajib mengqadha shalatnya. Ia balik bertanya: apakah engkau seorang Haruriyyah? Saya menjawab: bukan namun saya bertanya. Ia berkata: kami telah mendapati haidh lalu kami diperintahkan untuk mengqadla puasa namun tidak diperintahkan untuk mengqadla shalat.” (HR. Muslim)

Wanita yang haid dan nifas tidak melaksanakan puasa hingga darah berhenti mengalir dari diri mereka. Jika darahnya berhenti maka ia tidak lagi dikategorikan sebagai orang yang haid dan nifas sehingga wajib menunaikan puasa pada saat itu. Oleh karena itu jika seorang wanita berhenti haid atau nifas sebelum fajar namun ia belum sempat mandi maka ia wajib berpuasa. Hal ini karena syarat wajib berpuasa adalah suci dari haid dan nifas bukan bersuci dari keduanya. Namun demikian ia tetap wajib untuk mandi setelah masa haid dan nifas tersebut.

Puasa Orang Junub

Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang junub. Jika ia junub karena telah melakukan hubungan seks, mimpi atau sebab lain dan masuk waktu fajar sementara ia belum bersuci maka maka ia wajib untuk berpuasa dan tidak boleh mengqadha puasanya.

عَنْ أَبي بَكْرٍ أَنَّ مَرْوَانَ أَرْسَلَهُ إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا يَسْأَلُ عَنِ الرَّجُلِ يُصْبِحُ جُنُبًا أَيَصُومُ فَقَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلُمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِى.

Dari Abu Bakar bahwa ia telah diutus oleh Marwan menemui Ummu Salamah r.a. untuk bertanya tentang pria yang masuk waktu subuh dalam keadaaan junub apakah ia berpuasa. Ia menjawab: Rasulullah saw masuk diwaktu Subuh dalam keadaan junub karena jima bukan karena mimpu dan beliau tidak berbuka atau mengqadla puasanya.” (HR. Muslim)

عَنْ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ زَوْجَيِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم , رَضِيَ الله عَنْهُمَا , أَنَّهُمَا قَالَتَا : كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم يُصْبِحُ جُنُبًا فِي رَمَضَانَ مِنْ جِمَاعِ غَيْرِ احْتِلاَمٍ ثُمَّ يَصُومُ

Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi saw r.a. berkata: Rasulullah saw berada di waktu subuh dalam keadaan junub di bulan Ramadlan karena jima’ bukan karena mimpu kemudian beliau berpuasa.” (HR. Ibnu Hibban. Menurut al-Arnauth sanadnya sahih berdasarkan syarat Bukhari-Muslim)

Berbuka tanpa udzur

Ibadah puasa merupakan satu satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh mereka yang telah akil balilg dan tidak ada udzur syari yang meringankin dirinya untuk tidak berpuasa seperti dalam dalam perjalanan, sakit atau lanjut usia. Jika seseorang meninggalkan puasa secara sengaja maka ia akan mendapatkan azab yang pedih di akhirat kelak.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِىُّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَقُولُ: بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ فَأَتَيَا بِى جَبَلاً وَعْرًا فَقَالاَ لِىَ : اصْعَدْ فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بَأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ فَقُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ.

Dari Abu Umamah al-Bahily ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Ketika saya tidur tiba-tiba saya didatangi oleh dua orang lalu menarik lengan saya dan membawa saya ke gunung yang berbenjol-benjol dan berkata kepada saya: “Naiklah.” Maka saya berkata: “Saya tidak mampu lalu mereka berkata lag:i”Kami akan memudahkan engkau.” lalu saya pun naik hingga saya berada di puncak gunung tersebut. Tiba-tiba saya mendengar suara yang keras maka saya bertanya: “Suara apakah itu? Mereka mnjawab: “Itu jeritan penduduk neraka.” Saya kemudian dibawa satu kaum yang digantung dengan urat di atas tumit belakang mereka sementara rahang mereka disobek-sobek sehingga mengeluarkan darah. Saya lalu bertanya:”Siapakah mereka?” Salah satu dari keduanya menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum sempurna puasa mereka.” (HR. an-Nasai, Ibnu Hibban, al-Baihaqy. Alhakim mensahihkan hadits ini dan disetujui oleh ad-Dzahaby)


[i] Mahmud Latif ‘Uwaidhah, al- Jâmi li ahkâm as-Shiyâm, hlm. 234

[ii] Ibnu Abbas, Tafsir Ibnu Abbas hlm. 28

[iii] Ali Raghib, Ahkâmu as-Shalâh, hlm. 57

»»  read more

Followers