Tampilkan postingan dengan label Tak terkategori. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tak terkategori. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 Januari 2010

10 wasiat Rasulullah kepada putrinya

eramuslim - Dear ukhti-ukhtiku yang kucintai karena Allah, apa kabar iman-mu hari ini? Semoga Allah Yang Maha Indah selalu memberi keindahan padamu dan melindungimu dari segala keburukan
Ukhti-ukhtiku yang kucintai karena Allah, sebaik2 perhiasan dunia adalah wanita sholehah. Dan "perkara yang pertama kali ditanyakan kepada seorang wanita pada hari kiamat nanti, adalah mengenai sholat lima waktu dan ketaatannya terhadap suami." (HR.Ibnu Hibbab dari Abu Hurairah)

Ukhti-ukhtiku, Pagi ini aku membaca sebuah buku didalamnya terdapat 10 wasiat Rasulullah kepada putrinya Fathimah binti Rasulillah.
Sepuluh wasiat yang beliau sampaikan merupakan mutiara yang termahal nilainya, bila kemudian dimiliki oleh setiap istri sholehah. Wasiat tsb adl:

1. Ya Fathimah, kepada wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, Allah pasti akan menetapkan kebaikan baginya dari setiap biji gandum, melebur kejelekan dan meningkatkan derajat wanita itu.

2. Ya Fathimah, kepada wanita yang berkeringat ketika menumbuk tepung untuk suami dan anak-anaknya, niscaya Allah menjadikana dirinya dengan neraka tujuh tabir pemisah

3. Ya Fathimah, tiadalah seorang yang meminyaki rambut anak-anaknya lalu menyisirnya dan mencuci pakaiannya, melainkan Allah akan menetapkan pahala baginya seperti pahala memberi makan seribu org yang kelaparan dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang

4. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang menahan kebutuhan tetangganya, melainkan Allah akan menahannya dari minum telaga kautsar pada hari kiamat nanti.

5. Ya Fathimah, yang lebih utama dari seluruh keutamaan di atas adalah keridhoaan suami terhadap istri. Andaikata suamimu tidak ridho kepadamu, maka aku tidak akan mendoakanmu. Ketahuilah wahai Fathimah, kemarahan suami adalah kemurkaan Allah

6. Ya Fathimah, apabila wanita mengandung, maka malaikat memohonkan ampunan baginya, dan Allah menetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan serta melebur seribu kejelekan. Ketika wanita merasa sakit akan melahirkan, Allah menetapkan pahala baginya sama dengan pahala para pejuang di jalan Allah. Jika dia melahirkan kandungannya, maka bersihlah dosa-dosanya seperti ketika dia dilahirkan dari kandungan ibunya. Bila meninggal ketika melahirkan, maka dia tidak akan membawa dosa sedikitpun. Didalam kubur akan mendapat pertamanan indah yang merupakan bagian dari taman sorga. Dan Allah memberikan pahala kepadanya sama dengan pahala seribu orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga hari kiamat.

7. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang melayani suami selama sehari semalam dengan rasa senang serta ikhlas, melainkan Allah mengampuni dosa-dosanya serta memakaikan pakaian padanya di hari kiamat berupa pakaian yang serba hijau, dan menetapkan baginya setiap rambut pada tubuhnya seribu kebaikan. Dan Allah memberikan kepadanya pahala seratus kali beribadah haji dan umrah.

8. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang tersenyum di hadapan suami, melainkan Allah memandangnya dengan pandangan penuh kasih.

9. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang membentangkan alas tidur untuk suami dengan rasa senang hati, melainkan para malaikat yang memanggil dari langit menyeru wannita itu agar menyaksikan pahala amalnya, dan Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.

10. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang meminyaki kepala suami dan menyisirnya, meminyaki jenggot dan memotong kumisnya, serta memotong kukunya, melainkan Allah memberi minuman arak yang dikemas indah kepadanya yang didatangkan dari sungai2 sorga. Allah mempermudah sakaratul-maut baginya, serta kuburnya menjadi bagian dari taman sorga. Dan Allah menetapkan baginya bebas dari siksa neraka serta dapat melintasi shirathal-mustaqim dengan selamat.
»»  read more

Senin, 21 Desember 2009

Meluruskan Makna Ijtihad

Definisi Ijtihad
Secara literal, kata ijtihâd merupakan pecahan dari kata jâhada, yang artinya badzlu al-wus‘i (mencurahkan segenap kemampuan). (Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, hlm.114). Ijtihad juga bermakna, “Istafrâgh al-wus‘i fî tahqîq amr min al-umûr mustalzim li al-kalafat wa al-musyaqqaq.” (mencurahkan seluruh kemampuan dalam men-tahqîq (meneliti dan mengkaji) suatu perkara yang meniscayakan adanya kesukaran dan kesulitan). (Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, II/309).
Di kalangan ulama ushul, ijtihad diistilahkan dengan, “istafrâgh al-wus‘î fî thalab adz-dzann bi syai’i min ahkâm asy-syar‘iyyah ‘alâ wajh min an-nafs al-‘ajzi ‘an al-mazîd fîh (mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan.” (Al-Amidi, ibid., hlm. 309. Lihat juga: an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, I/197).
Berdasarkan definisi di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa iijtihad adalah proses menggali hukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat zhanni dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan hingga tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari itu. Dengan kata lain, suatu aktivitas diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga poin berikut ini:
Pertama, ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Menurut al-Amidi, hukum-hukum yang sudah qath‘i (pasti) tidak digali berdasarkan proses ijtihad. Artinya, ijtihad tidak berhubungan atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat qath‘i, tetapi hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Atas dasar itu, ijtihad tidak berlaku pada perkara-perkara akidah maupun hukum-hukum syariat yang dalilnya qath‘i; misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri, hukum razam/cambuk bagi pezina, hukum bunuh bagi orang-orang yang murtad, dan lain sebagainya.
Kedua, ijtihad adalah proses menggali hukum syariat, bukan proses untuk menggali hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung (ma‘qûlât) maupun perkara-perkara yang bisa diindera (al-mahsûsât). Penelitian dan uji coba di dalam laboratorium hingga menghasilkan sebuah teorema maupun hipotesis tidak disebut dengan ijtihad.
Ketiga, ijtihad harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan puncak tenaga dan kemampuan hingga taraf tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari apa yang telah dilakukan. Seseorang tidak disebut sedang berijtihad jika ia hanya mencurahkan sebagian kemampuan dan tenaganya, padahal ia masih mampu melakukan upaya lebih dari yang telah ia lakukan. (Al-Amidi, op.cit., II/309).
Ijtihad berbeda dengan tarjîh maupun baths al-masâ’il. Tarjîh adalah aktivitas untuk meneliti, mengkaji, dan menetapkan mana pendapat yang paling râjih (kuat) di antara pendapat-pendapat yang ada. Baths al-masâ’il tidak berbeda dengan tarjîh, meskipun kadang-kadang juga dilakukan pembahasan-pembahasan hukum-hukum tertentu berdasarkan kaidah-kaidah ijtihad. Akan tetapi, aktivitas semacam ini dilakukan secara berkelompok, bukan individual. Padahal, ijtihad adalah aktivitas individual, bukan aktivitas kelompok.

Lingkup Ijtihad
Sebagaimana definisi ijtihad di atas, lingkup ijtihad hanya terbatas pada penggalian hukum syariat dari dalil-dalil dzanni. Ijtihad tidak boleh memasuki wilayah yang sudah pasti (qath‘i), maupun masalah-masalah yang bisa diindera dan dipahami secara langsung oleh akal.
Di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang jelas penunjukkannya (qath‘i), ada pula yang penunjukkannya zhanni. Ijtihad tidak boleh dilakukan pada ayat-ayat yang jelas (qath‘i) maknanya, misalnya masalah-masalah akidah, kewajiban shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Perkara-perkara semacam ini bukanlah lingkup ijtihad. Sebab, masalah-masalah seperti ini sudah sangat jelas dan tidak boleh ada kesalahan di dalamnya. Siapa saja yang salah dalam mempersepsi perkara-perkara yang sudah qath‘i, maka ia telah terjatuh dalam dosa dan berhak mendapatkan azab Allah Swt. Sebaliknya, kesalahan dalam perkara-perkara ijtihadiah (zhanni) tidak akan menjatuhkan pelakunya dalam dosa dan maksiyat. (Al-Amidi, ibid., II/311).
Ijtihad hanya terjadi dan berlaku pada wilayah furû‘ (cabang) dan zhanni. Perkara-perkara semacam ini disebut perkara ijtihadiah. Disebut demikian karena ia masih membuka ruang terjadinya perbedaan interpretasi. Adapun perkara yang melibatkan dalil qath‘i, tidak boleh disebut sebagai perkara ijtihadiah.
Haramnya memilih kepala negara yang berhaluan sekular dan tidak mendukung penerapan syariat Islam bukanlah perkara ijtihadiah. Sebab, kebatilan dan pertentangan sekularisme dengan Islam adalah perkara qath‘i. Kewajiban menerapkan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara juga merupakan perkara yang pasti dan tidak boleh ada perselisihan. Kewajiban menegakkan kembali Khilafah Islamiyah juga merupakan perkara pasti yang tidak boleh ada perbedaan di kalangan Muslim.
Sayangnya, sebagian orang malah menolak penerapan syariat Islam dan penegakkan Khilafah Islamiah dengan dalih ijtihad dan ijtihadiah. Mereka menganggap bahwa perbedaan dalam masalah semacam ini masih dalam kategori boleh. Alasannya, masing-masing orang mempunyai ijtihad sendiri-sendiri dan sah-sah saja jika hasil ijtihadnya berbeda. Akibatnya, umat tidak bisa memilah mana pendapat yang telah menyimpang dari syariat Islam dan mana pendapat yang masih terkategori pendapat islami. Ketika disampaikan bahwa berhukum dengan aturan Allah merupakan kewajiban, dengan entengnya mereka menyatakan, “Itu kan ijtihad Anda? Kami mempunyai pendapat dan ijtihad sendiri dalam masalah ini. Jika kami berbeda dengan Anda, Anda tetap harus menghargai pendapat kami, dan tidak boleh menyalahkan kami. Bukankah salah dalam ijtihad tidak berdosa?”
Semua ini diakibatkan karena umat tidak lagi memahami lingkup ijtihad; mana yang terkategori perkara ijtihadiah dan mana yang bukan. Akhirnya, umat tidak bisa membedakan pendapat islami dan pendapat yang telah menyimpang dari akidah dan syariat Islam.

Syarat-syarat Mujtahid
Seseorang layak untuk berijtihad jika telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:
Pertama, memahami dalil-dalil sam‘i (naqli) yang digunakan untuk membangun kaidah-kaidah hukum. Yang dimaksud dengan dalil sam‘i adalah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. Seorang mujtahid harus memahami al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma berikut klasifikasi dan kedudukannya. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk memahami, menimbang, mengkompromikan, serta men-tarjîh dalil-dalil tersebut jika terjadi pertentangan. Kemampuan untuk memahami dan dalil-dalil sam‘i dan menimbang dalil-dalil tersebut merupakan syarat pokok bagi seorang mujtahid.
Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu makna yang sejalan dengan pemahaman orang Arab dan dipakai oleh para ahli balâghah (retorika bahasa Arab).
Seorang mujtahid disyaratkan harus memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk memahami makna suatu kata, makna balâghah-nya, dalâlah-nya, pertentangan makna yang dikandung suatu kata, serta mana makna yang lebih kuat—setelah dibandingkan dengan riwayat tsiqqah dan perkataan ahli bahasa. Seorang mujtahid tidak cukup hanya mengerti dan menghapal arti sebuah kata berdasarkan pedoman kamus. Akan tetapi, ia harus memahami semua hal yang berkaitan dengan kata tersebut dari sisi kebahasaan. (An-Nabhani, op.cit., I/213-216. Lihat juga: Al-Amidi, op.cit. II/309-311).

Kesalahan Persepsi Seputar Ijtihad
Pertama, sebagian kaum Muslim memahami bahwa semua orang berhak dan layak melakukan ijtihad. Mereka berdalil bahwa setiap mukallaf dibekali Allah dengan akal yang sama dan setiap Mukmin wajib mengerti hukum syariat berdasarkan pemahamannya sendiri. Untuk itu, setiap orang berhak melakukan ijtihad meskipun ijtihadnya bisa jadi salah.
Mereka juga beralasan bahwa ijtihad harus tetap ada hingga Hari Kiamat untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang terus berkembang. Untuk itu, jika setiap orang tidak diberi hak berijtihad, tentu akan terjadi stagnasi ijtihad. Padahal, stagnasi ijtihad tidak boleh terjadi di tengah-tengah masyarakat Islam.
Benar, setiap Muslim diperintahkan untuk terikat dengan aturan Allah Swt. Seseorang tidak mungkin bisa terikat dengan aturan Allah jika ia tidak mengerti hukum syariat. Padahal, jalan satu-satunya untuk menggali hukum adalah ijtihad. Oleh karena itu, adanya ijtihad merupakan kewajiban bagi kaum Muslim. Namun demikian, ijtihad—sebagaimana definisinya—adalah aktivitas yang sangat sulit dan berat. Ijtihad juga membutuhkan syarat-syarat yang tidak mudah. Hanya orang-orang yang memiliki kelayakan dan kemampuan saja yang berhak melakukan ijtihad. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan kelayakan tentu tidak akan mampu melakukan ijtihad sesuai dengan tuntunan Allah Swt. Jika ia memaksakan diri berijtihad, tentu saja hukum yang ia gali lebih banyak didasarkan pada hawa nafsunya, bukan didasarkan pada dalil-dalil syariat dan kaidah istinbâth yang benar. Padahal Allah Swt. melarang kaum Muslim berhukum berdasarkan hawa nafsunya. Allah Swt. berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (QS al-Maidah [5]: 49).
Ijtihad memang harus dilakukan hingga akhir zaman untuk mejawab persoalan-persoalan baru yang tidak ditemukan pada masa sebelumnya. Akan tetapi, ini tidak berarti semua orang memiliki hak untuk melakukan ijtihad dengan alasan agar ijtihad tidak mandeg. Syarat-syarat kelayakan untuk melakukan ijtihad tetap harus dipenuhi. Orang yang tidak memiliki kemampuan dan memenuhi syarat-syarat ijtihad dilarang melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pintu ijtihad tertutup bagi orang yang tidak memenuhi syarat kelayakan ijtihad.
Kedua, dengan dalih ijtihad dan masalah ijtihadiah banyak orang yang akhirnya bersifat permissive terhadap keragaman pendapat. Padahal, tidak jarang perbedaan pendapat dalam masalah itu sudah menyangkut hal-hal yang bersifat qath‘i, bukan lagi zhanni. Contohnya perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim tentang sistem pemerintahan Islam. Ada sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa penerapan Islam bisa diwujudkan dalam koridor sistem pemerintahan apapun, baik republik, kekaisaran, federasi, dan sebagainya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa syariat Islam tidak harus diterapkan secara struktural dan formal, yang penting adalah substansi dan nilai-nilainya. Sebagian lagi berpendapat bahwa penerapan syariat Islam boleh dilakukan secara bertahap, bukan serentak. Perbedaan-perbedaan pendapat dalam hal semacam ini sesungguhnya adalah perbedaan pendapat yang dilarang dalam Islam. Sebab, masalah sistem pemerintahan di dalam Islam bukanlah termasuk masalah ijtihadiah. Nash-nash syariat yang sharîh (jelas) telah menyatakan bahwa sistem pemerintahan di dalam Islam adalah Khilafah Islamiyah, bukan sistem yang lain.
Ketiga, dengan alasan ijtihadiah juga sebagian kaum Muslim telah menutup diri dari pendapat lain. Dengan kata lain, mereka enggan untuk mencari dan mengkaji mana pendapat yang paling kuat dan benar berdasarkan prinsip quwwah ad-dalîl (kekuataan argumentasi). Dalam masalah furû‘, meskipun kaum Muslim diperbolehkan berbeda pendapat dan pandangan, mereka diperintahkan untuk mencari dan memilih pendapat yang paling râjih dan kuat. Seorang Muslim harus beramal dengan hukum yang dianggapnya paling benar dan kuat. Ia tidak boleh beramal dengan hukum yang dianggapnya salah dan lemah. Atas dasar itu, seorang Muslim tidak boleh menolak pendapat yang lebih kuat dan râjih. Bersikukuh pada pendapat yang sudah terbukti lemah dan ringkih adalah tindakan dosa yang dicela oleh Islam. Sebab, bolehnya kaum Muslim berbeda pendapat dalam masalah furû‘ tidak menafikan wajibnya mereka mencari dan memegang pendapat yang paling kuat dan râjih.
Wallâhu a‘lam. []

Raden Mas bEJo
»»  read more

Kamis, 05 November 2009

DOA BUAT AKHWAT YANG LAGI CARI JODOH

Ya Allah ……..
Aku berdo’a untuk seorang pria
yang akan menjadi bagian dari hidupku
Seseorang yang sungguh mencintai-Mu
lebih dari segala sesuatu
Seorang pria yang akan meletakkanku
pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau
Seorang pria yang hidup
bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk-Mu

Wajah tampan dan daya tarik fisik bagiku tidaklah penting
Yang terpenting adalah sebuah hati
yang sungguh mencintai dan dekat dengan Engkau ya Allah
Dan berusaha menjadikan sifat-sifat-Mu ada pada dirinya
Dan ia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup
sehingga hidupnya tidaklah sia-sia

Seseorang yang memiliki hati yang bijak
tidak hanya otak yang cerdas
Seorang pria yang tidak hanya mencintaiku tapi
juga menghormatiku
Seorang pria yang tidak hanya memujaku tetapi
juga dapat menasihatiku ketika aku berbuat salah
Seseorang yang mencintaiku bukan karena
kecantikanku tapi karena hatiku
Seorang pria yang dapat menjadi sahabat
terbaikku dalam setiap waktu dan situasi
Seseorang yang dapat membuatku merasa
sebagai seorang wanita ketika aku berada di sisinya

Ya Allah….
Aku tidak meminta seorang yang sempurna
namun aku meminta seseorang yang tidak sempurna,
sehingga aku dapat membuatnya sempurna di mata-Mu
Seorang pria yang membutuhkan dukunganku
sebagai peneguh di jalan dakwah
Seorang pria yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya
Seseorang yang membutuhkan senyumku untuk
mengatasi segala kesedihannya
Seseorang yang membutuhkan diriku untuk
membuat hidupnya menjadi sempurna

ya Allah….
Aku juga meminta,
Buatlah aku menjadi wanita yang dapat membuatnya bangga
Berikan aku hati yang sungguh mencintai-Mu
sehingga aku dapat mencintainya dengan sekedar cintaku

Berikanlah sifat yang lembut sehingga
kecantikanku datang dari-Mu
Berikanlah aku tangan sehingga aku selalu
mampu berdoa untuknya
Berikanlah aku penglihatan sehingga aku dapat
melihat banyak hal baik dan bukan hal buruk
dalam dirinya
Berikanlah aku lisan yang penuh dengan kata-kata
bijaksana,
mampu memberikan semangat serta
mendukungnya setiap saat dan tersenyum untuk
dirinya setiap pagi

Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu, aku
berharap kami berdua dapat mengatakan:
"Betapa Maha Besarnya Engkau karena telah
memberikan kepadaku pasangan yang dapat
membuat hidupku menjadi sempurna."

Aku mengetahui bahwa Engkau ingin kami
bertemu pada waktu yang tepat
Dan Engkau akan membuat segala sesuatunya
indah pada waktu yang telah Engkau tentukan

Amin….
»»  read more

Rabu, 09 September 2009

MALAM LAILATUL QADAR

Tidak diragukan lagi bahwa Lailatul Qadar terjadi pada bulan Ramadhan. Allah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya kami telah menurunkan (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan" [Al-Qadar : 1]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menjelaskan dalam ayat yang lain bahwa Dia telah menurunkan Al-Qur'an pada bulan Ramadhan.

"Artinya : (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an" [Al-Baqarah : 185]

Rasulullah pernah beri'tikaf pada sepuluh malam pertama bulan Ramadhan untuk mencari Lailatul Qadar, lalu beri'tikaf pada sepuluh malam pertengahan, hingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Lailatul Qadar ini pada sepuluh malam terkahir pada bulan Ramadhan. Kemudian terjadi persamaan mimpi di antara beberapa sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia terjadi tujuh malam terakhir dari Ramadhan. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Saya melihat bahwa mimpi kalian saling bersesuaian terjadi pada tujuh malam terakhir. Maka barangsiapa yang ingin mencarinya hendaklah ia mencarinya pada tujuh malam terakhir"

Inilah pembatasan yang paling minimal dari penentuan dalam waktu tertentu.

Jika kita memperhatikan dalil-dalil tentang Lailatul Qadar, akan jelas bagi kita bahwa Lailatul Qadar itu berpindah dari satu malam ke malam lainnya. Ia tidak terbatas dengan satu hari tertentu pada setiap tahunnya. Nabi pernah diberi tahu dalam tidurnya tentang Lailatul Qadar. Sedangkan pagi harinya beliau sujud di atas tanah yang tergenang air yang mana malam itu adalah malam ke dua puluh satu [3] Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.

"Artinya : Carilah Lailatul Qadar pada hari ganjil di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan"

Hal ini menujukkan bahwa Lailatul Qadar tidak terbatas pada satu malam tertentu. Dari sini terkumpullah dalil-dalilnya, sehingga seyogyanya seseorang selalu mengharap turunnya Lailatul Qadar pada setiap malam dari sepuluh malam terakhir. Dan pahala Lailatul Qadar itu diperoleh oleh siapa saja yang menghidupkan malam itu dengan penuh iman dan ikhlas, baik itu mengetahuinya atau tidak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa bangun shalat pada malam Lailatul Qadar karena iman dan keikhlasan maka dosanya yang telah lalu diampuni"

Di sini tidak dikatakan, jika ia tahu waktu turunnya. Jadi tidak disyaratkan untuk mendapatkan pahala Lailatul Qadar orang yang beribadah harus mengetahui waktunya dengan pasti. Tetapi barangsiapa beribadah pada setiap malam dari sepuluh malam terkahir bulan Ramadhan, karena keimanan dan keikhlasan maka kami yakin bahwa ia pasti mendapatkan Lailatul Qadar sama saja apakah terjadi di awalnya, pertengahannya ataupun akhirnya. Allah lah yang memberi taufik.
»»  read more

Minggu, 06 September 2009

Ketika Iblis membentangkan sajadah

Siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum'at, saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk & masuk dari segala penjuru, lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lubang pembuangan air.

Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga, ke dalam syaraf mata, ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah. "Hai, Blis!", panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu. Iblis merasa terusik : "Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!", jawab Iblis ketus.

"Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci,Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!", Kiai mencoba mengusir.
"Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru". Kiai tercenung. "Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu". "Dengan apa?"
"Dengan sajadah!"
"Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?"
"Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!"

"Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru,Blis?"
"Bukan itu saja Kiai..."
"Lalu?"
"Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar"
"Untuk apa?"
"Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiai! Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam kerenganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah".

Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus. Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar seenaknya saja membentangkan sajadahnya, tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang. Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil membentangkan saja sajadahnya, sehingga sebagian sajadah yang lebar tertutupi sepertiganya.

Keduanya masih melakukan sholat sunnah.
"Nah, lihat itu Kiai!", Iblis memulai dialog lagi.
"Yang mana?"
"Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka".

Iblis lenyap.
Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf.
Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan melihat kebenaran rencana yang dikatakan Iblis sebelumnya. Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil kembali berada di bawahnya. Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa.

Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi di atas, ketimbang menerima di bawah. Di atas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas.

Pemilik sajadah lebar, diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat harus lebih di atas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa.

Di atas sajadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain.
"Astaghfirullahal adziiiim ", ujar sang Kiai pelan.
»»  read more

Sabtu, 29 Agustus 2009

Keindahan Islam dalam gaya hidup

Syari’at Al Quran bukan hanya mengatur kehidupan dan berbagai hal yang di luar diri kita, bahkan syari’at Al Quran juga mengatur segala hal yang berkaitan dengan diri kita, dimulai dari makanan, penampilan, perilaku, dan lain-lain. Ini semua bertujuan agar umat Islam menjadi insan dan mahluk yang paling bermutu dibanding dengan insan dan mahluk lainnya. Sebagai contohnya, marilah kita renungkan bersama ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan diri manusia.

Al Qur’an telah mengingatkan dan mengikrarkan bahwa manusia telah mendapatkan karunia dari Allah Ta’ala, berupa dijadikannya mereka sebagai mahluk yang paling mulia dibanding mahluk lainnya. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah bila mereka menjaga keutuhan martabat ini, Allah Ta’ala berfirman,

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al Isra’: 70)

Diantara wujud dimuliakannya umat manusia dalam syari’at Al Qur’an ialah dilimpahkannya kepada mereka rezeki-rezeki yang baik dan halal, agar dengan rezeki yang baik dan halal tersebut mereka dapat menjaga kemurniaan martabat mereka. Sebab makanan dan pakaian –sebagaimana diketahui bersama- memiliki pengaruh yang amat besar terhadap watak, tabiat dan perilaku manusia. Maka dari itu, tidak asing bila kita dapatkan orang yang banyak memakan daging onta lebih cepat marah dan berperilaku kasar, dari pada orang yang memakan daging kambing sayuran, dan orang yang lebih banyak memakan garam lebih mudah marah dibanding dengan lainnya dan demikianlah seterusnya. Ini diantara pelajaran yang dapat dipetik dari sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam,

“Sesungguhnya ketenangan itu ada pada para pemelihara kambing, sedangkan kecongkakan dan kesombongan ada pada pemilik onta.” (Muttafaqun ‘alaih)

Para pemilik onta lebih sering memakan daging onta dan lebih sering berperi laku kasar, karena demikianlah keadaan yang meliputi kehidupan onta, beda halnya dengan para pemilik kambing.

Bila perbedaan perangai antara manusia dapat kita rasakan dengan perbedaan jenis makanan yang mereka konsumsi, padahal makanan tersebut sama-sama halal, maka tidak heran bila tabiat dan perangai manusia akan berubah menjadi buruk bila makanan yang ia makan adalah makanan yang tidak baik, atau haram. Oleh karena itu syari’at al Qur’an mengharamkan atas umatnya segala makanan yang buruk,

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al A’araf: 157)

Syari’at Al Qur’an juga mengatur umatnya agar tidak bersikap berlebih-lebihan dalam hidupnya, baik dalam hal makanan atau minuman pakaian atau lainnya. Allah Ta’a berfirman,

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al An’am: 141)

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Makanlah, minumlah, dan bersedekahlah engkau tanpa ada kesombongan dan tanpa berlebih-lebihan, karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menyukai untuk melihat tanda-tanda kenikmatan-Nya pada hamba-hamba-Nya.” (HR. Ahmad, An Nasa’i dan lain-lain dan dishohihkan oleh Al Albani)

Dan pada hadits lain, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam lebih jelas lagi menjabarkan bagaimana seyogyanya seorang muslim makan dan minum,

“Cukuplah bagi seorang anak adam beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya, dan bila harus (menambah) maka sepertiga (perutnya) untuk makanan, dan sepertiga lainnya untuk minumnya dan sepertiga lainnya untuk nafasnya.” (HR. At Tirmizi, An Nasa’i dll dan dishahihkan oleh Al Albani)

Walaupun demikian, syari’at Al Qur’an sama sekali tidak melarang umatnya untuk memakan makanan yang enak, memakai pakaian yang bagus, dan menggunakan wewangian yang harum. Oleh karenanya tatkala Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang orang yang suka mengenakan pakaian dan sendal yang bagus, beliau menjawab:

“Sesungguhnya Allah itu Indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim)

Ini tentu menyelisihi sebagian orang yang beranggapan bahwa orang yang multazim atau salafy atau taat beragama tidak pantas untuk berpenampilan rapi, perlente, senantiasa rapi dan berpakaian bagus. Bahkan syari’at Al Qur’an melarang umatnya untuk berpenampilan acak-acakan, berantakan dan tidak menarik bak syetan,

“Dari sahabat jabir bin Abdillah rodhiallahu ‘anhushollallahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami, kemudian beliau melihat seseorang yang rambutnya kacau-balau (tidak rapi), sepontan beliau bersabda, Apakah orang ini tidak memiliki minyak yang dapat ia pergunakan untuk merapikan rambutnya?” (HR. An Nasa’i dan dishahihkan oleh Al Albani)

Oleh karena itu tidak benar bila ada anggapan bahwa seorang muslim yang taat beragama senantiasa tidak rapi atau tidak layak untuk berpenampilan rapi, harum, berpakaian bagus dan menawan. Oleh karena itu sahabat Abdullah bin Abbas berkata,

“Makanlah sesukamu, berpakaian dan minumlah sesukamu, selama engkau terhindar dari dua hal: berlebih-lebihan dan keangkuhan.” (HR. Al Bukhari, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi)

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri
»»  read more

Senin, 24 Agustus 2009

Pengakuan Jujur Non-Muslim Tentang Khilafah

Surat Raja Inggris Goerge II kepada Kholifah Hisyam III :

Keunggulan pendidikan di masa Khilafah , membuat banyak pihak mempercayai keluarganya untuk dididik dalam sistem pendidikan Khilafah. Termasuk Raja di Eropa yang mengirim keluarganya untuk belajar di Daulah Khilafah, seperti yang tampak dalam surat dari George II, Raja Inggeris, Swedia dan Norwegia, kepada Khalifah Hisyam III di Andalusia Spanyol. Kutipan surat tersebut antara lain : ” Setelah salam hormat dan takdzim, kami beritahukan kepada yang Mulia, bahwa kami telah mendengar tentang kemajuan yang luar biasa, dimana berbagai sekolah sains dan industri bisa menikmatinya di negeri yang Mulia, yang metropolit itu. Kami mengharapkan anak-anak kami bisa menimba keagungan yang ideal ini agar kelak menjadi cikal bakal kebaikan untuk mewarisi peninggalan yang Mulia guna menebar cahaya ilmu di negeri kami, yang masih diliputi kebodohan dari berbagai penjuru.”

Will Durant – The Story of Civilization

” Para Kholifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Kholifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi saiapun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setalah masa mereka ”

T.W. Arnold - The Preaching of Islam

“ Ketika Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil,”.
»»  read more

Jumat, 21 Agustus 2009

Marahaban Ya Ramadhan


Kami dari pengasuh blog Haqah centre mengucapkan
Marhaban Ramadhan
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa
semoga Ramadhan kali ini menjadi momentum perjuangan penegakan
syariah dan Khilafah

»»  read more

Jumat, 14 Agustus 2009

Strategi Yahudi Menguasai Dunia

Pada tahun 1773 diadakan pertemuan 13 keluarga yahudi terkemuka dunia di Judenstrasse, Bavaria. Pada pertemuan tersebut dirancang bagaimana mereka harus menguasai dunia. Mereka membuat 25 butir rancangan yang kemudian kurang lebih 124 tahun kemudian rancangan tersebut disahkan menjadi agenda bersama Gerakan Zionis Internasional pimpinan theodore hertzl dalam Kongres zionis internasional I di Basel, Swiss dengan nama Protocol of Zions.

Berikut ini 25 butir rancangan tersebut :

  1. Manusia itu lebih banyak cenderung pada kejahatan ketimbang kebaikan. Sebab itu, konspirasi harus mewujudkan "hasrat alami" manusia ini. Hal ini akan diterapkan pada sistem pemerintahan dan kekuasaan. Bukankah pada masa dahulu manusia tunduk kepada penguasa tanpa pernah mengeluarkan kritik atau pembangkangan ? Undang-undang hanyalah alat untuk membatasi rakyat, bukan untuk penguasa.

  2. Kebebasan politik sesungguhnya utopis. Walau begitu, konspirasi harus mempropagandakan ini ke tengah rakyat. Jika hal itu sudah dimakan rakyat, maka rakyat akan mudah membuang segala hak dan fasilitas yang telah didapatinya dari penguasa guna memperjuangkan idealisme yang utopis itu. Saat itulah, konspirasi bisa merebut hak dan fasilitas mereka.

  3. Kekuatan uang selalu bisa mengalahkan segalanya. Agama yang bisa menguasai rakyat pada masa dahulu, kini mulai digulung dengan kampanye kebebasan. Namun rakyat banyak tidak tahu harus mengapa dengan kebebasan itu. Inilah tugas konspirasi untuk mengisinya demi kekuasaan, dengan kekuatan uang.

  4. Demi tujuan, segala cara boleh dilakukan. Siapapun yang ingin berkuasa, dia mestilah meraihnya dengan licik, pemerasan, dan pembalikkan opini. Keluhuran budi, etika, moral, dan sebagainya adalah keburukan dalam dunia politik.

  5. Kebenaran adalah kekuatan konspirasi. Dengan kekuatan, segala yang diinginkan akan terlaksana.

  6. Bagi kita yang hendak menaklukkan dunia secara finansial, kita harus tetap menjaga kerahasiaan. Suatu saat, kekuatan konspirasi akan mencapai tingkat dimana tidak ada kekuatan lain yang berani untuk menghalangi atau menghancurkannya. Setiap kecerobohan dari dalam, akan merusak program besar yang telah ditulis berabad-abad oleh para pendeta yahudi.

  7. Simpati rakyat harus diambil agar mereka bisa dimanfaatkan untuk kepentingan konspirasi. Massa rakyat adalah buta dan mudah dipengaruhi. Penguasa tidak akan bisa menggiring rakyat kecuali ia berlaku sebagai diktator. Inilah satu-satunya jalan.

  8. Beberapa sarana untuk mencapai tujuan adalah :minuman keras, narkotika, pengrusakan moral, seks, suap, dan sebagainya. Hal ini sangat penting untuk menghancurkan norma-norma kesusilaan masyarakat. Untuk itu, konspirasi harus merekrut dan mendidik tenaga-tenaga muda untuk dijadikan sarana pencapaian tujuan tersebut.

  9. Konspirasi akan menyalakan api peperangan secara terselubung. Bermain di kedua belah pihak. Sehingga konspirasi akan memperoleh manfaat besar tetapi tetap aman dan efisien. Rakyat akan dilanda kecemasan yang mempermudah bagi konspirasi untuk menguasainya.

  10. Konspirasi sengaja memproduksi slogan agar menjadi "tuhan" bagi rakyat. Dengan slogan itu, pemerintahan aristokrasi keturunan yang tengah berkuasa di Perancis akan diruntuhkan. Setelah itu, konspirasi akan membangun sebuah pemerintahan yang sesuai dengan konspirasi.

  11. Perang yang dikobarkan konspirasi secara diam-diam harus menyeret negara tetangga agar mereka terjebak utang. Konspirasi akan memetik keuntungan dari kondisi ini.

  12. Pemerintahan bentukan konspirasi harus diisi dengan orang-orang yang tunduk pada keinginan konspirasi. Tidak bisa lain.

  13. Konspirasi akan menguasai opini dunia. Satu orang yahudi yang menjadi korban sama dengan 1000 orang non-yahudi (gentiles/ghoyim) sebagai balasannya.

  14. Setelah konspirasi berhasil merebut kekuasaan, maka pemerintahan baru yang dibentuk harus membasmi rezim lama yang dianggap bertanggung-jawab atas terjadinya kekacauan ini. Hal tersebut akan menjadikan rakyat begitu percaya kepada konspirasi bahwa pemerintahan yang baru adalah pelindung dan pahlawan dimata mereka.

  15. Krisis ekonomi yang dibuat akan memberikan hak baru kepada konspirasi, yaitu hak pemilik modal dalam penentuan arah kekuasaan. Ini akan menjadi kekuasaan turunan.

  16. Penyusupan ke dalam jantung freemason Eropa agar bisa mengefektifkan dan mengefisienkannya. Pembentukan bluemasonry akan bisa dijadikan alat bagi konspirasi untuk memuluskan tujuannya.

  17. Konspirasi akan membakar semangat rakyat hingga ke tingkat histeria. Saat itu rakyat akan menghancurkan apa saja yang kita mau, termasuk hukum dan agama. Kita akan mudah menghapus nama Tuhan dan susila dari kehidupan.

  18. Perang jalanan harus ditimbulkan untuk membuat massa panik. Konspirasi akan mengambil keuntungan dari situasi ini.

  19. Konspirasi akan menciptakan diplomat-diplomatnya untuk berfungsi setelah perang usai. Mereka akan menjadi penasehat politik, ekonomi, dan keuangan bagi rezim baru dan juga ditingkat internasional. Dengan demikian, konspirasi bisa semakin menancapkan kukunya dari balik layar.

  20. Monopoli kegiatan perekonomian raksasa dengan dukungan modal yang dimiliki konspirasi adalah syarat utama untuk menundukkan dunia, hingga tidak ada satu kekuatan non-yahudi pun yang bisa menandinginya. Dengan demikian, kita bisa bebas memainkan krisis suatu negeri.

  21. Penguasaan kekayaan alam negeri-negeri non-yahudi mutlak dilakukan.

  22. Meletuskan perang dan memberinya-menjual-senjata yang paling mematikan akan mempercepat penguasaan suatu negeri, yang tinggal dihuni oleh fakir miskin.

  23. Satu rezim terselubung akan muncul setelah konspirasi berhasil melaksanakan programnya.

  24. Pemuda harus dikuasai dan menjadikan mereka sebagai budak-budak konspirasi dengan jalan penyebarluasan dekadensi moral dan paham yang menyesatkan.

  25. Konspirasi akan menyalahgunakan undang-undang yang ada pada suatu negara hingga negara tersebut hancur karenanya
»»  read more

Selasa, 11 Agustus 2009

Belajar Ikhlas

Tentu kita sering mendengar orang menyebut-nyebut kata ikhlas. Namun banyak orang yang tidak memahami apa sebenarnya hakekat dari istilah ”ikhlas” ini. Untuk lebih jelasnya mungkin bisa kita lihat dari kisah berikut ini :

Rasulullah Saw. Menatap satu persatu para sahabat yang sedang berkumpul dalam majelis. Suasana sangat hening. Tiba-tiba ada seorang hadirin yang berkata, ”Ya Rasulullah, bila pertanyaanku ini tidak menimbulkan kemarahan bagi Allah, sudilah kiranya engkau menjawabnya.” Apa yang hendak engkau tanyakan itu?” tanya Rasulullah dengan nada suara yang begitu lembut. Dengan sikap yang agak tegang, si sahabat itu pun bertanya, ”Siapakah di antara kami yang akan menjadi ahli surga?.”

Pertanyaan yang sungguh keterlaluan, setengah sahabat menilainya mengandung ’ujub (bangga atas diri sendiri) atau riya’ dan tidak sedikit yang murka. Adalah Umar bin Khattab yang sudah terlebih dahulu bereaksi, bangkit untuk menghardik si penanya. Untunglah rasulullah Saw. menoleh ke arahnya sambil memberi isyarat untuk menahan diri.

Rasulullah menatap ramah. Beliau menjawab dengan tenangnya,

”Engkau lihatlah ke pintu, sebentar lagi orang itu akan muncul.”

Lalu, setiap mata menoleh ke ambang pintu, dan setiap hati bertanya-tanya siapa gerangan orang hebat yang disebut Rasulullah sebagai ahli surga itu.

Namun, manakala orang itu mengucapkan salam kemudian menggabungkan diri ke dalam majelis, keheranan semakin bertambah. Sosok tubuh itu tidak lebih dari seorang pemuda sederhana. Ia adalah wajah yang tidak pernah mengangkat kepala bila tidak ditanya dan tidak pernah membuka suara bila tidak diminta. Ia bukan pula termasuk dalam daftar sahabat dekat rasulullah.

Apa kehebatan pemuda ini? Setiap sahabat penasaran menunggu penjelasan rasululllah Saw. Menghadapi kebisuan ini, Rasulullah Saw bersabda, ”Setiap gerak-gerik dan langkah perbuatannya hanya ia ikhlaskan semata-mata mengharapkan ridha Allah. Itulah yang membuat Allah menyukainya.”

Bagai duri tajam yang menusuk dada, semua yang hadir tersentak. Ikhlas, alangkah indahnya makna yang terkandung di dalamnya. Ikhlas bersih dari segala maksud pribadi, dari segala pamrih dan riya’, mengharap pujian dari orang, bebas dari perhitungan untung rugi material. Ikhlas bersih dari segala hal yang tidak disukai Allah. Ikhlas dalam menjadikan Allah sebagai pencipta, pemilik, pemelihara, dan penguasa alam raya. Ikhlas dalam menjadikan Allah sebagai satu-satunya zat yang diharapkan, ditakuti, dicintai, diikuti. Satu-satunya zat yang diabdi dan disembah. Ikhlas menerima Muhammad Saw. sebagai teladan, penjelas, penyampai risalah Islam yang sempurna, dan ikhlas menerima Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

Dalam sebuah hadis lain Rasulullah bersabda, "Ana madiinatul ilmi (sayalah kota segala ilmu)". Tetapi, ada satu pertanyaan, yang Rasullullah tidak langsung menjawabnya. Apa gerangan pertanyaan itu sehingga Rasulullah harus meminta waktu, mengernyitkan kening dan memeras otak? ini:

"Wahai Baginda Rasul apa yang dimaksud dengan ikhlas?”, tanya seorang sahabatnya.

Setelah berdiam, Rasulullah memusatkan perhatian, dan menyampaikan pertanyaan serupa kepada Malaikat Jibril As.

"Aku bertanya kepada Jibril As tentang ikhlas, apakah ikhlas itu? Lalu Jibril bertanya kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya? Allah SWT menjawab Jibril dengan berfirman: Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Ku-cintai."

Kalau gambaran ikhlas itu sebagaimana diajarkan Allah melalui Jibril yang disampaikan kepada Baginda Rasul tersebut, maka betapa banyaknya di antara kita yang tidak memilikinya. Sebab, hanya hamba-hamba yang dicintai Allah saja yang dapat memiliki makhluk ikhlas ini.

Menurut Imam al-Qusyairi an-Naisabury, bila seseorang memiliki sifat ikhlas, ia akan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup, apa yang dilakukan semata-mata untuk Allah meski yang dia perbuat untuk mengurangi penderitaan sesama manusia. Ia akan selalu membantu orang, dengan alasan karena Allah memang Dzat yang senang membantu. Ia akan bekerja kalau Allah yang menjadi tujuannya.

Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorangpun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi shalallahu‘alaihi wasallam. "Dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min" (QS. Al Ahzaab: 50).
...

Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi) Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama.


Ulama mendefenisikan sbb:

Bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.

Bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).

Bahwa ikhlas adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di batin”, adapun riya’ adalah dzohir (amalan yang nampak) dari seorang hamba lebih baik daripada batinnya sedangkan ikhlas yang benar (dan ini derajat yang lebih tinggi) yaitu batin seseoang lebih baik daripada dzohirnya, yaitu engkau menampakkan sikap baik dihadapan manusia adalah karena kebaikan hatimu, maka sebagaimana engkau menghiasi amalan dzohirmu dihadapan manusia maka hendaknya engkaupun menghiasi hatimu dihadapan Robbmu
...

(di sadur dari artikel Puan Shofiya Mubarika Husin).
»»  read more

Jumat, 07 Agustus 2009

Waktu yang di Dalamnya Kaum Muslimin Diberi Tangguh Untuk Mengangkat Khalifah

Waktu yang di dalamnya kaum muslimin diberi tangguh untuk mengangkat khalifah adalah dua malam. Maka, tidak halal bagi seorang muslim untuk bermalam selama lebih dari dua malam sedang di lehernya tidak terdapat bai'at. Pembatasan waktu maksimal dengan dua malam ini adalah karena pengangkatan khalifah wajib sejak waktu yang di dalamnya khalifah yang lalu meninggal atau diturunkan. Tapi pengangkatan boleh diakhirkan selama dua malam disertai kesibukan dengannya. Jika lebih dari dua malam dan mereka belum mengangkat khalifah, maka keadaannya dilihat. Jika kaum muslimin sibuk mengangkat khalifah dan mereka tidak bisa melaksanakan pengangkatan itu selama dua malam karena hal-hal yang memaksa dan mereka tidak mampu menolaknya, maka dosa tanggal dari mereka. Karena, mereka telah menyibukkan diri untuk melaksanakan kewajiban dan mereka terpaksa mengakhirkan karena adanya sesuatu yang memaksa mereka. Nabi saw. bersabda: "Diangkat dari umatku: kesalahan, lupa, dan apa-apa yang mereka dipaksa melakukannya." Tapi jika mereka tidak menyibukkan diri dengan itu, maka mereka semua berdosa, sampai khalifah diangkat dan saat itu kewajiban tanggal dari mereka. Sedangkan dosa yang mereka perbuat karena meninggalkan pengangkatan khalifah, maka tidak tanggal dari mereka, tapi tetap menjadi tanggungan mereka dan Allah akan menghisab mereka atas itu sebagaimana dia menghisab dosa lain yang dilakukan oleh muslim karena meninggalkan pelaksanaan kewajiban.

Sedangkan bahwa waktu yang di dalamnya kaum muslimin diberi tangguh untuk melaksanakan kewajiban mengangkat khalifah adalah dua malam, dalilnya adalah bahwa para sahabat langsung mengadakan perkumpulan di Saqifah untuk membahas pengangkatan pengganti Rasulullah saat mereka mendengar berita wafatnya beliau. Tapi mereka tetap dalam perselisihan di Saqifah. Kemudian pada hari kedua mereka mengumpulkan kaum muslimin di masjid untuk melaksanakan bai'at. Sehingga, itu memakan waktu dua malam tiga hari.

Juga, karena Umar berwasiat kepada ahlus syura pada saat tanda kematiannya karena tikaman tampak, dan dia memberi batas kepada mereka selama tiga hari. Lalu dia berwasiat bahwa jika dalam tiga hari khalifah belum disepakati, maka hendaklah orang yang menentang dibunuh setelah tiga hari tersebut. Dia mewakilkan kepada lima puluh orang dari kaum muslimin untuk melaksanakan itu, yaitu membunuh orang yang menentang. Padahal mereka semua adalah ahlus syura dan pembesar sahabat. Semua itu terjadi di bawah penglihatan dan pendengaran para sahabat, dan tidak dinukilkan dari mereka seorang pun yang menentang atau tidak membenarkan itu. Maka, itu adalah ijma' sahabat bahwa kaum muslimin tidak boleh kosong dari khalifah lebih dari dua malam tiga hari. Dan ijma' sahabat adalah dalil syar'i, sebagaimana Kitab dan Sunnah.

dari KITAB SYAKHSHIYAH ISLAMIYYAH jilid 2
»»  read more

Perkara Yang Sudah Hilang dari Umat Islam

Perkara yang sudah hilang dari kaum muslimin atau umat Islam secara umum amat banyak sekali. Baik yang kita sadari atau tidak. Tapi yang kita dengar selama ini, karena sering dibicarakan, yang selalu saja disebut oleh para pemimpin, ulama, pendakwah, penceramah, para pejuang Islam ialah ilmu pengetahuan. Hingga hampir semua umat tahu. Bahkan mengakui bahwa umat Islam telah kehilangan ilmu pengetahuan, yang satu ketika dahulu umat Islam membawa ilmu dan menguasainya di berbagai bidang.

Umat Islam pernah menguasai ilmu falsafah, sains, kedokteran, ilmu falak, geografi, sejarah, matematik, selain dari menguasai ilmu yang bersumber Al Quran dan Hadis. Lahirlah pakar-pakar Tauhid, pakar Fiqih, pakar Tasawuf, pakar Tafsir, pakar Hadis, pakar Sejarah dan lain-lain.

Di waktu itu umat Islam menjadi mahaguru dan tempat rujuk dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan untuk seluruh bangsa di dunia, bahkan bangsa-bangsa Eropa pun berdatangan ke negara umat Islam karena mempelajari ilmu pengetahuan di pelbagai bidang. Ilmu yang dimiliki, dikembangkan dan dikuasai oleh orang-orang Barat dan Amerika sekarang ini, asalnya adalah warisan ilmu yang pernah dimiliki oleh umat Islam. Kemudian mereka memperdalam, memperluas, dan mengembangkannya hingga mereka telah menjadi mahaguru kepada bangsa-bangsa di dunia. Termasuk umat Islam, terpaksa belajar kembali pada mereka.
Memang rata-rata umat Islam mengetahuinya dan mengakui kehilangan ilmu pengetahuan karena ia sering disebut-sebut di dalam ucapan dan tulisan. Perlu diingatkan bahwa apakah ilmu saja yang hilang dari umat Islam? Apakah tidak ada perkara-perkara lain yang hilang dari umat Islam? Yang perlu bahkan sebagiannya wajib kita mencarinya?

Yang sebenarnya banyak perkara-perkara yang telah hilang dari umat Islam. Sebagian darinya wajib bagi kita untuk mendapatkannya kembali karena ia perkara yang amat berharga. Demi keselamatan kita di dunia, lebih-lebih lagi di Akhirat. Saya akan nyatakan secara umum, apa-apa yang telah hilang dari umat Islam itu, ia boleh dibagi menjadi dua kategori:

Pertama: Kehilangan secara khusus

Kedua: Kehilangan secara umum

PERTAMA :

Perkara-perkara yang hilang dari kaum muslimin atau umat Islam secara khusus
Di antaranya ialah:

Hilangnya keadilan dari pemimpin atau pemerintah dan juga kasih sayangnya.

Hilangnya sifat berani dari para alim ulama juga kasih sayang dan nasihat-nasihatnya serta sifat zuhudnya.

Hilangnya sifat malu dari kaum wanita.

Hilangnya sifat sabar dari fakir miskin.

Hilangnya sifat pemurah dari orang kaya.

Hilangnya sifat tawadhuk dari golongan atas.

Hilangnya ilmu pengetahuan dari ahli ibadah.

Hilangnya sifat lemah lembut dan kebijaksanaan dari para-para pejuang Islam.

Hilangnya sifat bijaksana dan lemah lembut dari para pendakwah.

Hilangnya rasa khusyuk dari orang yang bersembahyang.

Hilangnya sifat amanah dari orang yang diberi tanggungjawab.

KEDUA:

Perkara-perkara yang hilang dari kaum muslimin atau umat Islam secara umum.
Di antaranya ialah:

Hilangnya ilmu pengetahuan.

Hilangnya kepemimpinan bertaraf empayar atau sejagat.

Hilangnya akhlak dan budi pekerti yang mulia.

Hilangnya ukhuwah dan kasih sayang

Hilangnya rasa cemburu terhadap agama dan terhadap kaum wanitanya.

Hilangnya perpaduan dan kesatuan umat Islam.

Hilangnya rasa bertuhan atau rasa tauhid.

Hilangnya rasa cinta kepada Akhirat.

Hilangnya rasa takut kepada Tuhan atau dengan dosa.

Hilangnya rasa tawakal.

Hilangnya rasa qana'ah.

Hilangnya sifat redha.

Hilangnya sifat sabar.

Hilangnya sifat tenggang rasa.

Hilangnya persahabatan di kalangan kaum muslimin.

Hilangnya sifat taat dan setia dari pengikut terhadap pemimpin.

Kehilangan peradaban Islam.

Kehilangan undang-undang dan perlembagaan Islam.
Inilah secara garis besar apa yang telah hilang dari umat Islam baik itu yang bersifat khusus maupun bersifat umum. Kalau begitu keadaannya, artinya umat Islam itu secara umum telah menjadi miskin dalam semua hal. Miskin di segi material, miskin dari segi moral, miskin bersifat dunia maupun miskin bersifat akhirat. Miskin yang bersifat maddi (materi) maupun yang bersifat maknawi dan rohani.
Karena itu kita memerlukan satu perjuangan yang bukan main-main kalau kita ingin mengembalikan sesuatu yang hilang dari umat Islam tersebut, agar umat Islam dapat memilikinya kembali. Memerlukan satu perjuangan yang gigih. Memerlukan pengorbanan apa saja. Memerlukan satu perjuangan yang tersusun dan berdisiplin. Memerlukan pemimpin yang dapat menjadi contoh terutama ketaqwaan dan ilmu serta kepemimpinannya. Memerlukan ketaatan dan kesetiaan para pengikut. Memerlukan perjuangan yang terus-menerus tanpa henti-henti. Memerlukan kebijaksanaan. Memerlukan role model di kalangan para pejuang dan pemimpin-pemimpinnya.

Pada hari ini, oleh karena umat Islam memandang serius bahwa yang hilang itu adalah ilmu pengetahuan, maka dalam memperjuangkan ilmu pengetahuan nampak agak ada kesungguhan. Walaupun belum sampai ke tujuannya tapi dengan sedihnya dan amat malang sekali perkara-perkara yang lain selain ilmu pengetahuan tidak dirasakan hilang atau mungkin terasa juga kehilangannya tapi tidak dianggap penting seperti pentingnya ilmu pengetahuan. Maka usaha dan perjuangan untuk mengembalikan perkara-perkara lain yang hilang selain ilmu pengetahuan mendapat sedikit perhatian atau tidak begitu serius dalam memperjuangkannya. Lantaran itu perkara-perkara yang lain selain ilmu pengetahuan amat payah untuk dikembalikan atau sangat susah hendak dicari lagi karena umat Islam memandang perkara-perkara yang lain tidak begitu penting sehingga usaha mengembalikannya tidak begitu serius. Bahkan sebagian umat Islam tidak ambil pusing sama sekali mengenai akhlak, ukhuwah dan lain-lain. Umat Islam sudah tidak lagi merasa kehilangan iman, kehilangan akhlak, kehilangan sifat pemurah, kehilangan sifat sabar, kehilangan sifat redha, kehilangan kesatuan dan perpaduan, kehilangan sifat tenggang rasa dan lain sebagainya.

Sebagai contoh:
Jika seorang anak atau murid tidak lulus dalam ujian maka ibu atau bapak atau guru akan marah, susah hati, dan risau. Kemudian guru atau ibu bapak akan memberi berbagai nasihat. Berbagai cara dan tekanan dilakukan agar murid itu atau anak itu lulus di masa yang akan datang. Guru atau ibu bapak sangat memusingkan pelajar atau anak yang tidak lulus tadi. Tapi kalau dia tidak bersembahyang atau tidak berakhlak, guru atau ibu bapak tidak pun merasa susah hati. Tidak pula bising, tidak pula memberi nasihat, memberi ingatan serta memberi berbagai cara dan tekanan agar dia bersembahyang atau berakhlak. Kalaupun guru atau ibu bapak tidak senang tapi rasa tidak senang itu tidak serius, tidak begitu menekan perasaan.

Begitulah seterusnya golongan-golongan lain. Tapi kalau ilmu pengetahuan, semua golongan ambil berat; semua golongan meributkannya, semua golongan turut campur. Semua golongan ambil perhatian. Kalau mundur, semua golongan susah hati. Kalau berjaya atau cemerlang semua golongan suka atau gembira.
Mengapa terjadi demikian? Karena ilmu hendak mereka jadikan alat untuk mendapatkan keuntungan dunia. Tapi sembahyang, akhlak, iman, taqwa, mereka pikir tidak ada hubungan dengan kepentingan atau keuntungan dunia. Kalau begitu, coba gambarkan betapa sulitnya kita hendak mengembalikan sesuatu yang hilang selain dari ilmu pengetahuan. Karena umat Islam memandang kehilangan itu semua tak merugikan. Kalau dapat pun mereka menganggap tidak memberi keuntungan apa-apa. Begitulah rusaknya jiwa dan cara berpikir umat Islam pada hari ini.

Pada hal kekuatan umat Islam, survivalnya, kemerdekaannya, kedaulatannya, kemajuannya, kejayaannya, kebahagiaannya, keharmonisannya, bukan ditentukan oleh faktor ilmu semata-mata. Tapi ditentukan oleh semua faktor tadi. Karena demikian, kita umat Islam wajib berusaha dan berjuang untuk mengembalikan semua yang hilang itu agar menjadi milik kita kembali. Di sanalah terletak semua kemuliaan kita.
»»  read more

Kamis, 06 Agustus 2009

Nafais Tsamrah: Wahai Kaum Muslim Renungilah Urusan Kalian

Wahai pemilik kekuatan, termasuk militer dan lainnya. Sudikah kalian mengalirkan darah kalian yang bersih dan suci ini di jalan Allah, dari pada kalian mengalirkannya secara cuma-cuma di jalan yang bengkok, tidak memiliki tujuan yang jelas, dan ngawur? Sudikah kalian mewujudkan kembali sejarah kaum Anshar—semoga Allah meridhai mereka semua. Dimana mereka itu begitu bangganya melindungi dan menolong Rasulullah SAW, dan menjadikan negaranya sebagai negara Islam? Untuk itu, tolonglah Allah dan Rasul-Nya, dengan menegakkan Khilafah Rasyidah agar negara ini kembali menjadi negara Islam. Sehingga aktivitas kalian ini dicatat di sisi Allah dengan lembaran-lembaran cahaya tinta emas.

Khilafah adalah satu-satunya yang akan menyelamatkan kalian dari kehinaan dan kesengsaraan yang selama ini telah menyelimuti kehidupan kalian. Dengan Khilafah, kalian pasti akan meraih kembali kemuliaan yang seharusnya mewarnai kehidupan kalian. Khilafah adalah sistem yang telah diwajibkan oleh Allah Tuhan Semesta Alam untuk kalian ditegakkan. Bahkan kemenangan yang kalian impikan tergantung dengan tegaknya. Dengan Khilafah kalian akar pergi untuk memerangi musuh-musuh kalian. Sementara itu, Khalifah kalian akan senantiasa berada di depan kalian ketika berperang, bukan di depan kalian ketika kalian melarikan diri dari peperangan. Kalian akan mencari perlindungan kepadanya (Khalifah), dan kalian akan berperang di belakangnya. Khalifah itu akan memimpin kalian dari satu kemenangan menuju kemenangan yang lain, bukan membawa kalian dari satu kekalahan menuju kekalahan yang lain.

Khilafah, ingat Khilafah, wahai kaum Muslim! Tegakkan Khilafah, maka kalian pasti akan meraih kemuliaan. Kembalikanlah Khilafah, maka pasti kalian beruntung. Jika tidak, maka kalian akan jatuh tersungkur hingga ke dalam jurang kesengsaraan yang paling dalam, dan kalian akan menyesal hingga tidak ada waktu kecuali habis untuk penyesalan. Kemudian Allah akan mendatangkan kaum yang jauh lebih baik dari kalian, yaitu kaum yang pada masanya, Allah SWT akan mewujudkan apa yang telah dijanjikan-Nya:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi.” (TQS. An-Nur [24] : 55)

Dan di tangan mereka itulah, Allah SWT akan mewujudkan kabar gembira (bisyarah) yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW:

ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

Selanjutnya akan datang kembali Khilafah berdasarkan metode kenabian.” (HR. Imam Ahmad).

Untuk itu, maka renungkanlah urusan kalian ini, wahai kaum Muslim. Dan bersegeralah menolong Tuhan kalian dengan menegakkan Khilafah Rasyidah sehingga dengannya Allah SWT akan menolong kalian, yaitu pertolongan yang akan membuat kalian merasa bangga dan lega, karena kalian berhasil mengalahkan musuh-musuh kalian.

وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ. بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ

Dan di hari (kemenangan) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (TQS. Ar-Rum [30] : 4-5)

Sumber: Hizb ut-Tahir.info (Kantor Berita Hizbut Tahrir)

»»  read more

Mengenal Khilafah dan Dalil Wajibnya Khilafah

Definisi Khilafah

Daulah Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam).

Dari definisi ini, jelas bahawa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia. Kerana nas-nas syara’ (nushush syar’iyah) memang menunjukkan kewajiban umat Islam untuk bersatu dalam satu institusi negara. Sebaliknya haram bagi mereka hidup dalam lebih dari satu negara.

Apa Hukumnya Mendirikan Khilafah?

Kewajiban tersebut didasarkan pada nas-nas al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Dalam al-Qur`an Allah SWT berfirman:

"Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai…" (TMQ. Ali-’Imran [3]: 103).

Rasulullah SAW dalam masalah persatuan umat ini bersabda: "Barangsiapa mendatangi kalian - sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah) - dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jemaah kalian, maka bunuhlah dia!" [HR. Muslim].

Di samping itu, Rasulullah SAW menegaskan pula dalam perjanjian antara kaum Muhajirin - Anshar dengan Yahudi: "Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad - Nabi antara orang-orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib - serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjihad bersama-sama mereka - bahawa mereka adalah umat yang satu, di luar golongan orang lain..." (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, Jilid II, hal. 119).

Nas-nas al-Qur`an dan as-Sunnah di atas menegaskan adanya kewajipan bersatu bagi kaum muslimin atas dasar Islam (hablullah) - bukan atas dasar kebangsaan atau ikatan palsu lainnya yang dicipta penjajah yang kafir - di bawah satu kepemimpinan, iaitu seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah, di samping menunjukkan pula jenis hukuman syar’ie bagi orang yang berupaya memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, iaitu hukuman mati.

Selain al-Quran dan as-Sunnah, Ijma’ Sahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar Ash Shiddiq suatu ketika pernah berkata,"Tidak halal kaum muslimin mempunyai dua pemimpin (Imam)." Perkataan ini didengar oleh para Sahabat dan tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijma’ di kalangan mereka.

Bahkan sebahagian fuqoha menggunakan Qiyas 'sumber hukum keempat' untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini berkata,"Para ulama kami (mazhab Syafi’i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk dua orang…Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan seorang wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki!"

Ertinya, Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum muslimin dengan keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya. Jadi, Imam/Khalifah untuk kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki, tidak boleh lebih. (Lihat Dr. Muhammad Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syari’ah Al Islamiyah, majalah Al Wa’ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Julai 1998 M)

Jelaslah bahawa kesatuan umat di bawah satu Khilafah adalah satu kewajipan syar’i yang tak ada keraguan lagi padanya. Kerana itu, tidak menghairankan bila para imam-imam mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bersepakat bulat bahawa kaum muslimin di seluruh dunia hanya boleh mempunyai satu orang Khalifah saja, tidak boleh lebih:

"...para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- bersepakat pula bahawa kaum mulimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat mahupun tidak." (Lihat Syaikh Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416) Hukum menegakkan Khilafah itu sendiri adalah wajib, tanpa ada perbezaan pendapat di kalangan imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid besar yang alim dan terpercaya.


Dalil-Dalil Wajibnya Khilafah

Siapapun yang menelaah dalil-dalil syar’ie dengan cermat dan ikhlas akan menyimpulkan bahawa menegakkan Daulah Khilafah hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Di antara argumentasi syar’ie yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut :

Dalil Al-Quran

Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian." (TMQ. An-Nisaa` [4]: 59).

Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, yaitu Al Haakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha`, bererti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk mentaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.

Maka menjadi jelas bahawa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, bererti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, kerana kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, iaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’ie).

Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:

"Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (TMQ. Al-Ma’idah [5]: 48).

"Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (TMQ. Al-Ma’idah [5]: 49).

Dalam kaedah ushul fiqh dinyatakan bahawa, perintah (khithab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khithabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.

Oleh kerana itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, iaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as sultan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.

Dalil As-Sunah

Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, nescaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].

Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajipan mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.

Rasulullah SAW bersabda: "Bahawasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]

Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak." Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajipan mereka." [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].

Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.

Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Bererti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahawa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.

Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].

Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini bererti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.

Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.

Dalil Ijma’ Sahabat

Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahawa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.

Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajipan menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajipan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebahagian di antaranya justeru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebahagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajipan menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajipan mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.

Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajipan mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbezaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW mahupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh kerana itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajipan mengangkat Khalifah.

Dalil Dari Kaedah Syar’iyah

Ditilik dari analisis kaedah fiqih , mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fiqh dikenal kaedah syar’iyah yang disepakati para ulama yang berbunyi :

maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib

"Sesuatu kewajipan yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya." Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaedah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.


Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahawa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.

Pendapat Para Ulama

Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 362 :

"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahawa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."

Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah 'termasuk Khawarij dan Mu’tazilah' tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu ditolak, kerana bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.

Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoriti Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."

Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib bukan haram apalagi bid’ah - dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja rujukan yang menunjukkan kewajiban Khilafah :

Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5,

Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19,

Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161,

Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62,

Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97,

Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167,

Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264,

Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17,

Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176,

Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205,

Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99,

Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26,

Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124,

Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248,

Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75,

Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61,

dan masih banyak lagi yang lainnya.

Adapun buku-buku yang mengingkari wajibnya Khilafah --seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholis Madjid-- sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai buku yang serius dan bermutu. Sebab isinya bertentangan dengan nas-nas syara’ yang demikian jelas dan terang. Buku-buku seperti ini tak lain hanya sampah yang kotor yang merupakan penyambung lidah kaum kafir penjajah dan agen-agennya yaitu para penguasa muslim yang zalim yang selalu memaksakan sekularisme kepada umat Islam dengan berbagai argumentasi palsu yang berkedok studi "ilmiah" atau studi "sosiohistori-objektif", dengan tujuan untuk menghapuskan hukum-hukum Allah dari muka bumi dengan cara menghapuskan ide Khilafah yang bertanggung jawab melaksanakan hukum-hukum tersebut. [ ]

SUMBER : http://www.mykhilafah.com/khilafah/index.htm
http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=388&Itemid=47
»»  read more

Senin, 03 Agustus 2009

Pidato Rasulullah menyambut datangnya Ramadhan

Wahai manusia!

Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah, rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima dan do’a-do’amu diijabah.

Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membim-bingmu untuk melakukan shaum dan membaca kitabnya. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu, kelaparan dan kehausan di hari kiamat. Bersedakahlah kepada kaum fuqoro dan masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persau-daraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya.

Kasihanilah anak-anak yatim, niscaya dikasihani manusia anak-anak yatimmu. Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdo’a pada waktu shalatmu, karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah azza wa jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab meraka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan do’a mereka ketika mereka ber-do’a kepada-Nya.

Wahai manusia!

Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa)-mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.

Ketahuilah, Allah ta’ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengadzab orang-orang yang shalat dan bersujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabbul ‘alamin.

Wahai manusia!

Barangsiapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebas-kan seorang budak dan dia diberi ampunan atas do-sa-dosa yang lalu.

Sahabat-sahabat lain bertanya: “Ya Rasulullah ti-daklah kami semua mampu berbuat demikian.” Rasulullah meneruskan: jagalah dirimu dari api nera-ka walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah di-rimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air.

Wahai manusia!

Siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini akan berhasil melewati sirathul mustaqim pada hari ketika kaki-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanan-nya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat.

Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia ber-jumpa dengan-Nya. Barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Alllah akan memuliakannya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa menyam-bungkan tali persaudaraan (silaturrahmi) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia akan berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa melakukan shalat sunnah di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa melakukan shalat fardhu baginya ganjarann seperti melakukan 70 shalat fardhu di bulan lain.

Barangsipa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangnnya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat al-Qur’an, ganjarannya sama dengan mengkhatamkan al-Qur’an pada bulan-bulan yang lain.

Wahai manusia!

Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagi-mu, maka mintalah kepada Rabbmu agar tidak per-nah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu.

Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tidak lagi pernah menguasaimu. Amirul Mukminin berkata: “Aku berdiri dan berkata: Ya Rasullullah apa amal yang paling utama di bulan ini? jawab Nabi: Ya Abal Hasan amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah.”
»»  read more

Kamis, 30 Juli 2009

Mengenal Musuh Kita

Muslim berkewajiban untuk wasapada, dan mempelajari tentang plot dan trik-trik musuhnya. Allah Swt. befirman dalam Al-Qur’an

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Al Fathir, 35: 6)

Ayat ini dengan jelas menginformasikan kepada kita siapa musuh kita, dia adalah: Syaitan.

Allah Swt. dengan tegas memerintahkan kita untuk menjadikan musuh kita sebagai musuh – tidak berteman atau pun bersekutu. Konsekuensinya, tidak diperbolehkan bagi seorang yang beriman untuk mempunyai rasa simpatik, cinta, kasih sayang, haru atau respek pada musuh-musuhnya. Allah Swt berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.”

(QS Al Mumtahanah, 60: 1)

Sebagaimana telah diindikasikan pada ayat di atas bahwa Musuh-musuh Allah adalah musuh-musuh kita. Selanjutnya, seorang beriman hanya dibolehkan untuk mencintai orang-orang yang Allah Swt. cintai, dan membenci orang-orang yang Allah Swt. benci.

Sebagai contoh, jika Allah Swt. mengutuk sebuah bangsa atau masyarakat, tidak dibolehkan bagi seorang beriman untuk menuruti atau bersekutu dengan mereka (seperti bergabung dengan polisi mereka).

Lebih lanjut, Syaitan (musuh Allah) bisa dalam dua bentuk yang berbeda. Dia bisa berbentuk jin dan juga manusia (QS An Naas, 114:6). Pada saat Syaitan dalam bentuk jin sangat sulit bagi seseorang untuk melawannya, kecuali tentu saja dia adalah seorang beriman yang benar dan seorang Muwahid.

Namun, pada saat dia berbentuk manusia (yaitu Kuffar) itu lebih mudah untuk mengenalinya dan mempertahankan dirinya dari serangan Syaitan. Allah Swt. berfirman:

Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

(QS An Nisaa’, 4: 101)

Berdasarakan ayat di atas, mengambil orang-orang Kafir sebagai musuh adalah kondisi/syarat untuk menjadi seorang Muslim. Ini karena mereka benar-benar menghina Allah Swt. dan selanjutnya, kita harus menghinakan mereka juga – walau pun jika itu terlarang untuk melakukannya. Allah Swt berfirman:

“…sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”

(QS Ali Imran, 3: 32)

Pada saat ini, jika seseorang bertanya, “maukah kamu mengambil Syaitan sebagai teman mu, memberikan suara untuk mereka atau bergabung dengan polisinya?” Dia seharusnya dengan pasti berkata “tidak.”

Namun jika seseorang ditanya dengan pertanyaan yang sama tetapi kata Syaitan diganti dengan “Kaafir”, dia mungkin akan menjawab, “Ya tentu saja! Itu adalah kewajiban bagi kita untuk melakukannya”, bahkan pernyataan ini adalah Kufur dan tidak ada perbedaan yang mutlak antara Syaitan dan Kaafir.

Demikian juga, banyak orang yang percaya bahwa merupakan perbuatan murtad untuk menjadi Mufti dari Syaitan. Tetapi pada saat kata Syaitan diganti dengan Thaghut, bisa saja dibolehkan – walau pun Thaghut adalah kata lain dari Syaitan. Semoga Allah Swt. melindungi orang-orang beriman dari sifat nifaq.

Selanjutnya dalam Islam tidak ada konsep “mencintai musuh mu” (sebagaimana telah diindikasikan pada ayat di atas Al Fatir, 35: 6), selanjutnya, cinta kita pada satu dengan yang lainnya adalah berdasarkan Imaan – bukan pada darah, ras, atau nasionalisme.

Selanjutnya tidak dibolehkan bahkan untuk bersekutu dengan saudaranya atau ayah-nya jika itu berdasarkan kebatilan atau lebih menyukai Kufur di atas Iman. Allah Swt. berfirman:

Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudara mu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS At Taubah, 9: 23)

Konsekuensi mengambil Syaitan sebagai sekutu atau teman akan mendapatkan hukuman yang keras sekali dalam Islam. Faktanya dalam aturan Syari’ah, itu adalah perbuatan Riddah (murtad), dan inilah mengapa Rasulullah Saw. dan para Shahabatnya sangat tidak menyukai bersepakat dengan orang-orang yang bersekutu dengan Musyrikin.

Selanjutnya, hanya karena orang kafir adalah musuh kita itu tidak berarti bahwa serta merta kita harus membunuh mereka. Ketika Allah Swt. mengabarkan orang Kaafir sebagai musuh-Nya dan kita, itu dengan tujuan untuk memperingati kita agar tidak mengikuti mereka, meniru atau mendukung mereka.

Orang-orang Kafir adalah “Penghuni neraka”, dan mereka telah mendapatkan kemarahan dan kutukan Allah Swt.; selanjutnya ini adalah sebab mengapa kita meminta kepada Allah 17 kali sehari (ketika membaca Al-Fatihah) agar tidak menjadi seperti mereka.

Pada abad 21 ini tentara salib memerangi Islam dan kaum Muslimin. Musuh-musuh Allah sekarang berusaha untuk memaksa orang-orang beriman untuk mencintai mereka dan ideologi jahat mereka dengan membuat legislasi baru yang akan mencegah kaum Muslimin untuk memenuhi kewajiban mereka dan menganggap Islam menyerukan atau menyebarkan “agama kebencian”.

Selanjutya mereka (orang-orang kafir) juga ingin agar kaum Muslimin tidak memuji atau “memuliakan” individu yang telah memberikan perlawanan atau berjuang melawan musuh-musuh Islam, yakni para mujahid.

Ini karena - disamping mereka menguasai media massa dan menguasai kekayaan- mereka mempunyai trauma kegagalan yang sangat hebat dalam atau untuk mengalahkan pasukan kaum Muslimin.

Jika seorang Muslim tidak lagi bisa memenuhi kewajibannya dalam konsep tauhid yang asasi, yakni al-Wala wal Baraa’ (kecintaan dan kebencian berdasarkan syariat Islam) maka dia harus hijrah di negeri di mana dia bisa melakukannnya.

Pada saat ini, faktanya Yahudi dan Nasrani mengejek Islam, Rasulullah Saw. dan Mujahidin di dalam setiap aspek kehidupan. Ironisnya, kaum Muslimin dilarang untuk membalas mengejek ideologi jahat mereka, dan mengecam tentaranya.

Selanjutnya, seseorang dipuji dan dikagumi karena memanggil tentara-tentara Kuffar sebagai seorang “pahlawan”, tetapi mengutuk habis-habisan mujahidin dan menuduh mereka sebagai teroris, walaupun faktanya tentara-tentara Kuffar dan orang-orang beriman (Muajhidin) keduanya melakukan aksi terror, menghancurkan gedung-gedung dan membunuh “rakyat sipil”.

Wallahu’alam bis showab!

»»  read more

Followers