Tampilkan postingan dengan label syariah pemerintahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label syariah pemerintahan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Februari 2010

Sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem Khilafah

Sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan. Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat.

Dalil dari al-Kitab di antaranya bahwa Allah SWT telah berfirman menyeru Rasul saw.:

Karena itu, putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS al-Maidah [5]: 48).

"Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu". (QS al-Maidah [5]: 49).

Seruan Allah SWT kepada Rasul saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan juga merupakan seruan bagi umat Beliau. Mafhûm-nya adalah hendaknya kaum Muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah-tengah kaum Muslim setelah wafatnya Rasulullah saw. adalah Khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah. Apalagi penegakan hukum-hukum hudûd dan seluruh ketentuan hukum syariah adalah wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa/hakim, sedangkan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu maka keberadaan sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Artinya, mewujudkan penguasa yang menegakkan syariah hukumnya adalah wajib. Dalam hal ini, penguasa yang dimaksud adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah.

Adapun dalil dari as-Sunnah, di antaranya adalah apa yang pernah diriwayatkan dari Nafi’. Ia berkata: Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda:


«مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»

"Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian Jahiliah." (HR Muslim).

Nabi saw. telah mewajibkan kepada setiap Muslim agar dipundaknya terdapat baiat. Beliau juga menyifati orang yang mati, yang di pundaknya tidak terdapat baiat, sebagai orang yang mati seperti kematian Jahiliah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw. kecuali kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Hadis tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap Muslim, yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap Muslim. Imam Muslim menuturkan riwayat dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَ يُتَّقَى بِهِ»

"Sesesungguhnya Imam/Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR Muslim).

Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Abi Hazim yang berkata: Aku mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun. Aku pernah mendengar ia menyampaikan hadis dari Nabi saw. yang bersabda:

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»

“Dulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para Khalifah, yang berjumlah banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw. bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Di dalam hadis-hadis ini terdapat sifat bagi Khalifah sebagai junnah (perisai) atau wiqâyah (pelindung). Sifat yang diberikan oleh Rasul saw. bahwa Imam adalah perisai merupakan ikhbâr (pemberitahuan) yang mengandung pujian terhadap eksistensi seorang imam/khalifah. Ikhbâr ini merupakan tuntutan karena ikhbâr dari Allah dan Rasul saw., jika mengandung celaan, merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan; jika mengandung pujian, merupakan tuntutan untuk melakukan. Jika aktivitas yang dituntut itu pelaksanaannya memiliki konsekuensi terhadap tegaknya hukum syariah atau pengabaiannya memiliki konsekuensi terabaikannya hukum syariah, maka tuntutan itu bersifat tegas. Dalam hadis ini juga terdapat ikhbâr, bahwa orang yang mengurus kaum Muslim adalah para khalifah, yang berarti, hadis ini merupakan tuntutan untuk mengangkat khalifah. Apalagi Rasul saw. telah memerintahkan kaum Muslim untuk menaati para khalifah dan memerangi siapa saja yang hendak merebut jabatan dalam kekhalifahannya. Perintah Rasul saw. ini berarti perintah untuk mengangkat khalifah sekaligus menjaga eksistensi kekhalifahannya dengan cara memerangi semua orang yang hendak merebut kekuasaannya. Imam Muslim telah menuturkan riwayat bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ»

"Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah serta telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Lalu jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah leher (bunuhlah) orang itu." (HR Muslim).

Dengan demikian, perintah untuk menaati Imam/Khalifah merupakan perintah untuk mengangkatnya, dan perintah untuk memerangi siapa saja yang hendak merebut kekuasaan Khalifah menjadi qarînah (indikasi) yang tegas di seputar keharusan untuk mewujudkan hanya seorang khalifah saja.

Adapun dalil berupa Ijmak Sahabat maka para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat atas keharusan mengangkat seorang khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw. setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah, lalu Umar bin al-Khaththab, sepeninggal Abu Bakar, dan kemudian Utsman bin Affan. Sesungguhnya tampak jelas penegasan Ijmak Sahabat terhadap kewajiban pengangkatan khalifah dari sikap mereka yang menunda penguburan jenazah Rasulullah saw. saat Beliau wafat; mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah (pengganti) Beliau, padahal menguburkan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. Para Sahabat, yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw. dan menguburnya, ternyata sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah dan menunda penguburan jenazah Beliau; sebagian yang lain membiarkan penundaan itu; mereka sama-sama ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw. sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu menguburkan jenazah Rasulullah saw. Rasul saw. wafat pada waktu dhuha hari Senin dan belum dikuburkan selama malam Selasa hingga Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikuburkan pada tengah malam, malam Rabu.

Jadi, penguburan jenazah Rasul saw. itu ditunda selama dua malam, dan Abu Bakar dibaiat terlebih dulu sebelum penguburan jenazah Rasul saw. Dengan demikian, realitas tersebut merupakan Ijmak Sahabat yang menunjukkan keharusan untuk lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat khalifah lebih wajib daripada mengebumikan jenazah. Para Sahabat seluruhnya juga telah berijmak sepanjang kehidupan mereka mengenai kewajiban mengangkat khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas kewajiban mengangkat khalifah, baik ketika Rasul saw. wafat maupun saat Khulafaur Rasyidin wafat. Walhasil, Ijmak Sahabat ini merupakan dalil yang jelas dan kuat atas kewajiban mengangkat khalifah. [Sumber: Struktur Negara Khilafah ]
syabab.com
»»  read more

Senin, 11 Januari 2010

HAK KHALIFAH MELEGISLASI HUKUM SYARA’ MENJADI UNDANG-UNDANG

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Pengantar

Seperti layaknya negara mana pun di dunia, Khilafah juga memerlukan seperangkat undang-undang untuk mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakatnya. Tentu ada bedanya. Pertama, substansi hukum dalam UU di negara Khilafah hanyalah hukum syara’ yang digali dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Sedang dalam negara sekuler, substansi hukumnya bukan hukum syara’, melainkan hukum kufur buatan manusia. Kedua, yang berhak melegislasi UU dalam negara Khilafah hanyalah Khalifah sebagai kepala negara. Sedang dalam negara demokrasi sekarang, yang berhak melegislasi UU adalah badan legislatif, yakni DPR sebagai wakil rakyat.

Tulisan ini bermaksud menjelaskan lebih jauh kewenangan Khalifah tersebut, yaitu melegislasi hukum syara’ menjadi UU. Hal ini sebagaimana pasal 3 Rancangan UUD Negara Khilafah yang digagas Hizbut Tahrir (HT), yang berbunyi,"Khalifah mengadopsi hukum-hukum syara’ tertentu yang dilegislasinya sebagai undang-undang dasar dan undang-undang. Undang-undang dasar dan undang-undang yang telah diadopsi oleh khalifah menjadi satu-satunya hukum syara’ yang wajib dilaksanakan dan menjadi perundang-undangan yang wajib ditaati oleh setiap individu rakyat, baik secara lahir maupun secara batin." (Muqaddimah ad-Dustur, Cet. II, 2009, hal. 16). Pasal ini mengandung 2 (dua) poin. Pertama, hak khusus Khalifah melegislasi UU. Kedua, kewajiban rakyat mentaati UU yang dilegislasi khalifah.

Antara Adopsi dan Legislasi

Adopsi (tabanni) dalam pandangan HT artinya adalah tindakan seorang muslim memilih suatu hukum syara’ dan menjadikannya hukum untuk dirinya, disertai keharusan untuk mengamalkan, mengajarkan, dan mendakwahkan hukum itu pada saat dia mendakwahkan hukum dan pemikiran Islami. (An-Nabhani, 2003:136; Baba, 2008:26; Radhi, 2006:13).

Adopsi merupakan keharusan pada saat terdapat khilafiyah dalam suatu hukum syara’. Misalnya masalah menyentuh perempuan, ada khilafiyah apakah itu membatalkan wudhu atau tidak.
Menurut mazhab Syafii, membatalkan. Sedang menurut mazhab Hanafi, tidak membatalkan. Dalam kondisi seperti inilah, seorang muslim wajib mengadopsi satu hukum syara’ tertentu bagi dirinya. Sebab hukum Allah bagi satu individu dalam satu masalah adalah satu saja, tidak berbilang. (An-Nabhani, 2003:135). Adopsi ini dilakukan oleh tiga subjek. Pertama, oleh individu. Misalnya adopsi dalam khilafiyah wudhu seperti dicontohkan di atas. Kedua, oleh jamaah (kelompok). Misalnya adopsi mengenai metode yang ditempuh untuk menegakkan Khilafah. Ketiga, oleh negara (Khalifah). Misalnya adopsi mengenai hukum-hukum ijtihadiyah dalam masalah jihad, zakat, pajak, kharaj, jizyah, dan sebagainya. (Baba, 2008:79)

Dengan demikian, ada perbedaan antara istilah adopsi (tabanni) dan legislasi (sann al-dustur wa al-qawanin; taqnin al-syari’ah). Perbedaannya terletak pada cakupannya. Adopsi bersifat umum mencakup adopsi oleh individu, jamaah, dan negara. Sedang legislasi bersifat khusus, yaitu hanya dilakukan oleh Khalifah sebagai kewenangan khusus baginya. Ketika dilakukan oleh Khalifah inilah, adopsi identik dengan legislasi, yang didefinisikan sebagai tindakan khalifah menetapkan suatu hukum syara’ sebagai undang-undang dasar (UUD) atau undang-undang (UU) resmi yang berlaku mengikat untuk seluruh aparat pemerintah dan individu rakyat.

Hak Khusus Khalifah Melegislasi UU

Poin pertama pasal 3 Rancangan UUD Khilafah menegaskan bahwa dalam negara Khilafah, otoritas legislasi ada di tangan Khalifah selaku kepala negara. Dalilnya adalah Ijma’ Sahabat, ridhwanullahi ’alaihim. Pada saat Abu Bakar menjadi Khalifah, beliau menetapkan ucapan talak sebanyak tiga kali jatuh sebagai talak satu. Beliau juga menetapkan harta Baitul Mal dibagi dalam jumlah yang sama besarnya kepada seluruh rakyat. Khalifah Abu Bakar memerintahkan kebijakan ini atas seluruh aparat pemerintah dan rakyat.

Namun saat Umar bin Khathab menjadi Khalifah, beliau menetapkan ucapan talak sebanyak tiga kali jatuh sebagai talak tiga (bukan talak satu). Beliau juga menetapkan pembagian harta Baitul Mal dengan cara berbeda dari cara Khalifah Abu Bakar. Jika Abu Bakar menyamaratakan, Umar membaginya tidak sama rata, bergantung siapa yang lebih dulu masuk Islam, tingkat kebutuhan hidup, dan partisipasi dalam jihad fi sabilillah. Khalifah Umar pun memerintahkan kebijakan ini atas seluruh aparat pemerintah dan rakyat.

Para sahabat Nabi SAW tidak ada yang mengingkari tindakan Khalifah Abu Bakar dan Umar itu. Dengan demikian, telah terwujud Ijma’ Sahabat dalam 2 (dua) persoalan. Pertama, bahwa seorang Khalifah berhak mengadopsi dan melegislasi suatu hukum syara’ yang diberlakukan secara umum kepada seluruh rakyat. Kedua, bahwa wajib hukumnya atas rakyat mentaati Khalifah dalam hukum-hukum syara’ yang telah dilegislasi oleh Khalifah. (Muqaddimah al-Dustur, hal. 17).

Berdasarkan Ijma’ Sahabat tersebut diistinbath beberapa kaidah syara’ yang terkenal, misalnya :

لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُحْدِثَ مِنَ الأَقْضِيَةِ بِقَدْرِ مَا يَحْدُثُ مِنْ مُشْكِلاَتٍ

"Penguasa berhak menetapkan keputusan-keputusan baru sesuai problem-problem baru yang terjadi."

أَمْرُ الإِمَامِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ

"Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat."

أَمْرُ الإِمَامِ نَافِذٌ ظَاهِراً وَبَاطِناً

"Perintah Imam (Khalifah) wajib dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin." (Muqaddimah al-Dustur, hal. 17).

Jelaslah, bahwa hak legislasi dalam negara Khilafah ada di tangan Khalifah saja, bukan yang lain.

Maka, tidak tepat pendapat sebagian ulama yang menyatakan legislasi dalam negara Khilafah adalah hak Ahlul Halli wal Aqdi. Keliru pula pendapat Muhammad Abduh yang menjadikan legislasi sebagai hak Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen). (Al-Badrani, al-Nizham al-Siyasi Ba’da Hadm Daulah Al- Khilafah, hal. 11; Al-Hamdawi, Fiqih Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal 16).

Namun hak legislasi bagi Khalifah ini hukum asalnya adalah boleh (mubah), tidak wajib. Sebab Ijma’ Sahabat yang terwujud dalam persoalan ini menetapkan legislasi adalah hak Khalifah, bukan kewajiban Khalifah. Jadi Khalifah boleh melegislasi dan boleh pula tidak. Jika Khalifah dapat menyelenggarakan urusan negara tanpa legislasi, maka berlakulah hukum asal legislasi, yaitu mubah. Misalnya dalam masalah nishab (jumlah minimal) saksi dalam peradilan. Namun jika Khalifah tidak dapat menyelenggarakan urusan negara tanpa legislasi, maka legislasi hukumnya menjadi wajib, berdasarkan kaidah syara’ maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib. (Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). Hal ini berlaku pada segala persoalan yang menyangkut persatuan umat dan kesatuan penyelenggaraan negara. Misalnya, hukum-hukum zakat, jihad, perjanjian (mu’ahadat), penetapan awal Ramadhan, penetapan Idul Fitri, Idul Adha, dan sebagainya.

Kewajiban Rakyat Mentaati UU Yang Dilegislasi Khalifah

Poin kedua pasal 3 Rancangan UUD Khilafah menegaskan bahwa wajib hukumnya atas seluruh aparat dan rakyat mentaati UU yang dilegislasi oleh khalifah, baik secara lahir maupun batin. Dengan kata lain, tidak boleh aparat ataupun rakyat mengamalkan hukum lain di luar hukum yang telah diadopsi oleh Khalifah. Sebab hukum Allah yang berlaku bagi kaum muslimin adalah hukum yang telah diadopsi oleh Khalifah. (Muqaddimah al-Dustur, hal. 17).

Namun ketaatan aparat dan rakyat di sini bukan berarti rakyat harus mengadopsi apa yang diadopsi oleh khalifah, namun cukup mereka tunduk pada apa yang diadopsi khalifah. Artinya, ketaatan rakyat hanya terbatas pada aspek amal, bukan pada aspek keyakinan (opini). Jadi rakyat tetap dibolehkan menganut pendapat yang berbeda dengan pendapat Khalifah, bahkan boleh pula mengajarkan atau mendakwahkan pendapat yang berbeda dengan pendapat Khalifah. (An-Nabhani, Al-Syakhshiyah al-Islamiyah, II/138-139; Baba, Tabanni Afkar Al-Islam wa Ahkamihi, hal. 113).

Misalnya Khalifah mengadopsi pendapat yang mengharamkan menyewakan lahan pertanian. Maka rakyat hanya wajib mentaati dari segi amal saja, yaitu melaksanakan hukum tersebut, dan tidak boleh melaksanakan hukum selainnya. Tapi dari segi keyakinan, rakyat boleh menganut, mengajarkan, dan mendakwahkan pendapat yang membolehkan menyewa lahan pertanian.

Dengan demikian, tidak tepat perkataan Nashiruddin Al-Albani,"Seorang hakim tidak wajib dalam peradilan untuk mengadopsi pendapat Khalifah, jika terbukti baginya bahwa pendapat Khalifah menyalahi Sunnah." (Al-Albani, As-Silsilah Ash-Shahihah, 2/163). Artinya, dalam pandangan Al-Albani, jika pendapat Khalifah tidak menyalahi As-Sunnah, wajib atas hakim mengadopsi apa yang diadopsi Khalifah. (Al-Mas’ari, Al-Hakimiyah wa Siyadah Al-Syara’, hal. 320).

Pemahaman Al-Albani itu tidak tepat. Sebab kewajiban hakim bukanlah mengadopsi apa yang diadopsi Khalifah, melainkan melaksanakan apa yang diadopsi Khalifah. Jadi, ketaatan yang wajib dilakukan hakim adalah aspek amal saja, bukan aspek keyakinan atau opini. Hakim tetap boleh mengadopsi pendapat yang berbeda dengan pendapat yang diadopsi khalifah, meski yang wajib dijalankan dalam praktik hanyalah pendapat Khalifah saja, bukan pendapatnya sendiri. Sejalan dengan pengertian ini, maka yang dimaksud mentaati Khalifah secara lahir dan batin, bukanlah mentaati dalam perbuatan lahiriyah dan keyakinan dalam hati. Melainkan mentaati secara rahasia (fi as-sirr) dan secara terang-terangan (fi al-’alaniyyah). (Hawari,’Isyruna Nadwah, hal. 190; An-Nabhani, Al-Daulah Al-Islamiyah, hal. 143).

Maka dari itu, dengan memahami persoalan ini secara jernih dalam segala dimensinya, tidak perlu muncul kekhawatiran akan macetnya ijtihad, sebagaimana kritikan sebagian pihak yang salah paham terhadap Hizbut Tahrir.

Menurut mereka, mentaati apa yang diadopsi oleh Khalifah akan menumpulkan ijtihad.
Tidak demikian. Sebab, sekali lagi, ketaatan rakyat hanya pada aspek amal, bukan aspek opini. Rakyat tetap boleh berijtihad walau pun menghasilkan pendapat yang berbeda dengan pendapat yang diadopsi Khalifah. Wallahu a’lam. [ ]

DAFTAR BACAAN

Al-Asyqar, Umar Sulaiman, Mu’awwiqat Tathbiq al-Syariat Al-Islamiyyah, (Amman : Darun Nafa`is), 1992

Al-Badrani, Hisyam, Tabshirah Al-Afham (Syarah Nizham Al-Islam), (t.tp : t.p.), t.t

----------, Al-Nizham Al-Siyasi Ba’da Hadm Daulah Al-Khilafah, (t.tp : t.p.), t.t

Al-Hamdawi, Abdul Karim, Fiqih Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (t.tp : t.p.), 1421

Al-Lahwu, ’Amir bin Isa, Harakah Taqnin Al-Fiqh Al-Islami, (t.tp. : t.p.), t.t.

Al-Mas’ari, Muhammad Abdullah, Al-Hakimiyah wa Siyadah Al-Syara’, (London : Lajnah Al-Difa’ ’An Huquq Al-Syar’iyyah), 2002

----------, Tha’at Ulil Amri Hududuha wa Quyuduha, (London : Lajnah Al-Difa’ ’An Huquq Al-Syar’iyyah), 2002

An-Nabhani, Taqiyuddin, Nizham Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 2001

----------, Al-Daulah Al-Islamiyah, (Beirut : Darul Ummah), 2002

----------, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II, (Beirut : Darul Ummah), 2003

Al-Syatsry, Abdurrahman, Taqnin Al-Syariah Bayna Al-Tahlil wa Al-Tahrim, (t.tp. : t.p.), 1426

Baba, Awat Muhammad Agha, Tabanni Afkar Al-Islam wa Ahkamihi, (t.t.p : Al-Jami’ah Al-Mustanshiriyyah), 2008

Bassam, Abdullah, Taqnin Al-Syariah Adhrarahu wa Mafasiduhu, (Makkah : Dar Al-Tsaqafah), 1379

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. Ke-14, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama), 1992

Hawari, Muhammad, ’Isyruna Nadwah fi Syarh wa Munaqasyah Masyru’ Tathbiq Al-Islam fi Al-Hayah, (t.tp : t.p), 2002

Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah Al-Khilafah, (Beirut : Darul Ummah), 2005

----------, Muqaddimah Ad-Dustur, Cetakan II, (Beirut : Darul Ummah), 2009

Mufti, M. Ahmad, dan Sami Shalih Al-Wakil, Formalisasi Syariah dalam Negara Khilafah (Al-Tasyri’ wa Sann Al-Qawanin fi Al-Daulah Al-Islamiyah), Penerjemah M. Fakhrur Rozi, (Yogyakarta : Media Pustaka Ilmu), 2002

Radhi, Muhammad Muhsin, Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamah Daulah Al-Khilafah Al-Islamiyah, (Baghdad : Al-Jami’ah Al-Islamiyah), 2006


»»  read more

Kamis, 06 Agustus 2009

Sistem Pemerintahan Islam-Ketundukan Hanya Kepada Allah SWT, Bukan Kepada Manusia

Mengangkat Khalifah adalah Kewajiban Seluruh Muslim

Allah SWT mewajibkan umat Islam mengatur hidupnya dengan syariah Islam. Allah SWT berfirman:

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”
(Qs. al-Maaidah [5]: 48)

Khilafah adalah sebuah kekuasaan yang menerapkan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh). Merupakan sebuah kebutuhan bagi umat Islam untuk mengangkat seorang Khalifah yang akan memimpin Daulah Khilafah dan menerapkan syariah Islam secara kaffah. Maka, tegaknya Daulah Khilafah adalah sebuah kewajiban, dan setiap kelalaian dalam upaya untuk menegakkannya merupakan dosa besar. Rasulullah Muhammad saw. memerintahkan umat Islam untuk memberikan bai’at kepada seorang Khalifah. Nabi menggambarkan bahwa kematian seorang Muslim yang tidak memberikan bai’at (kepada seorang Khalifah) merupakan kematian yang sangat buruk, dengan menyebutnya sebagai mati jahiliyah:

“Dan barangsiapa mati, sementara tidak ada bai’at di pundaknya, maka matinya (dalam keadaan) jahiliyah.”
(Hr. Muslim)

Dengan syariah Islam, Khilafah memelihara seluruh urusan umat manusia. Jika syariah tidak diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah, maka kedaulatan Islam dalam seluruh aspek kehidupan manusia tidak akan pernah terwujud secara nyata. Maka kerahmatan Islam yang dijanjikan juga tidak bisa dirasakan secara nyata pula.

Jadi, Khalifah bisa dikatakan sebagai wakil umat dalam pemerintahan untuk penerapan syariah Islam. Khalifah adalah kepala negara Daulah Khilafah. Islam memberikan hak kepada umat untuk memilih Khalifah yang dikehendakinya untuk mengurus kehidupan mereka. Melalui bai’at, calon khalifah yang menang dalam pemilihan, sah menjadi Khalifah. Maka, tidak boleh ada paksaan dalam pemilihan Khalifah. Pemilihan harus berlangsung atas dasar prinsip ridha wa ikhtiyar (kerelaan dan kebebasan memilih), sebagaimana umat Islam di masa lalu telah memberikan bai’at kepada keempat Khulafa’ur Rasyidin secara sukarela. Bai’at kepada Khalifah diberikan umat dengan syarat Khalifah yang terpilih akan menerapkan syariah Islam secara kaffah.

Khilafah Bukan Sistem Diktator, Bukan Pula Sistem Demokrasi

Khilafah adalah sistem politik Islam. Khilafah tidak sama dengan sistem diktator, tapi juga bukan sistem demokrasi. Salah satu prinsip penting dari Khilafah, yang sekaligus membedakan dari sistem lainnya baik diktator maupun demokrasi, adalah bahwa kedaulatan, yakni hak untuk menetapkan hukum, yang menentukan benar dan salah, yang menentukan halal dan haram, ada di tangan syariah, bukan di tangan manusia. Karena itu, baik Khalifah maupun umat, sama-sama terikat kepada syariah Islam. Khalifah wajib menerapkan syariah Islam dengan benar, sesuai dengan ketetapan Allah dalam al-Quran dan As Sunnah. Tidak boleh sesuka hatinya. Allah SWT berfirman:

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
(Qs. al-Maidah [5]: 44)

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
(Qs. al-Maidah [5]: 45)

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”
(Qs. al-Maidah [5]: 47)

Sementara, dalam sistem demokrasi kedaulatan ada di tangan manusia, bukan di tangan Allah SWT, Dzat yang Maha Menciptakan manusia dan alam semesta. Atas nama kebebasan, sistem demokrasi telah membuat manusia, melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif bertindak sebagai tuhan, yang merasa berwenang menetapkan hukum sesuai dengan keinginan mereka. Kredo demokrasi mengatakan “suara rakyat adalah suara tuhan (vox populei vox dei)”. Suara mayoritas menjadi penentu kebenaran, betapapun buruknya sebuah keputusan atau pemikiran. Ketika sudah didukung suara mayoritas, maka keputusan atau pemikiran itu seakan telah menjadi benar. Dengan demikian, jelaslah bahwa pada hakikatnya sistem demokrasi ini bertentangan sama sekali dengan Islam. Karena itu, umat Islam tidak boleh menerima, menerapkan, dan mendakwahkan sistem demokrasi ini dan sistem apapun lainnya yang dibangun di atas prinsip demokrasi. Allah SWT telah berfirman:

“Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.”
(Qs. Ali ‘Imran [3]: 19)

Peran Wakil Rakyat dalam Daulah Khilafah

Syariah Islam telah mengizinkan umat Islam untuk memilih wakil mereka dalam menjalankan urusan mereka. Pada kesempatan Bai’at Aqabah Kedua, Rasulullah mengatakan:

“Ajukan kepadaku dua belas pemimpin, agar mereka menjadi pemimpin bagi kaumnya.”

Dalam Daulah Khilafah, wakil rakyat yang menjadi anggota Majelis Umat dipilih oleh umat, bukan ditunjuk atau ditetapkan oleh Khalifah. Akan tetapi, sebagaimana Khalifah, mereka tidak berhak menetapkan hukum, karena kedaulatan tidak berada di tangan mereka, tetapi di tangan syariah. Majelis Umat berwenang mengontrol kebijakan Khalifah dengan ketat dalam mengatur urusan rakyat. Di sisi lain, Khalifah berhak mendatangi Majelis Umat untuk bemusyawarah atau meminta pendapat berkaitan dengan pengaturan urusan umat.

Tapi, musyawarah ini bukan untuk mentapkan hukum, menentukan yang halal menjadi haram, atau sebaliknya yang haram menjadi halal. Karena itu, dalam Daulah Khilafah tidak boleh ada musyawarah untuk misalnya, menetapkan kebijakan privatisasi sumberdaya energi, karena ini merupakan perkara yang diharamkan Islam. Demikian pula, tidak boleh ada musyawarah dalam perkara-perkara yang diwajibkan Islam, seperti perlu-tidaknya mengerahkan pasukan untuk membebaskan negeri-negeri Muslim yang terjajah, atau menjadikan akidah Islam sebagai asas sistem pendidikan, atau menyatukan seluruh negeri Islam ke dalam wadah Daulah Khilafah.

Mengenai keanggotan Majelis Umat, warga negara non-Muslim bisa menjadi anggota Majelis Umat untuk melakukan pengaduan (syakwa) jika ada penyimpangan dalam penerapan syariah Islam atau kedzaliman terhadap diri mereka. Akan tetapi, anggota Majelis Umat yang non-Muslim itu tidak berhak menyampaikan pendapat mereka tentang syariah yang ditetapkan oleh Khalifah, karena mereka tidak meyakini akidah Islam dan sudut pandang Islam yang menjadi dasar penerapan syariah.

Proses Pengambilan Keputusan

Islam tidak sekadar menjelaskan prinsip-prinsip dasar mengenai berbagai aspek kehidupan manusia, tetapi juga memberikan aturan yang rinci. Sebagai contoh, dalam aspek ekonomi ada sejumlah ketentuan syariah yang mengatur tanah pertanian, riba, mata uang, kepemilikan umum dan berbagai pendapatan negara. Berkaitan dengan kebijakan luar negeri, ada sejumlah ketentuan syariah mengenai jihad, perjanjian internasional, dan hubungan diplomatik. Demikian pula dalam aspek pemerintahan, syariah Islam mengatur masalah pemilihan, bai’at, pengangkatan para wali (kepala daerah) dan syarat mengenai pemakzulan penguasa. Khalifah wajib menerapkan ketentuan-ketentuan tersebut apa adanya, tanpa menambah atau mengurangi. Khalifah tidak dibenarkan bersikap mengikuti kehendak pribadinya. Khalifah juga tidak membutuhkan dukungan mayoritas anggota Majelis Umat untuk menerapkannya.

Adapun menyangkut ketentuan yang mengandung ikhtilaf, syariah telah memberikan hak kepada Khalifah untuk mengadopsi pendapat yang menurut pertimbangannya mempunyai dalil syara’ yang paling kuat, dan kemudian menetapkannya sebagai undang-undang negara. Abu Bakar ra, pada masa awal kekhilafahannya, telah menolak pendapat mayoritas sahabat tentang hukuman bagi orang yang menolak membayar zakat. Beliau memilih mengirimkan pasukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Umar bin Khaththab ra tetap menerapkan hasil ijtihadnya tentang persoalan tanah Irak, walaupun Bilal ra dan para sahabat lainnya tidak setuju. Meski demikian, Khalifah tidak akan mengadopsi salah satu pendapat yang berkaitan dengan masalah pribadi atau cabang-cabang akidah. Dalam hal ini, umat dibolehkan mengikuti pendapat atau hasil ijtihad yang berbeda. Jadi, perbedaan pendapat dalam masalah ini dibolehkan ada di tengah masyarakat.

Dalam perkara-perkara yang dipahami publik dan bersifat praktis, Khalifah terikat dengan pendapat mayoritas. Misalnya tentang lokasi yang paling strategis untuk mendirikan universitas di sebuah daerah. Dalam hal ini Khalifah wajib mengikuti pendapat mayoritas. Dalam musyawarah menjelang Perang Uhud, misalnya, Rasulullah dan para sahabat senior berpendapat sebaiknya pasukan Quraisy dihadapi di dalam kota Madinah. Akan tetapi, mayoritas sahabat yang muda berpendapat sebaiknya menyambut pasukan Quraisy di luar kota Madinah. Maka pendapat mayoritas itulah yang kemudian dilaksanakan, sekalipun ini bertentangan dengan pendapat Rasulullah saw dan para sahabat senior.

Adapun dalam perkara-perkara yang memerlukan keahlian, maka Khalifah akan bermusyawarah dengan para ahli, bukan dengan masyarakat awam. Setelah bermusyawarah, Khalifah akan mengadopsi pendapat yang dianggap memiliki hujjah (argumentasi) paling kuat. Dalam hal ini, pendapat mayoritas ahli tidak menjadi pertimbangan utama, karena pendapat yang memiliki argumentasi paling kuat tidak selalu dipegang oleh kelompok mayoritas. Misalnya dalam masalah kelangkaan listrik, setelah melakukan musyawarah dengan para ahli, Khalifah akan memberikan keputusan final apakah akan membangun pembangkit listrik dengan energi nuklir, energi matahari, atau melakukan konversi dari energi bahan bakar minyak ke batu bara. Model pengambilan keputusan seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah menjelang perang Badar, di mana Rasulullah saw akhirnya memindahkan camp pasukan Islam setelah melakukan musyawarah dengan Hubab bin Mundzir ra, seorang shahabat yang dianggap paling mengetahui daerah itu.

Khilafah akan Mengakhiri Penjajahan

Fakta menunjukkan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia saat ini adalah sistem sekuler yang diwariskan oleh penjajah Belanda2, kemudian dilanjutkan dan dipertahankan oleh AS. Maka wajar bila kekuatan kolonialis masih bisa terus mengontrol urusan rakyat Indonesia melalui sistem tersebut. Sistem pemerintahan yang diterapkan Indonesia saat ini memiliki sejumlah kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh kekuatan kolonialis untuk mengamankan kepentingan mereka di Indonesia. Dengan hak legislasi ada di tangan wakil rakyat, maka negara-negara kolonialis itu, melalui infiltrasi kepada wakil-wakil rakyat yang dilakukan dengan berbagai cara, dengan mudah bisa mempengaruhi produk hukum dan perundang-undangan yang dihasilkan oleh wakil rakyat itu. Hasilnya, lahir lah hukum dan perundang-undangan yang pro kepentingan penjajah. Lihatlah UU Migas, UU Penanaman Modal, UU SDA dan yang lainnya.

Di dalam Daulah Khilafah, seluruh hukum dan perundang-undangan yang akan diterapkan harus berlandaskan dalil-dalil syara’. Karena itu, Khalifah tidak memiliki pilihan lain kecuali mengambil syariah dan peraturan yang berasal dari al-Quran dan as-Sunnah. Dengan metode ini, kedaulatan benar-benar berada di tangan syariah, bukan di tangan wakil rakyat. Dengan cara ini, kekuatan penjajah tidak mempunyai peluang untuk memanfaatkan proses legislasi demi kepentingan mereka. Maka, pintu penjajahan telah tertutup sejak dini.

Sistem Pemerintahan Indonesia Saat Ini Membuat Penguasa Tidak Mudah Dimintai Pertanggungjawaban. Hanya dalam Khilafah, Kontrol yang Ketat Bisa Dilakukan

Sesuai Pasal 5, pasal 7B, dan pasal 20 UUD 1945 yang telah mengalami amandemen IV (Tahun 2003), Presiden tidak dapat diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum Mahkamah Konstitusi memutus pelanggaran konstitusi apa yang dilakukan oleh Presiden. Sementara, Presiden bersama DPR sepenuhnya bebas membuat undang-undang apa pun, diantaranya undang-undang yang dapat mencegah rakyat memiliki akses guna melakukan kontrol atau koreksi terhadap pemerintah. Contoh mutakhir adalah Rancangan Undang-Undang tentang Kerahasiaan Negara, di mana di dalamnya terdapat ketentuan yang dapat membuat sejumlah informasi penting yang menyangkut rakyat banyak tidak dibuka untuk publik; atau Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), yang menyatakan bahwa para pejabat di sektor keuangan ini tidak dapat dijerat hukum terkait kebijakannya dalam memberikan Bantuan Likuiditas guna menghadapi krisis finansial global. Demikianlah, ketentuan dan mekanisme dibuat sedemikian rupa sehingga pada akhirnya rakyat tidak bisa melakukan kontrol dan koreksi terhadap pemerintah.

Dalam Daulah Khilafah, kepala negara atau Khalifah bukanlah seorang raja atau seorang diktator. Khalifah tidak dapat mengganti atau mengubah syariah Islam sesuka hatinya. Dalam Daulah Khilafah, upaya meminta pertanggung-jawaban penguasa bukan sekadar hak, tapi merupakan kewajiban dari setiap warga, karena amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu kewajiban dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda:

“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaklah kalian melakukan amar ma’ruf nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman atas kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, maka Dia tidak mengabulkan doamu.”
(HR. Tirmidzi)

Jadi, dalam Daulah Khilafah setiap orang, kelompok, partai, anggota Majelis Umat atau qadhi Mahkamah Madzalim bisa mengontrol dan mengoreksi Khalifah. Islam memerintahkan untuk memberhentikan seorang Khalifah jika terbukti memerintah bukan dengan syariah Islam, atau jika bersikap dzalim kepada rakyatnya. Pemakzulan ini merupakan sebuah kewajiban untuk menghilangkan kedzaliman. Maka, ketika kedzaliman terjadi, masyarakat berhak mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Madzalim. Jika kedzaliman itu terbukti dilakukan oleh Khalifah, maka Mahkamah Madzalim berhak memberhentikannya.

Khilafah Akan Menghapus Korupsi Politik

Korupsi politik senantiasa muncul dalam masyarakat sekuler, lebih-lebih di negara yang menerapkan sistem demokrasi, tidak terkecuali di Indonesia. Namun masyarakat seringkali salah mengira. Mereka menganggap korupsi politik itu semata-mata terjadi karena kesalahan individu, bukan kesalahan sistemik. Padahal fakta menunjukkan bahwa sistemlah yang menghasil-kan individu-individu yang bermasalah. Dan sistem itu pula yang kemudian membiarkan individu-individu tersebut melakukan berbagai bentuk korupsi.

Salah satu bentuk korupsi politik yang paling menonjol adalah dengan memperjual-belikan pasal-pasal dalam undang-undang atau keputusan politik lain seperti penetapan sebuah jabatan atau penyusunan anggaran. Dengan hak untuk membuat hukum perundang-undangan yang dimilikinya, anggota lembaga legislatif bisa melakukan negosiasi kepada pihak-pihak tertentu, baik di dalam maupun di luar negeri untuk memasukkan pasal-pasal dalam perundangan yang menguntungkan mereka. Atau mengatur besaran anggaran dan person tertentu dalam jabatan publik yang sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk melakukan itu semua, anggota legislatif akan mendapatkan bayaran sejumlah uang. Tertangkapnya sejumlah anggota DPR dalam kasus suap menunjukkan bahwa praktek seperti itu memang berlangsung secara nyata. Karena itu, uang ratusan juta bahkan milyaran rupiah yang dibelanjakan agar bisa menjadi anggota parlemen dianggap sebagai sebuah investasi yang pantas. Dengan cara inilah orang-orang yang bermental korup justru yang paling banyak terjaring masuk ke parlemen. Tak mengherankan, jika lembaga perwakilan rakyat itu lebih menjadi wadah untuk mengamankan kepentingan individu yang korup, bukan lembaga untuk mengurusi kepentingan rakyat. Sementara partai yang semestinya menjadi sarana perjuangan politik demi kepentingan rakyat, justru menjadi alat untuk melakukan berbagai tindakan korupsi politik tadi. Walhasil, jadilah korupsi dilakukan secara bersama-sama. Inilah fenomena “korupsi berjamaah”.

Dalam Daulah Khilafah, karena hak membuat hukum dan perundang-undangan ada pada syariah dan proses legislasinya dilakukan dengan ijtihad, maka tidak ada seorang pun, termasuk anggota Majelis Umat, yang bisa melakukan korupsi politik dengan jalan menjual belikan pasal-pasal dalam perundang-undangan itu. Dalam Daulah Khilafah, para wakil juga rakyat tidak bisa memeras Khalifah dengan ancaman mosi tidak percaya atas prasangka semata. Khalifah hanya bisa diberhentikan bila ia menyimpang dari syariah Islam. Dengan cara inilah, Khilafah akan menghapuskan korupsi politik yang merajalela di dalam sistem demokrasi.

»»  read more

Jumat, 31 Juli 2009

Apa Itu Khilafah?

  • Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah; dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih.
  • Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di Dunia Islam. Meskipun banyak pengamat dan sejarawan berupaya menginterpretasikan Khilafah menurut kerangka politik yang ada sekarang, tetap saja hal itu tidak berhasil, karena memang Khilafah adalah sistem politik yang khas.
  • Khalifah adalah kepala negara dalam sistem Khilafah. Dia bukanlah raja atau diktator, melainkan seorang pemimpin terpilih yang mendapat otoritas kepemimpinan dari kaum Muslim, yang secara ikhlas memberikannya berdasarkan kontrak politik yang khas, yaitu bai’at. Tanpa bai’at, seseorang tidak bisa menjadi kepala negara. Ini sangat berbeda dengan konsep raja atau dictator, yang menerapkan kekuasaan dengan cara paksa dan kekerasan. Contohnya bisa dilihat pada para raja dan diktator di Dunia Islam saat ini, yang menahan dan menyiksa kaum Muslim, serta menjarah kekayaan dan sumber daya milik umat.
  • Kontrak bai’at mengharuskan Khalifah untuk bertindak adil dan memerintah rakyatnya berdasarkan syariat Islam. Dia tidak memiliki kedaulatan dan tidak dapat melegislasi hukum dari pendapatnya sendiri yang sesuai dengan kepentingan pribadi dan keluarganya. Setiap undang-undang yang hendak dia tetapkan haruslah berasal dari sumber hukum Islam, yang digali dengan metodologi yang terperinci, yaitu ijtihad. Apabila Khalifah menetapkan aturan yang bertentangan dengan sumber hukum Islam, atau melakukan tindakan opresif terhadap rakyatnya, maka pengadilan tertinggi dan paling berkuasa dalam sistem Negara Khilafah, yaitu Mahkamah Mazhalim dapat memberikan impeachment kepada Khalifah dan menggantinya.
  • Sebagian kalangan menyamakan Khalifah dengan Paus, seolah-olah Khalifah adalah Pemimpin Spiritual kaum Muslim yang sempurna dan ditunjuk oleh Tuhan. Ini tidak tepat, karena Khalifah bukanlah pendeta. Jabatan yang diembannya merupakan jabatan eksekutif dalam pemerintahan Islam. Dia tidak sempurna dan tetap berpotensi melakukan kesalahan. Itu sebabnya dalam sistem Islam banyak sarana check and balance untuk memastikan agar Khalifah dan jajaran pemerintahannya tetap akuntabel.
  • Khalifah tidak ditunjuk oleh Allah, tetapi dipilih oleh kaum Muslim, dan memperoleh kekuasaannya melalui akad bai’at. Sistem Khilafah bukanlah sistem teokrasi. Konstitusinya tidak terbatas pada masalah religi dan moral sehingga mengabaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, kebijakan luar negeri dan peradilan. Kemajuan ekonomi, penghapusan kemiskinan, dan peningkatan standar hidup masyarakat adalah tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan oleh Khilafah. Ini sangat berbeda dengan sistem teokrasi kuno di zaman pertengahan Eropa dimana kaum miskin dipaksa bekerja dan hidup dalam kondisi memprihatinkan dengan imbalan berupa janji-janji surgawi. Secara histories, Khilafah terbukti sebagai negara yang kaya raya, sejahtera, dengan perekonomian yang makmur, standar hidup yang tinggi, dan menjadi pemimpin dunia dalam bidang industri serta riset ilmiah selama berabad-abad.
  • Khilafah bukanlah kerajaan yang mementingkan satu wilayah dengan mengorbankan wilayah lain. Nasionalisme dan rasisme tidak memiliki tempat dalam Islam, dan hal itu diharamkan. Seorang Khalifah bisa berasal dari kalangan mana saja, ras apapun, warna kulit apapun, dan dari mazhab manapun, yang penting dia adalah Muslim. Khilafah memang memiliki karakter ekspansionis, tapi Khilafah tidak melakukan penaklukkan wilayah baru untuk tujuan menjarah kekayaan dan sumber daya alam wilayah lain. Khilafah memperluas kekuasaannya sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya, yaitu menyebarkan risalah Islam.
  • Khilafah sama sekali berbeda dengan sistem Republik yang kini secara luas dipraktekkan di Dunia Islam. Sistem Republik didasarkan pada demokrasi, dimana kedaulatan berada pada tangan rakyat. Ini berarti, rakyat memiliki hak untuk membuat hukum dan konstitusi. Di dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syariat. Tidak ada satu orang pun dalam sistem Khilafah, bahkan termasuk Khalifahnya sendiri, yang boleh melegislasi hukum yang bersumber dari pikirannya sendiri.
  • Khilafah bukanlah negara totaliter. Khilafah tidak boleh memata-matai rakyatnya sendiri, baik itu yang Muslim maupun yang non Muslim. Setiap orang dalam Negara Khilafah berhak menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan-kebijakan negara tanpa harus merasa takut akan ditahan atau dipenjara. Penahanan dan penyiksaan tanpa melalui proses peradilan adalah hal yang terlarang.
  • Khilafah tidak boleh menindas kaum minoritas. Orang-orang non Muslim dilindungi oleh negara dan tidak dipaksa meninggalkan keyakinannya untuk kemudian memeluk agama Islam. Rumah, nyawa, dan harta mereka, tetap mendapat perlindungan dari negara dan tidak seorangpun boleh melanggar aturan ini. Imam Qarafi, seorang ulama salaf merangkum tanggung jawab Khalifah terhadap kaum dzimmi: “Adalah kewajiban seluruh kaum Muslim terhadap orang-orang dzimmi untuk melindungi mereka yang lemah, memenuhi kebutuhan mereka yang miskin, memberi makan yang lapar, memberikan pakaian, menegur mereka dengan santun, dan bahkan menoleransi kesalahan mereka bahkan jika itu berasal dari tetangganya, walaupun tangan kaum Muslim sebetulnya berada di atas (karena faktanya itu adalah Negara Islam). Kaum Muslim juga harus menasehati mereka dalam urusannya dan melindungi mereka dari ancaman siapa saja yang berupaya menyakiti mereka atau keluarganya, mencuri harta kekayaannya, atau melanggar hak-haknya.”
  • Dalam sistem Khilafah, wanita tidak berada pada posisi inferior atau menjadi warga kelas dua. Islam memberikan hak bagi wanita untuk memiliki kekayaan, hak pernikahan dan perceraian, sekaligus memegang jabatan di masyarakat. Islam menetapkan aturan berpakaian yang khas bagi wanita – yaitu khimar dan jilbab, dalam rangka membentuk masyarakat yang produktif serta bebas dari pola hubungan yang negatif dan merusak, seperti yang terjadi di Barat.
  • Menegakkan Khilafah dan menunjuk seorang Khalifah adalah kewajiban bagi setiap Muslim di seluruh dunia, lelaki dan perempuan. Melaksanakan kewajiban ini sama saja seperti menjalankan kewajiban lain yang telah Allah Swt perintahkan kepada kita, tanpa boleh merasa puas kepada diri sendiri. Khilafah adalah persoalan vital bagi kaum Muslim.
  • Khilafah yang akan datang akan melahirkan era baru yang penuh kedamaian, stabilitas dan kemakmuran bagi Dunia Islam, mengakhiri tahun-tahun penindasan oleh para tiran paling kejam yang pernah ada dalam sejarah. Masa-masa kolonialisme dan eksploitasi Dunia Islam pada akhirnya akan berakhir, dan Khilafah akan menggunakan seluruh sumber daya untuk melindungi kepentingan Islam dan kaum Muslim, sekaligus menjadi alternatif pilihan rakyat terhadap sistem Kapitalisme. (hti)
»»  read more

Sabtu, 25 Juli 2009

Siapakah Ulil Amri Minkum Yang Sebenarnya?

Di dalam Al-Qur’an terdapat sebuah ayat yang sangat sering dikutip oleh para politisi Partai Islam terutama di musim kampanye menjelang Pemilu. Namun yang kita sayangkan ialah umumnya mereka mengutip ayat tersebut secara tidak lengkap alias sepotong saja. Lengkapnya ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa ayat 59)

Mengapa ayat ini begitu populer dikumandangkan para jurkam di musim kampanye? Karena di dalamnya terkandung perintah Allah agar ummat taat kepada Ulil Amri Minkum (para pemimpin di antara kalian atau para pemimpin di antara orang-orang beriman). Sedangkan para politisi partai tadi meyakini jika diri mereka terpilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin sosial berarti mereka dengan segera akan diperlakukan sebagai bagian dari Ulil Amri Minkum. Dan hal itu akan menyebabkan mereka memiliki keistimewaan untuk ditaati oleh para konstituen. Selain orang-orang yang sibuk menghamba kepada Allah semata, mana ada manusia yang tidak suka dirinya mendapatkan ketaatan ummat? Itulah sebabnya ayat ini sering dikutip di musim kampanye. Namun sayang, mereka umumnya hanya mengutip sebaian saja yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم

”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS An-Nisa ayat 59)

Mereka biasanya hanya membacakan ayat tersebut hingga kata-kata Ulil Amri Minkum. Bagian sesudahnya jarang dikutip. Padahal justru bagian selanjutnya yang sangat penting. Mengapa? Karena justru bagian itulah yang menjelaskan ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum. Bagian itulah yang menjadikan kita memahami siapa yang sebenarnya Ulil Amri Minkum dan siapa yang bukan. Bagian itulah yang akan menentukan apakah fulan-fulan yang berkampanye tersebut pantas atau tidak memperoleh ketaatan ummat.

Dalam bagian selanjutnya Allah berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa ayat 59)

Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang sebenarnya ialah komitmen untuk selalu mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Para pemimpin sejati di antara orang-orang beriman tidak mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Qur’an dan Sunnah Ar-Rasul. Sebab mereka sangat faham dan meyakini pesan Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ

وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Hujurat ayat 1)

Sehingga kita jumpai dalam catatan sejarah bagaimana seorang Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu di masa paceklik mengeluarkan sebuah kebijakan ijtihadi berupa larangan bagi kaum wanita beriman untuk meminta mahar yang memberatkan kaum pria beriman yang mau menikah. Tiba-tiba seorang wanita beriman mengangkat suaranya mengkritik kebijakan Khalifah seraya mengutip firman Allah yang mengizinkan kaum mu’minat untuk menentukan mahar sesuka hati mereka. Maka Amirul Mu’minin langsung ber-istighfar dan berkata: ”Wanita itu benar dan Umar salah. Maka dengan ini kebijakan tersebut saya cabut kembali...!” Subhanallah, demikianlah komitmen para pendahulu kita dalam hal mentaati Allah dan RasulNya dalam segenap perkara yang diperselisihkan.

Adapun dalam kehidupan kita dewasa ini segenap sistem hidup yang diberlakukan di berbagai negara –baik negara Muslim maupun Kafir- ialah mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada selain Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Tidak kita jumpai satupun tatanan kehidupan modern yang jelas-jelas menyebutkan bahwa ideologi yang diberlakukan ialah ideologi Islam yang intinya ialah mendahulukan berbagai ketetapan Allah dan RasulNya sebelum yang lainnya. Malah sebaliknya, kita temukan semua negara modern yang eksis dewasa ini memiliki konstitusi buatan manusia, selain Al-Qur’an dan AsSunnah An-Nabawiyyah, yang menjadi rujukan utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Seolah manusia mampu merumuskan konstitusi yang lebih baik dan lebih benar daripada sumber utama konstitusi yang datang dari Allah subhaanahu wa ta’aala.

Bila demikian keadaannya, berarti tidak ada satupun pemimpin negeri di negara manapun yang ada dewasa ini layak disebut sebagai Ulil Amri Minkum yang sebenarnya. Pantaslah bilamana mereka dijuluki sebagai Mulkan Jabbriyyan sebagaimana Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sebutkan dalam hadits beliau. Mulkan Jabbriyyan artinya para penguasa yang memaksakan kehendaknya seraya tentunya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya. Adapun masyarakat luas yang mentaati mereka berarti telah menjadikan para pemimpin tersebut sebagai para Thoghut, yaitu fihak selain Allah yang memiliki sedikit otoritas namun berlaku melampaui batas sehingga menuntut ketaatan ummat sebagaimana layaknya mentaati Allah. Na’udzubillahi min dzaalika.

Keadaan ini mengingatkan kita akan peringatan Allah mengenai kaum munafik yang mengaku beriman namun tidak kunjung meninggalkan ketaatan kepada Thoghut. Padahal Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk meninggalkan para Thoghut bila benar imannya.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ

وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ

وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa ayat 60)

Sungguh dalam kelak nanti di neraka penyesalan mereka yang telah mentaati para pembesar dan pemimpin yang tidak menjadikan Allah dan RasulNya sebagai tempat kembali dalam menyelesaikan segenap perkara kehidupan.

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا

رَبَّنَا آَتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا

”Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (QS Al-Ahzab ayat 66-68)

»»  read more

Rabu, 01 Juli 2009

Metode Pemilihan, Penetapan, dan Pemberhentian Khalifah

Dalam setiap sistem pemerintahan, terdapat metode dan mekanisme dalam suksesi kepemimpinan. Metode tersebut erat kaitannya dengan konsep kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân). Kedaulatan berkaitan dengan otoritas pembuat hukum yang harus ditaati seluruh warga negara. Sedangkan kekuasaan berkenaan dengan pihak yang menjadi pelaksana dan penegak hukum.

Dalam sistem kerajaan misalnya, raja menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan sekaligus. Dialah yang memiliki otoritas sebagai pembuat hukum sekaligus penentu siapa yang menjadi penggantinya. Dalam hal ini, raja mengangkat ‘putra mahkota’, yang biasanya berasal dari keturunannya.

Sedangkan dalam sistem republik pemegang kedaulatan dan kekuasaan adalah rakyat. Konsekuensinya, semua hukum dan undang-undang menjadi otoritas parlemen yang dianggap menjadi representasi rakyat. Rakyat pula yang berhak memilih presiden atau kepala negaranya. Pemilihan itu bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat, bisa juga oleh parlemen.

Lalu, bagaimana mekanisme suksesi dalam sistem khilafah?

Umat Sebagai Pemegang Kekuasaan

Dalam sistem khilafah, antara kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân) dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam khilafah Islamiyyah ada di tangan syara’. Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-kim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût (sanksi-sanksi). Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt (lihat QS al-Nisa’: 59-65, 105, 115; al-Maidah: 44-50).

Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syara’ itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus memenuhi syarat sah (syurûth al-in’iqâd) harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kekhilafahan.

Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’ tentang baiat. Dalam ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan melalui bai’at. Berdasarkan nash-nash hadits, baiat merupakan satu-satunya metode yang ditentukan oleh syara’ dalam pengangkatan khalifah.

Hadits-hadits yang berkenaan dengan bai’at menunjukkan bahwa bai’at itu diberikan oleh kaum Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum muslimin. Dari Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:


بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا


Kami membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahululukan (HR Muslim).

Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah ra, ia berkata:

بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

Saya membaiat Rasulullah saw untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan memberikan nasihat kepada seluruh muslim (HR al-Bukhari).

Berdasarkan hadits-hadits tersebut seorang khalifah mendapatkan kekuasaan semata-mata dari umat melalui bai’at. Bahkan Rasulullah saw, meskipun beliau berkedudukan sebagai rasul, tetap saja mengambil baiat dari umat, baik dari laki-laki maupun perempuan. Demikian juga yang dipraktikkan oleh al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka semua menjadi khalifah setelah mendapatkan baiat dari umat.

Ketentuan baiat tersebut menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi khalifah. Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara’) dalam kehidupan bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem sekular-demokrasi.

Sebagai pemimpin yang telah dibaiat oleh umat, mereka memiliki kekuasaan yang wajib ditaati. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan kepada khalifah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah mendengarkan Rasulullah saw bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَر

Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu (HR Muslim dan Abu Daud).

Juga dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:


مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً


Barang siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah dia bersabar. Sebab, tiada seorang pun keluar (memberontak) dari penguasa sejengkal saja kemudian mati dalam keadaan demikian, maka dia mati seperti mati jahiliyyah (HR al-Bukhari).

Jelaslah bahwa dalam kaidah sistem pemerintahan Islam, kekuasaan ada di tangan syara’.

Metode Pengangkatan Khalifah

Selain menetapkan umat sebagai pemilik kekuasaan, syara’ juga menetapkan metode pengangkatan khalifah. Metode tersebut adalah dengan bai’at. Kesimpulan ini didasarkan pada baiat kaum Muslim kepada Rasulullah saw dan perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang khalifah. Baiat kaum Muslim kepada Rasulullah saw bukanlah baiat atas kenabian, tetapi baiat atas pemerintahan. Masalah baiat ini juga tercantum dalam al-Quran dan al-Sunnah.

Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ

Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka (QS al-Mumtahanah [60]: 12).

Imam al-Bukhari meriwayatkan Hadits dari Ubadah bin al-Shamit yang mengatakan:

بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ

Kami telah membaiat Rasulullah saw agar mendengar dan menaatinya, baik dalam keadaan senang maupun yang tidak disenangi; dan agar kami tidak mengambil kekuasaan dari orang yang berhak; dan agar kami mengerjakan atau mengatakan yang haqq di mana saja kami berasa, tidak takut kepada Allah kepada celaan orang yang suka mencela (HR al-Bukhari).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah mendengarkan Rasulullah saw bersabda:


وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu (HR Muslim dan Abu Daud).

Dalam hadits lain, Rasulullah saw juga bersabda:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, digantikan oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Tetapi nanti akan ada banyak khalifah. Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertaama, dan yang pertama saja. Berikanlah hak mereka, sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaban terhadap urusan yang dibebeankan kepada mereka” (HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, dengan alafadz al-Bukhari).

Juga Hadits yang yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Sa’id al Khudri dari Rasulullah saw yang bersabda:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

Apabila dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR Muslim).

Nash-nash al-Quran dan al-Sunnah tersebut menunjukkan bahwa baiat merupakan satu-satunya metode pengangkatan khilafah. Para sahabat telah memahami perkara tersebut. Bahkan mereka telah mempraktikkannya dalam pengangkatan al-khulafâ’ al-râsyidûn.

Prosedur Praktis Pengangkatan dan Pembaitan Khalifah

Prosedur dpraktis pengangkatan dan pembaitan khalifah dapat dilaksanakan dlam bentuk yang berbeda-beda. Prosedur ini sebagaimana pernah dipraktikkan dalam al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallah ‘anhum. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal, tatacara itu termasuk dalam perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syariah. Sebab, perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan institusi kaum Muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam.

Pengangkatan Abu Bakar ra sebagai khalifah dihasilkan dari hasil musyawarah sebagian kaum Muslim di Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu, yang dicalonkan adalah Sa’ad bin Ubadah, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Umar bin al-Khaththab, dan Abu Bakar. Hanya saja, Umar bin al-Khaththab dan Abu Ubaidah tidak bersedia menjadi pesaing Abu Bakar sehingga seakan-akan pencalonan itu hanya terjadi di antara Abu Bakar dan Saad bin Ubadah saja. Bukan yang lain. Dari hasil musyawarah itu, dibaiatlah Abu Bakar. Pada hari kedua kaum Muslim diundang ke Masjid Nabawi untuk membaiat Abu Bakar. Dengan demikian, baiat di Saqifah adalah bai’at in’iqãd yang mengangkat Abu Bakar menjadi Khalifah. Sementara baiat pada hari kedua merupakan baiat taat.

Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan mengantarkannya pada kematian dan pasukan Muslim sedang berada medan perang melawan negara besar (Persia dan Romawi), beliau memanggil kaum Muslim untuk meminta pendapat mereka mengenai siapa yang akan menjadi khalifah sepeninggalnya. Proses pengumpulan pendapat itu berlangsung selama tiga bulan. Setelah Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum Muslim, beliau pun mengetahui pendapat mayoritas yang menghendaki Umar sebagai penggantinya. Maka Abu Bakar menunjuk Umar untuk menjadi khaifah sesudahnya. Penunjukan atau pencalonan itu bukanlah merupakan akad pengangkatan Umar sebagai khalifah. Sebab, sesudah wafatnya Abu Bakar, kaum Muslim datang ke masjid dan tetap membaiat Umar untuk memangku jabatan kekhilafahan. Artinya, dengan baiat inilah Umar sah menjadi kaum Muslim. Bukan dengan proses pengumpulan pendapat kaum Muslim. Juga bukan dengan proses penunjukan oleh Abu Bakar. Seandainya pencalonan oleh Abu Bakar merupakan akad kehilafahan kepada Umar, tentu tidak diperlukan baiat kaum Muslim. Apalagi terdapat nash-nash yang telah disebutkan sebelumnya yang menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi khalifah kecuali melalui baiat kaum Muslim.

Ketika Umar tertikam, kaum Muslim meminta beliau menunjuk penggantinya. Akan tetapi, Umar menolaknya. Karena terus didesak, Umar pun menunjuk enam orang yang bermusyawarah mengenai khalifah penggantinya. Keenam orang itu adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhab bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, dan Saad bi Abi Waqash. Beliau juga menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan memimpin enam orang yang telah dicalonkan itu hingga terpilih seorang khalifah dari mereka. Mereka diberikan jangka waktu tiga hari untuk membuat keputusan. Beliau berkata kepada Suhaib, “Jika lima orang telah bersepakat, dan meridhai seseorang (untuk menjadi khalifah), sementara satu orang yang lain menolaknya, maka penggallah leher orang itu dengan pedang.” Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang lainnya untuk mengawal mereka. Beliau memilih Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu untuk mengadakan pertemuan.

Setelah Umar wafat dan setelah para calon berkumpul Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Siapakah di antara kalian yang mau mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik di antara kalian?” Semua diam. Lalu Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Aku mengundurkan diri.”

Abdurrahman mulai meminta pend pat mereka satu-persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masing, siapa di antara mereka yang lebih berhak. Akhirnya jawabannya terbatas pada dua orang: Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin ‘Affan. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk pendapat kaum Muslim dan menanyai siapa di antara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman melakukannya bukan hanya siang hari, tetapi juga malam hari.

Imam al-Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata, “Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, ia mengetuk pintu hingga aku terbangun. Ia berkata,”Aku melihat engkau banyak tidur. Demi Allah, janganlah kalian banyak tidur mengabiskan tiga hari ini –yakni tiga malam—dengan banyak tidur.” Ketika orang-orang melaksanakan subuh, maka sempurnalah pembaitan Utsman. Dengan baiat kaum Mukmin itulah Utsman menjadi khalifah. Bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang tersebut.

Sesudah Utsman bin ‘Affan terbunuh, mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membaiat Ali bin Abi Thalib. Dengan baiat kaum Muslim itu pula Ali menjadi khalifah.

Bertolak dari tatacara pembaiatan al-khulafâ’ al-râsyidûn para sahabat itu, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kepada masyarakat. Di samping itu, syarat in’iqãd terpenuhi pada masing-masing calon. Kemudian di ambilalih pendapat Ahli Halli wa al-aqdi di antara kaum Muslim, yaitu yang merepresentasikan umat. Mereka merepresentasikan umat ini telah dikenal luas pada masa al-khulafâ’ al-râsyidûn. Siapa saja yang dikehendaki sahabat atau mayoritas para sahabat untuk dibaiat dengan in’iqãd, yang dengan itu ia menjadi khalifah, maka kaum Muslim wajib membaiat mereka dengan baiat taat. Demikianlah proses terwujudnya khilafah yang menjadi wakil umatdalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.

Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembaiatan al-khulafa’ al-rasyidun –semoga Allah meridhai mereka. Selain itu, ada dua perkara lain yang dapat dipahami pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaiatan Utsman. Dua perkara itu adalah: (1) adanya amir atau pemimpin sementara selama masa penngangkatan khalifah yang baru, dan (2) pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai batasan maksimal.

Masa Kepemimpinan Khalifah

Dalam sistem khilafah, jabatan khalifah tidak memiliki periode tertentu atau dibatasi dengan waktu tertentu sebagaimana dalam sistem republik. Selama khalifah tidak kehilangan syarat in’iqãd, berpegang teguh kepada syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah. Hal ini didasarkan peda riwayat Imam al-Bukhari dari Anas bin Malik, dari Nabi saw bahwa beliau bersabda:

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ

Dengar dan taatlah pemimpin kalian sekalipun yang memimpin adalah seorang budak hitam yang kepalanya seperti dipenuhi bisul (HR al-Bukhari).

Dari Nafi’ bin Abdullah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

Mendengar dan taat kepada seorang (pemimpin) muslim wajib dalam hal yang disulai atau dibenci selama tidak diperintahkan maksiat. Apabila diperintahkan maksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat (HR al-Bukhari).

Di samping itu, al-khulafâ’ al-râsyidûn`masing-masing telah dibaiat secara mutlak sebagaimana yang terdapat dalam sejumlah hadits. Kekhilafahan mereka tidak dibatasi dengan masa tertentu. Masing-masing dari al-khulafâ’ al-râsyidûn memimpin sejak dibaiat sampai wafat. Dengan demikian, ini merupakan ijma’ sahabat yang menunjukkan bahwa kekhilafahan tidak mempunyai masa tertentu, tetapi bersifat mutlak.

Pemberhentian Khalifah

Syara’ memang telah memberikan hak bagi umat memilih dan mengangkat khalifah. Akan tetapi, umat tidak berhak memberhentikannya selama akad baiat kepadanya dilaksanakan secara sempurna berdasarkan ketentuan syara’. Kendati demikian, bukan berarti khalifah tidak dapat berhentikan apa pun keadaannya.

Syara’ telah menjelaskan keadaan-keadaan tertentu yang khalifah dinyatakan berhenti secara otomatis, seperti hilangnya syarat-syarat sah khilafah pada dirinya. Di antara syarat sah khalifah adalah Muslim. Apabila seorang khalifah murtad, maka harus diturunkan. Demikian pula jika gila total yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, atau ditawan musuh yang tidak mungkin bisa melepaskan diri. Sebab, syarat sah khalifah adalah berakal dan merdeka.

Di samping itu, dijelaskan pula keadan-keadaan tertentu yang khalifah harus diberhentikan oleh mahkamah madzãlim, seperti ketika ia tidak dapat melaksanakan tugasnya karena suatu sebab atau kehilangan ‘adâlah-nya, yaitu telah melakukan kefasikan secara terang-terangan.

Termasuk pula jika seorang khalifah menampakkan kekufuran yang nyata, semisal hendak mengubah undang-undang negara yang berasal dari syariah menjadi undang buatan manusia. Dari ‘Auf bun Malik, bahwa Rasulullah saw bersabda:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian, kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruknya pemimpin adalah kalian benci mereka dan mereka pun membeci kalian, kalian laknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Ditanyakan kepada beliau, “Apakah tidak kami perangi saja mereka dengan pedang?” Rasulullah saw menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim).

Yang dimaksud dengan ‘menegakkan shalat’ dalam hadits ini adalah menegakkan hukum-hukum Islam. Ini sejalan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari Ubadah bin al-Shamit. Bahwa kekuasaan harus dicabut dari penguasa yang menampakkan kekufuran yang nyata. Dari ‘Ubadah bin al-Shamit ra, berkata:

بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

Kami membaiat untuk mendengar dan taat dalam yang kami senangi atau kami benci, keadaan lapang atau sempit, benar-benar kami prioritaskan, dan tidak mencabut kekuasaan dari pemegangnya, kecuali “kamu melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki dalil jelas dari Allah (HR Muslim).

Tatkala hukum Islam tidak tegakkan, bisa dipastikan akan menegakkan hukum selainnya. Selain hukum Islam adalah hukum kufur. Menelantarkan hukum Islam dan menegakkan hukum kufur merupakan kekufuran yang nyata.

Ketika Khilafah Belum Tegak

Ketentuan pengangkatan khalifah di atas berlaku pada saat khalifah sudah ada, kemudian meninggal atau diberhentikan. Apabila sebelumnya belum ada khalifah, maka wajib bagi kaum Muslim mengangkat seorang khalifah bagi mereka untuk menerapkan hukum syariah dan mengemban dakwah ke seluruh dunia

Dalam keadaan demikian, jika suatu wilayah di wilayah dunia Islam ini telah membaiat seorang khalifah dan akad kekhilafahan telah terwujud padanya, maka menjadi kewajiban bagi kaum Muslim di berbagai wilayah lainnya untuk membaiat dengan baiat taat atau baiat in’iqãd. Ini berlaku setelah terwujud akad kekhilafahan pada khalifah yang baru tersebut dengan baiat di negerinya. Hanya saja, negeri tersebut harus memenuhi empat syarat berikut:

  1. Kekuasaan negeri itu merupakan kekuasaan yang hakiki atau bersifat independen, yang hanya bersandar pada kaum Muslim saja. Tidak bersandar kepada suatu negara kafir atau suatu kekuasaan kafir mana pun.
  2. Keamanan kaum Muslim di negeri itu adalah keamanan Islam, bukan keamanan kufur. Artinya, perlindungan negeri itu, baik dalam negeri maupun luar negerinya, merupakan perlindungan Islam. Yakni, berasal dari kekuatan kaum Muslim yang dipandang sebagai kekuatan Islam saja.
  3. Negeri itu mengawali secara langsung penerapan Islam secara total, sekaligus, dan menyeluruh serta langsung mengemban dakwah Islamiyyah.
  4. Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat-syarat in’iqãd. Kekilafahan meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliyyah, karena yang wajib hanya syarat in’iqãd.

Jika negeri itu memenuhi keempat hal di atas, maka dengan baiat negeri itu saja khilafah sesungguhnya telah terwujud dan akad kekhilafahan telah terjadi. Dalam hal ini, khalifah yang telah dibaiat dengan baiat in’iqãd, secara sah merupakan khalifah yang sesuai dengan syariah sehingga pembaiatan kepada yang lain itu menjadi tidak sah. Dengan demikian, negeri mana pun yang membaiat seorang khalifah lain setelah itu adalah batil dan tidak sah. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Sa’id al Khudri dari rasulullah saw yang bersabda:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

Apabila dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR Muslim).

Hadits ini menjelaskan, bahwa ketika negara tidak memiliki khalifah — baik karena meninggalnya khalifah, karena diberhentikan maupun berhenti secara otomatis — lalu dibai’at dua orang untuk menduduki kekhilafahan, maka yang paling akhir di antara kedua orang tersebut wajib dibunuh, apalagi kalau diberikan lebih dari dua orang. Ini juga merupakan kinãyah (kiasan) terhadap larangan adanya pembagian negara khilafah, yang juga berarti mengharamkan negara khilafah menjadi banyak negara, bahkan mewajibkan tetap hanya satu negara.

Demikianlah metode pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala negara dalam sistem khilafah. Wal-Lãh a’alam bi al-shawãb. (Rokhmat S. Labib, M.E.I.)

»»  read more

Senin, 29 Juni 2009

Serial Syariah Islam: Mewujudkan “Clean Governance and Good Governmet”


PENDAHULUAN

Pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good government) adalah idaman. Istilah yang semakin populer dalam dua dekade ini, semakin menjadi tuntutan, dalam kondisi ketika korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) lainnya begitu menggejala di berbagai belahan dunia. Kekecewaan terhadap performance pemerintahan di berbagai negara, baik di negara dunia ketiga maupun di negara maju, telah mendorong berkembangnya tuntutan akan kehadiran pemerintahan yang baik dan bersih.

Pemerintahan yang bersih umumnya berlangsung di negara yang masyarakatnya menghormati hukum. Pemerintahan yang seperti ini juga disebut sebagai pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintahan yang baik itu hanya bisa dibangun melalui pemerintahan yang bersih (clean government) dengan aparatur birokrasinya yang terbebas dari KKN. Dalam rangka mewujudkan clean government, pemerintah harus memiliki moral dan proaktif mewujudkan partisipasi, serta check and balances. Tidak mungkin mengharapkan pemerintah sebagai suatu komponen dari proses politik memenuhi prinsip clean government dalam ketiadaan partisipasi.

Bisakah pemerintahan yang bersih dan baik dibangun saat ini, ketika sistem hukum, moral aparat, kemiskinan akibat kesalahan sistem dan kebangkrutan birokrasi di semua lini dan tingkatan, dibangun ? Tulisan ringkas ini, mencoba memotret kondisi birokrasi, Indonesia khususnya, serta menggagas solusi membangun birokrasi, sebagai upaya mewujudkan clean and good governance. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa memancing diskusi yang lebih intens, guna mencari solusi total atas kebangkrutan birokrasi yang sedemikian parah saat ini.

REALITAS BIROKRASI DALAM PEMERINTAHAN DEWASA INI

Birokrasi yang Buruk

Pemerintahan yang baik dan bersih diukur dari performance birokrasinya. Pengalaman dan kinerja birokrasi di berbagai negara telah melahirkan dua pandangan yang saling bertentangan terhadap birokrasi. Pandangan pertama melihat birokrasi sebagai kebutuhan, yang akan mengefisienkan dan mengefektifkan pekerjaan pemerintahan. Pandangan kedua, melihat birokrasi sebagai “musuh” bersama, yang kerjanya hanya mempersulit hidup rakyat, sarangnya korupsi, tidak melayani, cenderung kaku dan formalistis, penuh dengan arogansi (yang bersembunyi di balik hukum), dan sebagainya.

Padahal, secara konseptual, birokrasi, sebagai sebuah organisasi pelaksana pemerintahan, adalah sebuah badan yang netral. Faktor di luar birokrasilah yang akan menentukan wajah birokrasi menjadi baik ataupun jahat, yaitu manusia yang menjalankan birokrasi dan sistem yang dipakai, tempat birokrasi itu hidup dan bekerja. Artinya, bila sistem (politik, pemerintahan, dan sosial budaya) yang dipakai oleh suatu negara adalah baik dan para pejabat birokrasi juga orang-orang yang baik, maka birokrasi menjadi sebuah badan yang baik, lagi efektif. Sebaliknya, bila birokrasi itu hidup di dalam sebuah sistem yang jelek, hukumnya lemah, serta ditunggangi oleh para pejabat yang tidak jujur, maka birokrasi akan menjadi buruk dan menakutkan bagi rakyatnya.

Indikator buruknya kerja birokrasi pada umumnya berfokus pada terjadinya korupsi di dalam birokrasi tersebut. Indonesia dari waktu ke waktu terkenal dengan tingkat korupsi yang tinggi. Pada tahun 1998, siaran pers Tranparansi Internasional, sebuah organisasi internasional antikorupsi yang bermarkas di Berlin, melaporkan, Indonesia merupakan negara korup keenam terbesar di dunia setelah lima negara gurem, yakni Kamerun, Paraguay, Honduras, Tanzania, dan Nigeria. (Kompas, 24/09/1998). Tiga tahun kemudian, 2001, Transparansi Internasional telah memasukkan Indonesia sebagai bangsa yang terkorup keempat di muka bumi. Sebuah identifikasi yang membuat bangsa kita tidak lagi punya hak untuk berjalan tanpa harus menunduk malu (Hamid Awaludin, Korupsi Semakin Ganas, Kompas, 16/08/2001). Juga, di tahun 2002, hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia, dikuntit India dan Vietnam (Teten Masduki, Korupsi dan Reformasi “Good Governance”, Kompas, 15/04/2002).

Survei Nasional Korupsi yang dilakukan oleh Partnership for Governance Reform melaporkan bahwa hampir setengahnya (48%) dari pejabat pemerintah diperkirakan menerima pembayaran tidak resmi (Media Indonesia, 19/11/2001). Artinya, setengah dari pejabat birokrasi melakukan praktik korupsi (uang). Belum lagi terhitung korupsi dalam bentuk penggunaan waktu kerja yang tidak semestinya, pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan selain itu. Maka, hanya tinggal segelintir kecil saja aparat birokrasi yang mempertahankan kesucian dirinya, di lingkungan yang demikian kotor. Dengan begitu, ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, hanya manis di mulut tanpa political will yang memadai.

Praktik korupsi di Indonesia, sebenarnya bukan saja terjadi pada dua-tiga dekade terakhir. Di era pemerintahan Soekarno, misalnya, Bung Hatta sudah mulai berteriak bahwa korupsi adalah budaya bangsa. Malah, pada tahun 1950-an, pemerintah sudah membentuk tim khusus untuk menangani masalah korupsi. Pada era Soekarno itulah kita kenal bahwa salah satu departemen yang kotor, justru Departemen Agama dengan skandal kain kafan. Saat itu, kain untuk membungkus mayat (kain kaci), masih harus diimpor. Peran departemen ini sangat dominan untuk urusan tersebut (Hamid Awaludin, Korupsi Semakin Ganas, Kompas, 16/08/2001).

Dewasa ini, spektrum korupsi di Indonesia sudah merasuk di hampir semua sisi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan. Mulai dari pembuatan KTP, IMB, tender proyek-proyek BUMN, penjualan aset negara oleh BPPN, penggerogotan dana Bulog, bahkan sampai tukang parkir dan penjual tiket kereta api pun sudah terbiasa melakukan tindak korupsi. Korupsi yang demikian subur ini, kemudian dijadikan argumentasi, bahwa korupsi adalah budaya kita. Karena merupakan budaya, maka sulit untuk diubah, demikianlah kesimpulan sementara orang. Oleh karena itu, gerakan anti korupsi dipandang usaha yang sia-sia. Urusan korupsi, hanya dapat kita serahkan pada “kebaikan hati” rakyat saja. Sebuah kesimpulan yang dangkal dan tergesa-gesa.

Kebangkrutan birokrasi, sebagai akibat korupsi terjadi di mana-mana, baik di negara maju maupun negara terbelakang. David Osborne dan Ted Gaebler (Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, 1995) mensinyalir, bagaimana birokrasi di Amerika, yang 100 tahun lalu dipandang positif, kini semakin dirasakan lamban, tidak lincah, tidak bisa menyesuaikan dengan perubahan kebutuhan masyarakat. Birokrasi kota-kota di Amerika menjadi demikian gemuk dan korup, sehingga tidak bisa diharapkan lagi. Di Nigeria, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan juga tumbuh subur. Presiden Nigeria Shehu Shagari di tahun 1982 menyatakan, “Hal yang paling merisaukan saya lebih dari apa pun juga adalah soal kemerosotan akhlak di negeri kami. Ada masalah suap, korupsi, kurangnya ketaatan akan tugas, ketidakjujuran, dan segala cacat semacam itu” (Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, 1998). Kekhawatiran serupa juga diungkapkan oleh Presiden Meksiko Jose Lopez Portillo, diakhir masa jabatannya, “Rakyat Meksiko secara tidak halal telah mengeruk lebih banyak uang keluar dari Meksiko selama dua tahun terakhir ini daripada yang pernah dijarah kaum imperialis selama seluruh sejarah negeri kita” (Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, 1998).

Buruknya kinerja birokrasi bukan saja menggerogoti uang negara. Birokrasi yang buruk juga akan menyebabkan pelayanan yang jelek, sehingga menimbulkan high cost economy di semua lini kehidupan. Harga BBM yang terus menerus naik, bukan saja disebabkan oleh harga minyak di pasaran dunia, tapi juga disebabkan oleh tidak efisiennya kerja Pertamina. Drs. Gandhi, (Tenaga Ahli BPK) dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh CIDES bekerja sama dengan HU Republika pada tanggal 26 Maret 1998 memberi catatan beberapa contoh korupsi yang ditemui dalam pemeriksaan BPK.

1. Korupsi yang Dilakukan oleh Pemegang Kebijakan; misalnya:

a. menentukan dibangunnya suatu proyek yang sebenarnya tidak perlu atau mungkin perlu, tapi ditempat lain. Akibatnya, proyek yang dibangun mubazir atau penggunaannya tidak optimal;

b. menentukan kepada siapa proyek harus jatuh. Akibatnya, harga proyek menjadi lebih tinggi dengan kualitas yang rendah;

c. menentukan jenis investasi, misalnya memutuskan agar suatu BUMN membeli saham perusahaan tertentu. Perusahaan yang dibeli sahamnya itu sebenarnya sudah hampir bangkrut atau sudah tidak layak usaha karena tidak ekonomis. Perusahaan yang hampir bangkrut ini adalah milik pejabat sendiri, saudaranya, atau kawannya. Akibatnya, uang negara menjadi hilang karena perusahaan tidak pernah untung, bahkan benar-benar ambruk;

d. mengharuskan BUMN bekerja sama dengan perusahaan swasta tertentu tanpa memperhatikan faktor ekonomis. Korupsi jenis ini mudah dideteksi, tetapi karena pemegang kebijakan biasanya berkedudukan tinggi, tidak pernah ada tindakan. Akibatnya, BUMN terus menerus memikul kerugian dari kerja sama tersebut.

2. Korupsi pada Pengelolaan Uang Negara;

a. Uang yang belum/sementara tidak dipakai sering diinvestasikan dalam bentuk deposito. Di samping bunga yang resmi (yang tercantum dalam sertifikat deposito atau surat perjanjian lainnya), bank biasanya memberikan premi (bunga ekstra). Bunga ekstra ini sebenarnya merupakan jasa uang negara yang didepositokan itu, sehingga seharusnya menambah penerimaan investasi dalam bentuk deposito tadi. Akan tetapi, sering dalam kenyataannya, bunga ekstra ini tidak tampak dalam pembukuan instansi yang mendepositokannya. Bunga ekstra ini bisa lebih besar apabila uang negara itu disimpan dalam bentuk giro. Ke mana perginya bunga ekstra ini dapat diperkirakan.

b. BUMN pengelola uang pensiunan atau asuransi harus menginvestasikan uangnya agar dapat membayar pensiun dan kewajiban asuransinya pada yang berhak. Di samping investasi dalam bentuk deposito, bisa juga diinvestasikan dalam perusahaan-perusahaan swasta. Sering terjadi investasi dilakukan pada perusahaan milik pribadi atau grup dari pejabat BUMN yang bersangkutan. Biasanya investasi pada perusahaan tersebut hanya memberikan hasil yang sangat kecil atau bahkan sama sekali tidak memberikan keuntungan.

3. Korupsi pada Pengadaan;

a. membeli barang yang sebenarnya tidak perlu. Pembelian hanya dilakukan untuk menghabiskan anggaran, untuk memperoleh komisi, untuk menghabiskan barang persediaan perusahaan pribadi atau grupnya yang kadang-kadang telah out of date;

b. membeli dengan harga lebih tinggi dengan jalan mengatur tender, yaitu yang mengikuti tender hanyalah perusahaan-perusahaan grupnya atau yang bisa diatur olehnya. Dengan demikian, yang menang adalah perusahaan pribadi, grupnya, atau perusahaan yang memberikan komisi yang lebih besar dan perusahaan yang sesuai dengan petunjuk pejabat pemegang kebijakan tersebut atau perusahaan yang dititipkan oleh orang-orang yang dekat dengan kekuasaan;

c. membeli barang dengan kualitas dan harga tertentu, tetapi barang yang diterima kualitasnya lebih rendah. Sebagian atau seluruh selisih harga diterima oleh pejabat yang bersangkutan;

d. barang dan jasa yang dibeli tidak diterima seluruhnya. Sebagian atau seluruh harga barang dan jasa yang tidak diserahkan, diterima oleh pejabat.

4. Korupsi pada Penjualan Barang dan Jasa;

a. Barang/jasa dijual dengan harga lebih rendah dari harga yang wajar. Pejabat mendapat komisi atau sebenarnya pejabat sendiri yang membelinya dengan nama orang lain.

b. Transaksi penjualan yang “ngetrend” akhir-akhir ini adalah “ruislag”, yaitu suatu aset negara yang diserahkan kepada pihak ketiga, sedangkan negara menerima aset lain dari pihak ketiga tersebut. Kerugian negara dapat berupa: aset negara dinilai terlalu rendah (murah), aset yang diterima negara dinilai terlalu tinggi, atau kombinasi keduanya.

c. Aset diserahkan kepada pihak ketiga lebih banyak dari yang diperjanjikan. Pejabat mendapat keuntungan dari transaksi ini.

5. Korupsi pada Pengeluaran;

a. Bentuk pengeluaran uang harus dilandasi dengan berita acara prestasi, yaitu suatu keterangan barang/jasa telah diterima dalam kualitas dan kuantitas yang diperjanjikan. Sering terjadi sebenarnya barang/jasa tidak pernah diterima, tetapi dalam berita acara disebutkan bahwa barang/jasa telah diterima lengkap (berita acara fiktif), sehingga dilakukan pembayaran. Seluruh atau sebagian uang pembayaran diterima oleh pejabat. Berita acara fiktif ini banyak dilakukan dalam penyerahan jasa.

b. Pada biaya perjalanan dinas sering juga terjadi yang berjalan hanyalah Surat Perintah Perjalanan Dinas, yaitu untuk ditandatangani oleh pejabat di tempat tujuan. Pejabatnya sendiri tidak berjalan, ia hanya menerima uang biaya perjalanan dinas. Korupsi ini memang kecil-kecilan, tetapi karena banyak orang yang melakukan secara agregat jumlahnya besar.

6. Korupsi pada Penerimaan.

a. Pembayar pajak sering membayar pajaknya lebih kecil dari yang seharusnya. Dari pemeriksaan petugas pajak dapat diketahui besarnya kekurangan pajak yang kekurangan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Petugas pajak tidak melaporkan adanya kekurangan pajak tersebut kepada atasannya, tetapi merundingkan dengan wajib pajak. Petugas pajak akan menetapkan jumlah setoran tambahan yang lebih kecil dari yang seharusnya, apabila sebagian dari selisihnya dibayarkan kepadanya.

b. Petugas bea dan cukai kadang-kadang mengetahui bahwa suatu Pemberitahuan Barang Masuk tidak sesuai dengan kenyataannya, tetapi ia tidak mengadakan koreksi seperti yang seharusnya, tetapi ia menerima sogokan sejumlah uang dari pemilik barang untuk meloloskan barang tersebut. Tidak jarang terjadi, seorang petugas bea dan cukai memperlambat pemeriksaan barang dengan jalan mengada-ada masalah. Walaupun pemilik barang telah melaporkan apa adanya, ia terpaksa memberikan sogokan kepada petugas agar barangnya dapat segera keluar dari pelabuhan.

c. Petugas penerima pendapatan bukan pajak tidak membukukan dan menyetorkan seluruh penerimaan negara. Sebagian masuk ke kantong sendiri. (Drs. Gandhi, Membentuk Aparatur Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa, Makalah Seri Dialog Pembangunan CIDES-Republika, 26 Maret 1998)

Faktor Penyebab Kerusakan Birokrasi

Apakah yang menyebabkan rusaknya birokrasi? Bila korupsi merupakan penyakit utama birokrasi, maka dapat ditelusuri sebab-sebabnya. Bagi mereka yang berpandangan bahwa korupsi adalah sebuah budaya, dan budaya adalah sesuatu yang sulit diubah, maka sikap yang dilahirkan adalah menerima korupsi sebagai sebuah keharusan. Pandangan seperti ini sangat dipengaruhi oleh paham paternalistis, ketika pemberian hadiah dan upeti dari rakyat kepada pemimpin (pemerintah) adalah sesuatu yang baik. Oleh karena itu, bagi mereka praktik korupsi tidak dipandang sebagai hal negatif yang harus dimusnahkan. Korupsi dengan berbagai istilah dan spesifikasinya adalah bentuk penghormatan, rasa terima kasih, minta perlindungan, dan kasih sayang kepada penguasa atau pejabat negara. Pada masyarakat yang seperti ini, korupsi, dengan istilah lain “hadiah” atau “buah tangan”, adalah sebuah instrumen yang menjaga keseimbangan dan keberlangsungan sistem. Masalahnya, apakah budaya itu merupakan sesuatu yang hadir secara tiba-tiba dan harus diterima begitu saja, atau justru merupakan buah dari dipakainya sebuah sistem? Melihat kenyataan, banyaknya negara yang berubah semakin tidak korup, maka dapat dikatakan bahwa budaya itu bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah. Dengan demikian, pada dasarnya sistemlah yang akan membentuk budaya.

Tentu permasalahannya tidak sesederhana itu. Faktor penyebab suburnya korupsi bukan faktor tunggal, dia merupakan multifaktor yang kompleks dan saling bertautan. Syed Hussein Alatas (Sosiologi Korupsi, LP3ES, 1986) mencoba mendiskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan suburnya korupsi sebagai berikut.

1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memerikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.

2. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.

3. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

4. Kurangnya pendidikan.

5. Kemiskinan.

6. Tiadanya tindak hukuman yang keras.

7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku antikorupsi.

Paling tidak ada dua faktor utama penyebab korupsi,yaitu:

1. Faktor Individu

Orientasi dan pemahaman manusia tentang kebahagiaan mengalami pergeseran paradigma yang kemudian menentukan perubahan sikap. Pergeseran ini bukanlah sesuatu yang alamiah, tetapi merupakan sebuah perubahan yang terjadi akibat dari perubahan ideologi yang dianut bangsa tersebut. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi materialisme, maka kebahagiaan diukur dari berapa banyak materi (uang) yang dapat dikumpulkan dan dimiliki. Dalam masyarakat seperti ini, segala sesuatu diukur dengan uang. Maka kebahagiaan, kehormatan, status sosial, intelektualitas, kesejahteraan, dan segala nilai kebaikan, diukur dengan materi (uang). Karena itu, segala cara dihalalkan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, tidak terlalu penting, apakah uang itu diperoleh dengan cara yang halal atau haram.

Meluasnya paham materialisme ini, juga mempengaruhi karakter individu masyarakat, bukan saja pejabat pemerintah. Mereka tidak lagi mempunyai rasa malu, rasa bersalah sekaligus pengendalian diri, menghadapi fenomena korupsi. Bahkan, pada tingkatan tertentu, korupsi dipandang cara yang sah untuk “bagi-bagi” rezeki, menjaga stabilitas masyarakat, serta alat untuk mengendalikan dukungan dan kesetiaan (politik).

Pola rekrutmen pejabat negara (PNS) akan menentukan kualitas aparat birokrasi. Kondisi, tempat birokrasi diserahi tugas untuk menyediakan lapangan kerja, sebagai salah satu bentuk memperluas dukungan politik bagi penguasa, maka rekrutmen PNS tidak dijalankan dengan mengedepankan kapabilitas profesional. Tindakan KKN juga memperburuk kualitas aparat birokrasi. Dengan demikian, yang paling mungkin menjadi PNS adalah anak pejabat, kerabatnya pimpinan pemerintahan, atau orang-orang yang mempunyai cukup banyak uang untuk memuluskan jalannya menjadi PNS. Kualitas SDM yang jelek, kemudian menyebabkan birokrasi tidak mampu menjalankan fungsinya. Lihatlah, betapa banyak petugas penyuluh lapangan (pertanian, perikanan, dan kehutanan) yang tidak mempunyai kemampuan dasar penyuluh, misalnya berpidato di depan massa (komunikasi massa). Karena itu, tanpa kemampuan dasar tersebut, maka tugas utama mereka, memberi penyuluhan kepada masyarakat, tidak bisa dijalankan.

Tentu saja sumbangan faktor individu dalam kerusakan birokrasi, tidaklah berdiri sendiri. Karena pada saat kita menfokuskan perhatian pada aspek individu, pada dasarnya kita sedang berbicara “buah” dari sebuah sistem. Sebuah sistem secara sistematis merancang pembangunan karakter pribadi individual masyarakatnya. Dalam masyarakat kapitalis, yang menjunjung tinggi individualisme, memang “seolah-olah”, karakter pribadi dari warganya, seperti tidak dibangun secara formal. Namun, pola pendidikan, tata nilai (sosial, kemasyarakatan, keluarga), sistem ekonomi, serta sistem sosial yang dipakai secara sistematis akan membentuk individu-individu yang mengagungkan kebebasan individu sebagai puncak kebahagiaan. Maka dari itu, lahirlah sebuah masyarakat yang individualistis sekaligus materialistis. Dalam masyarakat yang materialistis ini sekarang kita hidup, sehingga sangat wajar bila kemudian kita menghadapi kenyataan, tingginya tingkat korupsi.

2. Faktor Sistem

Sistem yang dimaksud meliputi segenap sistem kenegaraan, pemerintahan, hukum, birokrasi, dan sosial. Secara internal, birokrasi membentuk sistemnya sendiri. Namun, kinerja birokrasi tidak ditentukan oleh faktor tunggal, dia sangat dipengaruhi oleh sistem-sistem lain yang dipakai di negara bersangkutan. Mohtar Mas’oed (Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, 1997) mengatakan. Pertama, birokrasi tidak pernah beroperasi dalam “ruang-hampa politik” dan bukan aktor netral dalam politik. Kedua, negara-negara dunia ketiga lebih sering dipengaruhi oleh sistem internasional, daripada sebaliknya. Artinya, birokrasi, dalam hidupnya dipengaruhi dan mempengaruhi sistem-sistem lain yang ada di lingkungannya, bahkan termasuk lingkungan internasional.

Besar kecilnya birokrasi dan wewenangnya, ditentukan oleh fungsi pemerintahan yang didefinisikan oleh sistem politik dan pemerintahan yang dipakai negara tersebut. Sebuah negara, yang menempatkan fungsi pembangunan sebagai salah satu tugas utama pemerintah (agent of development), seperti Indonesia, akan membentuk sebuah birokrasi yang besar. Birokrasi yang demikian, kemudian juga akan memiliki wewenang yang super-besar dan pengelolaan anggaran yang besar juga. Hampir semua sektor kehidupan akan dirambah oleh birokrasi pembangunan itu. Sejalan dengan wewenang dan anggaran yang besar, maka peluang untuk terjadinya korupsi juga membesar. Birokrasi yang gemuk seperti itu juga tidak akan bisa bergerak cepat dan lincah, walau hanya sekadar mengikuti perubahan tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Fenomena maraknya korupsi di birokrasi Indonesia yang super-gemuk itu (4-5 juta PNS) juga dapat kita telusuri dari penggunaan istilah departemen/direktorat/ bagian/unit “basah”, terutama di departemen keuangan, dirjen pajak, bea cukai, bagian keuangan, dinas pendapatan, badan perencanaan, dan lain-lain.

Sistem hukum yang lemah. Sistem hukum yang kita pakai bukan saja tidak bisa menjalankan fungsinya guna mencegah terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan jabatan lainnya. Namun, juga tidak mampu menjadi pembuat jera bagi penjahat berdasi yang dihukuminya. Ironisnya lagi, begitu banyak kasus korupsi yang tidak bisa dihukumi dengan sistem hukum yang ada. Sistem hukum yang ada juga tidak mampu menyediakan aparat penegak hukum yang andal. Para hakim, jaksa, polisi, dan penasihat hukum lebih tunduk pada tekanan politik dan publik daripada menaati aturan hukum baku yang ditetapkan. Penasihat hukum yang diduga kuat melakukan “penyuapan” terhadap saksi kasus korupsi dan pembunuhan, tidak bisa digugat hanya karena ketidakjelasan hukum. Yang terjadi kemudian perdebatan di antara aparat penegak hukum dalam menafsirkan sebuah ketentuan hukum.

Penegakan hukum yang setengah hati atas kasus-kasus korupsi bukan saja tidak membuat para koruptor takut, tapi juga sekaligus membuat penghormatan terhadap hukum menjadi sangat rendah. Hukum, kalaupun terpaksa tidak bisa dihindari, masih bisa dibeli. Bahkan, kalaupun putusan hakim telah dijatuhkan, masih tersedia instrumen lain (banding, kasasi, atau Peninjauan Kembali [PK]) yang bisa juga dibeli dari hasil korupsi. Kalaupun para koruptor itu tetap saja kalah dan dijebloskan ke “hotel prodeo”, maka masih ada banyak kesempatan untuk melenggang keluar, menikmati kebebasan, dan menghabiskan dana korupsi yang masih tetap dikuasai. Cukup dengan uang ratusan ribu rupiah, sang terpidana bisa menikmati week end bersama keluarga di rumah. Atau, kalau mau keluar selamanya, bayar saja petugas penjara yang berpenghasilan kecil itu, sejuta atau dua juta cukup untuk membuat pintu penjara terbuka lebar.

Sistem Penggajian yang rendah. Sudah menjadi argumentasi yang diterima secara umum, bahwa korupsi terjadi didorong oleh rendahnya gaji yang diberikan negara kepada PNS. Walaupun, dari fakta yang kita saksikan, korupsi itu lebih besar dan intens dilakukan oleh pejabat tinggi, yang notabene menerima gaji dan penghasilan lebih tinggi, tapi tetap saja rendahnya gaji menjadi alasan pembenaran terjadinya korupsi di semua lini pemerintahan.

Rendahnya gaji PNS disebabkan oleh besarnya jumlah PNS yang harus dihidupi oleh negara. Pada masa Orde Baru, termasuk sampai kini, birokrasi dijadikan salah satu pihak yang bertugas menyediakan lapangan kerja. Hal ini menyebabkan besarnya jumlah PNS. Rendahnya gaji PNS juga disebabkan oleh tingkat perkembangan ekonomi negara yang tidak terlalu menggembirakan. Kalaupun Indonesia pernah dijagokan sebagai salah satu Macan Asia dalam pembangunan ekonomi, tapi pertumbuhan ekonomi itu lebih banyak dipacu oleh utang luar negeri yang masuk. Kalaupun terjadi pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tetap saja kekayaan itu tidak terdistribusikan secara baik, sehingga yang terjadi kemudian adalah angka kesenjangan ekonomi yang tinggi. Dengan demikian, tingkat kemampuan negara menggaji PNS ditentukan oleh sistem ekonomi yang dipakai. Negara yang menggunakan sistem ekonomi yang sangat produktif dan pola distribusi kekayaan yang baik, niscaya akan mampu mengumpulkan dana yang cukup untuk menggaji PNS-nya secara layak. Begitu pula sistem politik yang tidak membebani birokrasi dengan tugas menampung limpahan tenaga kerja, niscaya akan membentuk birokrasi yang ramping dengan jumlah PNS yang rasional, sehingga dana yang dimiliki negara untuk gaji akan proporsional dengan jumlah PNS.

Sistem Sosial. Bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa kerusakan birokrasi sangat ditentukan oleh perilaku aparat yang korup. Namun, perilaku yang korup itu tidak mungkin akan subur, bila sistem sosial yang dipakai di masyarakat tidak kondusif untuk itu. Dalam masyarakat yang menghormati kejujuran, kebenaran dan keamanahan, korupsi adalah tindakan yang paling dibenci dan dicaci. Perbuatan korupsi akan dihindari sebisa mungkin. Kalaupun terjadi, maka para pejabat akan berusaha menutup-nutupinya. Dalam masyarakat seperti itu, para koruptor tidak akan dihormati, mereka akan dihinakan, tidak digauli, bahkan mungkin juga diasingkan dari masyarakatnya.

Sebaliknya, di masyarakat yang sangat mengagungkan materi, sekaligus tidak terlalu peduli dari mana materi diperoleh, korupsi justru terjadi dengan dukungan dan kerja sama dengan masyarakat. Seorang koruptor yang “baik hati”, yang suka melakukan kegiatan sosial, memberi sumbangan bagi pembangunan rumah ibadah, menyantuni panti jompo, adalah “malaikat” yang dipuja-puja. Bahkan, koruptor yang rajin membantu pesantren, akan lebih dihormati daripada pemimpin pesantrennya sendiri. Dalam masyarakat yang tidak peduli seperti itu, jangan harap terjadi proses kontrol sosial. Apa yang disebut dengan amar makruf nahi munkar pun tinggal di kitab-kitab kuning yang dihapalkan para santri. Sementara itu, sang Kyai lebih asyik masyuk bercengkerama dengan para koruptor yang baik hati, daripada menasihati atau malah memperingatkan sang koruptor.

Dampak Buruk Kerusakan Birokrasi

Birokrasi yang korup mempunyai dampak negatif yang sangat luas, bukan saja merusak birokrasi itu sendiri, tapi juga menjadi sebab dari tidak efisiennya sektor bisnis, high cost economy, merendahkan minat untuk berinvestasi, menjadi sebab dari ketimpangan dan kemiskinan, merusak kualitas pribadi masyarakat, merusak tatanan luhur dalam masyarakat, memperburuk pelayanan kesehatan, pendidikan, serta sekaligus merusak kehormatan pemerintah dan hukum.

Birokrasi yang korup jelas tidak efisien dan tidak bisa bekerja secara efektif. Birokrasi yang seperti ini, lebih banyak mengurus dirinya sendiri, daripada menjalankan fungsinya untuk melayani dan menfasilitasi masyarakat, serta menegakkan hukum ditengah-tengah masyarakat. Anggaran yang besar, lebih banyak digunakan untuk mengurus aparat birokrasi, daripada meningkatkan kinerja birokrasi. Birokrasi yang korup dalam waktu yang panjang akan melahirkan budaya korup di lingkungan birokrasi. Dalam lingkungan yang seperti ini, profesionalisme tinggal slogan. Yang terpenting bukan menjadi aparat yang produktif dan efektif, tapi yang penting adalah bagaimana bisa menyesuaikan diri atau bahkan sekaligus terlibat aktif dalam praktik korupsi yang menggurita itu. Dalam lingkungan yang demikian, tidak ada tempat bagi mereka yang ‘sok suci’, menolak korupsi. Orang-orang jujur menjadi teralienasi di lingkungannya, mereka menjadi orang yang aneh, tidak gaul dan mungkin seperti ‘pesakitan’ yang patut dikasihani.

Salah satu dampak wabah korupsi yang adalah High Cost Economy. Korupsi yang meluas di semua sektor publik, telah menaikkan ongkos produksi. Biaya perizinan yang membengkak mendorong tingginya biaya produksi. Akibatnya, rakyat biasa yang menjadi konsumen akhir suatu produk, yang harus membayar mahal. Tingginya korupsi dari proyek-proyek pemerintah, mengakibatkan jalan, jembatan, pelabuhan, dan fasilitas publik lainnya cepat rusak dan membutuhkan biaya perawatan yang tinggi. Bila dugaan begawan ekonomi Indonesia Soemitro Djojohadikusumo, bahwa korupsi di Indonesia, menggerogoti 30% anggaran, maka dapat dibayangkan kualitas proyek yang dijalankan. Karena itu, wajar saja bila sebagian besar anggaran pembangunan, termasuk pinjaman luar negeri, dialokasikan guna merehabilitasi dan me-maintenance fasilitas publik dan kantor-kantor pemerintahan. Artinya, biaya yang seyogyanya bisa digunakan untuk menambah fasilitas, tapi justru hanya dihabiskan guna merawat fasilitas yang tidak berkualitas. Belum lagi, proyek perawatan itu juga sangat rentan untuk dikorupsi.

Korupsi juga merendahkan minat orang untuk berinvestasi. Para pemilik modal malas berurusan dengan birokrasi yang berbelit-belit dan mahal. Padahal, usaha yang dijalankan belum tentu menguntungkan, tapi mereka telah lebih dulu dipungli. Akibatnya, para investor lebih memilih menginvestasikan dananya di bank dalam bentuk tabungan atau deposito yang tidak berisiko dan tidak harus berhadapan dengan pejabat yang korup. “Kira-kira 35% dari usaha bisnis melaporkan alasan utama untuk tidak berinvestasi adalah karena biaya tinggi berkaitan dengan korupsi” (Media Indonesia, 19/11/2001)

Angka kemiskinan yang begitu tinggi disinyalir turut diperparah oleh praktik birokrasi. Birokrasi yang korup, bukan saja tidak mendorong kondisi yang sehat untuk bisnis dan perputaran ekonomi, tapi juga telah menyedot sebagian besar kapital dan didistribusikan di lingkungannya. Dengan demikian, kemiskinan itu terjadi akibat dikuasainya sebagian besar kapital oleh segelintir orang, yaitu penguasa dan pengusaha yang berkolusi dengan penguasa. Rendahnya investasi, akibat langsung dari maraknya korupsi, menyebabkan sedikitnya lapangan kerja yang tersedia, pengangguran meningkat, dan itu artinya, semakin banyak orang yang miskin.

Korupsi yang demikian meluas dan membudaya juga berakibat pada rusaknya karakter kepribadian aparat dan masyarakat. Nilai-nilai kebaikan berupa penghormatan yang tinggi pada kejujuran, kebenaran, amanah, dan keikhlasan tidak lagi digunakan. Yang dihormati adalah kedudukan, pangkat, dan materi yang banyak. Semakin kaya seseorang, maka semakin dihormati orang tersebut. Kepribadian yang luhur dan baik tidak lagi menjadi anutan. Para pejabat yang korup, dan bisa menyembunyikan perilakunya di mata publik, menjadi anutan. Dalam kondisi parah seperti ini, masyarakat tidak lagi ingin menjadi orang baik (yang miskin), mereka ingin menjadi orang kaya yang serba “wah”, tidak penting apakah dia korup, penipu, dan maling berdasi.

Oleh karena hukum tidak mampu mengendalikan korupsi, bahkan juga terlibat dalam praktik korupsi, maka hukum tidak lagi menjadi institusi yang dihormati. Rendahnya penghormatan terhadap hukum, sekaligus menghilangkan harapan masyarakat untuk mencari keadilan di depan hukum. Hilangnya kepercayaan terhadap hukum, juga telah mendorong perilaku main hakim sendiri. Maraknya perilaku anarkis dalam lima tahun terakhir, menunjukkan betapa hukum tidak mampu menjalankan fungsinya. Maling ayam yang tertangkap tangan oleh massa, biasanya tidak diserahkan kepada polisi, tapi langsung diinterogasi, dipukuli, dan dibakar beramai-ramai oleh masyarakat. Begitu pula pengemudi kendaraan yang mengalami kecelakaan, menabrak seorang anak kecil yang bermain di jalan, juga harus merenggang nyawa, disirami bensin dan dibakar bersama mobilnya.

Korupsi yang merambah sektor pendidikan dan kesehatan tidak kalah hebatnya. SD Inpres yang baru dibangun, ambruk diterjang angin. Anak-anak harus bersekolah ditempat penampungan sementara. Pendidikan yang baik, menjadi sangat mahal. Bisnis pendidikan sudah kehilangan hati nurani dan idealismenya. Kualitas pendidikan menjadi sangat rendah, dan lembaga pendidikan tidak lagi berorientasi pada peningkatan kualitas manusia, tapi lebih menjadi sebuah lembaga bisnis yang rakus. Sektor kesehatan demikian pula. Korupsi tidak saja membuat kualitas fasilitas kesehatan masyarakat buruk, tapi juga merusak perilaku pelayanan aparat birokrasi kesehatan. Rumah sakit milik pemerintah, dikelola seadanya, tidak mempunyai jiwa melayani, tidak ramah dan sekaligus mahal. Rakyat miskin, yang seyogyanya mendapat pelayanan kesehatan gratis, justru harus membayar mahal untuk pelayanan yang buruk itu. Wajar, bila kemudian kualitas kesehatan masyarakat dari hari ke hari makin buruk.

SOLUSI ISLAM DALAM MENGATASI KEBOBROKAN BIROKRASI

Pemerintahan yang bersih dan baik, dengan kata lain, birokrasi yang bersih dan baik, haruslah dibangun secara sistematis dan terus-menerus. Pola pikir yang dikotomis, yang menghadapkan upaya membangun pribadi yang baik dengan upaya membangun sistem yang baik, ibarat memilih telur atau ayam yang harus didahulukan. Pola pikir yang demikian ini tidaklah tepat, karena memang tidak bisa memisahkan antara kedua sisi ini. Individu yang baik tidak mungkin muncul dari sebuah sistem yang buruk, demikian pula sistem yang baik, tidak akan berarti banyak bila dijalankan oleh orang-orang yang korup. Yang harus dilakukan adalah membina masyarakat secara terus-menerus agar menjadi individu yang baik, yang menyadari bahwa pemerintahan yang baik hanya dapat dibangun oleh orang yang baik dan sistem yang baik. Masyarakat juga terus-menerus disadarkan, bahwa hanya sistem terbaiklah, yang bisa memberi harapan bagi mereka, menjamin keadilan, serta melayani dengan keikhlasan dan melindungi rakyatnya. Rakyat juga harus disadarkan, bahwa para pemimpin haruslah orang yang baik, jujur, amanah, cerdas, profesional, serta pembela kebenaran dan keadilan. Masyarakat juga perlu didasarkan bahwa sistem yang baik dan pemimpin yang baik tidak bisa dibiarkan menjalankan pemerintahan sendiri, mereka harus terus dijaga, dinasihati, dan diingatkan dengan cara yang baik.

1. Kesempurnaan Sistem.

Kesempurnaan sistem Islam terlihat dari aturan yang jelas tentang penggajian, larangan suap-menyuap, kewajiban menghitung dan melaporkan kekayaan, kewajiban pemimpin untuk menjadi teladan, serta sistem hukum yang sempurna. Sistem penggajian yang layak adalah keharusan. Para pejabat adalah pengemban amanah yang berkewajiban melaksanakan amanah yang diberikan kepadanya.

Untuk menjamin profesionalitas aparat negara, maka mereka sesudah diberi penghasilan yang cukup, sekaligus dilarang untuk mengambil kekayaan negara yang lain. Guna mencegah terjadinya abuse of power, Khalifah Umar bin Khattab misalnya, melarang para pejabat berdagang. Umar memerintahkan kepada semua pejabat agar berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya, dan sekaligus menjamin seluruh kebutuhan hidup aparat negara dan keluarganya.

Sistem Islam juga melarang aparat negara menerima suap dan hadiah/hibah. Suap adalah harta yang diberikan kepada seorang penguasa, hakim, atau aparat pemerintah lainnya dengan maksud untuk memperoleh keputusan mengenai suatu kepentingan yang semestinya wajib diputuskan olehnya tanpa pembayaran dalam bentuk apa pun. Setiap bentuk suap, berapa pun nilainya dan dengan jalan apa pun diberikannya atau menerimanya, haram hukumnya. Allah Swt. berfirman:

﴿وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ﴾

Janganlah ada sebagian kalian makan harta benda sebagian yang lain dengan jalan batil, dan janganlah menggunakannya sebagai umpan (untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar kalian dapat makan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui (hal itu)(QS al-Baqarah [2]: 188).

Rasulullah saw. juga melarang praktik suap ini.

»لَعَنَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشِ بَيْنَهُمَا«

Rasulullah saw. melaknat penyuap, penerima suap, dan orang yang menyaksikan penyuapan(HR Ahmad, Thabrani, al-Bazzar, dan al-Hakim).

Adakalanya suap diberikan dengan maksud agar pejabat yang bersangkutan tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya. Suap jenis ini pun amat dihindari oleh para sahabat Nabi saw. Rasulullah saw. pernah mengutus Abdullah bin Rawahah ke daerah Khaibar (daerah Yahudi yang baru ditaklukkan kaum muslim) untuk menaksir hasil panen kebun kurma daerah itu. Sesuai dengan perjanjian, hasil panen akan dibagi dua dengan orang-orang Yahudi Khaibar. Tatkala Abdullah bin Rawahah tengah bertugas, datang orang-orang Yahudi kepadanya dengan membawa perhiasan yang mereka kumpulkan dari istri-istri mereka, seraya berkata, “Perhiasan itu untuk anda, tetapi ringankanlah kami dan berikan kepada kami bagian lebih dari separuh”. Abdullah bin Rawahah menjawab, “Hai kaum Yahudi, demi Allah, kalian memang manusia-manusia hamba Allah yang paling kubenci. Apa yang kalian lakukan ini justru mendorong diriku lebih merendahkan kalian. Suap yang kalian tawarkan itu adalah barang haram dan kaum muslim tidak memakannya!” Mendengar jawaban itu mereka serentak menyahut, “Karena itulah langit dan bumi tetap tegak”

Hadiah atau hibah adalah harta yang diberikan kepada penguasa atau aparatnya sebagi pemberian. Perbedaannya dengan suap, bahwa hadiah itu diberikan bukan sebagai imbalan atas suatu kepentingan, karena si pemberi hadiah telah terpenuhi keinginannya, baik secara langsung maupun melalui perantara. Hadiah atau hibah diberikan atas dasar pamrih tertentu, agar pada suatu ketika ia dapat memperoleh kepentingannya dari penerima hadiah/hibah. Hadiah semacam ini diharamkan dalam sistem Islam. Rasulullah saw. bersabda:

«هَدَايَا الْحُكَّامِ سُحْتٌ وَهَدَايَا الْقُضَّاةِ كُفْرٌ»

Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur(HR Imam Ahmad).

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Amma ba’du, aku telah mempekerjakan beberapa orang di antara kalian untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan Allah Swt. kepadaku. Kemudian, salah seorang dari mereka itu datang dan berkata, “Ini kuserahkan kepada Anda, sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepadaku.” Jika apa yang dikatakannya itu benar, apakah tidak lebih baik kalau ia duduk saja di rumah ayah atau ibunya sampai hadiah itu datang kepadanya? Demi Allah, siapa pun di antara kalian yang mengambil sesuatu dari zakat itu tanpa haq, maka pada hari Kiamat kelak akan menghadap Allah sambil membawa apa yang diambilnya itu”. Hadis ini menunjukan, bahwa hadiah pada umumnya diberikan orang kepada pejabat tertentu karena jabatannya. Seandainya ia tidak menduduki jabatan itu, tentulah hadiah itu tidak akan datang kepadanya.

Penghitungan kekayaan. Untuk menjaga dari perbuatan curang, Khalifah Umar menghitung kekayaan seseorang di awal jabatannya sebagai pejabat negara, kemudian menghitung ulang di akhir jabatan. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, Umar memerintahkan agar menyerahkan kelebihan itu kepada Baitul mal, atau membagi dua kekayaan tersebut, separo untuk Baitul Mal dan sisanya diserahkan kepada yang bersangkutan. Muhammad bin Maslamah ditugasi Khalifah Umar membagi dua kekayaan penguasa Bahrain, Abu Hurairah; penguasa Mesir, Amr bin Ash; penguasa Kufah, Saad bin Abi Waqqash. Jadi, Umar telah berhasil mengatasi secara mendasar sebab-sebab yang menimbulkan kerusakan mental para birokrat. Upaya penghitungan kekayaan tidaklah sulit dilakukan bila semua sistem mendukung, apalagi bila masyarakat turut berperan mengawasi perilaku birokrat.

Keteladanan pemimpin adalah langkah selanjutnya yang diharuskan sistem Islam. Dalam sistem Islam, kemunculan seorang pemimpin mengikuti proses seleksi yang sangat ketat dan panjang. Seseorang, tidak mungkin menjadi pemimpin di sebuah provinsi, tanpa melalui proses seleksi alamiah di tingkat bawahnya. Pola dasar yang memunculkan seorang pemimpin mengikuti pola penentuan seorang imam shalat. Seorang imam shalat adalah orang yang paling berilmu, saleh, paling baik bacaan shalatnya, serta paling bijaksana. Seorang imam shalat adalah orang terbaik di lingkungan jamaahnya. Dari sinilah, sumber kepemimpinan itu berasal. Pola ini secara alamiah, sadar atau tidak sadar, akan diikuti dalam penentuan kepemimpinan tingkat atasnya. Seorang khalifah (kepala negara) tentulah bersumber dari imam-imam terbaik yang ada di negara tersebut. Oleh karena setiap pemimpin merupakan orang terbaik di lingkungannya, maka dapat dipastikan mereka adalah orang yang kuat keimanannya, tinggi kapabilitas dan sekaligus akseptabilitasnya. Pemimpin seperti inilah yang akan menjadi teladan, baik bagi para birokrat bawahannya, maupun bagi rakyatnya.

Penegakan hukum merupakan aspek penting lainnya yang harus dijalankan dalam sistem Islam. Hukuman dalam Islam mempunyai fungsi sebagai pencegah. Para koruptor akan mendapat hukuman yang setimpal dengan tindak kejahatannya. Para koruptor kelas kakap, yang dengan tindakannya itu bisa mengganggu perekonomian negara, apalagi bisa memperbesar angka kemiskinan, dapat diancam dengan hukuman mati, di samping hukuman kurungan. Dengan begitu, para koruptor atau calon koruptor akan berpikir berulang kali untuk melakukan aksinya. Apalagi, dalam Islam, seorang koruptor dapat dihukum tasyir, yaitu berupa pewartaan atas diri koruptor. Pada zaman dahulu mereka diarak keliling kota, tapi pada masa kini bisa menggunakan media massa.

2. Kualitas Sumber Daya Manusia.

Sistem Islam menanamkan iman kepada seluruh warga negara, terutama para pejabat negara. Dengan iman, setiap pegawai merasa wajib untuk taat pada aturan Allah Swt. Orang beriman sadar akan konsekuensi dari ketaatan atau pelanggaran yang dilakukannya karena tidak ada satu pun perbuatan manusia yang tidak akan dihisab. Segenap anggota atau bagian tubuh akan bersaksi atas segala perbuatan yang telah dilakukan. Allah Swt. berfirman:

﴿حَتَّى إِذَا مَا جَاءُوْهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُوْدُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ﴾

Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pedengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan(QS Fushshilat [41]: 20).

Manusia memang menyangka bahwa Allah Swt. tidak tahu apa yang mereka lakukan, termasuk tindakan korupsi yang disembunyikan. Hanya orang yang beriman saja yang yakin bahwa perbuatan seperti itu diketahui Allah Swt. dan disaksikan oleh anggota/bagian tubuh kita yang akan melaporkannya kepada-Nya. Inilah pengawasan melekat yang sungguh-sungguh melekat.

﴿وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُوْنَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلاَ أَبْصَارُكُمْ وَلاَ جُلُوْدُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللهَ لاَ يَعْلَمُ كَثِيْرًا مِمَّا تَعْمَلُوْنَ (22) وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِيْ ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ﴾

Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu. Bahkan, kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Adapun yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS Fushshilat [41]: 22-23)

Dengan iman akan tercipta mekanisme pengendalian diri yang andal. Dengan iman pula para birokrat, juga semua rakyat, akan berusaha keras mencari rezeki secara halal dan memanfaatkannya hanya di jalan yang diridhai Allah Swt. Rasulullah saw. menegaskan, bahwa manusia akan ditanya tentang umurnya untuk apa dimanfaatkan, tentang masa mudanya ke mana dilewatkan, tentang hartanya dari mana diperoleh dan untuk apa, serta tentang ilmunya untuk apa digunakan. Bagi birokrat sejati, lebih baik memakan tanah daripada menikmati rezeki haram.

Motivasi positif ini kemudian akan mendorong mereka untuk secara sungguh-sungguh meningkatkan kualitas, kapasitas, dan profesionalitasnya. Karena hanya dengan kemampuan yang semakin tinggilah, mereka bisa semakin mengoptimalkan pelaksanaan tugas mulianya sebagai aparat pemerintah. Mereka menyadari bahwa tugas utama mereka adalah melayani rakyat. Wajib atas mereka melaksanakan amanah itu dengan jujur, adil, ikhlas, dan taat kepada aturan negara, yang tidak lain adalah syariat Islam.

3. Sistem Kontrol yang Kuat.

Kontrol merupakan satu instrumen penting yang harus ada dalam membangun pemerintahan yang bersih dan baik. Kontrol bukan saja dilakukan secara internal, oleh pemimpin kepada bawahannya, melainkan juga oleh rakyat kepada aparat negaranya. Kesadaran dan pemahaman akan pentingnya kontrol ini, haruslah dimiliki oleh segenap pemimpin pemerintahan, para aparat di bawahnya, dan oleh segenap rakyat. Semua orang harus menyadari bahwa keinginan untuk membangun pemerintahan yang baik hanya dapat dicapai dengan bersama-sama melakukan fungsi kontrolnya. Dalam sejarah kepemimpinan pemerintahan Islam, tercatat, bagaimana Khalifah Umar bin Kattab telah mengambil inisiatif dan sekaligus mendorong rakyatnya untuk melakukan kewajibannya mengontrol pemerintah. Khalifah Umar di awal kepemimpinannya berkata, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskanlah aku walaupun dengan pedang”. Lalu, seorang laki-laki menyambut dengan lantang, “Kalau begitu, demi Allah, aku akan meluruskanmu dengan pedang ini.” Melihat itu Umar bergembira, bukan menangkap atau menuduhnya menghina kepala negara.

Pengawasan oleh masyarakat akan tumbuh apabila masyarakat hidup dalam sebuah sistem yang menempatkan aktivitas pengawasan (baik kepada penguasa maupun sesama warga) adalah sebuah aktivitas wajib lagi mulia. Melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penguasa hukumnya adalah wajib. Ketaatan kepada penguasa tidak berarti harus mendiamkan mereka. “Allah Swt. telah mewajibkan kepada kaum muslim untuk melakukan koreksi kepada penguasa mereka. Perintah kepada mereka agar mengubah para penguasa tersebut bersifat tegas; apabila mereka merampas hak-hak rakyat, mengabaikan kewajiban-kewajiban rakyat, melalaikan salah satu urusan rakyat, menyimpang dari hukum-hukum Islam, atau memerintah dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah Swt”. (Taqiyyuddin An-Nabhani; Sistem Pemerintahan Islam, Al-Izzah, 1996)

Allah Swt. berfirman:

﴿وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ﴾

Hendaknya ada di antara kalian, sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan serta menyeru pada kemakrufan dan mencegah dari kemunkaran” (QS Ali Imran [3]: 104).

Dari Abi Sa’id al-Khudri yang menyatakan, Rasulullah saw. bersabda:

»مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِساَنِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ اَضْعَفُ اْلإِيْماَنِ«

Siapa saja di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu, maka dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman” (HR Muslim).

Dari Ummu ‘Atiyah dari Abi Sa’id yang menyatakan, Rasululah saw. bersabda:

»أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ اِلَى حَاكِمٍ ظاَلِمٍ«

Sebaik-baik jihad adalah (menyatakan) kata-kata yang haq di depan penguasa yang zalim” (HR Ahmad).

»سَيِّدُ الشُّهَداَءِ حَمْزَةٌ وَرَجُلٌ قاَمَ اِلَى حَاكِمٍ ظاَلِمٍ يُنَصِّحَهُ َقَتَلَهُ«

Penghulu para syuhada adalah Hamzah, serta orang yang berdiri di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu memerintahkannya (berbuat makruf) dan mencegahnya (berbuat munkar), lalu penguasa itu membunuhnya” (HR Hakim dari Jabir).

Hadis ini merupakan bentuk pengungkapan yang paling tegas, yang mendorong agar berani menanggung semua risiko, sekalipun risiko mati, dalam rangka melakukan koreksi terhadap para penguasa, serta menentang mereka yang zalim itu.

SISTEM ADMINISTRASI NEGARA

Memenuhi urusan rakyat termasuk kegiatan ri’ayatu asy-syu’un, sedangkan ri’ayatu asy-syu’un itu adalah semata-mata wewenang Khalifah, maka seorang Khalifah memiliki hak untuk mengadopsi teknis administrasi (uslub idari) yang dia kehendaki, lalu dia perintahkan agar teknis administrasi tersebut dilaksanakan. Khalifah juga memiliki hak diperbolehkan membuat semua bentuk perundang-undangan dan sistem administrasi (nidzam idari), lalu mewajibkan atas seluruh rakyat untuk melaksanakannya. Dalam hubungan ini, semuanya itu merupakan kegiatan-kegiatan substansi. Khalifah juga diperbolehkan untuk memerintahkan salah satu di antaranya, kemudian hal menjadi mengikat semua orang untuk melaksanakan aturan tersebut, tidak dengan aturan yang lain. Dengan demikian, pada saat itu hukum menaatinya menjadi wajib. Hal ini merupakan kewajiban untuk menaati salah satu hukum yang ditetapkan oleh khalifah.

Dalam hal ini, artinya khalifah telah menetapkan suatu hukum (tabanniy) terhadap suatu perkara yang telah dijadikan oleh syara’ sebagai haknya. Artinya, khalifah telah melakukan hal-hal yang diangap perlu untuk memudahkannya dalam menjalankan tugasnya, yaitu ri’ayatu asy-syu’un. Oleh karena itu, ketika dia menetapkan suatu hukum berkaitan dengan sistem administrasi, rakyat wajib terikat dengan apa yang telah ditetapkannya tersebut dan perkara ini termasuk dalam hal ketaatan terhadap ulil amri. Hal tersebut merupakan kegiatan administrasi negara dilihat dari sisi penanganannya, sedangkan dalam kaitannya mengenai perincian kegiatan administrasi, dapat diambil dari fakta kegiatan administrasi itu sendiri.

Dengan meneliti faktanya, akan tampak bahwa di sana terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh khalifah sendiri atau oleh para pembantunya (mu’awin). Baik berupa kegiatan pemerintahan, yaitu menerapkan hukum syara’, maupun kegiatan administrasi, yaitu melaksanakan semua urusan yang bersifat substansi, dari kegiatan penerapan hukum syara’, bagi semua orang, dalam konteks hal ini memerlukan cara dan sarana tertentu. Oleh karena itu, harus ada aparat khusus yang dimiliki khalifah dalam rangka mengurusi urusan rakyat sebagai tangung jawab kekhilafahan tersebut. Di samping itu, ada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan rakyat yang harus dipenuhi. Maka dari itu, dibutuhkan adanya instansi yang secara khusus bertugas memenuhi kepentingan rakyat, dan ini adalah suatu keharusan, berdasarkan kaidah:

“Apabila suatu kewajiban tidak sempurna ditunaikan, kecuali dengan adanya suatu perkara, maka mewujudkan perkata tersebut adalah wajib”

Instansi tersebut terdiri dari departemen, jawatan, dan unit-unit tertentu. Departemen antara lain Pendidikan, Kesehatan, Pertanian, Perhubungan, Penerangan, Pertanahan, dan lain sebagainya. Semua departeman mengurusi departemennya sendiri, beserta jawatan dan unit-unit di bawahnya. Adapun jawatan adalah instansi yang mengurusi jawatannya dan unit-unit di bawahnya. Adapun unit-unit tersebut mengurusi urusan unit itu sendiri, beserta bagian-bagian dan subbagian di bawahnya. Semuanya di bentuk untuk menjalankan urusan-urusan administrasi negara, serta memenuhi kepentingan-kepentingan rakyat. Pada tingkat yang paling atas diangkat pejabat yang bertanggung jawab kepada khalifah dan secara langsung mengurusi urusan departemen tersebut, berikut para aparat di tingkat ke bawahnya hingga sub-subbagian di dalam departemen tersebut.

Inilah penjelasn fakta sistem administrasi negara, yang merupakan perangkat umum bagi semua rakyat, termasuk siapa pun yang hidup di dalam naungan Negara Islam. Instansi-instansi tersebut biasanya disebut “Diwan” atau “Diwannud Daulah”.(An Nabhanni, Nidzamul Hukmi Fil Islam, terj. Hlm. 280).

SIFAT ADMINISTRASI NEGARA ISLAM

Administrasi Negara dalam Islam dibangun berdasarkan falsafah: wa-in kaana dzu ‘usratin fanadhiratun ila maysarah (Jika ada orang yang mempunyai kesulitan, maka hendaknya dilihat bagaimana memudahkannya). Dengan demikian, ia bersifat untuk memudahkan urusan dan bukan untuk menekan, apalagi memeras orang yang menghendaki kemaslahatannya dipenuhi atau ditunaikan. Adapun strategi yang di jalankan dalam rangka mengurusi maslah administrasi ini adalah dilandasi dengan suatu kaidah: Sederhana dalam peraturan, cepat dalam pelayanan, serta profesional dalam penanganan. Hal ini diambil dari realitas pelayanan terhadap kebutuhan itu sendiri. Umumnya orang yang mempunyai kebutuhan tersebut menginginkan agar kebutuhannya dilayani dengan cepat dan terpenuhi dengan sempurna (memuaskan).

Rasulullah saw. bersabda:

Seseungguhnya Allah memerintahkan kesempurnaan dalam segala hal. Karena itu, apabila kalian membunuh (dalam hukuman qishas), sempurnakanlah pembunuhannya. Apabila kalian, menyembelih, maka sempurnakanlah sembelihannya” (HR Imam Muslim)

Karena itu, kesempurnaan dalam menunaikan pekerjaan jelas diperintahkan oleh syara’. Agar tercapai kesempurnaan dalam menunaikan urusan tersebut, maka penanganannya harus memenuhi tiga kriteria tersebut, 1) sederhana dalam peraturan, karena dengan kesederhanaan itu akan menyebabkan kemudahan. Kesederhanaan itu dilakukan dengan tidak memerlukan banyak meja,atau berbelit-belit Sebaliknya, aturan yang rumit akan menimbulkan kesulitan yang menyebabkan para pencari kemaslahatan menjadi susah dan jengkel. 2) cepat dalam pelayanan, karena kecepatan dapat mempermudah bagi orang yang mempunyai kebutuhan terhadap sesuatu untuk meperolehnya, dan 3) pekerjaan itu ditangani oleh orang yang ahli (profesional). Dengan demikian, semuanya mengharuskan kesempurnaan kerja, sebagaimana yang dituntut oleh hasil kerja itu sendiri.

Dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip kemudahan ini pula, sistem administrasi dalam Islam tidak bersifat sentralistis, yang ditentukan semuanya oleh pusat, sebaliknya bersifat desentralisasi, atau diserahkan kepada setiap desa, kecamatan, kabupaten/kota, atau provinsi. Dengan demikian, kemaslahatan yang akan diselesaikan dapat ditunaikan dengan cepat dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, tanpa harus menunggu disposisi, keputusan dari atas atau pusat.

Karena perkara ini adalah bagian dari uslub yang mempunyai sifat fleksibel dan temporal. Artinya, dengan fleksibilitasnya, masalah administrasi akan selalu mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan yang hendak dipecahkan atau diselesaikan. Dengan sifatnya yang temporal, administrasi negara bisa berubah sewaktu-waktu, jika dipandang tidak lagi sesuai atau tidak cocok lagi dengan kemaslahatan yang dituntut untuk dipenuhi.

PENUTUP

Membangun pemerintahan yang bersih dan baik bukanlah pekerjaan yang mudah. Hal itu akan menggerakkan segenap aspek kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan. Juga membutuhkan dukungan dari segenap aparat pemerintahan, masyarakat, dan sistem yang baik. Hanya dengan pemilihan akan sistem yang terbaiklah, maka upaya membangun pemerintahan yang baik itu akan menemukan jalan yang jelas.

Membangun pemerintahan yang baik bukanlah pekerjaan yang mudah. Itu merupakan pekerjaan besar yang harus diawali dari pemahaman dasar atas visi dan misi pemerintahan. Oleh karena itu, pilihan utama atas ideologi apa yang akan dijadikan landasan pembangunan pemerintahan, akan menentukan terbuka atau tidaknya harapan, bagi upaya penciptaan pemerintahan yang baik itu. Pemerintahan yang baik hanya bisa dicapai, bila ideologi yang menjadi pilihan adalah ideologi yang paling benar. Di atas ideologi yang paling benar itulah, akan dibangun sistem yang baik dan individu-individu yang tangguh.

Sistem Islam (syariat Islam) telah menunjukkan kemampuannya yang luar biasa. Kemampuannya bertahan hidup dalam rentang waktu yang demikian panjang (lebih 12 abad), dengan berbagai macam penyimpangan dan pengkhianatan oleh para penyelenggaranya, telah menegaskan kapabilitas sistem yang belum ada tandingannya sampai saat ini, bahkan hingga akhir zaman. Dengan demikian, jawaban atas kebutuhan akan hadirnya pemerintahan yang baik itu adalah dengan menjadikan Islam sebagai ideologi, serta syariat Islam sebagai aturan kehidupan pemerintahan dan kemasyarakatan. Dengan syariat Islam itulah, kita membangun pemerintahan yang bersih dan baik, sekaligus mencetak aparat pemerintahan yang andal.

Wallahu’alam bi ash-shawwab

»»  read more

Followers