Tampilkan postingan dengan label dakwah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dakwah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 Desember 2011

Nasib Pembenci Al Qur’an

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Alquran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka (TQS Muhammad [47]: 8-9).

Alquran diturunkan sebagai petunjuk dari Allah SWTbagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Barangsiapa yang mengimani dan mengamalkannya secara kaffah, kebahagiaan di dunia dan akhirat akan didapat. Sebaliknya, siapa pun yang mengingkari, apalagi membencinya, akan mengalami nasib menyedihkan.

Ayat ini adalah di antara yang memberitakan nasib yang dialami kaum kafir yang membenci Alquran.

Celaka dan Disesatkan Amalnya

Allah SWT berfirman: Wa al-ladzîna kafarû fata’s[an] lahum(dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka).Dalam ayat sebelumnya diberitakan mengenai balasan dan anugerah bagi orang-orang yang mau menolong agama-Nya. Allah SWTakan menolong dan meneguhkan kedudukanorang-orang yang menolong agama-Nya. Yakni orang-orang yang bersedia tunduk, terikat, dan mengamalkan perintah dan larangan-Nya.

Kemudian dalam ayat ini diberitakan mengenai nasib orang-orang yang bersikap sebaliknya:al-ladzîna kafarû. Yakni orang-orang yang mengingkari sebagian atau seluruh perkara keimanan. Balasan yang bakal mereka terima adalah: fata’s[an] lahum.

Menurut al-Syaukanidan al-Qinuji, makna asal kata al-ta’s adalah al-inhithâth wa al-‘itsâr (kemerosotan dan kebinasaan). Dalam konteks ayat ini, ada beberapa penafsiran yang dikemukakan oleh ulama. Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Juraij menafsirkannya bu’d[an] lahum (menjadi laknat terhadap mereka). Menurut al-Sudi, khuzn[an] lahum (kesedihan bagi mereka). Ibnu Zaid berkata, syaqâ`[an] lahum (kesengsaraan dan kemalangan bagi mereka). Al-Hasan memaknainya sebagai syatm[an] lahum minal-Lâh (cacian dari Allah kepada mereka). Tsa’lab mengartikannyahalâk[an] lahum (kehancuran, kebinasaan bagi mereka). Al-Dhahhak berkata, khaybat[an] lahum (kegagalan bagi mereka). Demikian pemaparan al-Qurthubi dalam tafsirnya. Ibnu Jarir al-Thabari menggabungkan beberapa panfsiran tersebut, yakni hizy[an] lahum wa syaqâ` wa balâ` (kehinaan, kesengsaraan, dan bencana bagi mereka).

Kata al-ta’s juga digunakan dalam sabda Rasulullah SAW: Ta’isu ‘abd al-dînâr wa al-dirhâm wa al-qathîfah wa al-khamîshah, in u’thiya radhiya wa in lam yu’thâ lam yardha (kecelakaan bagi hamba dinar, dirham, sutra, dan gamis. Apabila diberi, dia ridha. Dan apabila tidak diberi, dia tidak ridha, HR al-Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Dijelaskan Fakhruddin al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghayb, ayat ini merupakan tambahan untuk menguatkan hati kaum Mukmin. Ketika dalam ayat sebelumnya disebutkan: wa yutsabbit aqdâmahum (dan Dia meneguhkan kedudukanmu), maka ada kemungkinan muncul anggapan bahwa orang kafir bisajatuh dan teguhuntuk beperang. Sehingga dalam peperangan, terjadi saling bunuh, saling serang, saling tikam, dan saling pukul. Maka muncullah kesulitan besar. Kemudian Allah SWT menegaskan bahwa kalian (orang-orang Mukmin) memiliki keteguhan. Sebaliknya mereka (orang-orang kafir) itu musnah, berubah, dan binasa, sehingga tidak ada keteguhan mereka. Penyebabnya jelas, tuhan-tuhan mereka adalah benda mati yang tidak mempunyai kekuatan dan kemampuan berhadapan dengan Dzat yang memiliki kekuatan. Maka tuhan-tuhan mereka itu tidak berguna untuk mencegah dan membatalkan keputusan Allah SWT atas mereka, yakni kehancuran.

Di samping itu juga: Wa adhalla a’mâlahum (dan Allah menyesatkan amal-amal mereka). Kata al-dhalâl berartial-‘udûl ‘an al-tharîq al-mustaqîm (menyimpang dari jalan yang lurus). Kebalikannya adalah al-hidâyah (petunjuk). Demikian al-Raghib al-Asfagani. Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, frasa ini berarti Allah menjadikan amal mereka dilakukan tapa petunjuk dan istiqamah. Sebab, amal mereka dilakukan karena ketaatan terhadap syetan. Bukan ketaatan kepada al-rahman.Al-Syaukani dan al-Jaiziri menafsirkan frasa ini sebagai abthlahâ waja’alahâ dhâi’at[an] (menjadikannya sia-sia dan lenyap).

Dikemukakan Fakhruddin a-Razi, ayat ini memberikan isyarat yang menjelaskan tentang perbedaan nasib orang-orang kafir yang telah mati dengan orang-orang Mukmin yang terbunuh (dalam medan peperangan). Mengenai orang-orang Mukmin tersebut,Allah SWT berfirman: Dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka (TQS Muhammad [47]: 4). Sedangkan terhadap orang-orang kafir yang mati, Allah SWT menghapus dan melenyapkan semua amalnya.

Karena Membenci Alquran

Setelah diberitakan mengenai hukuman bagi kaum kafir, dalam ayat berikutnya dijelaskan perkara yang menjadi penyebabnya. Allah SWT berfirman: Dzâlika bi annahum karihû mâ anzalal-Lâh lahum (yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah [Alquran]). Kata dzâlikamerupakan isyârah yang merujuk kepada kalimat sebelumnya, yakni kecelakaan dan lenyapnya amal orang-orang kafir. Sedangkan frasa bi annahum memberikan makna sebab. Artinya, semua kejadian yang menimpa mereka itu disebabkan sikap mereka: karihû mâ anzalal-Lâh lahum.

Menurut Ahmad Mukhtar dalam Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, kata kariha al-syakhsh fi’l al-sû` berarti maqatahu, walam yuhibbuhu, abghadhahu (membenci dan tidak menyukainya). Sedangkan yang dimaksud dengan mâanzalal-Lâh lahum dalam ayat ini adalah Alquran, beserta semua isinya, baik dalam perkara aqidah maupun syariah.

Telah maklum bahwa Alquran diturunkan sebagai hud[an] (petunjuk), syifâ` (obat), danrahmah (kasih sayang). Juga mengeluarkan manusia min al-zhulumât ilâ al-nûr (dari kegelapan menuju cahaya). Di dalam Alquran pula penjelasan haq dan batil, halal dan haram, tata cara ibadah, dan sebagainaya. Pendek kata, Alquran merupakan petunjuk hidup yang benar bagi seluruh manusia.

Oleh karena itu, ketika Alquran diingkari, apalagi dibenci, pelakunyadipastikan tidak akan bisa mengerjakan ibadah dan amal shalih lainnya dengan benar. Sebab ketentuan ibadah dan amal shalih bukan berdasarkan akal, namun oleh syara’ yang bersumber dari Alquran.

Kebencian terhadap Alquran yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang tauhid, akan membuat pelakunya menegasikan tauhid dan lebih memilih syirik. Sementara syirik menkadi penyebab terhapusnya pahala. Allah SWT berfirman: Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu(TQS al-Zumar [39]: 65).

Alquranjuga berisi berita tentang akhirat. Orang yang mengingkari dan membencinya, tentulah tidak akan beramal untuk akhirat. Semuanya dikerjakan untuk mengejar dan meraih kenikmatan dunia. Karena itu dicari, maka wajar saja jika mereka tidak berhak mendapatkan bagian di akhirat.

Allah SWT pun berfirman: Faahbatha a’mâlahum(lalu Allah menghapuskan [pahala-pahala] amal-amal mereka). Kata habitha al-‘amal berarti habatha, fasada, bathala, dzahaba, suda[n] (terhapus, rusak, batal, lenyap, sia-sia). Sehingga makna ahbatha-Lâh al-‘amal adalah Allah membatalkan dan melenyapkan pahalanya. Demikian penjelasan Ahmad Mukhtar. Makna itu pula yang terdaapt dalam ayat ini.

Menurut al-Qinuji, yang dimaksud dengan amal di sini adalah amal yang terlihat secara kasat mata sebagai amal kebaikan meskipun pada asalnya tetap batil. Sebab, amal orang kafir tidak diterima sebelum keislaman mereka. Tak jauh berbeda, al-Thabari juga menjelaskan bahwa Allah SWT telah membatalkan amal yang mereka kerjakan di dunia. Ditegaskan pula olehnya, ketentuan ini berlaku untuk semua orang kafir.

Mengenai terhapus dan sia-sianya amal perbuatan orang juga ditegaskan dalam banyak ayat, seperti QS al-A’raf [7]: 147). Juga dalam al-Baqarah [2]: 217, Ali Imran [3]: 21-22, al-Maidah [5]: 5 dan 53, al-An’am [6]: 88.

Demikianlah nasib yang menimpa kaum kafir. Mereka mendapatkan kehinaan, kekalahan, kesengsaraan, dan penderitaan selama-lamanya. Semua amal yang dikerjakan sia-sia, lenyap, dan tidak berguna sedikit pun bagi mereka. Semua itu disebabkan karena kekufuran mereka, terutama kebencian mereka terhadap Alquran beserta ajarannya, baik sebagian atau seluruhnya.

Ancaman ayat ini seharusnya membuat para pengidap Islam phobiasegera sadar. Juga mereka yang suka menyebarkan kebencian dan sikap antipati terhadap Islam, syariah, jihad dengan makna yang sebenarnya (yakni perang di jalan Allah), dan daulah khilafah seraya menuduh para pejuangnya sebagai penganut radikalisme dan fundamentalisme, bahkan pelaku terorisme yang harus dibasmi. Umat Islam haruswaspada dan tidak boleh terpedaya oleh propaganda busuk mereka yang dapat menggelincirkan kita dan mengekor sikap mereka yang benci terhadap Islam. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

Ikhtisar:

1. Nasib orang kafir akan hina, celaka, dan sengsara. Amal mereka juga terhapus dan sia-sia.

2. Perkara yang menjadi penyebab penderitaan kaum kafir itu adalah kebencian mereka terhadap Alquran

»»  read more

Senin, 18 Januari 2010

Definisi Khilafah

Pengertian Bahasa

Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi'il madhi khalafa, berarti: menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390). Makna khilafah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (jâ'a ba'dahu fa-shâra makânahu) (Al-Mu'jam al-Wasith, I/251).

Dalam kitab Mu'jam Maqayis al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama dan menggantikan kedudukannya. Menurut Imam ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan al-a'zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari, I/199).

Imam al-Qalqasyandi mengatakan, menurut tradisi umum istilah khilafah kemudian digunakan untuk menyebut kepemimpinan agung (az-za'amah al-uzhma), yaitu kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, dan pemikulan tugas-tugas mereka (Al-Qalqasyandi, Ma'atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, I/8-9).

Pengertian Syar'i

Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi Saw dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-Islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226).

Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fiqih siyasah ketika mereka berbicara tentang "Khilafah" atau "Imamah". Dengan demikian, walaupun secara literal tak ada satu pun ayat al-Qur'an yang menyebut kata "ad-dawlah al-Islamiyah" (negara Islam), bukan berarti dalam Islam tidak ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para ulama terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan istilah lain yang lebih spesifik, yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah Darul Islam (lihat Dr. Sulaiman ath-Thamawi, As-Sulthat ats-Tsalats, hal. 245; Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, IX/823).

Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (al-mazh-har ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan mu’amalah (seperti perdagangan), al-ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah (Al-Khalidi, 1980:227).

Sebenarnya banyak sekali definisi Khilafah yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Berikut ini akan disebutkan beberapa saja definisi Khilafah yang telah dihimpun oleh Al-Khalidi (1980), Ali Belhaj (1991), dan Al-Baghdadi (1995) :

Pertama, menurut Imam al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), Imamah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Ahkam as-Sulthaniyah, hal. 3).

Kedua, menurut Imam al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Ghiyats al-Umam, hal. 15).

Ketiga, menurut Imam al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti bagi Rasulullah Saw oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat (Hasyiyah Syarah ath-Thawali', hal.225).

Keempat, menurut ‘Adhuddin al-Iji (w. 756 H/1355 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah 'ammah) dalam urusan-urusan dunia dan agama, dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama (I'adah al-Khilafah, hal. 32).

Kelima, menurut At-Taftazani (w. 791 H/1389 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti dari Nabi Saw dalam penegakan agama, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib ditaati oleh seluruh umat (Lihat Al-Iji, Al-Mawaqif, III/603; Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Khilafah, hal. 10).

Keenam, menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan seluruh (urusan umat) sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik ukhrawiyah, maupun duniawiyah yang kembali kepada kemaslahatan ukhrawiyah (Al-Muqaddimah, hal. 166 & 190).

Ketujuh, menurut Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), Khilafah adalah kekuasaan umum (wilayah 'ammah) atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Ma'atsir al-Inafah fi Ma'alim al-Khilafah, I/8).

Kedelapan, menurut Al-Kamal ibn al-Humam (w. 861 H/1457 M), Khilafah adalah otoritas (istihqaq) pengaturan umum atas kaum muslimin (Al-Musamirah fi Syarh al-Musayirah, hal. 141).

Kesembilan, menurut Imam ar-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah adalah al-imam al-a'zham (imam besar), yang berkedudukan sebagai pengganti kenabian, dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, VII/289).

Kesepuluh, menurut Syah Waliyullah ad-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah 'ammah)… untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad…melaksanakan peradilan (qadha'), menegakkan hudud…sebagai pengganti (niyabah) dari Nabi Saw (dikutip oleh Shadiq Hasan Khan dalam Iklil al-Karamah fi Tibyan Maqashid al-Imamah, hal. 23).

Kesebelas, menurut Syaikh al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M), Khilafah adalah pengganti (niyabah) dari Nabi Saw dalam umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin (Tuhfah al-Murid 'Ala Jauhar at-Tauhid, II/45).

Keduabelas, menurut Muhammad Bakhit al-Muthi'i (w. 1354 H/1935 M), seorang Syaikh al-Azhar, Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan dunia dan agama (I’adah al-Khilafah, hal. 33).

Ketigabelas, menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada masa Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah pengganti dari Nabi Saw dalam pelaksanaan apa yang dibawa Nabi Saw berupa hukum-hukum syariah Islam (Mawqif al-Aql wa al-'Ilm wa al-'Alim, IV/363).

Keempatbelas, menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi Saw (Tarikh al-Islam, I/350).

Analisis Definisi

Dari keempatbelas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya ada 3 (tiga) kategori definisi, yaitu :

Pertama, definisi yang lebih menekankan pada penampakan agama (al-mazh-har ad-dini). Jadi, Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam dalam pelaksanaan urusan agama. Misalnya definisi Al-Iji. Meskipun Al-Iji menyatakan bahwa Khilafah mengatur urusan-urusan dunia dan urusan agama, namun pada akhir kalimat, beliau menyatakan, "Khilafah lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama."

Kedua, definisi yang lebih menekankan pada penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Di sini Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam berupa pelaksanaan urusan politik atau sistem pemerintahan, yang umumnya diungkapkan ulama dengan terminologi "urusan dunia" (umûr ad-dunya). Misalnya definisi Al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung Khilafah sebagai kekuasaan umum (wilayah 'ammah) atas seluruh umat, tanpa mengkaitkannya dengan fungsi Khilafah untuk mengatur "urusan agama".

Ketiga, definisi yang berusaha menggabungkan penampakan agama (al-mazh-har ad-dini) dan penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Misalnya definisi Khilafah menurut Imam al-Mawardi yang disebutnya sebagai pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia.

Dengan menelaah seluruh definisi tersebut secara mendalam, akan kita dapati bahwa secara global berbagai definisi tersebut lebih berupa deskripsi realitas Khilafah dalam dataran empirik (praktik) —misalnya adanya dikotomi wilayah "urusan dunia" dan "urusan agama"— daripada sebuah definisi yang bersifat syar'i, yang diturunkan dari nash-nash syar’i. Selain itu, definisi-definisi tersebut kurang mencakup (ghayru jâmi'ah). Sebab definisi Khilafah seharusnya menggunakan redaksi yang tepat yang bisa mencakup hakikat Khilafah dan keseluruhan fungsi Khilafah, bukan dengan redaksi yang lebih bersifat deskriptif dan lebih memberikan contoh-contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan definisi. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah bertugas menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad, melaksanakan peradilan (qadha'), menegakkan hudud, dan seterusnya. Bukankah definisi ini menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap hakikat Khilafah? Juga bukan dengan redaksi yang terlalu umum yang cakupannya justru sangat luas. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah mengatur "umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin". Atau bahwa Khilafah mengatur "kemaslahatan-kemaslahatan
duniawiyah dan ukhrawiyah". Bukankah ini ungkapan yang sangat luas jangkauannya?

Sesungguhnya, untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya kita perlu memahami lebih dahulu, apakah ia definisi syar'i (at-ta'rif asy-syar'i) atau definisi non-syar'i (at-ta'rif ghayr asy-syar'i) (Zallum, 1985:51). Definisi syar'i merupakan definisi yang digunakan dalam nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah, semisal definisi sholat dan zakat. Sedang definisi non-syar'i merupakan definisi yang tidak digunakan dalam nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah, tetapi digunakan dalam disiplin ilmu tertentu atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fi'il, dan harf (dalam ilmu Nahwu-Sharaf). Contoh lainnya misalkan definisi akal, masyarakat, kebangkitan, ideologi (mabda'), dustur (UUD), qanun (UU), hadharah (peradaban), madaniyah (benda sarana kehidupan), dan sebagainya

Jika definisinya berupa definisi non-syar'i, maka dasar perumusannya bertolak dari realitas (al-waqi'), bukan dari nash-nash syara'. Baik ia realitas empirik yang dapat diindera atau realitas berupa kosep-konsep yang dapat dijangkau faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya berupa definisi syar'i, maka dasar perumusannya wajib bertolak dari nash-nash syara' al-Qur'an dan as-Sunnah, bukan dari realitas. Mengapa? Sebab, menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, definisi syar'i sesungguhnya adalah hukum syar’i, yang wajib diistimbath dari nash-nash syar'i (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyah, III/438-442; Al-Ma’lumat li asy-Syabab, hal. 1-3). Jadi, perumusan definisi syar'i, misalnya definisi sholat, zakat, haji, jihad, dan semisalnya, wajib merujuk pada nash-nash syar'i yang berkaitan dengannya.

Apakah definisi Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syar'i? Jawabannya, ya. Sebab nash-nash syar'i, khususnya hadits-hadits Nabi Saw, telah menggunakan lafazh-lafazh "khalifah" dan "imam" yang masih satu akar kata dengan kata Khilafah/Imamah. Misalnya hadits Nabi, "Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." [Shahih Muslim, no. 1853]. Imam al-Bukhari dalam Shahihnya telah mengumpulkan hadits-hadits tentang Khilafah dalam Kitab al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam Shahihnya telah mengumpulkannya dalam Kitab al-Imarah (Ali Belhaj, 1991:15). Jelaslah, bahwa untuk mendefinisikan Khilafah, wajiblah kita memperhatikan berbagai nash-nash ini yang berkaitan dengan Khilafah.

Dengan menelaah nash-nash hadits tersebut, dan tentunya nash-nash al-Qur'an, akan kita jumpai bahwa definisi Khilafah dapat dicari rujukannya pada 2 (dua) kelompok nash, yaitu:

Kelompok Pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat Khilafah sebagai sebuah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia.

Kelompok Kedua, nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yaitu: (1) tugas menerapkan seluruh hukum-hukum syariah Islam, (2) tugas mengemban dakwah Islam di luar tapal batas negara ke seluruh bangsa dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah

Nash kelompok pertama, misalnya nash hadits, "Maka Imam yang (memimpin) atas manusia adalah (bagaikan) seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)." [Shahih Muslim, XII/213; Sunan Abu Dawud, no. 2928, III/342-343; Sunan at-Tirmidzi, no. 1705, IV/308]. Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah sebuah kepemimpinan (ri'asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan bahwa Khilafah bersifat umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits Nabi yang mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah bagi kaum muslimin seperti telah disebut sebelumnya (Shahih Muslim no. 1853). Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh dipimpin seorang khalifah saja, tak boleh lebih. Dan kesatuan Khilafah untuk seluruh kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib al-Arba'ah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf al-A'immah, hal. 208).

Nash kelompok kedua, adalah nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yang secara lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut:

Pertama, tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu muslim (Qs. al-Baqarah [2]: 188; Qs. an-Nisâ' [4]: 58), mengumpulkan dan membagikan zakat (Qs. at-Taubah [9]: 103), menegakkan hudud (Qs. al-Baqarah [2]: 179), menjaga akhlaq (Qs. al-Isrâ' [17]: 32), menjamin masyarakat dapat menegakkan syiar-syiar Islam dan menjalankan berbagai ibadat (Qs. al-Hajj [22]: 32), dan seterusnya.

Kedua, tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dengan jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mempersiapkan pasukan perang untuk berjihad (Qs. al-Baqarah [2]: 216), menjaga tapal batas negara (Qs. al-Anfâl [8]: 60), memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas yang dituntut oleh politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai perjanjian perdagangan, perjanjian gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik, dan semisalnya (Qs. al-Anfâl [8]: 61; Qs. Muhammad [47]: 35).

Berdasarkan dua kelompok nash inilah, dapat dirumuskan definisi Khilafah secara lebih mendalam dan lebih tepat. Jadi, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi inilah yang telah dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1398 H/1977 M) dalam kitab-kitabnya, misalnya kitab Al-Khilafah (hal. 1), kitab Muqaddimah ad-Dustur (bab Khilafah) hal. 128, dan kitab Asy-Syakshiyyah al-Islamiyah, Juz II hal. 9. Menurut beliau juga, istilah Khilafah dan Imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya sama saja menurut pengertian syar'i (al-madlul asy-syar'i).

Definisi inilah yang beliau tawarkan kepada seluruh kaum muslimin di dunia, agar mereka sudi kiranya untuk mengambilnya dan kemudian memperjuangkannya supaya menjadi realitas di muka bumi, menggantikan sistem kehidupan sekuler yang kufur saat ini. Pada saat itulah, orang-orang beriman akan merasa gembira dengan datangnya pertolongan Allah. Dan yang demikian itu, sungguh, tidaklah sulit bagi Allah Azza wa Jalla.

Daftar Pustaka

Ad-Dimasyqi, Muhammad ibn Abdurrahman (Qadhi Shafd). 1996. Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).

Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1995. “Mafhum Al-Khalifah wa Al-Khilafah fi Al-Hadharah Al-Islamiyah”. Majalah Al-Khilafah Al-Islamiyah. No 1 Th I. Sya’ban 1415 H/Januari 1995 M. (Jakarta : Al-Markaz Al-Istitiratiji li Al-Buhuts Al-Islamiyah).

Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz V. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).

Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. (Kuwait : Darul Buhuts Al-‘Ilmiyah).

Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jam Al-Wasith. (Kairo : Darul Ma’arif).

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

----------.1953. Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah. Juz II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

----------. 1963. Al-Ma’lumat li Asy-Syabab. (t.tp. : t.p.).

----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur. (t.tp. : t.p.).

Ath-Thamawi, Sulaiman. 1967. As-Sulthat Ats-Tsalats fi Ad-Dasatir Al-Arabiyah al-Mu’ashirah wa fi Al-Fikr As-Siyasi Al-Islami. (Kairo : Darul Fikr Al-‘Arabi).

Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). Cetakan I. (Damaskus/Beirut : Darul Fikr).

Belhaj, Ali. 1991. Tanbih Al-Ghafilin wa I’lam Al-Ha`irin bi Anna I’adah Al-Khilafah min A’zham Wajibat Hadza Ad-Din. (Beirut : Darul ‘Uqab).

Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).

Zallum, Abdul Qadim. 1985. Hizb Al-Tahrir. (t.tp. : t.p.).



Oleh: M. Shiddiq al-Jawi
»»  read more

Rabu, 13 Januari 2010

TAHAPAN DAKWAH HIZBUT TAHRIR 2

Dalam melakukan semua aktivitas ini, Hizb senantiasa mengikuti jejak Rasulullah SAW, khususnya setelah turun kepada beliau firman Allah SWT:

فَـاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ و أَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala yang diperintahkan (kepadamu), dan ber palinglah dari orang-orang musyrik.” (Al-Hijr 94)


Ketika itu beliau langsung menampakkan risalahnya secara terang-terangan dengan mengajak orang-orang Quraisy pergi berkumpul ke bukit Shafa, kemudian menyampaikan kepada mereka bahwa sesungguhnya beliau adalah seorang nabi yang diutus, dan beliau meminta agar mereka mengimaninya. Beliau menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Quraisy sebagaimana beliau melakukannya kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy, tuhan-tuhan sesembahan mereka, keyakinan-keyakinan, dan ide-ide mereka; dengan cara menjelaskan kepalsuan, dan kerusakannya. Beliaupun mencela dan menyerang mereka sebagaimana yang beliau lakukan terhadap keyakinan-keyakinan, dan ide-ide yang ada pada saat itu.
Sedangkan ayat-ayat Al-Quran yang turun kepada beliau secara beruntun selalu terkait dengan kondisi yang ada pada saat itu. Ayat Al-Quran turun dengan menyerang kebiasaan-kebiasaan buruk mereka, seperti; memakan harta riba, mengubur hidup-hidup anak wanita, curang dalam timbangan, ataupun berzina. Ayat-ayat itu juga menyerang para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, memberinya predikat sebagai orang-orang bodoh, termasuk kepada nenek moyang mereka; disertai dengan pengungkapan terhadap persekongkolan-persekong kolan yang mereka rencanakan untuk menentang Rasul SAW, dakwah beliau dan para sahabat beliau.

Hizb dalam mengembangkan ide-idenya; menentang ide-ide lain (yang bertentangan dengan Islam) dan kelompok-kelompok politik (yang tak berasaskan Islam); melawan negeri-negeri kafir; atau dalam menentang para penguasa, senantiasa bersikap terbuka, terang-terangan, dan menantang, tidak berbasa-basi, berpura-pura ataupun ber kompromi; tidak berputar-putar dan tidak pula mementingkan keselamatan diri sendiri, tanpa memandang hasil dan keadaan yang terjadi. Hizb tetap akan menghadapi setiap hal yang bertentangan dengan Islam dan hukum-hukumnya. Suatu keadaan yang akan membawanya kepada bahaya berupa penyiksaan pedih dari para penguasa, perlawanan kelompok-kelompok politik non Islami dan para pengemban dakwah (yang bertentangan dengan Hizb), bahkan kadang-kadang menghadapi perlawanan mayoritas masyarakat.

Dalam hal ini Hizb selalu meneladani sikap Rasulullah SAW. Beliau datang dengan membawa risalah Islam ke dunia ini dengan cara yang menantang, terang-terangan, namun yakin terhadap kebenaran yang diserukannya, dan menentang kekufuran berikut ide-idenya yang ada di seluruh dunia. Beliau menyatakan perang atas seluruh manusia, tanpa memandang lagi warna kulit –baik yang hitam maupun yang putih– tanpa memperhi-tungkan adat-istiadat, agama-agama, kepercayaan-kepercayaan, para penguasa ataupun masyarakat-nya. Beliau tidak menoleh sedikit pun, kecuali kepada risalah Islam. Beliau memulai dakwahnya di tengah-tengah kaum musyrikin Quraisy, dengan menyebut tuhan-tuhan sesembahan mereka disertai celaan, menentang segala sesuatu yang menjadi keyakinan mereka dan memandang rendah sembahan mereka. Sedangkan beliau –dalam melakukan semua ini– adalah sendirian, tanpa seorang pun yang mendampinginya, tanpa senjata apapun kecuali keyakinannya yang amat mendalam terhadap risalah Islam yang dibawanya.
»»  read more

TAHAPAN DAKWAH HIZBUT TAHRIR 1

Tahap pertama sesungguhnya adalah tahap pembentukan gerakan, dimana saat itu ditemukan benih gerakan dan terbentuk halqah pertama setelah memahami konsep dan metode dakwah Hizb. Halqah pertama itu kemudian menghubungi anggota-anggota masyarakat untuk menawarkan konsep dan metode dakwah Hizb, secara individual.


Siapa saja yang menerima fikrah Hizb langsung diajak mengikuti pembinaan secara intensif dalam halqah-halqah Hizb, sampai mereka menyatu dengan ide-ide Islam dan hukum-hukumnya yang dipilih dan ditetapkan oleh Hizb. Sehingga, mereka memiliki kepribadian islam, yaitu mempunyai pola pikir yang islami (akliyah islamiyah) dan menjadi kannya, ketika melihat setiap pemikiran, kejadian atau peristiwa baru, senantiasa dengan pandangan Islam, serta tatkala memutuskan sesuatu selalu berlandaskan pada tolok ukur Islam, yaitu halal dan haram. Ia pun memiliki pola jiwa yang islami (nafsiyah islamiyah), sehingga akan menjadikan kecenderungannya senantiasa mengikuti Islam walau kemanapun, serta menentu-kan langkah-langkahnya atas dasar Islam. Sehingga, mereka ridla kepada sesuatu yang diridlai Allah dan Rasul-Nya, marah dan benci kepada hal-hal yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka, lalu mereka akan tergugah mengemban dakwah ke tengah-tengah umat setelah mereka menyatu dengan Islam. Sebab pelajaran yang diterimanya dalam halqah merupa kan pelajaran yang bersifat amaliyah (praktis) dan berpengaruh (terhadap lingkungan), dengan tujuan untuk diterapkan dalam kehidupan dan dikembang kan di tengah-tengah umat.

Apabila seseorang telah sampai pada tingkatan ini, dialah yang akan mengharuskan dirinya bergabung dan menyatu menjadi bagian dari gerakan Hizb. Demikianlah yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, pada tahap pertama dalam dakwahnya –yang berlangsung selama tiga tahun. Pada saat itu Beliau menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat secara perorangan dengan menawarkan apa yang telah diturunkan Allah SWT kepadanya (berupa aqidah dan ide-ide Islam). Siapa saja yang menerima dan mengimani beliau berikut risalah yang dibawanya, maka ia akan bergabung dengan kelompok yang telah dibentuk Nabi SAW atas dasar Islam, secara rahasia. Beliau selalu menyampaikan bagian-bagian risalah, dan selalu membacakan ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan kepada beliau, sampai merasuk ke dalam diri mereka. Beliau menemui mereka secara sembunyi-sembunyi, mengajar mereka secara rahasia di tempat-tempat yang tidak diketahui masyarakat pada umumnya. Mereka melaksanakan ibadah juga secara diam-diam, sampai saatnya Islam dikenal dan menjadi pembicaraan masyarakat di Mekah, sebagian mereka bahkan masuk Islam secara berangsur-angsur.

Pada tahap pembentukan kader ini, Hizb membatasi aktivitasnya hanya pada kegiatan pembinaan saja. Hizb lebih memusatkan perha tiannya untuk membentuk kerangka gerakan, memperbanyak anggota dan pendukung, membina mereka secara berkelompok dan intensif dalam halqah-halqah Hizb dengan tsaqafah yang telah ditentukan sehingga berhasil membentuk satu kelompok partai yang terdiri dari orang-orang yang telah menyatu dengan Islam, menerima dan mengamalkan ide-ide Hizb, serta telah berinteraksi dengan masyarakat dan mengembangkannya ke seluruh lapisan umat.

Setelah Hizb dapat membentuk kelompok partai sebagaimana yang dimaksud di atas, juga setelah masyarakat mulai merasakan kehadirannya, mengenal ide-ide dan cita-citanya, pada saat itu sampailah Hizb ke tahap kedua.


Tahap kedua adalah tahap berinteraksi dengan masyarakat, agar umat turut memikul kewajiban menerapkan Islam serta menjadikannya sebagai masalah utama dalam hidupnya. Caranya, yaitu dengan menggugah kesadaran dan membentuk opini umum pada masyarakat terhadap ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah ditabanni oleh Hizb, sehingga mereka menjadikan ide-ide dan hukum-hukum tersebut sebagai pemikiran-pemikiran mereka, yang mereka perjuangkan di tengah-tengah kehidupan, dan mereka akan berjalan bersama-sama Hizb dalam usahanya menegakkan Daulah Khilafah, mengangkat seorang Khalifah untuk melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Pada tahap ini Hizb mulai beralih menyampai kan dakwah kepada masyarakat banyak secara kolektif. Pada tahap ini Hizb melakukan kegiatan-kegiatan seperti berikut:

(1) Pembinaan Tsaqafah Murakkazah (intensif) melalui halqah-halqah Hizb untuk para pengikut nya, dalam rangka membentuk kerangka gerakan dan memperbanyak pengikut serta mewujudkan pribadi-pribadi yang islami, yang mampu memikul tugas dakwah dan siap mengarungi samudera cobaan dengan pergolakan pemikiran, serta perjuangan politik.

(2) Pembinaan Tsaqafah Jama’iyah bagi umat dengan cara menyampaikan ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah ditetapkan Hizb, secara terbuka kepada masyarakat umum. Aktivitas ini dapat dilakukan melalui pengajian-pengajian di masjid, di aula atau di tempat-tempat pertemuan umum lainnya. Bisa juga melalui media massa, buku-buku, atau selebaran-selebaran. Aktivitas ini bertujuan untuk mewujudkan kesadaran umum di tengah masyarakat, agar dapat berinteraksi dengan umat sekaligus menyatukan nya dengan Islam. Juga, untuk menggalang kekuatan rakyat sehingga mereka dapat dipimpin untuk menegakkan Daulah Khilafah dan mengembalikan penerapan hukum sesuai dengan yang diturunkan Allah SWT.

(3) Ash-Shira’ul Fikri (Pergolakan Pemikiran) untuk menentang ideologi, peraturan-peraturan dan ide-ide kufur, selain untuk menentang aqidah yang rusak, ide-ide yang sesat dan pemahaman-pemahaman yang rancu. Aktivitas ini dilakukan dengan cara menjelaskan kepalsuan, kekeliruan dan kontradiksi ide-ide tersebut dengan Islam, untuk memurnikan dan menyelamatkan masyarakat dari ide-ide yang sesat itu, serta dari pengaruh dan dampak buruknya.

(4) Al-Kifaahus Siyasi (Perjuangan Politik) yang mencakup aktivitas-aktivitas:

(a) Berjuang menghadapi negara-negara kafir imperialis yang menguasai atau mendominasi negeri-negeri Islam; berjuang menghadapi segala bentuk penjajahan, baik penjajahan pemikiran, politik, ekonomi, maupun militer. Mengungkap strategi yang mereka rancang, membongkar persekongkolan mereka, demi untuk menyelamatkan umat dari kekuasaan mereka dan membebaskannya dari seluruh pengaruh dominasi mereka.

(b) Menentang para penguasa di negara-negara Arab maupun negeri-negeri Islam lainnya; mengungkapkan (rencana) kejahatan mereka; menyampaikan nasihat dan kritik kepada mereka. Dan berusaha untuk meluruskan mereka setiap kali mereka merampas hak-hak rakyat atau pada saat mereka melalaikan kewajibannya terhadap umat, atau pada saat mengabaikan salah satu urusan mereka. Disamping berusaha untuk menggulingkan sistem pemerintahan mereka, yang menerap kan perundang-undangan dan hukum-hukum kufur, yaitu dengan tujuan menegakkan dan menerapkan hukum Islam untuk mengganti kan hukum-hukum kufur tersebut.

(5) Mengangkat dan menetapkan kemaslahatan umat, yaitu dengan cara melayani dan mengatur seluruh urusan umat, sesuai dengan hukum-hukum syara’.
»»  read more

Minggu, 03 Januari 2010

Khilafah Bukan Mimpi

Hingga saat ini, ide Khilafah terus menggema di berbagai daerah di Indonesia bahkan di negeri-negeri lainnya. Respon masyarakat pun beragam. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Bagi mereka yang pro, sudah jelas dalam benak mereka akan wajibnya menegakkan Khilafah. Namun, bagi yang menolak, Khilafah dianggap suatu hal yang hampir tidak mungkin bahkan mustahil terwujud.

Setidaknya ada tiga alasan yang dijadikan dalih atas penolakan tersebut. Pertama: Khilafah akan mengancam keutuhan dan kedaulatan negara. Undang-undang yang menjadi dasar negara saat ini adalah harga mati yang tidak boleh diusik. Alasan ini sering dilontarkan oleh para pemuja nasionalisme. Kedua: masyarakat terdiri dari beragam suku, bangsa dan agama. Jadi, tidak boleh ada dominasi salah satu agama karena hal itu merupakan bentuk fanatisme dan egoisme dari segelintir pihak. Lagipula sulit untuk menyatukan masyarakat dalam naungan Khilafah karena kemajemukan tersebut. Ketiga: kaum Muslim tidak wajib mendirikan Khilafah karena hal tersebut tidak pernah disebutkan dalam al-Quran dan al-Hadis.

Ketiga dalih di atas bisa dipastikan merupakan wujud dari ketidakpahaman mereka yang menolak Khilafah. Alasan tersebut sama sekali tidak logis. Khilafah merupakan institusi penyatu kaum Muslim di seluruh dunia. Karenanya ide nation-state yang memecah belah kaum Muslim harus ditolak. Sebagaimana diketahui, ide ini dicetuskan pertama kali di Eropa lewat Perjanjian Westphalia tahun 1648 karena menolak kekuasaan Paus dalam satu entitas Dunia Kristen. Begitu pula dengan undang-undang di negeri-negeri Muslim yang berasal dari akal manusia yang lemah dan terbatas harus dibuang dan digantikan dengan aturan dari Allah SWT. Inilah harga mati bagi seorang Muslim.

Masyarakat yang beragam juga bukan alasan untuk tidak mendirikan Khilafah. Sejak awal berdirinya Khilafah di Madinah, masyarakat di sana terdiri dari beragam suku dan agama. Ada suku Auz dan Khazraj. Ada pula agama Yahudi dan Nasrani. semuanya bisa hidup berdampingan di bawah naungan Khilafah.

Adapun alasan ketiga, maka sudah jelas Allah mewajibkan kita untuk berislam secara kâffah dan berhukum dengan hokum-Nya (QS al-Baqarah [2]: 208; al-Maidah [5]: 48-50). Islam adalah aturan sempurna yang mencakup segala bidang, baik ekonomi, politik, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Semuanya itu menuntut adanya negara (Khilafah). Begitupun dalam hadis, seperti yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim yang mewajibkan kaum Muslim membaiat Khalifah yang akan mengurusi urusan umat, tentunya dalam naungan Khilafah.

Wahai kaum Muslim! Menegakkan Khilafah bukan mimpi dan bukan pula hal yang utopis. Karenanya, mari berjuang demi tegaknya Islam dalam naungan Khilafah dan mencampakkan ideologi kufur Kapitalisme-sekular yang saat ini menancapkan hegemoninya di negeri-negeri kaum Muslim. Yakinlah akan kabar gembira yang datang dari Rasulullah saw.: “Akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad). Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Ayu Dwi S; Mahasiswi Unhas Makassar]

»»  read more

Khilafah, Why Not?

Serangan Barat terhadap Islam mengambil bentuk yang berbeda-beda dan memasuki berbagai sisi kehidupan lainnya, dengan memiliki tujuan sama, yaitu menjauhkan Islam dari kehidupan. Barat berhasil menjadikan tolak ukur, pemahaman dan pemikiran kaum Muslim menyimpang, rancu dan rusak. Barat juga menempatkan para penguasa yang telah dijejali dengan politik dan pemikiran yang rusak. Mereka kemudian mengikat setiap negara melalui para penguasa tadi sebagai agen yang merealisasikan berbagai kepentingan Barat. Jaringan informasi raksasa dikuasai mereka sehingga kaum Muslim mengkonsumsi semua informasi dari Barat menurut perspektif mereka.

Barat menginginkan agar kaum Muslim dalam memahami agama dengan metode berpikir mereka. Jika ada orang/kelompok yang menyimpang dari cara pandang mereka maka melalui media massa Barat akan menggambarkan orang/kelompok tersebut dengan citra negatif seperti ekstremis, fundamentalis, radikal dan teroris. Bahkan mereka disebut sebagai musuh kemanusiaan, orang bodoh serta orang yang tidak layak hidup kecuali dalam kegelapan. Setelah mendistorsi citra dan membolak-balik fakta maka penguasa pun menyerang siapa saja yang telah dipublikasikan oleh Barat.

Dari sinilah, kaum Muslim yang tengah berjuang mengembalikan Khilafah mendapat penolakan dari kaum Muslim sendiri. Mereka menganggap bahwa memperjuangkan Khilafah berarti melawan penguasa/pemerintahan yang ada, yang akan menjurus pada sikap-sikap anarkis dan teroris. Ketakutan dan phobi terhadap orang-orang yang memperjuangkan Khilafah membuat mereka menjauh; menutup mata, hati dan pendengarannya. Umat termakan isu melawan teroris dengan membenci umat Islam yang memperjuangkan syariah Islam dalam negara Khilafah, yang dianggap sebagai sesuatu yang melawan arus dan berbeda dengan mereka; sesuatu yang berbahaya.

Untuk menyikapi para penolak Khilafah, kita berkewajiban untuk membentuk opini umum Dunia Islam dan opini Internasional, bahwa Islam memerlukan Khilafah sebagai penjaga akidah umat dari serangan-serangan asing; kemudian membongkar makar politik Amerika terhadap umat Islam. Kaum Muslim juga berkewajiban untuk menjadi representasi Islam dalam segala perbuatan dan tindakannya, untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan cara mendirikan negara Khilafah. So, Khilafah, Why Not?

[Siti Khairaniah, ST (Ibu Rumah Tangga); Tinggal di Kota Palangka Raya]

»»  read more

Selasa, 01 September 2009

PENTINGNYA TETAP ISTIQAMAH DAN TAQARRUB KEPADA ALLAH SWT

[Al-Islam 471] Pada bulan suci Ramadhan kali ini, umat Islam, selain sedang diuji kesabarannya dalam menjalani hari-hari puasanya sebulan penuh, juga sedang diuji kesabarannya menghadapi fitnah akibat isu terorisme yang akhir-akhir ini sengaja dimunculkan kembali, diekspos terus-menerus dan dikaitkan dengan Islam dan kaum Muslim. Ujian ini terutama menimpa para pengemban dakwah, baik individu maupun lembaga dakwah (pesantren).

Menghadapi ujian ini seyogyanya setiap Muslim dituntut untuk tetap istiqamah di dalam ketaatannya kepada Allah SWT, tidak menyimpang sedikit pun dari jalan-Nya, dan malah harus semakin mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya. Sebab, istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT dan taqarrub kepada-Nya akan menjadi pintu baginya untuk meraih sukses di dunia dan akhirat.

Pentingnya Istiqamah

Sejak Baginda Nabi saw. memulai dakwah secara terang-terangan di Makkah, orang-orang kafir mulai memutar otak untuk mencari cara—dari mulai yang paling halus hingga yang paling kasar dan kejam—untuk menggagalkan dakwah Nabi saw. Mula-mula mereka melontarkan isu bahwa Muhammad saw. adalah orang gila. Lalu beliau juga dituduh sebagai penyihir yang bisa memecah-belah bangsa Arab. Tujuannya, agar orang-orang Arab tidak mendekati, apalagi mendengarkan kata-kata Muhammad. Itulah ujian yang pertama dan paling ringan yang dialami Baginda Rasulullah saw.

Tatkala Quraisy melihat bahwa Muhammad tidak berpaling sedikitpun dari jalan dakwah, mereka lalu berpikir keras untuk membenamkan dakwah Muhammad saw. dengan berbagai cara yang lebih keras. Secara ringkas ada empat cara yang mereka lakukan: mengolok-olok, mendustakan dan melecehkan Rasul; membangkitkan keragu-raguan terhadap ajaran Rasul dan melancarkan propaganda dusta; menentang al-Quran dan mendorong manusia untuk menyibukkan diri menentang al-Quran; menyodorkan beberapa bentuk penawaran agar Rasul mau berkompromi, yang tujuan akhirnya adalah menyimpangkan bahkan menghentikan dakwah beliau (Syaikh Shafiy ar-Rahman al-Mubarakfuri, ar-Rahîq al-Makhtûm).

Akan tetapi, semua cara ini pun gagal. Namun, kaum Kafir tidak mengendorkan kesungguhan untuk memerangi Islam serta menyiksa Rasul-Nya dan orang-orang yang masuk Islam. Fitnah dan ujian juga dilakukan terhadap Baginda Nabi saw. oleh Abu Lahab dan istrinya, Abu Jahal dan istrinya, Uqbah bin Abi Mu’ith, Adi bin Hamra‘ ats-Tsaqafi dan Ibn al-Ahda‘ al-Huzali. Salah seorang dari mereka pernah melempar Nabi saw. dengan isi perut domba yang baru disembelih saat beliau sedang shalat. Uqbah bin Abi Mu’ith bahkan pernah meludahi wajah Nabi saw. Utaibah bin Abi Lahab pernah menyerang Nabi saw. Uqbah bin Abi Mu’ith pernah menginjak pundak beliau yang mulia. Semua itu dialami Baginda Rasulullah saw., betapapun mulianya kedudukan dan kepribadian beliau di tengah-tengah masyarakat.

Karena itu, wajar jika para Sahabat beliau, apalagi orang-orang lemah di antara mereka, juga mendapat banyak gangguan atau siksaan, yang tak kalah kejam dan mengerikan. Paman Utsman bin Affan, misalnya, pernah diselubungi tikar dari daun kurma dan diasapi dari bawahnya. Ketika Ibu Mushab bin Umair mengetahui bahwa anaknya masuk Islam, ia tidak memberi makan anaknya dan mengusirnya dari rumah—padahal ia sebelumnya termasuk orang yang paling enak hidupnya—sampai kulit Mushab mengelupas. Bilal bin Rabbah juga pernah disiksa secara kejam oleh Umayah bin Khalaf al-Jamhi. Lehernya diikat, lalu ia diserahkan kepada anak-anak untuk dibawa berkeliling mengelilingi sebuah bukit di Makkah. Bilal juga dipaksa untuk duduk di bawah terik matahari dalam kelaparan, kemudian sebuah batu besar di diletakkan dadanya.

Hal yang sama menimpa keluarga Yasir ra, bahkan lebih tragis. Abu Jahal menyeret mereka ke tengah padang pasir yang panas membara dan menyiksa mereka dengan kejam. Yasir ra. meninggal dunia ketika disiksa. Istrinya, Sumayyah (ibu ’Ammar), juga menjadi syahidah setelah Abu Jahal menancapkan tombak di duburnya. Siksaan terhadap Ammar bin Yasir juga semakin keras. (Ibn Hisyam, Sîrah Ibn Hisyam, 1/319; Muhammad al-Ghazaliy, Fiqh as-Sîrah hlm. 82.

Meski mengalami semua makar dan kekejaman yang dilakukan orang-orang Kafir, Rasulullah saw. dan para Sahabat beliau tetap berpegang teguh pada Islam, tetap bersabar dan tetap istiqamah di jalan dakwah hanya karena satu alasan: mengharap ridha Allah SWT.

Karena itu, jika hari ini para pengemban dakwah, khususnya di Tanah Air, sedang diuji dengan fitnah terorisme—dituduh mengancam negara, diawasi bahkan diperangi atas nama perang melawan terorisme—maka hal itu sebenarnya barulah mengalami hal yang paling ringan dari apa yang pernah dialami Baginda Nabi saw. saat pertama kali. Artinya, jika pun ujian dakwah yang mereka alami jauh lebih sadis dari sekadar fitnah/tuduhan palsu, maka tak usah khawatir. Sebab, Nabi saw. dan para Sahabat pun—yang notabene para wali Allah sekaligus kekasih-Nya—pernah mengalaminya.

Karena itu, istiqamah di jalan dakwah adalah hal yang sebetulnya wajar-wajar saja bagi para pendakwah. Bahkan hanya dengan tetap istiqamahlah segala permusuhan orang-orang kafir terhadap para pengemban dakwah—yang notabene adalah para wali (kekasih) Allah—akan bisa dikalahkan. Sebab, Allah SWT telah berfirman di dalam sebuah hadis qudsi, bahwa Dia sendirilah yang akan memerangi orang-orang yang memerangi para wali (kekasih)-Nya:

«مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ»

Siapa saja yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka Aku memaklumkan perang terhadapnya (HR al-Bukhari).

Jika Allah SWT telah memaklumkan perang, maka siapapun yang menjadi sasarannya pasti akan dikalahkan. Lebih dari itu, jika kaum Muslim dan para pengemban dakwah tetap istiqamah di jalan-Nya, maka segala makar orang-orang kafir dan antek-anteknya juga pasti gagal, dan kemenangan dakwah pasti dapat segera terwujud. Sebab, makar orang-orang kafir dan para pendukung kekufuran terhadap kaum Muslim pasti akan dibalas oleh Allah sendiri. Allah SWT berfirman:

]وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ[

Orang-orang kafir itu membuat makar/tipudaya dan Allah membalas makar/tipudaya mereka itu. Allah adalah sebaik-baik Pembalas tipudaya (QS Ali Imran [3]: 54).

Pentingnya Taqarrub ilâ Allâh

Selain tetap istiqamah, setiap Muslim, khususnya para pengemban dakwah, seyogyanya terus berupaya mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Dalam lanjutan hadis qudsi di atas, Allah SWT berfirman:

«وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي َلأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي َلأُعِيذَنَّهُ»

Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar; menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat; menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, pasti Aku beri. Jika ia meminta perlindungan-Ku, pasti Aku lindungi (HR al-Bukhari).

Dari hadis di atas, jelaslah bahwa secara tersurat, kunci bagi setiap Muslim, khususnya para pengemban dakwah, agar senantiasa permohonannya dikabulkan, juga agar senantiasa mendapatkan perlindungan Allah SWT, adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya.

Hanya saja, pengertian taqarrub ini tidak boleh dipersempit hanya dalam tataran ritual atau spiritual semata; apalagi sekadar menjalankan yang sunnah-sunnah saja, sementara banyak kewajiban lainnya yang ditinggalkan. Sebab, makna syar’i dari taqarrub ilâ Allâh adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah Allah tetapkan (Fath al-Bâri, XXI/132; Syarh Muslim, IX/35; Al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa`, 1/499; Syarh al-Bukhâri li Ibn Bathal, XX/72). Bahkan taqarrub dengan menjalankan seluruh kewajiban adalah lebih Allah sukai, apalagi jika ditambah dengan terus-menerus menjalankan hal-hal yang sunnah.

Di antara kewajiban—sebagai bagian dari taqarrub yang lebih Allah sukai itu—adalah berdakwah sekaligus berjuang untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT di muka bumi. Para ulama bahkan menegaskan bahwa taqarrub ilâ Allâh mencakup menerapkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) dengan melaksanakan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan. Imam Ibnu Taimiyah berkata, "Wajib menjadikan kepemimpinan [imârah] sebagai bagian dari agama dan jalan mendekatkan diri kepada Allah. Sebab, mendekatkan diri kepada Allah dalam urusan kepemimpinan dengan jalan menaati Allah dan Rasul-Nya termasuk taqarrub yang paling utama [min afdhal al-qurubât]." (Majmû’ al-Fatawa, VI/410),

Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali juga menerangkan, "Termasuk kewajiban yang merupakan taqarrub ilâ Allâh adalah mewujudkan keadilan, baik keadilan secara umum sebagaimana kewajiban seorang penguasa atas rakyatnya, maupun keadilan secara khusus sebagaimana kewajiban seorang kepala keluarga kepada istri dan anaknya." (Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm, XXXVIII/11).

Berdasarkan hadis-hadis di atas, aktivitas menerapkan syariah secara adil yang dilakukan oleh Khalifah adalah bagian dari taqarrub ilâ Allâh. Bahkan seperti kata Ibnu Taimiyah di atas, menjalankan pemerintahan Islam termasuk taqarrub ilâ Allâh yang paling utama.

Pernyataan Ibnu Taimiyah itu tidaklah mengherankan, sebab hanya dengan pemerintahan Islam sajalah umat Islam akan dapat menerapkan hukum-hukum syariah Islam secara kâffah (menyeluruh). Sistem pidana Islam, sistem pendidikan Islam, sistem ekonomi Islam dan sistem-sistem Islam yang lain tidak mungkin diterapkan tanpa adanya sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Walhasil, eksistensi Khilafah sangat vital, karena hanya dengan Khilafah taqarrub ilâ Allâh akan bisa terlaksana sempurna. Khilafah adalah kunci taqarrub ilâ Allâh secara kâffah.

Karena itu, memperjuangkan kembali tegakknya Khilafah jelas sengat penting dilakukan oleh umat Islam, khususnya para pengemban dakwah, sebagai bagian dari taqarrub kepada Allah SWT.

Lebih dari itu, saat seorang Muslim ber-taqarrub kepada Allah maka dia pasti akan dicintai Allah. Orang yang dicintai Allah akan mendapatkan berbagai balasan yang baik dari Allah, semisal keridhaan dan rahmat Allah; limpahan rezeki-Nya, taufik-Nya, pertolongan-Nya, dan sebagainya. (Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-’Ulm wa al-Hikâm, XXXVIII/10-12; Syarah Muslim, X/35).

Walhasil, pada bulan Ramadhan yang mulia ini, marilah kita semua ber-ta­qarrub kepada Allah SWT dengan makna yang seluas-luasnya, sebagaimana terpapar di atas. Dengan semua itu, mudah-mudahan Allah SWT segara memberikan pertolongan-Nya kepada kita demi terwujudnya ‘Izzul al-Islâm wa al-Muslimîn. Amin.[]
»»  read more

Kamis, 27 Agustus 2009

Hizbut Tahrir : Dakwah Islam Pemikiran, Politik, dan Tanpa Kekerasan

Pendahuluan

Islam adalah agama sempurna. Kesempurnaannya sebagai sebuah sIstem hidup dan sistem hukum meliputi segala perkara yang dihadapi oleh umat manusia. Firman Allah Swt:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..” (TQS. An-Nahl [16]: 89)

Ini berarti, perkara apapun ada hukumnya, dan problematika apa saja, atau apapun tantangan yang dihadapi kaum Muslim, akan dapat dipecahkan dan dijawab oleh Dinul Islam.

Keharusan mengikuti syariat Islam, terutama jejak langkah yang pernah ditempuh oleh Rasulullah saw, telah ditegaskan oleh firman Allah Swt:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي

“Katakanlah, ‘Inilah jalan (dakwah)-ku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada (agama) Allah dengan hujjah (bukti) yang nyata..” (TQS. Yusuf [12]: 108)

Ayat ini menunjukkan bahwa jalan Rasulullah saw telah benar-benar tegas dan nyata. Masalahnya tinggal, apakah kita hendak mengikuti jalan beliau saw atau tidak.

Oleh karena itu, sumber sekaligus tolok ukur untuk menentukan jalan yang ditempuh guna membangkitkan umat, menyadarkan umat, mendidik umat, menerapkan sistem hukum Islam secara total, dan membangun Daulah Islamiyah adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Langkah-langkah Rasulullah saw merupakan penerapan dan penjelasan yang bersifat ‘amaliy atas metoda yang harus ditempuh. Selain metoda yang dijalankan oleh Rasulullah saw adalah metoda batil dan tertolak. Tidak layak dijadikan tolok ukur dan dapat dipastikan hanya bermuara pada kegagalan.

Siapapun yang mengelaborasi sirah Rasul saw saat berjuang menegakkan Islam hingga berhasil di Madinah akan menemukan tiga karakter dakwah Islam yang wajib diikuti. Ketiga karakter tersebut adalah pemikiran (fikriyah), politis (siyâsiyah) dan tanpa kekerasan (lâ mâaddiyah). Rasulullah saw tidak menggunakan kekerasan apapun sejak diutus sebagai Rasul di Makkah hingga mendapatkkan kekuasaan di Madinah. Beliau saw membatasi diri pada pergolakan pemikiran (shirâ’ul fikriy) dan perjuangan politik (kifâh siyâsiy).

Membangun Masyarakat Islam Tanpa Kekerasan

Sebagian kaum Muslim menganggap bahwa metoda untuk melakukan perubahan masyarakat dengan jalan membangun Daulah Islamiyah yang akan menerapkan sistem syariat Islam secara total, adalah dengan jalan kekerasan (fisik). Salah satu argumentasi yang dilontarkan adalah hadits dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’I yang berkata :

سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ يَقُوْلُ:… وَشِراَرُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُبْغَضُوْنَهُمْ وَيُبْغَضُوْنَكُمْ، قاَلَ: قُلْناَ ياَرَسُوْلَ اللهِ: أَفَلاَ نُناَبِذُهُمْ عِنْدَ ذلِكَ؟ قاَلَ: لاَ، ماَ أَقاَمُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ

“Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:…Sebaliknya, seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan merekapun membenci kalian…’ Kami bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah kami harus mengangkat senjata (pedang) ketika hal itu terjadi?’ Beliau bersabda, ‘Tidak, selama mereka menegakkan shalat.” (HR. Muslim)

Yang dimaksud dengan menegakkan shalat adalah menerapkan sistem hukum Islam. Menunjuk argumentasi ini, mereka berpandang­an bahwa tatkala seorang penguasa sudah tidak lagi peduli dengan penerapan sistem hukum Islam, malah diterapkan sistem hukum kufur –yang bertentangan dengan Islam-, maka dibolehkan mengangkat senjata (pedang) menghadapi penguasa tersebut.

Bila kita cermati, tahqiqul manath (fakta obyektif diterapkannya dalil tersebut) hadits diatas menyoroti penguasa (Khalifah) yang ada di dalam Dar al-Islam (Daulah Islamiyah), yang dibai’at sesuai dengan bai’at syar’iy. Daulah Islamiyah sendiri adalah institusi negara dan kepemimpinan umum kaum Muslim sedunia yang diperintah berdasarkan sistem hukum Islam, dan keamanannya berada sepenuhnya di tangan kaum Muslim. Apabila penguasa (Khalifah) melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum Allah dengan jalan mengabaikannya, atau malah memerintah kaum Muslim dengan hukum-hukum kufur, maka kaum Muslim dibolehkan untuk memeranginya (melakukan perubahan secara fisik). Pada kondisi semacam inilah hadits diatas diterapkan. Yaitu di dalam format Daulah Islamiyah yang sebelumnya telah menerapkan sistem hukum Islam, kemudian terjadi penyelewengan hukum-hukum Islam. Ini adalah tahqiqul manath dari hadits tersebut diatas.

Hal tersebut tidak berlaku di Dar al-Kufr, yaitu negara yang tidak menerapkan secara total syariat Islam sekalipun penduduknya muslim, dan/atau keamanannya tidak berada di tangan kaum Muslim. Penguasa di Dar al-Islam (Khalifah) tentu amat berbeda realitasnya dengan penguasa yang ada di Dar al-kufr. Para penguasa –meskipun mereka itu Muslim- yang ada saat ini adalah orang-orang yang tidak menjalankan sama sekali sistem hukum Islam, bahkan berpijak pada sistem hukum kufur. Mereka bukanlah Imam atau Khalifah bagi seluruh kaum Muslim sedunia. Bahkan mereka umumnya menolak institusi Khilafah atau Daulah Islamiyah. Keadaan semacam itu serupa dengan kondisi kota Makkah ketika Rasulullah saw dan para sahabatnya menjalankan dakwah, mendidik masyarakat, dan berupaya untuk menegakkan Daulah Islamiyah. Rasulullah saw saat itu hidup di Makkah yang merupakan Dar al-Kufur. Dan waktu itu Rasulullah saw bersama sahabatnya tidak menggunakan kekerasan/fisik dalam perjuangan mewujudkan syariat Islam di tengah-tengah kehidupan.

Tidak ada satu peristiwapun selama Rasulullah saw menjalankan aktivitas dakwahnya di kota Makkah yang dapat dijadikan argumentasi untuk membolehkan penggunaan metoda fisik/kekerasan dalam menerapkan syariat Islam melalui terbentuknya Daulah Islamiyah. Memang, dalam menghadapi tindakan keras orang-orang Quraisy, sempat muncul keinginan para sahabat untuk menggunakan kekerasan/senjata. Mereka memohon kepada Rasulullah saw. agar mengizinkan hal itu. Tapi Rasulullah saw. mencegah keinginan mereka seraya bersabda (lihat Ahmad Mahmud, Dakwah Islam, terj. 121):

«إِنِّيْ أُمِرْتُ بِالْعَفْوِ، فَلاَ تُقَاتِلُوا الْقَوْمَ»

“Aku diperintahkan untuk menjadi seorang pemaaf. Oleh karena itu, jangan memerangi kaum itu” (HR. Ibnu Abi Hatim, An Nasai, dan Al Hakim).

Bahkan ketika Rasulullah saw. telah mendapatkan baiat dari orang-orang Anshar di Aqobah dan mereka meminta izin kepada rasul untuk memerangi orang-orang Quraisy di Mina, beliau saw. menjawab: “‘Kami belum diperintahkan untuk (aktivitas) itu, maka kembalilah kalian ke hewan-hewan tunggangan kalian. Dikatakan, ‘Maka, kamipun kembali ke peraduan kami, lalu tidur hingga tiba waktu subuh.” (Sirah Ibnu Hisyam bi Syarhi al-Wazir al-Maghribi, jilid I/305)

Setelah beliau dan kaum Muslim hijrah ke kota Madinah, dan mendirikan peradaban baru disana, sekaligus membangun Daulah Islamiyah, Allah Swt mengizinkan dan memerintahkan kaum Muslim untuk melakukan berbagai aktivitas fisik (militer) untuk melawan kekuatan kufur maupun untuk membuka daerah-daerah kufur agar tunduk di bawah kekuasaan Daulah Islamiyah (Darul Islam). Firman Allah Swt:

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.” (TQS. Al-Hajj [22]: 39)

Ayat ini diturunkan selepas beliau berhijrah ke Madinah dan menjadi kepala negara di sana, lalu beliau segera setelah itu mempersiapkan dan membangun kekuatan militer.

Disamping itu, realitas menunjukan bahwa perubahan di tengah-tengah masyarakat tidak bisa dilakukan dengan jalan menghancurkan sarana ataupun simbol-simbol kekufuran, kemaksiyatan dan kejahiliyahan secara fisik. Sebab, pemahaman, pemikiran, dan ideologi yang nyata-nyata sesat dan kufur, yang ada di dalam benak sebagian besar masyarakat tidak dapat dihancurkan dengan kekuatan fisik, melainkan dengan mengubah pemikiran, perasaan dan keyakinan masyarakat dengan Islam hingga terwujudlah kehendak masyarakat untuk mengubah sistem hidup bobrok yang tengah berlangsung digantikan dengan syariat Islam. Bila rakyat telah menghendakinya, dan opini umum untuk menerapkan syariat Islam telah terbentuk niscaya tidak ada yang dapat menghalanginya.

Dengan demikian, sebuah jamaah, partai politik Islam, harakah, dan sejenisnya tidak dibenarkan melakukan aktivitas fisik (kekerasan/militer) dalam upayanya untuk menegakkan Daulah Islamiyah yang akan menerapkan secara total seluruh sistem hukum Islam. Sebab, Rasulullah saw tidak mencontohkan hal tersebut.

Transformasi Masyarakat Lewat Pemikiran Islam

Pemikiran Islam adalah setiap pemikiran yang digali dari Islam. Pemikiran Islam mencakup pemikiran tentang akidah dan pemikiran tentang syariat (sistem hukum). Perubahan pemikiran dengan Islam berarti mengubah akidah masyarakat menjadi akidah Islam, dan aturannya menjadi aturan Islam.

Sejak diutus, Rasulullah saw melakukan perubahan pemikiran dalam diri bangsa Arab saat itu. Pemikiran Lâ ilâha illallâh yang beliau saw tanamkan mengubah mereka yang sebelumnya menyembah patung beralih pada penyembahan kepada Allah Swt semata. Rasulullah telah mengubah pandangan mereka tentang kehidupan, dari cara pandang yang dangkal menuju cara pandang yang mendalam lagi jernih yang merupakan cerminan dari akidah Islam. Pandangan mereka tidak sebatas dunia, melainkan justru menembus negeri akhirat. Rasulullah saw mengubah pemikiran masyarakat bahwa Allah Swt tidaklah menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya.

Ikatan-ikatan kepentingan, kesukuan, dan patriotisme berubah menjadi ikatan ideologis yang memandang semua kaum mukmin bersaudara laksana satu tubuh. Juga, melalui penanaman pemikiran akidah dan syariat Rasulullah berhasil mengubah tolok ukur aktivitas kehidupan masyarakat dari manfaat-egoisme ke tolok ukur halal-haram, dari hawa nafsu ke wahyu. Masyarakat Arab pra Islam yang sebelumnya membangun hubungan kenegaraan di atas kepentingan materi, kepongahan dan ketamakan menjadi tegak di atas asas penyebaran akidah dan syariat Islam dan mengembannya ke seluruh umat manusia.

Begitu pula, pemikiran Islam yang ditanamkan Rasul tentang kehidupan setelah dunia telah mengubah persepsi tentang kebahagiaan pada diri umat, dari sekedar pemenuhan syahwat dengan segala kenikmatan dunia beralih kepada mencari ridha Allah Swt. Nampaklah kaum muslim binaan Nabi tidak takut akan kematian, dan berharap syahid di jalan Allah Swt.

Sebab, mereka memahami bahwa dunia ini hanyalah jalan menuju akhirat. Demikianlah, lewat pemikiran Islam baik berupa akidah maupun syariah, Rasullah saw berhasil membentuk pemahaman, tolok ukur dan keyakinan masyarakat ketika itu menjadi Islam hingga terwujudnya Daulah Islamiyah di Madinah.

Selain itu, banyak sekali nash-nash Al Quran maupun perbuatan Nabi yang menunjukkan adanya pergolakan pemikiran (shirâ’ul fikriy) untuk menentang ideologi, peraturan dan ide kufur. Juga, beliau menentang akidah yang rusak, ide-ide yang keliru dan pemahaman yang rancu. Beliau melakukannya dengan cara menjelaskan kepalsuan, kesalahan dan pertentangannya dengan Islam untuk memurnikan dan menyelamatkan masyarakat dari ide-ide tersebut, serta dari pengaruh dan dampak buruknya. Diantaranya, Rasulullah saw menyampaikan firman Allah Swt:

إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ
أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ

Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan neraka jahannam (TQS. Al Anbiya[21]:98).

Terhadap orang-orang yang curang dalam takaran dan timbangan, Al Quran mengancamnya dengan menyatakan:

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ% الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ% وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apapbila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi (TQS. Al Muthaffifin[83]:1 – 3).

Demikianlah, Rasulullah saw mencontohkan senantiasa menanamkan pemikiran Islam dan melakukan pergolakan pemikiran terhadap perkara-perkara yang bertentangan dengan Islam. Hizbut Tahrir –sebagai wujud ketundukan kepada Rasulullah saw– memandang wajib melakukan perubahan masyarakat lewat pemikiran Islam yang disampaikan secara terbuka kepada masyarakat. Hal ini dilakukan dengan pengajian-pengajian di masjid, ceramah umum, dialog, diskusi publik, atau kajian di tempat pertemuan lain. Begitu pula dilakukan dengan menggunakan sarana media massa, buku, booklet, dan sebagainya.

Tujuannya adalah untuk mewujudkan kesadaran umum di tengah masyarakat agar dapat berinteraksi dengan umat sekaligus menyatukannya dengan Islam. Melalui perubahan pemikiran tidak islami menjadi pemikiran Islam diharapkan terjadi perubahan masyarakat yang rusak di negeri-negeri kaum muslim sekarang ini menjadi masyarakat Islam. Disamping mengubah perasaan yang tidak islami di tengah anggota masyarakat yang ada menjadi perasaan yang islami sehingga ia akan ridla terhadap apa yang diridlai Allah dan Rasul-Nya, serta akan marah dan benci terhadap apa yang dimurkai dan dibenci Allah dan Rasul-Nya.

Hal ini akan mendorong kaum muslim yang telah tercerahkan oleh pemikiran Islam untuk sama-sama mencerahkan dan membangkitkan umat dengan Islam, lalu mengubah hubungan yang tidak islami yang berlaku diantara mereka menjadi hubungan yang didasarkan pada Islam sesuai syariat Islam, dan mengembalikan pelaksanaan syariat Islam serta menyatukan kaum Muslim seluruh dunia dibawah naungan Khilafah Islamiyah.

Transformasi Masyarakat Lewat Aktivitas Politik

Secara umum, politik adalah memelihara urusan umat (As siyâsah hiya ri’âyatu syu`ûnil ummah). Sedangkan politik Islam berarti memelihara dan mengatur urusan masyarakat dengan hukum-hukum Islam dan dipecahkan sesuai dengan syariat Islam. Sirah Rasul saw dan banyak ayat Al Quran menunjukkan bahwa aktivitas dakwah beliau merupakan aktivitas yang bersifat politik. Beliau dalam segenap aktivitasnya senantiasa memperhatikan dan memelihara urusan masyarakat agar sesuai dengan hukum-hukum syara yang diturunkan Allah Swt. Diantara aktivitas politik yang beliau dan sahabatnya lakukan adalah:

  1. Mendidik masyarakat dengan tsaqofah Islam supaya mereka dapat menyatu dengan Islam, agar mereka terbebas dari akidah yang rusak, pemikiran yang salah, dan dari pemahaman yang keliru serta pengaruh ide-ide dan pandangan kufur. Setiap berjumpa dengan orang lain, Rasulullah selalu menawarkan Islam kepada mereka. Beliau saw mengirim para sahabat untuk mengajarkan Al Quran kepada orang-orang yang baru memeluk Islam. Beliau mengutus Khabab bin al-Art untuk mengajarkan Al Quran kepada Zainab bin al-Khathab dan Sa’id, suaminya. Begitu pula beliau menetapkan rumah Al Arqam bin Abil Arqam sebagai markas dakwah. Beliau membina mereka. Setiap sahabat pun terus menyebarkan dan membina orang yang menganut Islam. Demikianlah aktivitas pembinaan yang terus dilakukan Rasulullah.
  2. Pergolakan pemikiran yang nampak dalam penentangannya terhadap pemikiran dan sistem kufur, pemikiran yang keliru, akidah yang rusak, dan pemahaman yang sesat dengan cara menjelaskan kerusakannya, menunjukkan kekeliruannya serta menjelaskan hukum Islam dalam masalah tersebut. Selain ayat-ayat yang sudah dipaparkan di atas, juga ada ayat-ayat yang menyerang kemusyrikan mereka, seperti firman Allah Swt :

    وَجَعَلُوا ِللهِ شُرَكَاءَ الْجِنَّ وَخَلَقَهُمْ وَخَرَقُوا لَهُ بَنِينَ وَبَنَاتٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُونَ
    “Mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sebagai sekutu bagi Allah, padahal Allah Yang menciptakan jin-jin itu. Mereka berbohong—dengan mengatakan bahwa Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan—tanpa mendasarkannya pada ilmu pengetahuan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka nisbatkan. (QS al-An‘âm [6]: 100).

    Dalam bidang sosial, Allah Swt. antara lain berfirman:

    وَلاَ تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
    “Janganlah kalian memaksa budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran—sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian—dengan tujuan untuk meraih keuntungan duniawi. (QS an-Nûr [24]:33).

    Sementara itu, dalam kaitannya dengan masalah ekonomi, Allah Swt. antara lain berfirman:

    وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُو عِنْدَ اللهِ
    “Apa yang kalian berikan berupa riba untuk tujuan menambah harta-kekayaan manusia tidaklah menambah apa pun di sisi Allah”. (QS ar-Rûm [30]: 39).

  3. Penentangan terhadap penguasa yang menerapkan hukum kufur dan membongkar makar mereka. Allah SWT menyingkapkan persekongkolan ini kepada Rasulullah saw. dalam firman-Nya:

    إِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ% َقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ% ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ% ثُمَّ نَظَرَ% ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ% ثُمَّ أَدْبَرَ وَاسْتَكْبَرَ% فَقَالَ إِنْ هَذَا إِلاَّ سِحْرٌ يُؤْثَرُ% إِنْ هَذَا إِلاَّ قَوْلُ الْبَشَرِ% سَأُصْلِيهِ سَقَرَ
    “Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan. Celakalah dia, bagaimana dia menetapkan? Celakalah dia, bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan, lalu dia bermuka masam dan merengut. Dia lantas berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Selanjutnya dia berkata, “(Al-Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.”Aku akan memasukkannya ke dalam neraka Saqar. (QS al-Mudatstsir [74]: 18-26).

    Para pemimpin Quraisy itu pun satu persatu dilucuti jati diri mereka oleh Al Quran (lihat Ahmad Mahmud, Dakwah Islam, hal 119-120). Tentang Abu Lahab, Allah SWT berfirman:

    تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
    “Binasalah kedua tangan Abi Lahab…” (QS al-Lahab [111]: 1).

    Tentang penguasa Bani Makhzum, Walid bin Al Mughirah, Allah SWT berfirman:

    ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا% وَجَعَلْتُ لَهُ مَالاً مَمْدُودًا
    “Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak”. (QS Al Muddattsir [74]: 11-12).

    Terhadap Abu Jahal, Allah SWT berfirman:

    كَلاَّ لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعَنْ بِالنَّاصِيَةِ% نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ
    “Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, yaitu ubun-ubun yang mendustakan lagi durhaka” (QS al-’Alaq [96]: 15-16).

Berdasarkan hal ini, dalam konteks kekinian, aktivitas politik yang dilakukan dalam upaya penerapan syariat Islam adalah perjuangan dan berinteraksi dalam lapangan politik untuk membongkar rencana jahat negara-negara besar yang memiliki pengaruh dan dominasi di negeri-negeri muslim untuk membebaskan umat dari belenggu penjajahan dan dominasinya serta mencabut akar-akarnya baik di bidang pemikiran, kebudayaan, politik, maupun militer sekaligus mencabut perundangan mereka dari negeri-negeri kaum muslim. Juga, melakukan koreksi terhadap penguasa dengan mengungkap pengkhianatan mereka terhadap umat dan persekongkolan mereka dengan negara-negara kafir, melancarkan kritik dan kontrol kepada mereka. Hizbut Tahrir berupaya melakukan aktivitasnya sesuai dengan contoh Rasulullah saw. Karenanya, dakwah yang dilakukan bersifat pemikiran, politik dan tanpa kekerasan.

Menapaki Kekuasaan Melalui Thalabun Nushrah

Setelah kita memahami bahwasanya perjuangan untuk penerapan sistem hukum Islam –yang dilakukan suatu jamaah/harakah/kutlah dakwah- harus dilakukan secara totalitas dan tanpa melalui cara-cara fisik (kekerasan/militer), muncul pertanyaan, bagaimana caranya untuk sampai ke tingkat kekuasaan atau pemerintahan? Khususnya jika umat dalam keadaan beku dan dikungkung oleh kekuasaan yang menolak syariat Islam. Sebab, penerapan sistem hukum Islam secara total harus berada dalam format institusi negara (kekuasaan), yaitu Daulah Islamiyah.

Rasulullah saw telah memberikan kepada kita seluruh langkah yang memungkinkan untuk mencapai jenjang kekuasaan/pemerintahan. Langkah-langkah Rasulullah saw yang demikian intens dan dilakukan secara terus menerus hingga memperoleh keberhasilan, menunjukkan bahwa apa yang dijalani oleh beliau merupakan metoda (manhaj/thariqah), bukan sekedar cara (uslub). Dan setiap orang yang bergerak dalam aktivitas dakwah, yang menghendaki pada upaya penerapan sistem hukum Islam secara total melalui format Daulah Islamiyah, wajib memahami dan mengambil langkah-langkah Rasulullah saw ini. Metoda ini disebut dengan thalabun nushrah (seruan untuk memperoleh pertolongan/perlindungan).

Thalabun nushrah dilakukan Rasulullah saw. setelah gangguan terhadap beliau semakin keras, yaitu setelah wafatnya paman beliau saw. Abu Thalib. Beliau pergi ke kota Thaif untuk meminta pertolongan dan perlindungan dari Bani Tsaqif, dengan harapan mereka mau menerima seruan beliau. Ketika sampai di kota Thaif, beliau menemui sekelompok pemimpin dan orang-orang terkemuka dari Bani Tsaqif. Beliau mengajak mereka (untuk beriman) kepada Allah. Beliau juga menyatakan maksud kedatangannya untuk meminta perlindungan dan pembelaan mereka kepada Islam, agar mereka berdiri di pihak beliau dalam menghadapi siapapun dari kaumnya yang menentang beliau. Namun mereka menolak. Sekembali beliau ke kota Makkah -di saat-saat musim haji- beliau menemui kabilah-kabilah Arab yang hadir di kota Makkah. Beliau mengajak mereka untuk beriman kepada Allah dan menyampaikan kepada mereka bahwa beliau adalah Nabi yang diutus untuk mereka. Beliau meminta mereka untuk membenarkan sekaligus melindung beliau.

Fenomena ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw menempuh manhaj baru yang belum pernah beliau lakukan sebelumnya. Beliau mengkhususkan dakwah untuk mendapatkan perlindungan dari kelompok-kelompok yang memiliki kemampuan untuk memberikan perlindungan. Dengan kata lain beliau menambahkan aktivitas dakwah pada Islam, dengan dakwah untuk mendapatkan perlin­dungan terhadap dakwah Islam. Fokus dakwahnya ditujukan pada kelompok-kelompok yang kuat guna mendapatkan perlindungan. Beliau terus berusaha mewujudkan perlindungan untuk dakwahnya, sejak beliau kembali dari kota Thaif sampai perlindungan tersebut diperolehnya dari penduduk kota Madinah.

Aktivitas untuk memperoleh perlindungan bagi dakwahnya ini merupakan rangkaian dari hukum-hukum syara yang menyangkut tata cara menyampaikan dakwah agar memperoleh perlindungan dari ancaman musuh-musuhnya. Sekaligus merupakan penjelasan mengenai tata cara mendirikan Daulah Islamiyah.
Dari penelaahan terhadap sirah ketika beliau memulai manhaj baru ini didapatkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Rasulullah saw tidak mencari pelindung/pertolongan kecuali setelah gangguan kepada beliau semakin keras, yaitu setelah paman beliau Abu Thalib meninggal. Rasulullah saw. pernah bersabda: “Orang-orang Quraisy tidak pernah melakukan apa yang aku benci sampai Abu Thalib meninggal” (Sirah Ibnu Hisyam bi Syarhi al-Wazir al-Maghribi, jilid I/282). Kerasnya gangguan itulah yang mendorong beliau untuk mencari jamaah/ kelompok yang mau masuk Islam dan melindungi dakwah.
  2. Orang-orang kafir Makkah yang sebelumnya bersikap keras terhadap dakwah Rasulullah mengajak kepada Islam, bersikap lebih keras lagi ketika mengetahui Rasulullah memulai dakwah kepada jamaah/kelompok untuk melindungi dakwah beliau. Ibnu Hisyam berkata, Kemudian Rasulullah kembali ke Mekah. Sedangkan kaumnya menjadi lebih keras pada beliau dalam menentang dan meninggalkan agama beliau (ibidem, jilid I/285).
  3. Para sahabat beliau berjumlah sedikit dan merupakan orang-orang yang lemah, sehingga mereka tidak mampu melindungi dakwah. Berkata Ibnu Hisyam, Kecuali sedikit (orang) yang lemah dari orang-orang yang beriman kepadanya (ibidem, jilid I/285). Mereka adalah orang-orang lemah dan tidak ada di antara mereka jamaah/kelompok yang mampu melindungi dakwah. Sekalipun ada diantara mereka pribadi-pribadi yang kuat secara individual, seperti Hamzah dan Umar.
  4. Rasulullah saw mencari pertolongan (thalabun nushrah) kepada jamaah/kelompok yang kuat dan memiliki kemampuan untuk melindungi dakwah, bukan kepada individu, bukan pula pada jamaah/kelompok yang lemah. Kalaupun beliau meminta pertolongan/perlindungan kepada indivi­du-individu, individu tersebut dianggap representasi dari jamaah/kelompok. Beliau meminta pertolongan pada Bani Tsaqif, karena Bani Tsaqif adalah kabilah yang kuat. Disamping itu beliau juga meminta pertolongan kepada sekelom­pok orang dari kabilah Kilab, yang juga merupakan jamaah/kelompok yang kuat. Demikian pula dengan kepada bani Hanifah.
    Beliau juga minta pertolongan pada Suwaid bin Shamit, yang merupakan tokoh terhormat dari kaumnya. Ibnu Hisyam berkata, Rasulullah berada di tempat-tempat istirahat para kabilah Arab (pada musim haji) kemudian beliau bersabda, Hai Bani Fulan Aku ini adalah Rasul Allah (yang diutus) kepada kalian…(ibidem, jilid I/285) dan seterusnya. Dan Ibnu Hisyam berkata lagi, Itulah yang dilakukan Rasulullah saw setiapkali menemui orang-orang (para kabilah arab). Ketika orang-orang berkumpul di saat musim haji, beliau mendatangi dan menyeru mereka untuk beriman kepada Allah dan kepada Islam, serta menawarkan diri beliau (untuk dilindungi) pada mereka dan menjelaskan (pada mereka) hal-hal yang beliau bawa dari Allah, berupa petunjuk dan rahmat. Dan apabila beliau mendengar seorang ternama dan terhormat datang ke Mekah, pasti beliau mendatanginya dan menyerunya kepada Allah, dan menawarkan Islam kepada mereka. Semua ini menunjukkan bahwa thalabun nushrah hanya diminta pada jamaah/kelompok yang kuat.
  5. Bahwa Rasulullah saw meminta kepada jamaah/ kelompok yang kuat itu dua perkara secara bersamaan, yaitu pertama masuk Islam dan berpegang teguh padanya; kedua melindungi dakwah dan menolongnya. Ibnu Hisyam berkata, Rasulullah berada di tempat istirahat kabilah-kabilah Arab dan beliau bersabda pada mereka, Hai Bani Fulan sesungguhnya aku ini adalah Rasul Allah pada kalian, yang memerintahkan kalian agar kalian menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan meninggalkan apa yang kalian sembah selain Dia. Yaitu, beragam sembahan ini. Hendaklah kalian beriman kepadaku, membenarkan aku, dan melindungi aku sehingga aku (mampu) menyampaikan dari Allah apa-apa yang aku diutus dengannya (ibidem, jilid I/285).

Maka merupakan suatu keharusan untuk aktivitas thalabun nushrah dan mencari perlindungan terhadap dakwah memenuhi dua syarat, yaitu:

  1. Hendaknya thalabun nushrah diminta dari sebuah jamaah, baik diminta dari jamaahnya secara langsung atau dari individu yang merupakan representasi dari jamaah tersebut.
  2. Hendaknya jamaah/kelompok tersebut diduga kuat memiliki kemampuan untuk menolong dan melindungi dakwah.

Dalam kesempatan lain sepulangnya dari Thaif, Rasulullah saw menawarkan dirinya pada sekelompok orang dari kabilah Kilab yang disebut sebagai Bani Abdillah. Orang-orang ini dianggap sebagai kelompok kuat dalam sebuah negara. Ibnu Hisyam berkata dari nabi saw, Bahwa beliau mendatangi kabilah Kilab ditempat-tempat istirahat mereka, yang dikenal sebagai Bani Abdillah. Kemudian Rasulullah menyeru mereka agar beriman kepada Allah Swt dan menawarkan diri beliau pada mereka. Bahkan sampai berkata pada mereka, Ya Bani Abdillah, sesungguhnya Allah azza wajalla telah memberi kebaikan kepada nama bapak kalian (ibidem, jilid I/286).

Rasulullah saw juga menawarkan dirinya kepada bani Amr bin Sha’sha’ah, dan meminta mereka untuk melindunginya dan berdiri di pihak beliau dalam menghadapi orang-orang Quraisy serta membawa beliau ke kampung halaman mereka. Mereka bersedia memberikan perlindungan dan pertolongannya dengan meminta syarat kepada Rasulullah saw. Tetapi beliau saw menolak dengan tegas syarat tersebut.

Rasulullah berbicara dengan utusan yang datang dari Madinah ke kota Makkah yang merupakan sekutu Quraisy. Mereka dipimpin oleh Abu al-Haisar dan Anas bin Rafi’. Bersamanya ikut sekelompok orang dari Bani Asyhal, termasuk Iyas bin Mu’adz. Mereka merupakan representasi dari kabilah Khazraj yang merupakan jamaah yang kuat di Madinah. Kemudian Rasulullah berbicara dengan sekelompok pemuka Khazraj yang berjumlah 6 orang. Mereka mengambil tugas untuk meyakinkan kaumnya. Sehingga pertolongan/perlin­dungan (nushrah) didapatkan melalui mereka.

Pada pertemuan berikutnya terjadilah peristiwa bai’at aqabah yang pertama. Lalu dikirimkannya Mush’ab bin Umair ke kota Madinah untuk membina orang-orang yang telah memeluk Islam, menyebarluaskan risalah Islam di kota itu, meraih dukungan dari tokoh-tokoh kabilah, dan mempersiapkan pondasi masyarakat untuk membangun peradaban Islam dalam format Daulah Islamiyah. Pada tahun berikutnya datang tujuh puluh tiga laki-laki dan dua orang wanita dari kota Madinah. Mereka bersedia menyerahkan loyalitasnya hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, serta siap sedia untuk membela dan memperjuangkan risalah Islam dari incaran musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.Peristiwa tersebut dikenal sebagai bai’at aqabah kedua.

Belum genap setahun, Rasulullah saw dan sebagian besar kaum Muslim melaksanakan hijrah ke kota Madinah. Disanalah beliau saw secara de facto memperoleh kepemimpinan dan kekuasaan. Dengan demikian metoda thalabun nushroh yang sebelumnya beliau lakukan secara terus menerus terhadap berbagai kabilah kuat (seperti yang dilakukannya terhadap kabilah Tsaqif, kabilah Kindah, kabilah Hanifah, kabilah Amr bin Sha’sha’ah hingga kepada kabilah Khajraj dan Aus) telah berhasil diraih, dengan memperoleh perlindungan dan pertolongan dari penduduk Khajraj dan Aus yang berasal dari kota Madinah.

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa thalabun nushrah mencakup setiap jamaah/kelompok yang diduga kuat (secara politis) memiliki kemampuan untuk menolong dakwah, baik berbentuk sebuah negara ataupun sebuah jamaah/kelompok dalam suatu negara.

Berdasarkan hal ini nushroh bisa ditawarkan kepada suatu jamaah/kelompok yang berupa suatu negara. Yang penting negara itu merdeka dan tidak dalam dominasi kekuasaan orang-orang atau negara kafir. Atau sekelompok perwira militer (seperti panglima dan para kepala staf angkatan) yang mempunyai pengaruh. Atau seorang pemimpin yang mempunyai pengaruh disuatu negeri (seperti kepala negara dan perdana menteri). Atau sekelompok orang dari sebuah jamaah/kelompok yang kuat dari suatu kabilah atau partai politik terbesar, yang mampu mengemban tugas untuk mendapatkan pertolongan dari kaum atau jamaah mereka.

Khatimah

Inilah hal-hal yang bisa dipahami dari kajian terhadap sirah Rasulullah saw dan kajian terhadap realitas dakwah pada saat ini. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan untuk mengikuti manhaj beliau saw. dalam perjalanan dakwah, sebagai sebuah hukum yang berasal dari Rasulullah saw. Dan inilah manhaj/metoda yang dicontohkan oleh Rasulullah saw untuk menapaki kekuasaan tatkala masyarakat tengah dikungkung oleh sistem yang kufur, yaitu melalui jalan pemikiran, politik, dan tanpa kekerasan disertai thalabun nushrah dan dukungan umat. Allah SWT berjanji untuk menolong orang-orang mukmin yang berpegang teguh pada syariat-Nya. Dia SWT berfirman:

وَلَيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa (Qs. Al Hajj 40).

وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي
لاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.(QS. An Nuur 55).

»»  read more

Rabu, 19 Agustus 2009

Keteguhan Pengemban Dakwah Dalam Menjaga Fikrah Islam

Kali ini kita akan mengambil 'ibrah dari sebuah kisah yang dikeluarkan oleh Al Hafidz Abu Nu'aim Al Ashfahaniy[1] rahimahullah dalam magnum opus beliau, kitab Hilyatul Auliyaa' Wa Thobaqotul Ashfiyaa'[2].Meski pun sederhana, tapi cerita ini akan memberi inspirasi kepada siapa saja yang mengaku ingin memikul beban dakwah dan ingin menjaga kebersihan fikrah pada diri ummat. Berikut kisahnya:
Abdush Shomad bin Ma'qil berkata bahwa ia pernah mendengar Wahb bin Manabih berkata, “suatu hari, orang yang sangat dihormati di jamannya mendatangi seorang raja yang suka memaksa rakyatnya untuk makan daging babi. Ketika ia mendatangi raja, orang-orang merasa salut sekaligus cemas terhadapnya. Pengawal raja mengatakan kepadanya, “berikan seekor anak kambing kepadaku untuk kami sembelih, sehingga anda dihalalkan untuk memakannya. Jika sang raja meminta daging babi, maka kami akan memberikan daging kambing itu kepada anda lalu makanlah.” Pengawal itu kemudian menyembelih anak kambing dan memberikan kepadanya. Sang raja juga diberi daging tersebut, namun raja memerintahkan agar ia (orang yang dihormati itu) diberi daging babi. (Tapi diam-diam) si pengawal memberi orang mulia itu daging kambing yang tadi diberikan kepadanya. Lantas sang raja menyuruh orang mulia tersebut untuk memakannya (daging babi palsu itu). Tapi orang mulia itu tidak mau. Pengawal sudah memberi isyarat kepadanya agar ia memakannya karena daging itu sebenarnya adalah daging kambing yang tadi ia serahkan. Tapi orang mulia itu tetap tidak mau memakannya. Akhirnya, sang raja memberi perintah kepada pengawal untuk membunuh orang tersebut. Ketika pengawal tadi membawanya, ia bertanya, “mengapa anda tidak mau memakannya, padahal itu adalah daging kambing yang tadi anda serahkan kepadaku, apakah anda mengira bahwa aku memberi daging lain?” Orang mulia itu menjawab, “aku tahu bahwa daging itu memang daging kambing akan tetapi aku khawatir orang-orang akan menjadikan aku sebagai panutan, sehingga orang-orang yang disuruh makan daging babi akan berkata, “si fulan pernah memakannya”. Akibatnya semua orang akan menjadikan diriku sebagai panutan sehingga aku menjadi fitnah bagi mereka”. Lalu orang mulia itu dibunuh”.
Saudaraku, apa pelajaran yang ingin disampaikan oleh Abu Nu'aim rahimahullah kepada kita sehingga beliau memasukkan kisah ini ke dalam kitab beliau itu? Beliau ingin menunjukkan bahwa seorang panutan itu tidak boleh memikirkan keselamatan dirinya saja ketika bertindak. Dia harus memikirkan juga bahwa perbuatan dan perkataannya merupakan rujukan bagi ummat. Seorang juru dakwah sejati tidak boleh membiarkan peluang adanya distorsi fikroh pada diri ummat. Seandainya orang mulia itu makan daging kambing yang diberikan oleh pengawal, niscaya dia akan selamat dari daging babi, selamat dari dosa, dan selamat dari hukuman. Tapi dia tahu bahwa hal itu akan merusak pemahaman orang banyak secara permanen. Dan rusaknya pemahaman membawa implikasi jangka panjang yang sulit untuk diluruskan. Maka orang tersebut memilih mati dari pada melihat bencana kesesatan ummat. Dari sikap yang dia ambilnya itu manusia bisa belajar tentang ketegaran jiwa dalam berpegang teguh kepada agama Allah. Meskipun dia mati, tapi apa yang dia lakukan akan menjadi teladan dan akan memberi inspirasi bagi ummat, sehingga akan lahir lebih banyak lagi orang-orang yang memiliki mental seperti dia.
Syaikh Taqiyuddin An Nabhaniy rahimahullah dalam nidzomul islam mengatakan, “seorang pengemban dakwah tidak akan mencari muka dan basa-basi di depan masyarakat, bermuka dua atau bersikap toleran terhadap penguasa (dzalim).” Beliau juga berkata, “demikian seharusnya sikap seorang pengemban dakwah islam, yaitu menyampaikan dakwah secara terang-terangan, menentang segala adat, kebiasaan, ide-ide sesat dan persepsi yang salah, bahkan akan menentang opini umum masyarakat kalau memang keliru, sekalipun untuk itu dia terpaksa bermusuhan.” Beliau juga berkata “seorang pengemban dakwah tidak akan mengambil jalan kompromi dan tidak akan mengorbankan nilai-nilai islam”.
Hizb, yang pernah beliau pimpin semasa hidup, tidak basa-basi dalam mencap negara-negara yang ada saat ini berikut konstitusi dan perundangannya dengan stempel “kufur”. Dalam buku manhaj dakwah dikatakan bahwa “hizb dalam mengemban ide-idenya; dalam menentang ide-ide lain (yang kufur) dan menentang kelompok-kelompok politik (yang tidak islami); dalam melawan negeri-negeri kufur; atau dalam menentang para penguasa (dzalim) akan senantiasa bersikap terbuka, terang-terangan, menentang, tidak basa-basi, tidak berpura-pura, tidak berkompromi, tidak berputar-putar, tidak mementingkan keselamatan sendiri dan tanpa pula mamandang hasil dan keadaan yang terjadi.” Hizb juga mengatakan, “Demikian pula Hizb tidak akan berkompromi dengan penguasa dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka, berikut konstitusi dan perundangan mereka dengan alasan bahwa hal ini akan membantu kelancaran dakwah. Sebab syara' memang tidak membolehkan mengambil sarana yang haram untuk memenuhi suatu kewajiban. Sebaliknya, Hizb akan mengoreksi dan mengkritik para penguasa itu dengan tegas. Hizb menganggap bahwa peraturan yang mereka terapkan adalah peraturan kufur, sehingga harus dihilangkan dan diganti dengan hukum-hukum islam. Hizb juga menganggap bahwa mereka pada hakekatnya adalah orang-orang yang fasiq dan dzalim karena telah menjalankan hukum-hukum kufur, sebagaimana Hizb juga menganggap bahwa siapa pun di antara penguasa itu yang mengingkari kelayakan islam atau kelayakan salah satu hukum-hukumnya untuk diterapkan adalah orang kafir”.
Semua kata-kata keras dan tegas itu disampaikan tanpa memikirkan masa depan dan keselamatan Hizb. Sebab, kewajiban dakwah harus ditunaikan apa pun konsekuensinya. Perlu diingat bahwa penjelasan tentang manhaj dakwah yang keras dan tegas itu disampaikan di depan para delegasi konferensi ISNA di Missouri, Amerika Serikat pada tahun 1989. Maka bisa dibayangkan bagaimana keteguhan jiwa delegasi Hizb yang membacakan pidato dahsyat itu dalam konferensi tersebut.[3]
Ketegasan yang seharusnya diambil tatkala menentang sistem dan perundangan kufur itu tidak akan tampak jika kita justru mencitrakan diri sebagai orang yang tidak bermasalah dengan negara nasionalistik-sekuler berikut UUDnya, dasar negaranya, dan seluruh peraturan kufur yang dihasilkan olehnya? Ummat harus tahu bahwa kita berlepas diri dari semua itu! Ummat harus melihat bahwa kita berhadapan secara diametral di seberang kebathilan, agar yang bathil terlihat bathil dan yang haq terlihat haq! Agar ummat nantinya mampu melihat dengan mata yang kita pakai saat ini! Itu jauh lebih penting dari keslamatan dan kedudukan kita. Wallaahul muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq wa huwal Musta'aan

[1] Beliau adalah Ahmad bin Abdullah bin Ahmad Al Ashfahaniy. Lahir pada tahun 336 H, wafat pada tahun 430 H. Imam Adz Dzahabi rahimahullah mengatakan: “beliau adalah imam al hafidz (penghafal hadits), tsiqoh (periwayatannya terpercaya), sangat alim (berilmu), mahaguru islam (syaikhul islam), dan Abu Nu'aim yang sufistik”. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Abu Nu'aim adalah salah satu penghafal hadits terkemuka, penulis buku terbanyak, dan karya tulisnya banyak dimanfaatkan orang. Beliau lebihdari pada disebut tsiqoh, sebab karya tulis beliau kualitasnya lebih tinggi dari gelar itu..”.
[2] Kitab yang sangat masyhur, memuat pelajaran-pelajaran berharga dari kehidupan dan petuah kaum salafush sholih. Jika anda membaca buku, kemudian pengarangnya menyebutkan “diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Al Hilyah”, maka Al Hilyah yang dimaksud adalah kitab ini. Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al Bidayah mengatakan: “di antara kitab beliau (Abu Nu'aim) adalah Hilyatul Auliyaa' yang terdiri dari banyak jilid”.
[3] Bandingkan dengan berbagai kelompok yang ketika berhadapan dengan seorang tokoh penting saja bicaranya penuh dengan berbasa-basi dan kekaburan demi mencari muka dan mendapat hubungan baik dengan tokoh tersebut.
»»  read more

Followers