Tampilkan postingan dengan label Tsaqafah Pemikiran Kapitalisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tsaqafah Pemikiran Kapitalisme. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Januari 2010

Kerapuhan Sistem Finansial Kapitalis

Oleh : H. Dwi Condro Triono, SP., M.Ag**

1. PENDAHULUAN

Aktivitas ekonomi senantiasa berputar dalam dua kelompok pasar. Pasar yang pertama disebut pasar barang, yang terdiri dari pasar barang dan jasa. Pasar yang kedua disebut pasar faktor produksi, yang terdiri dari pasar lahan, pasar tenaga kerja dan pasar keuangan. Keberadaan pasar faktor produksi tentu saja adalah untuk mendukung keberadaan pasar barang.

Namun, dalam perkembangan sistem ekonomi kapitalisme, ada pasar salah satu dari pasar faktor produksi yang mengalami perkembangan teramat pesat. Pasar tersebut tidak lain adalah pasar keuangan atau yang biasa dikenal dengan financial market. Pesatnya perkembangan pasar ini bahkan sampai mengakibatkan pasar ini terlepas dari induknya, kemudian menjadi pasar yang berkembang sendiri. Keberadaan pasar ini kemudian dikenal dengan pasar non riil, sebagai lawan dari pasar riil atau pasar barang.

Keberadaan pasar keuangan ini berkembang dengan sangat luas dan sangat kompleks, sehingga menjadi sebuah pasar yang berjalan dengan sebuah mekanisme atau sistem yang teramat rumit. Sistem ini kemudian dikenal dengan sistem finansial/keuangan (financial system).

Untuk memahami keberadaan sistem ini memang tidak mudah. Namun, dapat kita mulai dengan pendekatan filosofi yang paling sederhana, yaitu dimulai dengan memahami hakikat dari pasar uang itu sendiri.

Setelah kita memahami secara sekilas tentang seluk beluk dari pasar uang tersebut, barulah kita akan membahas secara agak lebih mendalam, mengapa sistem keuangan dalam sistem ekonomi kapitalisme tersebut sangatlah rapuh dan senantiasa menjadi sumber krisis ekonomi.

2. PENGERTIAN PASAR UANG

Untuk memahami apa yang dimaksud dengan pasar uang, kita harus memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pasar menurut teori ekonomi. Pasar menurut teori ekonomi pasar adalah segala hal yang mencakup berbagai pertemuan antara permintaan dan penawaran.

Dari definisi pasar tersebut, sekarang kita dapat memahami apa yang dimaksud dengan pasar uang. Jika dalam pasar secara umum mencakup semua transaksi, maka di dalam pasar uang, yang ditransaksikan adalah hak untuk menggunakan uang (untuk dibelanjakan barang dan jasa) untuk jangka waktu tertentu (Boediono, 1992).

Dalam pasar tersebut akan terjadi transaksi pinjam-meminjam dana yang menimbulkan hubungan hutang-piutang. Sedangkan “barang” yang ditransaksikan tidak lain adalah secarik kertas berupa “surat hutang”. Selanjutnya, orang yang meminjam uang disebut debitur, yaitu orang yang menjual surat utangnya kepada meminjamkan uang atau kreditur.

Selanjutnya, dalam transaksi tersebut tentu akan menghasilkan “harga”. Apa yang dimaksud dari harga tersebut? “Harga” adalah harga penggunaan uang tersebut untuk jangka waktu tertentu. Harga tersebut dinyatakan dalam persen (%) per satuan waktu tertentu. Harga tersebut disebut dengan suku bunga (tingkat bunga). Bunga tersebut dapat dianggap sebagai “sewa” atas penggunaan uang tersebut dalam jangka waktu tertentu.

Dari pengertian pasar uang tersebut, maka kita dapat memahami hakikat dari uang menurut pandangan ekonomi kapitalisme. Uang yang beredar di tengah-tengah kita, yang biasa dikenal dengan uang tunai sesungguhnya adalah uang yang ditukar dengan surat hutang.

Uang tunai tersebut sesungguhnya adalah pengertian dari uang dalam arti yang paling sempit, yaitu uang kartal atau currency (C). Sedangkan wujud uang yang lain, dalam pengertian yang lebih luas dikenal sebagai berikut:

M1 = C + DD (demand deposits/uang giral)

M2 = M1 + TD (time deposits) + SD (savings deposits)

M3 = M2 + QM (quasi money)

L = total liquidity, mencakup semua alat-alat yang ‘likuid’ yang ada di masyarakat.

Sedangkan bila ditinjau dari perannya menciptakan uang yang beredar di tengah masyarakat, maka dikenal ada tiga pelaku utama, yaitu:

1. Otorita Moneter, yaitu pihak yang mempunyai peran sebagai sumber awal dari terciptanya uang beredar yang merupakan sumber ‘penawaran’ (supply) uang kartal (C) untuk memenuhi ‘permintaan’ masyarakat dan sumber ‘penawaran’ yang dibutuhkan lembaga keuangan dalam bentuk cadangan bank (bank reserves (R).

2. Lembaga keuangan (bank dll), yaitu pihak yang menjadi sumber penawaran uang giral (DD), deposito berjangka (TD), simpanan tabungan (SD) dan aktiva keuangan lain yang ‘diminta’ masyarakat.

3. Masyarakat adalah konsumen terakhir dari uang tercipta yang digunakan untuk memperlancar kegiatan produksi, konsumsi dan pertukaran mereka.

III. KERAPUHAN SISTEM FINANSIAL KAPITALIS

Setelah kita memahami sekilas tentang pasar uang, tibalah saatnya bagi kita untuk melihat kerapuhan dari sistem pasar keuangan yang telah diciptakan oleh sistem ekonomi kapitalisme tersebut. Ada banyak faktor yang menyebabkan sistem keuangan tersebut menjadi sangat rapuh, sehingga senantiasa memunculkan problem bagi sistem ekonomi secara keseluruhan. Problem ekonomi yang senantiasa identik dengan sistem keuangan biasa dikenal dengan istilah inflasi.

Paling tidak ada 5 faktor yang menyebabkan sistem keuangan ini sangat rapuh, sehingga selalu menimbulkan masalah dalam ekonomi, bahkan tidak jarang telah menjadi sumber utama terjadinya krisis-krisis besar ekonomi dunia. Kelima faktor tersebut yaitu:

1. Keberadaan Seignorage

Keuntungan yang diperoleh dari pencetakan mata uang dikenal dengan istilah seignorage (Hifzur-Rab, 2002; Karim, 2002). Keuntungan yang mudah didapat dari pencetakan mata uang inilah yang akan mendorong bagi pemerintah untuk mencetak mata uang tanpa kendali, sehingga bisa melampaui penerimaan anggaran pendapatan pemerintah. Kebijakan ini biasa dikenal dengan istilah anggaran defisit. Kebijakan anggaran defisit dari pemerintah biasanya akan ditutup dengan hutang atau dengan mencetak uang baru (Tambunan, 1996). Jika pencetakan uang baru ini terus dilakukan, hal ini tentu akan menyebabkan terjadinya inflasi yang berterusan.

2. Keberadaan Sistem Cadangan Sebagian (Fractional Reserve System)

Adanya ketentuan sistem cadangan sebagian (fractional reserve system), Bank Umum diberi kewenangan yang besar untuk melipatgandakan uang (Rothbard, 2007). Sistem cadangan sebagian memberikan kewenangan pada Bank Umum untuk menciptakan “uang baru” melalui hutang (kredit) melebihi uang riil yang disimpan. Jumlah “uang baru” yang dapat dilipatgandakan melalui hutang oleh bank akan mengikuti rumus umumnya, yaitu (Sukirno, 2000): PU = D (1/FR); dimana PU: Penggandaan Uang; D: Deposito; FR: Fractional Reserve.

Sebagai contoh, jika jumlah cadangan yang disyaratkan dimiliki setiap bank adalah 10%, dengan jumlah deposit Rp. 10 milyar, bank akan dapat menggandakan jumlah deposit menjadi Rp.100 milyar. Adanya kewenangan dari seluruh bank umum untuk melakukan proses penggandaan uang ini jelas akan mudah menimbulkan inflasi.

3. Keberadaan Suku Bunga

Penetapan suku bunga yang bersifat pasti (fix rate) dengan tanpa mempertimbangkan resiko bisnis, ternyata telah menimbulkan dampak buruk yang luar biasa bagi perekonomian. Krisis ekonomi yang melanda dunia tahun 2008 silam dapat menjadi contoh nyata untuk melihat betapa buruknya penggunaan sistem bunga tetap ini. Krisis ekonomi dunia yang banyak dipicu oleh skandal subprime mortgage di AS, ternyata berawal dari “permainan” suku bunga ini.

4. Keberadaan Motif Spekulasi

Keberadaan suku bunga selain akan berdampak buruk kepada perekonomian, ternyata juga akan menyebabkan kegunaan uang semakin jauh dari hakikat yang sebenarnya. Mata uang akhirnya lebih banyak digunakan sebagai alat komoditi yang dapat diperjualbelikan, dari digunakan sebagai alat tukar untuk keperluan sektor ekonomi yang riil. Perubahan kegunaan mata uang tersebut telah memperbesar terjadinya praktik-praktik spekulasi dan selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya ekspansi permintaan mata uang (money demand) yang cepat untuk keperluan-keperluan yang tidak produktif (Siregar, 2001).

Hal inilah menyebabkan uang tumbuh dengan cepat pada aktivitas di sektor tersebut. Hanya sekitar 5 % saja dari peredaran uang tersebut yang benar-benar untuk keperluan sektor riil. Uang dan derevasinya dapat tumbuh 800 kali lebih besar dibanding untuk keperluan di sektor riil. Fenomena inilah yang dapat menyebabkan terjadinya bubble economy, yang sewaktu-waktu dapat meledak dan menyebabkan terjadinya krisis ekonomi (Lestari, 2005).

5. Keberadaan Sistem Nilai Tukar (Kurs) Mata Uang

Penggunaan mata uang yang berbeda-beda pada setiap negara akan menimbulkan adanya sistem nilai tukar mata uang (exchange rate) atau lebih dikenal dengan istilah kurs mata uang (Pass, Lowes & Davies, 1994; Karim, 2002). Adanya perbedaan kurs mata uang inilah yang menyebabkan terjadinya volatilitas nilai tukar yang tinggi. Pengaruh kurs tersebut selanjutnya tentu akan berdampak pada kinerja perdagangan internasional. Sebab, setiap terjadi perubahan nilai mata uang, tentu akan mempengaruhi harga dan daya saing produk suatu negara di pasaran internasional (Dornbusch, Fischer & Startz, 1998; Mishkin, 2001).

IV. SISTEM FINANSIAL ISLAM

Di dalam sistem ekonomi Islam, disamping berisi tentang aturan-aturan ekonomi di sektor riil, tentu juga ada pengaturan dalam sistem keuangannya. Bangunan dasar dari sistem keuangan Islam adalah bahwa Islam mewajibkan bagi negara untuk mencetak mata uang yang terbuat dari emas dan perak. Namun demikian, disamping adanya kewajiban dalam pencetakan mata uang emas dan perak bagi negara tersebut, Islam juga memberikan ketentuan bagi negara untuk melakukan penjagaan terhadap mata uang tersebut agar penggunaannya senantiasa sesuai dengan aturan syara’, yaitu:

1. Hanya menggunakan mata uang sebagai alat tukar dan alat berjaga-jaga saja (tidak untuk aktivitas spekulasi).

2. Wajib memungut zakat maal ke atas harta kekayaan (termasuk di dalamnya adalah mata uang yang disimpan), yang sudah sampai nishob dan haulnya.

3. Larangan menimbun mata uang (kanzul maal), yaitu menyimpan uang tanpa ada hajat tertentu untuk pembelanjaannya.

4. Larangan mengambil riba nashiah (riba dalam utang-piutang).

5.Larangan mengambil riba fadhl (riba dalam tukar-menukar atau jual beli pada barang tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’, seperti: jual beli mata uang, saham dsb. secara tidak kontan dan tidak berada di tempat).

6. Larangan jual beli yang mengandung unsur judi (maysir), yaitu: jual beli mata uang, saham dsb. yang mengandung unsur spekulasi dan dilakukan secara tidak kontan dan tidak berada di tempat.

7.Larangan jual beli barang dan jasa yang haram (tabdzir).

8. Larangan menggunakan harta untuk berfoya-foya (tarif).

9. Larangan untuk kikir (taqtir) dalam membelanjakan hartanya.

V. PENUTUP

Demikianlah penjelasan sekilas tentang kerapuhan dari sistem finansial yang berasal dari sistem ekonomi kapitalisme, serta solusinya menurut sistem ekonomi Islam. Walaupun sangat singkat, semoga dapat memberi gambaran awal bagi ummat Islam dalam mengelola sistem keuangannya.

Tentu kajian ini tidak boleh berhenti sampai di sini. Semoga ummat Islam senantiasa terdorong untuk terus mengkaji dan menyosialisasikan sistem keuangan Islam tersebut, sehingga ummat dapat segera menjadi sadar dan mau segera kembali kepada sistem keuangan Islam khususnya, dan secara umum tentu juga akan berkenan untuk kembali pada pengaturan kehidupan Islam secara menyeluruh. Amin.

= = = = =

*Makalah disampaikan dalam Kajian Tsaqofah Islam, Jum’at, 29 Januari 2010, di STEI Hamfara Jl Gurami no 31 Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta, diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia Chapter Kampus Kota Yogyakarta bekerjasama dengan Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta.

**Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia, Dosen STEI Hamfara Yogyakarta, dan Kandidat Doktor Ekonomi Universitas Kebangsaan Malaysia.

»»  read more

Senin, 12 Oktober 2009

KONSEP TRIAS POLITICA DALAM PANDANGAN ISLAM

Konsep Trias Poitica merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di eropa antara abad XVII sampai dengan abad XVIII M.

Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Trias politica mengangap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak di serahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasan. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin.

Konsep tersebut untuk petama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesque (1689-1755). Filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh perlemen Inggris.

Menurut Locke, kekuasaan negara harus di bagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama yang lain; kekuasaan legislatif yang membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif yang melaksakan undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili, dan kekuasaan federatif yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).

Selanjutnya, pada tahun 1748, filsuf perancis Montesquieu mengembangkan konsep Locke tersebut lebih jauh dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spiri of Laws), yang ditulisnya setelah dia melihat sifat despotis (sewanang-wenang) dari raja-raja Bourbon di Perancis. Dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan di mana warga negaranya akan merasa lebih terjamin hak-haknya.

Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan dalam tiga cabang yang menurutnya haruslah terpisah antara satu sama yang lain ; kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri ), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang).

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang / lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat kepadanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.

Montesquieu juga menekankan bahwa kebebasan akan kehilangan maknanya, takkala kekuasaan eksekutif dan legislatif terpusat pada satu orang badan yang menetapkan undang-undang dan menjalankan secara sewenang-wenang. Demikian pula, kebebasan akan tak bemakana lagi bila pemegang kekuasaan menghimpun kedua kekuasaan tersebut dengan yudikatif. Akan merupakan malapetaka –seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu- bila satu orang atau satu badan memegang sekiligus ketiga kekuasaan tersebut dalam suatu masyarakat.

Konsep Trias Politica ini bertentangan dengan Islam dalam segi-segi berikut :

Pertama, sumber konsep ini adalah manusia, di mana manusia memberikan penilaian baik buruknya sesuatu menurut akal belaka. Konsep ini di buat oleh para filsuf sebagai pemecahan terhadap masalah penindasan dan kewenang-wenangan para raja dan tokoh gereja di Eropa terhadap rakyatnya dalam menjalakan kekuasaan.

Dalam Islam, yang berhak memberikan penilaian baik buruknya sesuatu hanyalah Allah SWT semata, yakni syara’, bukan akal. Fungsi akal dalam hal ini hanya terbatas memahami fakta permasalahan dan nash-nash syara’ yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Namun demikian, fakta bukanlah sumber pemecahan masalah atau sumber konsep/pemahaman tentang hidup, melainkan objek permasalahan yang harus dikaji untuk kemudian dicarikan pemecahannya menurut nash-nash syara’. Pemecahan terhadap suatu permasalah haruslah berasal dari syara’, bukan bertolak dari fakta permasalahan itu sendiri tanpa merujuk kepada syara’. Firman Allah SWT :


“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (semata), Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik,”(Al An’aam :57)
Firman Allah SWT :


“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih (termasuk hukum), maka putusannya (terserah) kepada Allah.”(Asy Syruura :10)

kedua, Konsep ini merupakan salah satu ide pokok Demokrasi yang kufur, sebab Demokrasi telah menetapkan bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan sekaligus sumber kekuasaan-kekuasaan. Maka dari itu, Demokrasi menetapkan rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan legeslatif, eksekutif, dan yudikatif . Dengan demikian, rakyatlah yang menetapkan peraturan dan undang-undang, menentukan para hakim, dan mengangkat para penguasa.

Adapun Islam, telah menetapkan bahwa kedaulatan adalah milik syara’, bukan milik rakyat. Syara’lah yang menjadi satu-satunya rujukan dalam segala sesuatu. Firman Allah SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan Ulil Amri di antara kamu (penguasa muslim yang melaksakan Syari’at Allah). Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman Kepada Allah dan Hari kemudian. (An Nisa’: 59)

sementara dalam hal kekuasaan, Islam memberikan ketetapan sebagai berikut :
1.kekuasaan legeslatif hanyalah milik Allah semata, bukan milik manusia. sebab, hanya Allah SWT sajalah yang menjadi Musyarri’ (pembuat hukum) yang berhak menetapkan hukum-hukum dalam segala sesuatu, baik dalam masalah ibadah, mua’malah, uqubat, dan sebagainya. Tak boleh sama sekali seorang pun menetapkan hukum, walau pun hanya satu hukum.
Firman Allah SWT :

“menetapkan hukum hanyalah hak Allah (semata). Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.”(Yusuf : 40)
Firman Allah SWT :

“Ingatlah, Menciptakan dan memerintah hanya hak Allah”. (Al A’raaf : 54).
Yang dimiliki oleh rakyat, adalah kekuasaan, atau pemerintahan, bukan kedaulatan. Rayatlah yang berhak memilih serta mengangkat penguasa.

Namun demikian, syara’ yang telah menentukan bahwa pihak yang berhak memilih dan menetapkan/mengeluarkan hukum syara’ yang merupakan keharusan bagi pengaturan urusan rakyat dan pemerintahan, adalah khalifah saja, bukan yang lain. Ijma’ sahabat mentapkan bahwa hanya Khilafah sajalah yang berhak mimilih dan menetapkan hukum-hukum syara’ sebagai undang-undang dasar dan undang-undang lainnya. Ijma’ Shahabat, sebagaimana sudah diketahui, merupakan salah satu sumber hukum Syari’at Islam.

Dalam hal ini bukan berarti Khilafah yang memegang kekuasaan legislatif, sebab khalifah tidak membuat hukum sendiri, tetapi hanya mengambil hukum–hukum syara’ yang terkandung didalam kitabullah dan sunnah rasul-Nya, berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Khilafah tidak boleh menetapkan dan memilih hukum kecuali berupa hukum Allah semata

2.kekuasaan eksekutif adalah bersumber dari rakyat, sebab kekuasaan itu adalah milik umat/rakyat, dan dijalankan secara riil oleh Khilafah –dan para aparatnya- sebagia wakil rakyat untuk melaksanakan hukum-hukum syara’ dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, umatlah yang berhak memilih para penguasa, agar para penguasan ini menjalankan segala perintah dan larangan Allah dalam pemerintahannya. Hadits-hadits tentang bai’at menunjukan bahwa kekuasaan adalah milik umat, yakni bahwa bai’at itu berasal dari kaum muslim untuk khilafah, bukan dari khilafah untuk kaum muslimin. Di antaranya hadits :

“Kami telah membai’at Rasulullah saw untuk didengarkan dan ditaati (sebagi nabi dan pemimpin), dalam hal yang kami sukai maupun yang tidak kami sukai.”(Shahih Bukhari no 7199).

3.kekuasaan yudikatif hanyalah dipegang oleh Khilafah, atau orang yang mewakili Khilafah (Qadli Al Qudlat) untuk menjalankan kekuasaan tersebut. Jadi, Khilafahlah yang mengangkat para qadli (hakim) dan mengangkat orang yang di beri wewenang untuk mengangkat para qadli. Tak seorangpun dari rakyat –baik secara individual maupun secara kolektif- yang berhak mengangkat para qadli. Hak ini dimiliki oleh Khilafah, bukan yang lain.

Hal itu karena nash-nash syara’ menunjukkan bahwa Rasulullah saw sebagai kepala negara telah memegang sendiri urusan paradilan (qadla’) dan memberikan keputusan di antara orang-orang yang bersengketa. Demikian pula Rasulullah saw telah mengangkat Ali bin Abi Thalib ra sebagai qadli di Yaman, dan mengangkat Abdullah Bin Naufal ra sebagai qodli di madinah. Ini semua menunjukkan bahwa kekuasaan yudikatif berada di tangan Khilafah dan mereka yang mewakili Khalifah dalam urusan ini.

Ketiga, apabila penguasa kaum muslimin belaku dzalim, merampas hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban mereka terhadap rakyat, memelalikan salah satu urusan rakyat, atau menyalahi hukum-hukum Islam, maka syara’ dalam hal ini memebberikan pmecahannya, yaitu mewajibkan kaum muslimin untuk melakukan koreksi (muhasabah) dan amar ma’ruf nahi mungkarterhadap para penguasa, bukan melakukan pemisahan kekuassaan sebagimana Konsep Trias politica.


“Akan ada para amir (penguasa), maka kalian (ada yang) mengakui perbuatan mereka, dan (ada yang) mengingkari perbuatan mereka, siapa saja yang memengakui tindakan mereka (karena tidak bertentangan dengan syara’, maka dia tidak di minta tanggung jawabnya, dan siapa saja yang mengingkari perbuatan mereka (karena bertentangan dengan syara’) maka dia selamat. Tetapi siapa saja yang ridla (dengan tindakan mereka yang bertengtangan dengan syara’) serta mengikuti mereka, maka dia berdosa. Para shahabat bertanya, “Apakah kita tidak memerangi mereka ?”Jawab Nabi saw, “Tidak, selama mereka mendirikan shalat.”(Shahih Muslim, hadits no.1854).

Rasulullah SAW telah mewajbkan kaum muslimin untuk mengoriksi para penguasa dengan mengingkari mereka takla mereka melakukan penyimpangan – dengan berbagai sarana yang memungkinkan- bai dengan tangan, lisan, maupun hati bila tidak mampu dengan tangan dan lisan. Rasulullah SAW menetapakan siapa saja yang tidak mengingkari penguasa tersebut,berarti dia telah ikut bersama-sama memikul dosa penguasa itu.

Dengan demikian Islam tidak mengkaitkan msalah penyimpangan penguasa denganmasalah pemisahan kekuasaan. Penyimpangan penguasa telah dipecahkan oleh nash-nash syara’tertentu, sedangkan masalah kekuasaan telah di jelaskan oleh nash-nas syara’yang lain.
Keempat, kaum muslimin wajib mengambil pemecahan (sulosi) dari syara’apabila penguasa belaku penyimpangan, yakni melakukan koreksi dan amar makruf nahi mungkar. Sebaliknya kaum muslimin dalam masalah ini diharamkan mengambil pemecahan yang tidak berasal dari syara’, seperti konsep Trias Politica. Sebab Allah SWT berfirman :

“Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”(Al Hasyr : 7)
dan firman :

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”(An Nuur : 63).
Kelima, Konsep Trias Politica bertujuan untuk dapat memelihara kebebasan politik warga negara yang hilang karena perilaku pengausa yang bertindak sewenang-wenang. Islam tidak mengakui adanya ide kebebasan, yakni kebebasan dalam arti tidak terikat dengan sesuatu apapun pada saat dilakukannya suatu perbuatan, sebagimana yang ada dalam peradapan barat. Sebaliknya, Islam mewajibkan setiap muslim untuk terikat dengan hukum syara’. Keterikatan pada hukum syara’ adalah bukti dan buah dari iman. Allah SWT berfirman :


“maka demi Rabbmu. Mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) hikim (pemutus) dalam perkara yang mereka perselisihkan.”(An Nisaa’: 65).
Islam memang telah mewjibkan umatnya untuk melibtkan diri dalam aktifitas poilitik, seperti memilih penguasa melakukan pengawasan dan koreksi terhadap mereka. Namun hal ini bukanlah suatu kebebasan politik, melainkan pelaksaan dari hukum syara’, yaitu kewajiban berpolitik dan beramar ma’ruf nahi mungkar.

Atas dasar penjelasan di atas, jelaslah bahwa Konsep Trias Politica sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Konsep Trias Politica tiada lain adalah thaghut yang kufur, padahal Allah telah mengharamkan kaum muslimin untuk berhukum kepada thaghut dan mengambil konsep pemerintahan thaghut. Dan Allah pun telah memerintahkan kakum muslimin untuk menentng dan mengingkri thaghut itu, sebagaimana firman-Nya :


“Mereka hendak bertahkim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah (untuk) menginkari thaghut itu. Dan syaithan hendak menyasatkanmereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”(An Nisaa’: 60). []
»»  read more

Rabu, 07 Oktober 2009

Sistem Demokrasi: Penghambaan Sesama Hamba

Dalam surat yang dikirim kepada suku Najran yang beragama Nasrani, Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menyampaikan seruan sebagai berikut:

فإني أدعوكم إلى عبادة الله من عبادة العباد

“Sesungguhnya aku menyeru kalian kepada penghambaan Allah ta’aala semata dan meninggalkan penghambaan sesama hamba.” (HR Al-Baihaqi 2126)

Demikianlah, Islam datang membawa seruan abadi agar manusia hanya menghambakan diri kepada Allah ta’aala semata. Ajaran Allah ta’aala tidak membenarkan adanya penghambaan antara sesama hamba. Manusia tidak dibenarkan untuk menghamba kepada sesama manusia. Pengertian menghamba kepada sesama hamba bukan hanya dalam bentuk manusia bersujud di hadapan manusia lainnya. Tetapi pengertiannya mencakup ketaatan mutlak kepada sesama manusia.

Fihak yang menerima penghambaan manusia disebut ”Ilah” yang biasa diterjemahkan sebagai ”tuhan” dalam bahasa Indonesia. Sesungguhnya ”Ilah” mengandung setidaknya tiga pengertian, yaitu: ”yang dicintai, yang dipatuhi dan yang ditakuti.”

Apa hubungannya dengan Sistem Demokrasi? Dalam Sistem Demokrasi sekumpulan manusia dipilih untuk kemudian ditempatkan pada posisi yang sedemikian istimewanya sehingga mereka diperlakukan sebagai fihak ”yang dicintai, yang dipatuhi dan yang ditakuti.” Dan semua ciri tersebut telah dibangun semenjak mereka masih berkampanye. Dalam berbagai spanduk kampanye, mereka dengan PD-nya (percaya dirinya) memperkenalkan dirinya sebagai: Jujur, Amanah, Bersih dll.

Ketika mereka telah duduk di kursi parlemen dengan mandat yang diterima dari konstituen yang mereka wakili, maka mereka kemudian memperoleh wewenang yang sedemikian besarnya sehingga mereka berhak menetapkan hukum yang akan diberlakukan di tengah masyarakat. Itulah sebabnya anggota parlemen di Amerika Serikat bahkan diistilahkan sebagai ”lawmaker” artinya pembuat hukum. Hak untuk merumuskan Undang-undang sama layaknya dengan hak menyusun hukum. Padahal di dalam kitab suci Al-Qur’an Al-Karim jelas dinyatakan bahwa hak menentukan hukum hanyalah hak prerogratif milik Allah ta’aala semata.

وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah ta’aala, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah ta’aala. BagiNyalah segala penentuan(hukum), dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS Al-Qashash ayat 88)

Berdasarkan ayat di ayat jelas bahwa Islam tidak mengakui adanya fihak selain Allah ta’aala yang berhak menetapkan hukum. Penetapan Halal dan haram merupakan wewenang Allah ta’aala semata. Namun dalam sistem demokrasi, manusia (baca: anggota parlemen) berhak menentukan halal dan haram (baca: legal dan ilegal). Itulah sebabnya di Amerika misalnya, hubungan homoseksual dahulu pernah dianggap ilegal. Namun dengan berjalannya waktu ia bisa berubah menjadi legal. Suatu perkara yang mustahil terjadi di dalam sistem Islam. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:

الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ


“Perkara yang halal itu sudah jelas dan perkara yang haram juga sudah jelas.” (HR Bukhary 1910)

Di dalam ajaran Islam urusan halal dan haram tidak boleh berubah mengikuti selera zaman dan manusia. Apalagi menjadikannya sebagai obyek voting. Seolah sesuatu boleh dianggap halal karena banyak pendukungnya, atau sebaliknya dianggap haram bila sedikit pendukungnya. Perkara ini merefleksikan kepatuhan dan loyalitas manusia terhadap ilah yang ia cintai, patuhi dan takuti. Hanya Allah ta’aala yang berhak menetapkan mana perkara yang halal dan mana yang haram. Manusia tinggal mematuhi saja sebagai bukti keimanan kepada Penentu Hukum Tertinggi, yaitu Allah ta’aala. Sekaligus hal ini merupakan manifestasi penghambaan dirinya kepada Penentu Hukum tersebut.

Dalam sistem demokrasi masyarakat kebanyakan menyerahkan ketaatan dan loyalitas kepada para lawmakers, yakni anggota parlemen. Lalu hak untuk menentukan perkara mana yang halal/legal dan mana yang haram/ilegal menunjukkan bahwa para lawmakers dibenarkan berperan sebagai penentu hukum. Jika kemudian produk hukum mereka dipatuhi masyarakat, berarti masyarakat telah menyerahkan loyalitas kepada para lawmakers tersebut. Dengan kata lain terjadilah penghambaan masyarakat luas kepada para lawmakers. Dan para lawmakers telah ”berperan sebagai tuhan” atau ”playing god”. Masyarakat luas menjadi hamba sedangkan kumpulan lawmakers menjadi ilah masyarakat.

Itulah sebabnya di berbagai negara modern yang menerapkan sistem demokrasi dewasa ini terjadilah perlombaan yang begitu semarak untuk menjadi kelompok elit anggota parlemen. Setiap orang yang mengkampanyekan dirinya untuk merebut kursi parlemen rela berkorban untuk mendapatkannya. Berapapun mereka bayar asal dapat kursi empuk tersebut. Hal ini bukan hanya terjadi di negara yang dianggap masih baru berdemokrasi. Bahkan di Amerika sekalipun hal seperti ini berlangsung dengan transparan.

Senator Ted Stevens dari partai Republican mewakili negara bagian Alaska baru-baru ini terbukti lewat pengadilan telah melakukan tujuh pelanggaran korupsi. Secara teori ia bisa diancam total tigapuluh lima tahun masa penjara. Namun para ahli mengatakan bahwa kemungkinan besar masa tahanannya tidak akan selama itu, bahkan mungkin tidak akan ditahan samasekali..!

Senator Stevens yang berusia 84 tahun telah menjadi lawmaker semenjak tahun 1968. Ia terbukti telah menyembunyikan fakta bahwa dirinya menerima total uang sebesar $250.000 sejak 1999 hingga 2006 untuk sejumlah hadiah dan biaya renovasi rumahnya di Alaska. Namun jika ia akhirnya harus diberhentikan dari posnya sebagai anggota parlemen, Senator Stevens tetap berhak menerima uang pensiun sebesar $122.000 per tahun, sebab ketujuh pelanggaran yang telah dilakukannya tidak mencakup pelanggaran yang bisa membatalkan haknya menerima pensiun ...!!!

Demikianlah, sistem demokrasi menjamin dan melindungi para ”tuhan” mereka di tengah masyarakat yang setia menjadi hamba-hambanya.

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami kekuatan untuk selalu berfihak kepadanya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu batil dan berilah kami kekuatan untuk menolaknya. Amin.


sumber : http://eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/sistem-demokrasi-penghambaan-sesama-hamba.htm
»»  read more

Rabu, 26 Agustus 2009

Nasionalisme: Sebuah Ikatan Yang Bathil

Salah satu dari konsep beracun yang menodai umat Nabi Muhammad Saw. ini adalah nasionalisme. Nasionalisme adalah konsep yang sangat berbahaya yang telah menjadi dasar emosinal para negarawan dari kalangan umat (Islam) dan membentengi mereka yang menyatakan mengimani ideologi yang sama, yaitu Islam.

Umat Islam secara nasionalistik mengindetifikasikan diri mereka Bangsa Turki, Arab, Afrika, Malaysia, Indonesia, Pakistan, dan seterusnya. Hal ini tidak cukup sampai disini. Kaum muslimin masih dibagi menjadi bagian yang lebih kecil lagi. Misalnya, di Pakistan kaum muslimin dikategorikan menjadi kaum muslimin Punjab, Sindh, Baluki dan Patani. Pengkategorian ini dipertahankan terus oleh kaum kafir untuk membangkitkan semangat kebangsaan kaum muslimin.

Definisi Nasionalisme

Kata nasional dalam nasionalisme, berasal dari kata “nation” atau bangsa, yakni kumpulan manusia yang terikat oleh kesamaan budaya, wilayah, dan sejarah. Istilah lain yang memiliki makna sama, adalah suku. Hanya saja, kata “suku” seringkali digunakan untuk merepresentasikan bangsa dengan ukuran yang lebih kecil.

Sebuah nation/bangsa, bisa terdiri dari beberapa bangsa yang lebih kecil (suku). Contoh: Indonesia, sebelumnya berasal dari beberapa kerajaan yang independen, seperti Kutai, Mataram, Samudra Pasai, Ternate/Tidore, dan sebagainya, yang masing-masing memiliki budaya, wilayah, sejarah, bahkan pemerintahan yang berbeda-beda. Atau, bangsa Arab yang terdiri dari bermacam-macam suku, seperti Quraisy, Aus, Kharaj, Hawazin, dan sebagainya.

Jadi, nasionalisme memiliki makna yang sama dengan sukuisme, hanya saja saat ini kata nasional dikhususkan maknanya untuk hal-hal yang terkait dengan “country” (kenegaraan), sehingga nasionalisme didefinisikan sebagai paham yang mengikat sekumpulan manusia (bisa juga sekumpulan suku) yang memiliki kepentingan yang sama dan hidup dalam wilayah tertentu. Oleh karena itu, meskipun sama-sama merupakan bagian dari bangsa Arab, tetapi karena hidup dalam batas wilayah yang berbeda, orang-orang Arab bisa memiliki nasionalisme yang berbeda (misal: nasionalisme Saudi Arabia, nasionalisme Palestina, nasionalisme Syria, dan sebagainya).

Nasionalisme/sukuisme juga merupakan ikatan yang berasal dari keturunan/kekeluargaan. Contoh: karena lahir dari ayah-ibu Madura, walaupun sekian puluh tahun hidup di Sampit, tetap dianggap sebagai suku Madura (yang akhirnya dibantai). Contoh lain: karena menikah dengan orang Amerika, maka berhak menjadi warga negara Amerika dan bebas mencari nafkah di Amerika (tanpa kuatir dikejar-kejar pihak Imigrasi).

Nasionalisme Sebelum Islam

Sebelum Islam datang, kehidupan manusia dipecah dan diikat oleh ikatan nasionalisme. Manusia berperang maupun berteman karena ikatan ini. Suatu contoh adalah perang Harb al-Bu’ath, yang melibatkan suku Aus dan Kharaj di Madinah. Adalah hal yang biasa untuk berperang demi membela mereka yang sesuku, dalam kondisi salah sekalipun, demi mempertahankan harga diri suku masing-masing.

Nasionalisme Di Dalam Islam

Islam tidak mengajarkan paganisme, melainkan menyeru seluruh manusia untuk menyembah kepada Sang Pencipta, dan mengikuti seluruh perintah-Nya. Seluruh manusia adalah sama, kecuali dikarenakan oleh keimanan. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai pemimpin-pemimpinmu jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sbg pemimpin-pemimpinmu maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
(Qs. at-Taubah [9]: 23)

Rasulullah SAW. memberikan contoh dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dari Mekkah dengan kaum Anshar dari Madinah. Islam juga menghapus status kesukuan Aus dan Kharaj dalam kesatuan iman. Dari manapun asalnya, bagaimana warna kulitnya, dari keturunan apa, selama dia tunduk dalam Islam, maka hak dan kewajibannya menjadi sama. Bilal yang hitam, Salman yang dari tanah Persia, maupun Fatimah binti Rasulullah Saw., memiliki hak dan kewajiban yang sama; wajib untuk sholat 5 waktu sehari, wajib puasa di bulan Ramadhan, dan wajib dipotong tangannya apabila terbukti mencuri, sebagaimana disebutkan dalam salah satu sabda Rasulullah Saw., “… walaupun Fatimah binti Muhammad yang mencuri, maka aku sendiri lah yang akan memotong tangannya.”

Secara tegas, Islam melarang adanya ikatan yang menyatukan manusia selain atas ikatan keimanan. Hadits-hadits yang menyebutkan hal ini antara lain:

“Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyeru kepada ashobiyah (kelompok-isme, nasionalisme, sukuisme), orang yang berperang karena ashobiyah, dan orang yang mati karena ashobiyah.”
[HR. Abu Dawud]

“Dan siapa saja yang berperang di bawah panji kejahilan, ia marah karena ashobiyah, atau ikut menolong (membantu) demi ashobiyah, kemudian ia terbunuh, maka matinya adalah mati jahiliyah.”
[HR. Muslim]

“Sungguh, Allah telah menghilangkan dari dirimu kebanggaan dan kesombongan pada masa jahiliyyah dan pemujaan terhadap nenek moyang. Saat ini ada dua macam manusia, yakni orang-orang yang percaya yang selalu menyadari dirinya, dan orang-orang yang melanggar yang senantiasa berbuat kesalahan. Kamu semua adalah anak cucu Adam dan Adam terbuat dari tanah. Manusia harus meninggalkan kebanggaan terhadap bangsa mereka karena hal itu adalah bahan bakar api neraka. Jika mereka tidak menghentikan semua itu, maka Allah akan menganggap mereka lebih rendah daripada cacing tanah yang menyusupkan dirinya sendiri ke dalam limbah kotoran.”
[HR. Abu Dawud dan Thabarani]

“Orang-orang beriman seperti satu tubuh; jika matanya sakit maka seluruh tubuhnya akan merasakan sakit pula.”
[HR. Muslim]

Oleh karena itu, kedatangan Islam menyatukan bangsa-bangsa, menepis segala ikatan kekeluargaan, dan menghapus batas-batas wilayah. Aqidah Islam mengajarkan kesamaan hak dan kewajiban antara seluruh kaum muslimin, sementara pasukan jihad Islam menyatukan perbedaan wilayah hingga setiap muslim, baik hidup di Mekkah, Yaman, Palestina, Mesir, maupun Persia (Iran) memiliki hak dan kewajiban yang benar-benar sama dan memiliki pemimpin yang sama. Ketika khalifah menyerukan jihad untuk kaum muslimin, maka di manapun dia, selama tidak ada halangan yang dibenarkan secara syar’i memiliki kewajiban untuk menyambut seruan tersebut. Karenanya tak mengherankan, bagaimana Khalifah al-Mu’tashim di Baghdad memerintahkan pasukan muslim menaklukkan pasukan Romawi, hanya disebabkan seorang muslimah yang hidup di ujung tanah Mesir diganggu kehormatannya.

Nasionalisme Saat Ini

Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, 1924, seakan meresmikan kembalinya ikatan nasionalisme di antara kaum muslimin, setelah sebelumnya kesatuan wilayah Islam yang membentang dari ujung Afrika Utara di Barat hingga indochina di Timur dan Bukhara (Rusia) di Utara, dibagi-bagi sebagai tanah jajahan oleh Inggris, Perancis, Spanyol dan Portugis. Wilayah Islam yang dulu disatukan oleh keimanan yang sama dan diperoleh dengan tetesan darah jihad, dicabik-cabik oleh batas-batas nasionalisme yang diciptakan kaum kafir Eropa (silakan baca kembali perjanjian-perjanjian pembagian tanah-tanah jajahan Eropa; Perjanjian Berlin, Perj. Sykes Picot, dan sebagainya).

Nasionalisme telah memagari kaum muslimin. Hak dan kewajiban muslim yang dijadikan sama oleh Allah Swt., dipugar oleh nasionalisme. Jika muslim dengan nasionalisme Saudi Arabia bebas untuk berhaji, bekerja, dan menikmati berlimpahnya kekayaan alam yang diberikan Allah di tanah Saudi, maka muslim non Saudi dibatasi dengan kuota haji, dipenjarakan atau dipulangkan dengan titel tenaga kerja ilegal, dan menderita kelaparan di tanah-tanah gersang seperti Bangladesh. Jika muslim di Amerika bisa nyaman menikmati kabel, jalan bebas hambatan, makanan yang berlimpah, tidur dalam apartemen-apartemen ber-AC, dan hidup dalam ketenangan hati, maka muslim di Palestina harus hidup dalam kecemasan dan rumah-rumah yang siap digusur Israel setiap waktu.

Bahkan, di setiap nasional ada Dewan Syari’at yang bebas menghasilkan hukum fiqh yang berbeda. Muslimah di Iran akan ditangkap polisi apabila berani membuka jilbab di jalanan, sedang muslimah di Indonesia bebas berbikini ria di pantai Kuta. Sementara muslimah di tanah lain sibuk mengantar anak-anaknya ke sekolah dengan mengendarai mobil, pemerintah Saudi mengharamkan muslimah di sana untuk menyetir. Bagaimana anak-anak muslim di seluruh dunia menikmati Pokemon (lepas dari pro-kontra Pokemon), anak-anak Saudi hanya bisa gigit jari.

Namun saat ini nasionalime rupanya telah kembali menjadi bagian dalam aliran darah kaum muslimin hingga kenyataan-kenyataan tersebut tidaklah menjadi problema bagi kaum muslimin. Muslim Kuwait dan Turki telah bekerja sama dengan tentara AS untuk berperang melawan muslim Iraq. Tentara muslim tidak lagi berjuang atas nama Islam, melainkan berperang karena panggilan kebangsaan…

“Barangsiapa berperang di bawah panji kesesatan (yaitu) ia marah karena ashobiyah atau mengajak (orang-orang) kepada ashobiyah atau menolong karena ashobiyah, lalu ia terbunuh maka bangkainya itu, bangkai jahiliyah.”
[HR. Muslim dan Nasa’iy]

Wallahu’alam bi ash-showaab

»»  read more

Selasa, 04 Agustus 2009

Akar Sejarah Pemikiran Liberal yang Menyesatkan

Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. (Adams, 2004:20). Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.

Ideologi Barat itu juga dapat dinamai dengan istilah kapitalisme atau demokrasi. Jika istilah kapitalisme lebih digunakan untuk menamai sistem ekonominya, istilah demokrasi sering digunakan untuk menamai sistem politik atau pemerintahannya. (Ebenstein & Fogelman, 1994:183). Namun monopoli istilah demokrasi untuk ideologi Barat ini sebenarnya kurang tepat, karena demokrasi juga diserukan oleh ideologi sosialisme-komunisme dengan nama “demokrasi rakyat”, yakni bentuk khusus demokrasi yang menjalankan fungsi diktatur proletar. (Budiardjo, 1992:89).

Walhasil, ideologi Barat memang mempunyai banyak nama, bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Namun, yang lebih penting adalah memahami akar pemikiran liberal yang menjadi pondasi bagi seluruh struktur bangunan ideologi Barat.

Menurut Ahmad Al-Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah (1995:31) akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi Barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik, ekonomi, ataupun agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme (fashl al-din ‘an al-hayah).

Sejarah Pemikiran Liberal

Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat yang Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” (Matius, 22:21).

Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan, 1996:73).

Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.

Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik. (Qashash, 1995:30-31). Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat.

Sejarah Masuknya Pemikiran Liberal di Indonesia

Sekularisme sebagai akar liberalisme masuk secara paksa ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekular telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. (Suminto, 1986:27).

Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek adalah : (1) dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; (2) dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam. (Suminto, 1986:12).

Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad XX semakin menancapkan liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu disebut unifikasi, yaitu upaya mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje, menjadi cara manjur dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meski pun ada perbedaan agama. (Noer, 1991:183).

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular-liberal yang ditanamkan penjajah. Tapi sayang sekali ini tidak terjadi. Revolusi kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rejim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular. Revolusi ini tak ubahnya seperti Revolusi Amerika tahun 1776, ketika Amerika memproklamirkan kemerdekaannya dari kolonialisasi Inggris. Amerika yang semula dijajah lantas merdeka secara politik dari Inggris, meski sesungguhnya Amerika dan Inggris sama-sama sekular.

Ketersesatan sejarah Indonesia itu terjadi karena saat menjelang proklamasi (seperti dalam sidang BPUPKI), kelompok sekular dengan tokohnya Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjo, dan M. Yamin telah memenangkan kompetisi politik melawan kelompok Islam dengan tokohnya Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. (Anshari, 1997:42). Jadilah Indonesia sebagai negara sekular.

Karena sudah sekular, dapat dimengerti mengapa berbagai bentuk pemikiran liberal sangat potensial untuk dapat tumbuh subur di Indonesia, baik liberalisme di bidang politik, ekonomi, atau pun agama. Dalam bidang ekonomi, liberalisme ini mewujud dalam bentuk sistem kapitalisme (economic liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi yang bercirikan adanya kepemilikan pribadi (private ownership), perekonomian pasar (market economy), persaingan (competition), dan motif mencari untung (profit). (Ebenstein & Fogelman, 1994:148). Dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi liberal yang meniscayakan pemisahan agama dari negara sebagai titik tolak pandangannya dan selalu mengagungkan kebebasan individu. (Audi, 2002:47). Dalam bidang agama, liberalisme mewujud dalam modernisme (paham pembaruan), yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban Barat. (Said, 1995:101).

Tokoh-Tokoh Liberal Indonesia

Komaruddin Hidayat dalam tulisannya Islam Liberal di Indonesia dan Masa Depannya (Republika, 17-18 Juli 2001) memasukkan Soekarno dan Hatta sebagai tokoh-tokoh Islam Liberal. (Husaini & Hidayat, 2002:34). Benar, Komaruddin Hidayat tidak sedang mengigau. Soekarno dan Hatta memang tokoh liberal di Indonesia karena keduanya ngotot menyerukan sekularisme bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Soekarno adalah seorang sekular. Pada tahun 1940 Soekarno pernah menulis artikel Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara, yang mempropagandakan sekularisme Turki sebagai suatu teladan yang patut dicontoh. (Noer, 1991:302). Beberapa buku telah ditulis khusus untuk membongkar sekularisme Soekarno, seperti buku Sekularisme Soekarno dan Mustafa Kamal karya Abdulloh Shodiq (1992) dan buku Islam Ala Soekarno Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal di Indonesia karya Maslahul Falah (2003).

Hatta juga seorang sekular. Prof. Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 menggambarkan pendirian sekular dari Hatta dalam sidang BPUPKI dengan berkata,”Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah : paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan : bukan negara Islam.” (Anshari, 1997:27).

Jadi, Soekarno dan Hatta sebenarnya bukan pahlawan dan bukan teladan yang baik bagi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Keduanya hanyalah bagian dari kelompok sekular di negeri ini yang hakikatnya tidak melakukan apa-apa, selain melestarikan ideologi penjajah di Indonesia dengan mengikuti model negara sekular yang dijalankan kaum Yahudi dan Nasrani yang kafir.

Seharusnya umat Islam tidak boleh mengikuti jalan hidup kaum Yahudi dan Nasrani (QS Al-Maidah:51), meski kita tak perlu terlampau heran kalau memang terjadi. Karena Rasulullah SAW jauh-jauh hari telah berpesan : “Sungguh kamu akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal sehasta demi sehasta, hingga kalau mereka masuk lubang biawak, kamu akan tetap mengikuti mereka.” Para shahabat bertanya,”Apakah mereka Yahudi dan Nasrani?” Jawab Rasulullah SAW,”Lalu siapa lagi?” (HR Bukhari & Muslim). Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman, (Yogyakarta : Penerbit Qalam), 2004

Audi, Robert, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, (Yogyakarta : UII Press), 2002

Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta : Gema Insani Press), 1997

Al-Qashash, Ahmad, Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah), 1995

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama), 1992

Ebenstein, Willam & Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Todays Isms), Penerjemah Alex Jemadu, (Jakarta : Penerbit Erlangga), 1984

Falah, Maslahul, Islam Ala Soekarno Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal Indonesia, (Yogyakarta : Kreasi Wacana), 2003

Husaini, Adian & Hidayat, Nuim, Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, (Jakarta : : Gema Insani Press), 2002

Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi hSekular-Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press), 2005

Idris, Ahmad, Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh Al-Injil wa Al-Kanisah), Penerjemah H. Salim Basyarahil, (Jakarta : Gema Insani Press), 1991

Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES), 1991

Said, Busthami Muhammad, Gerakan Pembatuan Agama (Mafhum Tajdid Al-Din), Penerjemah Ibnu Marjan & Ibadurrahman, (Bekasi : PT Wacaralazuardi Amanah), 1995

Shodiq, Abdulloh, Sekularisme Soekarno dan Mustafa Kamal, (Pasuruan : PT Garoeda Buana Indah), 1992

Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta : LP3ES), 1986

Ulwan, Abdullah Nashih, Islam Syariat Abadi (Al-Islam Syar’ah Az-Zaman wa Al-Makan), Penerjemah Jamaludin Saiz, (Jakarta : Gema Insani Press), 1996
»»  read more

Islam VS Nasionalisme

“Saya anti-nasionalisme”. Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar pernyataan diatas? Mungkin yang terbayang adalah suatu sikap pemberontakan. Tidaklah mengherankan karena sejak masih ingusan kita dipaksa mengikuti upacara bendera dan dijejali ide nasionalisme tanpa mengetahui hakikat sebenarnya. Akibatnya, ide nasionalisme begitu lekat di benak kaum Muslim sehingga mereka tidak mengetahui bahwa nasionalisme sebenarnya bertentangan dengan islam.

Islam dan Nasionalisme

Apa itu Nasionalisme? Banyak definisi dikemukakan para ahli. Dari sekian definisi itu, kiranya definisi yang dikemukakan oleh Hans Kohn dalam Nationalism, its Meaning and History (1956) cukup representatif. Ia mendefinisikan nasionalisme sebagai ”suatu keadaan yang dalam pikiran individu kesetiaan tertinggi dirasakan untuk negara dan bangsanya”. Hans J. Morgenthau dalam Politics among Nation (1973) menyamakan nasionalisme dengan ”rasialisme”. Itulah definisi nasionalisme. Akan tetapi banyak dari kaum Muslim yang menyamakan nasionalisme dengan ”cinta tanah air” (patriotisme), kemudian bersandar pada hadits PALSU ”Cinta tanah air termasuk iman”. Padahal cinta tanah air bukan merupakan bagian dari iman dan bukan definisi dari nasionalisme. Cinta tanah air sendiri hukumnya mubah (boleh)—selama tidak berlebihan—sebagaimana bolehnya kita mencintai harta, istri, dan anak-anak kita. Tetapi, sekali lagi, cinta tanah air tidak sama dengan nasionalisme.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan nasionalisme dan hubungannya dengan islam;

Pertama, dari segi historis, nasionalisme di dunia islam tentu tidak muncul secara tiba-tiba. Menurut Ziauddin Sardar dalam bukunya Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (1986), paham nasionalisme bermula dari Eropa. Di Eropa nilai-nilai nasionalistis ada hubungannya dengan bangkitnya kelas menengah. Ide nasionalisme dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan kelas menengah melawan golongan bangsawan dan gereja. Sebaliknya, nasionalisme di dunia islam merupakan suatu sarana tipuan. Nasionalisme ditemukan di Eropa tetapi dipaksakan kepada rakyat muslim.

Kedua, nasionalisme bersifat temporal, yang muncul ketika terjadi gangguan. Tapi ketika gangguan itu tidak ada, rasa nasionalisme dengan sendirinya akan menghilang. Karenanya, nasionalisme dianggap sebagai ikatan yang rendah, yang tidak pantas digunakan untuk mengikat hubungan antar manusia. Nasionalisme bukanlah asas syar‘i untuk menyatukan kaum Muslim, karena berdiri di atas fanatisme Jahiliah dan ‘ashobiyah. Patriotisme juga bukan asas syar‘i untuk menyatukan kaum Muslim, karena bersandar pada tanah sebagai dasar ikatan semua orang yang hidup di atasnya. Ini bukanlah asas pemikiran, namun berupa asas instingtif yang hanya bersandar pada penampakan gharîzah baqâ’ (naluri mempertahankan diri) saat ada ancaman dari luar.

Ketiga, nasionalisme tidak memiliki metode untuk menciptakan kebangkitan masyarakat. Malah dalam banyak kasus nasionalisme justru menimbulkan kecenderungan menguasai bangsa lain. Penjajahan yang dilakukan oleh orang-orang barat (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda dll) terhadap negeri timur selain didorong oleh semangat Gold, Glory, Gospel, juga dilandasi oleh rasa nasionalisme yang tinggi, yaitu menganggap bangsa mereka lebih unggul. Serta diterapkannya sistem politik apartheid di benua afrika oleh para penjajah adalah beberapa contoh yang membuktikan bahwa nasionalisme justru membidani lahirnya penjajahan terhadap bangsa lain.

Keempat, nasionalisme bertentangan dengan akidah islam. Firman Alloh SWT ”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa kepada Alloh” dalam surah Al-Hujurat ayat 13 sama sekali tidak menyebut kebolehan paham nasionalisme. Dilihat dari sebab turunnya, ayat ini turun justru untuk memerangi bibit-bibit sentimen rasial/nasionalisme. Adanya banyak suku dan bangsa merupakan bukti kekuasaan Alloh dalam ciptaannya, dan karenanya manusia bisa saling mengenal satu sama lain, bukan justru untuk mendorong munculnya sentimen ras, suku, ataupun bangsa. Sejumlah hadits Rasululloh SAW juga menegaskan larangan melakukan ta’ashub (berbangga terhadap kelompok, ras, suku, bangsa yang kemudian melahirkan paham nasionalisme). Diantaranya,

”Bukan dari golongan kami (tidak termasuk umat islam) orang yang menyeru kepada ashobiyah (fanatisme kelompok, suku, bangsa)....dst. (HR. Abu Dawud)

”Barang siapa berperang di bawah panji kesesatan, (yaitu) ia marah karena ashobiyah atau mengajak kepada ashobiyah atau menolong karena ashobiyah lalu ia terbunuh, maka matinya jahiliyyah”. (HR. Muslim dan Nasa’i)

Efek Nasionalisme Terhadap Dunia Islam

Secara faktual, nasionalisme telah membuat umat islam sedunia terus terpuruk secara politik, ekonomi, sosial, budaya dan peradaban, serta akan terus terhina dan terdzalimi, menjadi objek bulan-bulanan negara-negara besar seperti yang saat ini terjadi. Akibat nasionalisme, umat islam terpecah-belah ke dalam lebih dari 50 negara. Mereka hanya tampak bersatu tatkala menunaikan ibadah haji. Tapi, ya..hanya sampai disitu. Ketika kembali ke tanah airnya masing-masing, berakhir pulalah kebersamaan itu. Mereka kembali hidup sendiri-sendiri di negerinya yang tegak atas dasar nasionalisme. Tatkala menjumpai saudaranya di negara lain didzalimi, mereka hanya bisa merintih pedih, tak bisa berbuat apa-apa karena negara dimana ia tinggal tidak bergerak untuk mengulurkan tangan karena semua itu dianggap urusan luar negeri. Akibatnya, berbagai krisis datang silih berganti. Belum usai Palestina, muncul kedzaliman di Chechnya, Afghanistan, Iraq, Moro, Pattani, Kashmir, Poso, Ambon dan entah negeri mana lagi bakal menyusul. Potensi umat yang demikian besar, menjadi sia-sia tanpa persatuan dan persaudaraan universal. Satu milyar lebih umat islam berserak bagai buih, lemah tak berdaya. Apa yang bisa kita perbuat untuk saudara kita di Palestina yang terus menerus dihinakan oleh Israel? Afghanistan dan juga Iraq yang nyata-nyata sekarang dalam penjajahan Amerika? Renungkanlah, wahai saudaraku!!!



Menghapus Nasionalisme Menuju Persaudaraan Universal

Sesungguhnya manusia diciptakan secara sama. Ras, suku, dan bangsa tidaklah menempatkan seseorang atau sekelompok orang secara serta merta menjadi lebih baik dari ras, suku dan bangsa lain. Oleh karenanya, Rasululloh SAW pernah bersabda,”Orang Arab tidak lebih baik dari non-Arab. Sebaliknya, orang non-Arab tidak lebih baik dari orang Arab. Orang berkulit merah tidak lebih baik dari orang berkulit hitam, kecuali dalam hal ketaqwaannya. Umat manusia adalah anak cucu Adam, dan Adam tercipta dari tanah”. (HR. Muttafaq ’alayh)

Islam mengajarkan persaudaraan universal. Manusia diciptakan semata untuk beribadah kepada Alloh SWT. Nabi Muhammad pun diutus untuk segenap manusia, hitam atau putih, dari ras, suku dan bangsa manapun. Siapa yang menerima risalahnya, disebut orang beriman. Dan di atas dasar kesamaan iman itulah ditegakkan persaudaraan universal.

Persaudaraan universal lahir dari kesamaan iman dan tauhid. Setiap mukmin adalah bersaudara. Begitu eratnya hubungan persaudaraan itu hingga digambarkan oleh Nabi SAW bagaikan satu tubuh, yang bila satu bagian sakit maka bagian lain akan turut pula merasakan sakit.

”Sesungguhny orang beriman adalah bersaudara...”
(QS. Al-Hujurat:10)

”Orang-orang beriman bagaikan satu tubuh, bila matanya sakit maka bagian tubuhnya akan merasa sakit pula”.
(HR. Muslim)

Penjelasan di atas memberikan jawaban bahwa nasionalisme sepenuhnya bertentangan dengan islam. Istilah-istilah seperti ”nasionalisme islam” atau islam-nasionalis” mengandung banyak pertentangan dan sama sekali tidak masuk akal.

Kesimpulannya, umat islam harus bersatu dalam persaudaraan universal yang diwujudkan dalam suatu sistem dan kepemimpinan islam. Tanpa itu, jumlah umat islam yang lebih dari satu milyar dengan posisi geografis yang amat strategis serta kekayaan alam yang luar biasa tidak akan menolong apa-apa untuk mengentaskan dunia islam dari keterpurukannya, sampai tegaknya institusi yang akan mampu mempresentasikan kekuatan dunia islam dan mewujudkan persaudaraan islam, yakni DAULAH KHILAFAH ISLAMIYYAH.

Dikutip dari makalah Nasionalisme dalam sorotan, ust. Farid Wajdi, dengan sedikit tambahan.
»»  read more

Sabtu, 01 Agustus 2009

Jaringan Islam Liberal Dan Kesesatannya

Oleh: Azhari

Maraknya JIL dimasa reformasi bersamaan dengan keinginan kuat umat Islam untuk menerapkan Syari’at Islam bukanlah suatu kebetulan, sepertinya JIL ini dibentuk untuk menghadang kelompok “Fundamentalis” yang ingin kembali kepada Islam secara Kaffah. Berikut ini mari kita coba telaah lebih jauh apa itu JIL, tujuannya dan ide-ide yang diusungnya.

JIL yakni sebuah kelompok dikomandoi oleh Ulil Absar Abdalla, seorang yang dikenal sangat dekat dengan NU dan menantu seorang Kiai NU. Selain Ulil, kontributor JIL yang lain adalah:

o Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta
o Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah (Universitas Islam Negara), Jakarta
o Masdar F. Mas'udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta
o Goenawan Mohamad, Majalah Tempo, Jakarta
o Djohan Effendi, Deakin University, Australia
o Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung
o Moeslim Abdurrahman, Jakarta
o Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah (Universitas Islam Negara), Jakarta
o Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta , dan lain-lain.

Kelompok ini bertujuan ingin membuat suatu bentuk penafsiran baru atas agama Islam dengan wawasan sebagai berikut:

a. Keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang;
b. Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah teks;
c. Kebenaran yang relatif, terbuka dan plural;
d. Pemihakan pada yang minoritas dan tertindas;
e. Kebebasan beragama dan berkepercayaan;
f. Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Istilah Islam liberal ini bukanlah hal yang baru dan telah diusung oleh Nurcholis Madjid pada tahun 70-an, hanya saja gaungnya sekarang lebih besar karena mereka didukung dana yang sangat besar dari luar negeri dan mereka menguasai jaringan media massa (Radio, Jawa Pos, Kompas, Tempo, Metro TV, dan lian-lain).

Menurut JIL, nama “Islam Liberal” menggambarkan prinsip-prinsip yang menekankan kebebasan pribadi (seusai dengan doktrin kaum Mu'tazilah tentang kebebasan manusia), dan “pembebasan” struktur sosial-politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Sederhananya JIL ingin mengatakan bahwa secara pribadi bebas (liberal) menafsirkan Islam sesuai hawa nafsunya dan membebaskan (liberal) negara dari intervensi agama (sekuler).

Unik memang, pada saat seseorang telah menyatakan menganut Islam maka ia terikat dengan hukum syara’ atau ia seorang mukhallaf dan ia tidak bebas lagi (liberal) karena ucapan dan perilakunya telah dibatasi oleh syari’at. Disisi lain bagaimana mungkin bisa menggabungkan antara Islam dan Liberal karena keduanya adalah ideologi yang saling bertentangan. Islam meyakini bahwa Syari’at Allah harus dijalankan diseluruh sisi kehidupan, sedangkan Liberal meyakini pemisahan urusan agama dan negara.

Baiknya coba kita permudah pembahasan ide-ide JIL ini dalam 3 topik saja, yakni:

1. Ijtihad: keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang
2. Inklusifisme: kebenaran yang relatif, terbuka dan plural
3. Sekuler: pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik


1. Ijtihad

JIL meyakini bahwa pintu ijtihad masih terbuka dalam semua bidang dan untuk semua orang, penutupan pintu ijtihad akan menutup pintu akal dan kreatifitas seseorang.

Pintu ijtihad memang masih terbuka hingga saat ini tetapi para ulama telah memberikan batasan dalam hal apa saja boleh berijtihad dan syarat seseorang mampu mengeluarkan ijtihad (mujtahid).

Setiap orang boleh saja berijtihad tetapi ulama memberikan syarat-syarat seorang mujtahid, antara lain:

a. Pengetahuan bahasa Arab, lafadz dan susunan (tarkib) yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum yang akan digali (istimbath);
b. Pengetahuan terhadap syara' yakni nash (dalil) dari al-Qur'an dan Sunnah;
c. Pengetahuan terhadap waqi' yang akan dihukumi.

Bahkan DR Yusuf Qaradhawi (Masalah-masalah Islam kontemporer) memberikan syarat yang lebih berat semisal pengetahuan bahasa Arab, mengetahui tempat-tempat ijma’ yang tepat, ushul fiqih, qiyas dan penyimpulan, kaidah-kaidah syara’. Syarat lain harus adil, bertaqwa, tidak mengikuti hawa nafsu atau menjual agamanya untuk kehidupan dunia. Dengan demikian menurut Yusuf Qaradhawi, ijtihad bukan pintu yang terbuka bagi semua orang.

Disisi lain pintu ijtihad tertutup untuk nash-nash (dalil) qath'i tsubut (sudah pasti dari segi wujud) dan qath'i dilalah (sudah pasti dari segi petunjuk). Seperti dalil-dalil berikut:

Orang perempuan dan laki-laki yang berzina jilidlah masing-masing dari keduanya seratus kali jilid. (Qs. an-Nuur [24]: 2).

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. (Qs. al-Maa'idah [5]: 38).

Atau kewajiban shalat, puasa, haji, adanya malaikat, syaithan, lauhul mahfuz, akhirat, dan lain-lain. Disini akal tidak mampu lagi menjangkaunya dan kita wajib mengimaninya sesuai dengan penjelesan al-Qur'an dan sunnah.

Masalah terbukanya pintu ijtihad ini merupakan gerbang utama bagi JIL untuk menghancurkan syari’at Islam, karena jika berhasil meyakinkan umat bahwa ijtihad masih terbuka untuk semua bidang dan setiap orang maka mereka dapat menafsirkan ayat-ayat Allah dan hadits sesuai hawa nafsu mereka. Seperti yang sempat dihebohkan beberapa waktu yang lalu tentang “Jilbab tidak wajib dan merupakan kebudayaan Arab”; “Laki-laki non-muslim boleh mengawini muslimah”; “Kebebasan beragama atau murtad”; dan lain-lain.


2. Inklusifisme

Inklusifisme secara ringkas dapat diartikan tidak eksklusif atau tidak merasa paling benar sendiri, dalam bahasa JIL bahwa agama itu seperti roda yang mempunyai jari-jari. Setiap agama adalah jari-jari dari roda tersebut, jika semua pemeluk agama (apapun agamanya) dan dia berbuat saleh maka semuanya akan menuju kesatu titik poros roda tersebut yakni syurga. Artinya, seorang Muslim, Nasrani, Hindu, Budha atau Konghucu, bila menjalankan agama dengan benar (saleh) maka semuanya akan masuk syurga.

Hal ini jelas bertentangan dengan aqidah Islam, Innaddiina'indallahil Islami.

Sesungguhnya dien (agama/sistem hidup) yang diridhai Allah adalah Islam. (Qs. Ali-Imran [3]: 19).

Barangsiapa yang mengambil selain Islam sebagai dien, tidak akan diterima apapun darinya dan ia diakhirat tergolong orang yang rugi. (Qs. Ali-Imran [3]: 85).

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian. (Qs. al-Maa'idah [5]: 3).

Hai orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Qs. Ali-Imran [3]: 102).

Islam itu unggul dan tidak ada yang dapat mengunggulinya. [HR Bukhari].

Dan Islam tidak bisa disamakan dengan agama-agama lain tersebut karena seorang Muslim yang beriman maka syurga balasannya, sedangkan orang-orang kafir dan musyrik itu adalah orang-orang yang sesat dan merugi serta kekal dalam neraka,

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni dosa selain syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Siapa saja yang menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka sesungguhnya ia tersesat sejauh-jauhnya. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 116).

Hai orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang yang diberi Alkitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. (Qs. Ali-Imran [3]: 100).

Dengan konsep yang menyesatkan ini, maka umat akan dengan mudah murtad karena mereka merasa dengan memeluk selain Islampun mereka akan masuk syurga juga.


3. Sekuler

Menurut JIL, Islam tidak mengenal pemerintahan dan agama tidak mempunyai kewenangan dalam mengatur negara.

Jika kita ingin menerapkan Islam secara kaffah dalam semua sektor kehidupan kita maka mau tidak mau harus memformalkan syari’at Allah Swt yang terdapat dalam al-Qur'an dan sunnah dalam bentuk Undang-undang (UU), dan sebuah UU tidak akan berjalan jika tidak dipayungi oleh sebuah pemerintahan (daulah). Hal ini-pun telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan khalifah-khalifah sesudah beliau.

Beliau menjalankan pemerintahan di Madinah, menetapkan hukum-hukum eknomi/perdagangan, sosial/pergaulan, politik luar negeri, membentuk pasukan, peradilan, pendidikan, dan lain-lain. Beliau mengangkat pembantu-pembantu (mu’awin), wali, amirul jihad, amil, qadhi, dll. Dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dengan mengangkat Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, kemudian kekhalifahan Bani Muawiyah, Abassiyah hingga Utsmaniyah. Hal ini merupakan suatu fakta bahwa Islam mengenal negara atau Islam tidak bisa dipisahkan dengan negara.

Banyak dalil-dalil yang mewajibkan terbentuknya sebuah Khilafah Islamiyah ini,

(Dan) Siapa saja yang mati dan di pundaknya tidak ada bai'at (kepada Khalifah), maka ia mati dalam keadaan seperti mati jahiliah. [HR Muslim].

Maka demi Tuhanmu. Mereka tidak beriman (sebenarnya) sehingga mereka menjadikan kamu hakim untuk memutuskan perselisihan antara mereka. Kemudian mereka tidak merasa dalam hatinya keberatan terhadap putusanmu, dan menerima dengan perasaan lega. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 65).

Dan kita sangat merindukan tegaknya kembali kekhilafahan Islam ini setelah vakum selama 80 tahun, disaat runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924 M.

Demikianlah sepak terjang JIL dengan aqidah sesatnya dan menyesatkan umat, dan merupakan tantangan bagi para hamilud dakwah untuk lebih intensif berinteraksi dengan umat untuk mensosialisasikan betapa pentingnya tegaknya syari’at Islam. Wallahua’lam,

http://swaramuslim.net/more.php?id=A1663_0_1_0_M
»»  read more

Jumat, 31 Juli 2009

Mengkritisi Pemikiran Cabang Islam Liberal

Oleh M Kurnia
1. Kelompok Islam Liberal (Islib) menganalogikan Islam sebagai organisme yang hidup, yang harus disentuh oleh tangan sejarah. Artinya, Islam akan berubah-ubah sesuai dengan kondisi jaman. Analogi seperti ini tidak benar, sebab:
a. Islam itu ajaran yang diturunkan Allah SWT Dzat Maha mengetahui. Islam datang untuk merubah kondisi masyarakat. Realitas dalam al-Qur'an dan As Sunnah menunjukan hal ini. Sebagai contoh, saat itu pembunuhan bayi perempuan, riba, pengurangan timbangan, dan ‘ashobiyah kesukuan merupakan hal yang biasa. Rasul datang bukan untuk melegalisasi hal tersebut, melainkan justru merubahnya. Islam datang sebagai perekayasa sosial untuk membentuk suatu peradaban yang sesuai dengan aturan Islam.

b. Perubahan pada jaman Nabi seperti ziyarah kubur, sebelumnya dilarang kemudian dibolehkan tidak dapat dipahami bahwa kaum muslim sepeninggal Rasulullah boleh mengubah-ubah hukum seperti yang dilakukan Nabi. Sebab, posisi Nabi adalah sebagai penyusun hukum yang berasal dari Allah SWT (musyarri’). Sedangkan kaum muslim sebagai pengikutnya yang harus menerapkan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Pencipta alam. Dari realitas Nabi memerintahkan berziarah setelah sebelumnya dilarang menunjukkan bahwa pelarangan itu tidak tegas sehingga hukum akhir ziyarah kubur itu boleh.

2. Mereka menyatakan penafsiran tidak boleh literal tapi harus non literal.


a. Pemahaman seperti ini tidaklah sesuai dengan fakta. Sebab, hukum asal dari setiap kata dan pernyataan adalah literal dan jelas. Sebagai contoh kalimat: “Saya ingin makan”, makna awal yang dipahami adalah ia ingin makan karena lapar. Tidak dapat dipahami bahwa dia ingin jalan-jalan, dengan alasan bahwa ‘makan’ dalam konteks tersebut adalah ‘makan angin’ (jalan-jalan). Suatu makna awal literal dapat berubah menjadi non literal apabila terdapat pernyataan-pernyataan lain yang menunjukkan perubahan makna tersebut. Begitu pula al-Qur'an. Kitab Suci umat Islam ini merupakan kalamullâh, firman-firman Allah SWT yang berupa pernyataan-pernyataan. Jadi, hukum asal dari makna ayat-ayatnya adalah literal dan jelas selama tidak ada nash lain sebagai qarinah (indikasi) yang mengubah makna tersebut.

b. Pandangan Islib bahwa penafsiran itu haruslah non literal tidak konsisten. Sebagai misal, mereka kukuh memaknai jihad sebagai ‘aktivitas pebuh kesungguhan’. Padahal, ini adalah makna literal, bukan non literal. Sebaliknya, nash-nash yang mengandung kata jihad menunjukkan perang, perbuatan Rasulullah SAW pun ketika turun ayat-ayat ‘jihad’ yang dilakukannya adalah perang. Jadi, bila mereka konsisten dengan konsep penafsiran non literal semestinya memaknai jihad sebagai perang, bukan sebatas ‘sungguh-sungguh’. Contoh lain adalah kata ‘islam’, mereka memaknainya dengan ‘berserah diri’. Semua agama yang berserah diri disebut ‘islam’. Padahal, ‘islam’ dalam arti ‘berserah diri’ merupakan makna literal dalam bahasa Arab. Bila semua kata ‘islam’ dan turunannya dalam al-Qur'an, dihubungkan dengan hadits serta tindakan Rasul menyeru para penguasa dengan kalimat ‘aslim taslam’ maka akan diketahui bahwa ‘islam’ dalam al-Qur'an tersebut maknanya adalah dîn yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka menggembargemborkan penafsiran non literal dalam hal-hal yang tidak sesuai dengan ide dasar mereka (sekulerisme dan liberalisme). Sedangkan, bila penafsiran literal yang cocok dengan ide dasarnya tersebut maka penafsiran non literal pun mereka lupakan.

c. Dengan penafsiran non literal berarti tidak terikat dengan teks (nash). Sebenarnya, inilah ruh kebebasan mereka. Tidak terikat dengan nash berarti tidak terikat dengan kaidah-kaidah ilmu untuk memahami nash. Karenanya, kaidah ilmu bahasa dan karya para ulama terdahulu dalam hal tersebut dianggap penghalang untuk memahami al-Qur'an sehingga harus dikesampingkan. Ini suatu kemunduran yang berujung pada ditinggalkannya cara berpikir produktif. Bila ini yang terjadi maka alih-alih kemajuan berpikir Islam lahir, justru berpikir liar yang jauh dari Islam yang akan muncul. Karenanya, konsep pemikiran penafsiran non literal dalam makna yang mereka usung hanya akan menelorkan pemikiran liar yang menjauhkan umat dari Islam.

d. Dilihat dari realitas dan hakikat bahasa, penafsiran itu dapat berdasarkan manthûq (literal) ataupun mafhûm (non literal). Tapi, mafhûm ini tidak boleh keluar apalagi tidak ada kaitannya sama sekali dengan manthûq. Dalam memahami mafhûm ini diperlukan pemahaman bahasa, keterkaitan antara ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, serta sabab nuzul dari ayat tersebut.


3. Mereka menyatakan penafsiran al-Qur'an harus bersifat substansial, yang penting spirit Islamnya. Konsepsi demikian bertentangan dengan realitas dan isi al-Qur'an itu sendiri, antara lain:


a. Apa tolok ukur bahwa substansi sesuatu adalah anu. Islam adalah baju dan isi, akidah dan syariah. Banyak ayat dan hadits yang mengkaitkan antara praktik dengan akidah. Tidak ada pendekatan substansi atau aksiden dalam al-Qur'an ataupun hadits. Ketika ayat-ayat turun dan hadits diucapkan Rasul, sahabat-sahabat tidak pernah mendiskusikan ataupun menanyakan apa substansinya.

b. Pembahasan pendekatan substansi-aksiden merupakan pendekatan yang dilahirkan oleh Aristotelles, bukan dari Islam.


4. Mereka menyatakan penafsiran haruslah secara kontekstual agar sesuai dengan denyut nabi perubahan manusia dan mengikuti realitas budaya lokal.


a. Pemahaman seperti ini lahir dari ketidakmampuannya membedakan antara hadharah dan madaniyah, serta sains dan tsaqofah. Realitas menunjukkan bahwa realitas manusia terkait dengan kumpulan pemahaman tentang kehidupan (hadharah) dan budaya materil (madaniyah). Hadharah berbeda tergantung pada akidah dan ideologinya. Hadharah ini tetap selama akidahnya tetap. Berbeda dengan hadharah, madaniyah berkembang sesuai dengan denyut nadi perubahan manusia. Oleh sebab itu, bila yang dikehendaki adalah modernitas dalam konteks budaya materi maka Islam menyerahkannya kepada manusia, serta tidak terkait dengan cara penafsiran al-Qur'an. Namun, kemajuan materil ini harus dikawal oleh hadharah Islam sehingga muncul modernitas yang beradab,bukan modernitas liar berperikehewanan seperti kini tengah berlangsung dibawah pimpinan ideologikapitalisme. Jadi, keinginan kesesuaian Islam dengan perubahan modernitas manusia lalu diwujudkan kedalam penafsiran kontekstual merupakan hasil broken logic.

b. Penafsiran kontekstual seringkali hanya didasarkan pada penyesuaian dengan kondisi kekinian. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa jilbab merupakan produk budaya lokal Arab sehingga tidak wajib diikuti. Padahal, realitas menunjukan: Pertama, sebelum turun ayat jilbab wanita Arab tidak berjilbab, Kedua, jilbab itu isim jins yang bersifat tetap tidak berubah. Sama halnya dengan an nas, mulai dari Adam hingga kapan pun. Jadi, jilbab itu berlaku umum. Oleh sebab itu, dalih penafsiran kontekstual hanyalah upaya legalisasi terhadap keadaan kekinian.


5. Mereka mengatakan perlu dibedakan mana Islam dan mana Arab?


a. Hal ini tidak serta merta salah. Persoalannya, apa tolok ukur baku untuk memilah mana Islam dan mana Arab? Mengapa sholat disebut hukum universal untuk semua muslim, sementara potong tangan dan qishash tidak? Padahal Arab, Indonesia dan sebagainya sebagai objek hukum, sedangkan hukumnya itu sendiri sama. Karenanya tolok ukur yang harus digunakan untuk membedakannya adalah khithabnya itu sendiri yang terdapat di dalam nash; apakah wajib, sunnah, haram, makruh ataukah mubah.

b. Islib menyatakan bahwa kategori wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah merupakan produk sejarah. Padahal, orangyang jeli akan melihat bahwa didalam al-Qur'an dan As Sunnah terdapat istilah faridhatam minallâh, nâfilatalaka, kuriha qîla wa qâla, sunnati, harrama. Jadi, ini adalah kategori dari Allah SWT. Sementara ungkapan bahwa semua itu poduk sejarah tidak punya argumentasi. Berikutnya, bila benar bahwa hal itu produk sejarah, tetapi produk tersebut terdapat didalam al-Qur'an dan As Sunnah, atas argumen apa kita tidak wajib terikat pada hal tersebut dengan dalih produk sejarah?

c. Dalam konteks ajaran Islam, semua itu diturunkan untuk semua manusia (kâffata lin nâs), bukan Arab ataupun non Arab semata, bukan lokal tertentu, sehingga tidak ada istilah Islam pribumi dan Islam Arab seperti yang mereka gembar-gemborkan.


6. Islib percaya bahwa islam yang diikuti hanyalah nilainya yang universal yang harus diterjemahkan dalam konteks tertentu. Bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanyalah ekspresi budaya yang kita tidak wajib mengikutinya,kata mereka. Hal ini merupakansudut pandang sempit, tidak sistemik. Padahal,siapapun yang mengelaborasi al-Qur'an akan melihat:


a. Pertama, tinjauan sistem. Dalam al-Qur'an terdapat jilbab, menundukan pandangan, larangan zina, khalwat, pernikahan, rajam/cambuk dan sebagainya ini merupakan sistem yang integral. Bukan sekedar substansi/nilai melainkan juga ‘bentuk’ real yang tidak berdiri sendiri untuk menyelesaikan persoalan. Jika, dari semua itu yang diambil adalah substansinya maka yang akan terjadi adalah hilangnya hukum Islam sehingga Islam hanya tinggal nama digantikan oleh sistem hukum kapitalis. Contoh, jilbab substansinya kepantasan, menundukan pandangan substansinya tidak terangsang, zina substansinya anak terjamin, khalwat substansinya tidak ada pemaksaan, rajam/cambuk substansinya jera, dan lain-lain. Muncullah kehidupan dengan pakaian yang penting pantas, kumpul kebo boleh asal bertanggung jawab dan suka sama suka, pernikahan dipandang sebagai lembaga yang mengekang kebebasan, hukuman zina penjara itupun kalau ada delik aduan. Bukankah ini sistem kapitalisme yang kini ada. Jadi, akankah kita menyatakabn bahwa sekalipun bentuknya berbeda tetapi sama-sama substansinya Islam?

b. Kedua, pendekatan universal atau lokal tidak memiliki landasan didalam Islam. Karena itu cara berpikir seperti ini bukanlah cara berpikir Islam dan tidak ada hubungannya dengan Islam.


7. Islib: Umat Islam menyatu dengan umat lain disatukan oleh kemanusiaan.


a. Tidak jelas apa itu konsep kemanusiaan. Kalaulah nilai kemanusiaan yang dimaksud adalah persamaan, keadilan, kemakmuran bagi seluruh manusia dan sebagainya, bukan hanya mereka yang menganut agama tapi juga atheis. Nilai ini diterima oleh semua manusia. Pertanyaannya adalah sistem apa yang dapat mewujudkan hal tersebut? Disinilah Islam memberikan pemecahan praktis supaya hal tersebut terwujud. Pada kenyataannya nilai kemanusiaan yang dimaksud adalah HAM, pluralisme, dan sebagainya, yang realitasnya menunjukan tidak memanusiakan manusia.

b. Betul, manusia harus menyatu. Tapi, aturan mana yang dipakai? Ketika aturan yang digunakan adalah sosialisme atau kapitalisme justru manusia tidak dimanusiakan. Sedangkan dengan diterapkannya Islam manusia didudukkan sebagai manusia. Sejarah menunjukkan ketika kapitalisme/sosialisme diterapkan muncul konflik kemanusiaan. Sedangkan saat Islam diterapkan tidaklah demikian.


8. Islib: Klasifikasi muslim-kafir merupakan penghancuran terhadap kemanusiaan.


a. Pernyataan ini menunjukkan adanya kesalahan logika. Ini dibangun berdasarkan premis (1) bahwa manusia itu diciptakan sama sederajat tidak ada perbedaan, (2) klasifikasi muslim-kafir bertentangan dengan nilai manusia. Padahal realitas menunjukkan bahwa manusia ada yang baik ada yang buruk, ada yang kaya ada yang miskin, bangsa juga berbeda-beda, ada yang iman ada yang ingkar kepada Allah SWT dan sebagainya. Ini menunjukkan sebenarnya realitasnya manusia itu berbeda. Jadi, adanya pembedaan terhadap manusia merupakan fakta. Persoalannya adalah pembedaan mana yang dibenarkan dan mana yang tidak. Hal ini kembali kepada standar apa yang digunakan. Dalam al-Qur'an Allah SWT membedakan antara kafir dengan muslim.

b. Pembedaan muslim-kafir ini dipilih oleh manusia itu sendiri atas dasar kesadaran bukan dipaksa oleh Allah SWT. Adalah wajar Allah SWT mencela orang kafir yang kufur pada Penciptanya.

c. Kedudukan seseorang kafir ini adalah sebutan dari Allah SWT. Namun, hal ini tidak berarti Islam membolehkan tindakan semena-mena terhadap orang kafir. Ahlu dizimmah tidak boleh disakiti, bahkan wajib dilindungi. Adapun dalam Islam ada konsep jihad untuk menyebarluaskan Islam kepada kaum kafir merupakan pilihan ketiga setelah sebelumnya ditawarkan kepada mereka masuk Islam dan ahlu dzimmah. Itupun bukanlah memrangi individu-individu orang kafir tapi dalam rangka menghancurkan institusi-institusi politik/penguasa yang menghalang-halangi diterimanya Islam secara terbuka.


9. Islib: Kita membutuhkan struktur yang tegas membedakan kekuasaan politik dan kekuasaan agama. Politik perlu ada kekuatan kesepakatan publik, agama individual.


a. Cara pandang ini adalah cara pandang sekuler yang lahir dari Kristen. Analogi ini tidak layak untuk Islam.

b. Dalam v dan As Sunnah perkara agama tidak melulu persoalan pribadi. Persoalan akidah, ibadah, makanan, minuman, akhlak, dan muamalah (termasuk ulil amri) terdapat didalamnya. Bila realitasnya Allah SWT menyatukan persoalan politik dan ‘agama ritual’ dalam Islam, manakah yang harus diikuti Allah SWT ataukah manusia yang hendakmemisahkan antara keduanya?

c. Kekhawatiran munculnya kediktatoran atas nama Tuhan tidak ada dalam Islam. Islam bukan teokrasi, ada muhasabah, negara manusiawi bukan ilahi, dan sebagainya. Dalam sejarah memang terjadi kesalahan, tapi sejarah bukan hukum Islam. Selain itu, jangan sampai pandangan buruk terhadap sejarah membunuh masa depan umat ini.


10. Islib: Tidak ada hukum Allah yang ada adalah prinsip umum (maqashidusy syar’iyyah) dan sunnatullah (ekonomi punya hukumnya sendiri, dan sebagainya).


a. Realitas menunjukkan bahwa di alam terdapat hukum Allah SWT dan Sunnatullah. Dalam ekonomi, ada sunnatullah. Bagaimana agar produktivitas meningkat, produk laku, ekonomi merata, dan sebagainya. Tapi juga terdapat hukum Allah SWT, produk apa yang boleh dijual-belikan, bolehkah bertransaksi dengan anak kecil, dan sebagainya. Jadi, penolakan terhadap adanya hukum Allah SWT menunjukan pembangkangan terhadap hukum Allah SWT dalam al-Qur'an, disamping ketakberhasilannya membedakan antara hukum Allah SWT dengan sunnatullah di alam.

b. Kedudukan maqashidusy syar’iyyah dalam Islam merupakan dampak diterapkannya hukum Islam. “Dimana ada syara’ disitulah ada maslahat”.


11. Rasul adalah tokoh historis yang perlu dikritisi.


a. Kedudukan Rasul adalah penyampai wahyu, tidak mengikuti kecuali wahyu. Tuduhan bahwa Rasul juga manusia yang dapat salah (termasuk dalam tabligh risalah) sehingga perlu dikritisi merupakan penolakan terhadap nash al-Qur'an yang menyatakan Rasul itu tidak mengikuti selain wahyu.

b. Makna [/i]Ittiba’[/i]. Hukum ittiba’ adalah wajib bagi setiap Muslim. Untuk ittiba’ harus memenuhi tiga kualifikasi: (1) mumatsalah (sama persis), (2) ‘ala wajhih (jika Rasul mewajibkan harus diwajibkan, dan jika mensunahkan harus disunahkan, dan seterusnya), (3) min ajlih (sesuai dengan timing pelaksanaan Nabi).

c. Tuduhan apa yang dilakukan Nabi sebagai “Menegosiasikan wahyu dengan situasi” tidak benar. Ini menuduh Rasulullah membuat hukum berdasarkan hawa nafsunya sendiri. Al-Qur'an menyatakan beliau bukan mengikuti hawa nafsu tapi dari wahyu.


12. Islib: “Wahyu berupa verbal atau akal. Wahyu verbal telah terputus, tapi wahyu non verbal masih turun hingga sekarang”. Pemahaman ini sangatlah gegabah, sebab:


a. Wahyu berbeda dengan akal. Wahyu merupakan ilham yang diberikan Allah SWT kepada manusia yang maksum. Ketika menyatakan wahyu masih turun lewat akal berarti menyatakan ada orang maksum. Sementara akal merupakan ppemindahan realitas ke otak lewat indra lalu informasi awal yang ada diotak menafsirkan apa realitas tersebut.

b. Mereka menyatakan pula bahwa temuan besar merupakan wahyu Tuhan karena akal anugerah Tuhan. Hal ini merupakan kesalahan fatal, pertama, salah analogi akal anugerah Tuhan digeneralisasi temuan besar sebagai wahyu Tuhan. Padahal, teknik mencuri juga produk akal, apakah dikatakan bahwa teknik mencuri adalah wahyu? Kiat manipulasi uang negara juga produk akal yang karenanya juga merupakan wahyu?

c. Mereka meyakini bahwa dulu dalambahsa Arab orang yang menyampaikan pesan Tuhan disebut Nabi/Rasul sekarang dalam bahasa Indonesia boleh jadi ustadz, kiyai, guru dan lain-lain. Ini kesalahan logika yang timbul akibat kesalahan analogi. Terjadi pengalihan makna lughowi pada makna syar’iy/istilahiy. Contoh fâ’il dalam nahu bukanlah pekerja.

d. Makna ijtihad. Dalam Islam [i]ijtihad bukanlah akal liar.


13. Islib: Penafsiran digali bukan hanya dari muslim tapi juga kafir. Gagasan ini berbahaya dari beberapa segi:


a. Penafsiran perlu pola berpikir Islam yang dasarnya keimanan

b. Mereka menyatakan bahwa kebenaran itu permata kaum mukmin, diamna saja ditemukan maka harus diambil. Padahal, hadits tentang al-hikmah ini lemah. Hadits:

Hikmah adalah sesuatu yang hilang dari orang Mukmin, di mana saja mereka menemukannya, mereka (hendaknya) mengambilnya.

Hadits ini dinyatakan oleh Ibn Hibbân, dalam kitab Majrûhîn, sebagai hadits dhaif, karena di sana terdapat sanad, Ibrâhîm al-Mahzûmi, yang dikatakan sebagai orang yang Fâhisy al-khatha’ (salah yang sangat dahsyat). Jika seandainya matan hadits ini diterima, maksudnya menurut Ibn Hajar dan as-Suyûthi, adalah hendaknya kebenaran Islam diterima karena substansi kebenarannya, bukan karena melihat ketokohan orangnya. Dan ingatlah pernyataan Ali r.a.: a’rifu ‘amman ta’khudzu dinakum (Adabud dunya wa din, Al Mawardi,), ketahuilah dari siapa kalian mengambil agama kalia


14. Islib: Syariat Islam adalah sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal? Definisi ini didasari oleh cara berpikir keliru dalam butir-butir diatas. Karenanya, hasilnya juga salah.



15. Reason, freedom dan demokrasi: Menurut mereka, reason (akal) bisa produktif karena ada freedom (kebebasan), baik freedom of thinking (kebebasan berfikir) maupun freedom of speech (kebebasan berbicara), dan keduanya itu hanya ada kalau ada demokrasi. Karena itu, demokrasi mutlak mereka perjuangkan. Demikian halnya kebebasan, juga mereka dewa-dewakan. Dengan keduanya itulah, konon mereka akan meraih progresifitas intelektual. Benarkah? Buktinya, dengan freedom, baik freedom of thinking maupun freedom of speech itu berapa banyak hasil karya intelektual yang bisa mereka keluarkan? Sebut saja, Fazlul Rahman, berapa banyak karya intelektualnya? Berapa banyak karya intelektual Nurcolish, Kamaruddin Hidayat, dan lain-lain? Sementara mereka menikmati freedom of thinking maupun freedom of speech. Bandingkan dengan karya an-Nawawi, Ibn Taimiyyah, Ibn Hajar al-Asqalani, as-Suyuthi, dan lain-lain? Manakah yang lebih produktif? Ulama’ dulu atau kalangan intelektual liberal yang menikmati freedom of thinking maupun freedom of speech? Mengapa mereka tidak seproduktif ulama’-ulama’ dahulu? Kalau demikian, apakah masalahnya karena tidak adanya freedom of thinking atau freedom of speech? Atau karena justru mereka tidak mewarisi tradisi berfikir produktif ulama’-ulama’ itu? Bahkan, berjuta-juta kitab telah dihasilkan oleh ulama’ dahulu sepanjang Khilafah Islam, ketika tradisi intelektualitas Islam yang produktif masih diwarisi ummat Islam. Jadi, masalahnya bukan karena freedom atau demokrasi, melainkan masalah tradisi berfikir produktif.


16. Kemutlakan syariat dan relativitas fiqih, atau kemutlakan Islam dan relativitas pemikiran Islam: Menurut mereka, syariat Islam mutlak benar, namun fiqih tidak. Karena fiqih merupakan perkara furu’, sehingga debatable. Sebenarnya ini merupakan serangan terhadap fiqih, sebagai ilmu mengenai hukum syara’ yang mempunyai pijakan dan landasan yang jelas, yaitu dalil syara’. Mengenai fiqih itu furu’ dan debatable, sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda. Bahwa, fiqih disebut furu’, karena lawan ushul, atau non-akidah. Namun tidak berarti setiap masalah furu’ berarti debatable. Contoh, hukum wajibnya shalat, zakat, haji, puasa dan jihad, misalnya, adalah hukum-hukum furu’, karena bukan hukum akidah, dan disebut fiqih, namun hukum tersebut tidak debatable. Sebab, dikemukakan oleh nas yang qath’i. Bahwa kemudian di dalam fiqih ada hukum furu’ yang debatable, seperti rukun wudhu’, shalat dan lain-lain, tidak bisa digenerasilisir, sehingga semua hukum furu’ bersifat debatable.



17. Al-Qur’an tidak autentik: Menurut mereka, al-Qur’an yang dikatakan autentik ini mempunyai banyak kelemahan, dari sisi penulisan, dianggapnya tidak konsisten. Belum lagi kontoversi bacaan, antara satu dengan yang lain. Ditambah perbedaan riwayat mengenai jumlah surat dan ayat, seperti ungkapan Aisyah dalam al-Itqân, karya as-Suyuthi. Pertama, sesungguhnya masalah penulisan yang tidak konsisten, misalnya lafadz: shalat ditulis dengan cara yang berbeda, adalah karena rasm (bentuk tulisan) adalah tawqîfî, seperti apa adanya dari Nabi, sebagaimana penukilan dari Nabi. Di sinilah, bedanya antara nuqila ilayna (dinukil kepada kita) dengan ruwiya ilayna (diriwayatkan kepada kita). Al-Qur’an itu dinukil dari Nabi ---dari Jibril--- seperti apa adanya, sementara al-Hadits diriwayatkan. Riwayat tentu berbeda dengan nukil. Nukil disampaikan apa adanya, tidak ditambah atau dikurangi, sementara riwayat lebih fleksibel. Kedua, mengenai masalah kontroversi bacaan, antara satu sama lain, jika bersumber dari sumber mutawatir, maka masing-masing harus diterima, karena masing-masing merupakan bacaan yang sahih, tanpa di-tarjîh karena faktor bahasa dan lain-lain. Ketiga, mengenai riwayat yang dinukil as-Suyuthi di seputar perbedaan jumlah surat dan ayat dalam al-Qur’an, maka harus didudukkan, bahwa riwayat Aisyah sesungguhnya merupakan riwayat ahad, dan sumber ahad tidak bisa menjadi pedoman [i]Mushaf. Dari sinilah, maka perbedaan antara Musfhaf, seperti Mushaf Ibn Mas’ud, Ali, Aisyah dan lain-lain dengan Musfhaf yang ada sekarang tidak bisa digunakan untuk membuktikan, bahwa autentisitas al-Qur’an saat ini diragukan.


Inilah sekilas gagasan cabang dari kelompok liberal. Berdasarkan ini nampak bahwa gagasan-gagasan cabang (disamping ide dasar) kaum liberal (sebutan lebih tepat bagi istilah ‘Islam Liberal’) tidak lebih dari legalisasi ide-ide kapitalisme dengan label Islam.
»»  read more

Followers