Tampilkan postingan dengan label review. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label review. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Agustus 2009

Hizbut Tahrir Dan Sepuluh Burung

Satu burung di tangan lebih baik dari sepuluh burung di atas pohon.” Dengan kata kiasan ini telah menjadikan mudah bagi setiap pengemban misi untuk berpaling dari rel tujuan yang diinginkan menuju rel tujuan yang dipengaruhi oleh realitas dan tekanan yang sulit dihadapi dan dilaluinya.

Ketika didirikan gerakan, partai, atau jamaah apapun perlu menciptakan perubahan tertentu atau kebangkitan apa saja. Sedang langkah pertama yang harus diselesaikan oleh organisasi ini adalah langkah “menentukan tujuan”. Kemudian menentukan langkah kedua, yaitu “menentukan cara (metode) untuk mewujudkan tujuan”. Dengan ini, mulai tanpak adanya perbedaan di antara berbagai jamaah dalam arus secara umum. Jadi, ada arus Islam, arus liberalisme, arus sosialisme, dan sebagainya.

Dan bahkan beberapa jamaah yang beraktivitas di arus yang sama sekalipun juga ada perbedaan di antara jamaah-jamaah itu. Jamaah-jamaah Islam misalnya, ada yang radikal, moderat, dan ada yang aktivitasnya terbatas pada urusan akhlak dan ibadah, sehingga satu sama lain tidak masuk klasifikasinya.

Pembicaraan kita hingga di sini masih pembicaraan untuk melihat fakta yang ada secara teori. Akan tetapi gambaran sebenarnya sering tidak sejalan dengan teori dan menyakitkan, yaitu adanya perbedaan antara tujuan dan metode jamaah ketika didirikan, dengan tujuan dan metode pada saat jamaah itu dibenturkan dengan berbagai tantangan dan hambatan.

Sebagian besar jamaah mengemukakan tujuan yang dapat dikatakan bahwa tujuannya sangat ideal. Namun, apabila metodenya mulai dibenturkan dengan berbagai tantangan dan hambatan, dan mulai dihadapkan dengan angin yang kencang maupun yang sepoi-sepoi, maka jamaah-jamaah itu mulai naik-turun antara madu yang dijanjikan dan api yang mengancamnya. Sehingga kita dapati jamaah-jamaah itu menerima satu burung yang di tangan, dan melupakan sepuluh burung yang di atas pohon, yang sebelumnya mereka pikirkan siang dan malam bahwa mereka tidak akan pernah menerima kecuali dengan mendapatkan semua burung.

Burung yang di tangan itu bisa berupa kursi menteri yang terbuat dari kulit buaya, atau kursi parlemen yang di dalamnya mereka turut menghabiskan waktunya siang dan malam untuk membuat undang-undang. Atau burung yang di tangan itu berupa lembaga sosial yang beraktivitas menyantuni para janda dan anak yatim. Untuk itu, mereka pun menghadiahi penguasa dengan doa yang baik agar mereka diizinkan mendirikan lembaga-lembaga sosial ini, atau mereka diberi izin mendirikan channel televisi yang tayanggannya menawarkan surga. Atau burung yang di tangan itu terkadang berupa kekuasaan bersenjata atas sebuah wilayah geografis yang luasnya hanya cukup untuk penduduk satu perkampungan di antara perkampungan di Kairo, dan terkadang burungnya lebih kecil atau lebih rendah dari semua itu. Sehingga kami hampir tidak salah ketika kami katakan bahwa ada sebagian dari jamaah-jamaah itu yang rela (puas) meski hanya mendapatkan satu bulu saja dari sayap burung itu. Begitu juga, tidak jarang jamaah-jamaah yang mengumumkan bahwa mereka menempuh metode Islam, namun ketika mereka telah menjadi perdana menteri, mereka mulai memintakan rahmat untuk sang penghancur negara Islam, Musthafa Kemal Ataturk laknatullah ‘alaih.

Ketika seseorang melakukan pengamatan terhadap gerakan-gerakan Islam, maka ia akan menemukan mereka semua rela (puas) hanya mendapatkan satu burung, atau sayap burung, bahkan kamu dapati mereka rela (puas) meski hanya mendapat satu bulu saja dari ekor burung. Untuk itu, sekarang kamu harus mengarahkan pandangan mata anda untuk meneliti Hizbut Tahrir.

Sebelum meneruskan pembicaraan tentang Hizbut Tahrir, maka saya tegaskan, sekali lagi saya tegaskan bahwa pembicaraan ini tidak saya tulis dalam rangka untuk pembelaan terhadap Hizbut Tahrir. Namun ini merupakan kenyataan sebenarnya yang saya ketahui sendiri, yang saya lakukan dengan berbagai media penelitian, sehingga ini murni jauh dari dorongan hawa nafsu dan emosional.

Sesungguhnya Hizbut Tahrir menolak logika “burung di tangan”. Hizbut Tahrir menolak mendapatkan kurang dari sepuluh burung yang di atas pohon. Bahkan Hizbut Tahrir mencari lebih banyak lagi burung-burung yang di atas pohon. Hizbut Tahrir menginginkan semua pohon dan semua burung yang ada di atasnya. Sebab, Hizbut Tahrir menilai bahwa mendapatkan sepuluh burung yang ada di atas pohon itu hanyalah titik sentral (nuqthah irtikaz) yang darinya akan dumulai perburuan semua burung yang banyak di atas pohon.

Sepuluh burung yang hendak didapat Hizbut Tahrir tercermin dalam ”penyatuan kaum Muslim dalam satu institusi politik yang akan menerapkan syariah Islam, dan menaklukkan negeri-negeri yang lainnya di dunia dengan jihad untuk menyebarkan Islam di tengah-tengah masyarakatnya. Inilah sistem Khilafah Islamiyah”.

Meskipun mereka yang menggunakan logika ”burung di tangan” senantiasa mencela tujuan Hizbut Tahrir yang sangat ideal ini, bahkan ada sebagian mereka yang berani menilai bahwa tujuan Hizbut Tahrir hanyalah ”mimpi” dan ”hayalan”. Namun Hizbut Tahrir sejak berdiri tahun 1953 M. di al-Quds (Yerusalim) hingga sekarang ini, Hizbut Tahrir tidak menampakkan penyimpangan sedikitpun dari tujuan yang telah ditetapkan untuk dirinya, yaitu mendapatkan sepuluh burung yang di atas pohon. Hizbut Tahrir tidak mau menerima hanya mendapat satu burung di tangan.

Yang lebih mengagumkan lagi jika kamu membaca sejarah perjalanan Hizbut Tahrir bahwa Hizbut Tahrir menempuh metode tertentu yang belum pernah berubah selama enam dekade perjalannya, yaitu metode politik yang menghantarkan pada terciptanya perubahan secara revolusi di tengah-tengah masyarakat. Hizbut Tahrir dalam melakukan aktivitasnya fokus pada dua poros utama:

Pertama, menyeru umat, melakukan penyebaran idenya, dan memasuki setiap persendian umat.

Kedua, menyerukan para pemilik kekuatan persenjataan (para pemimpin militer dan kepala suku), menyakinkan mereka untuk menguasai pemerintahan, dan memberikannya kepada Hizbut Tahrir.

Jadi di sana ada kekuatan yang tersimpam dalam diri Hizbut Tahrir yang bukan sekedar partai simbol dan publikasi. Sehingga Hizbut Tahrir menjadi sumber ketakutan dan kegelisahan yang menyelimuti para penguasa Barat dan Timur.

Hizbut Tahrir melakukan kontak dengan setiap elemen umat: para ulama, tokoh masyarakat, pemikir, ilmuwan, rektor, mendatangi berbagai universitas, sekolah, rumah, lembaga, masjid, gerakan, partai, dan banyak lagi yang lainnya.

Barangkali bukti nyata atas keberhasilan kontak yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir ini adalah Konferensi Ekonomi Internasional yang diadakan Hizbut Tahrir di awal tahun ini di Khurthum dengan menawarkan solusi problem ekonomi internasional. Di mana konferensi itu dihadiri sekitar 6.000 orang yang semuanya memperlihatkan puncak kekaguman dan dukungan terhadap ide yang ditawarkan Hizbut Tahrir yang semuanya bersadarkan pada dalil-dalil syariah.

Sedang contoh lainnya adalah Konferensi Ulama Internasinal yang juga diadakan oleh Hizbut Tahrir beberapa hari yang lalu (21 Juli 2009) di Indonesia, yang dihadiri oleh ribuan ulama yang datang dari seluruh penjuru dunia.

Dua tahun sebelumnya Hizbut Tahrir juga mengadakan konferensi yang luar biasa gemanya di Jakarta pada tahun 2007 M. untuk mengenang runtuhnya Khilafah, dan konferensi dihadiri lebih dari 100.000 orang peserta.

Hizbut Tahrir sangat baik dalam melakukan kontak dengan menyampaikan semua harapan umat, dan menyakinkan mereka tentang pentingnya membuang logika ”burung di tangan”, dan menggantinya dengan prinsip ”tidak menerima kurang dari sepuluh burung yang di atas pohon”. Hizbut Tahrir sadar betul bahwa memburu sepuluh burung yang begerak di atas pohon bukanlah perkara yang mudah kecuali telah memiliki semua peralatan yang dibutuhkannya, seperti peralatan berburu, penembak yang jitu, dan kekuatan. Oleh karena itu, kami dapati Hizbut Tahrir memfokuskan seruan kepada para pemilik kekuatan persenjataan, yang biasanya mereka itu tercermin pada kalangan militer.

Barangkali saya tidak salah dan tidak berlebihan juga jika saya menilai bahwa Hizbut Tahrir suatu saat akan mendapatkan dukungan massa yang sangat luas sekali di seluruh belahan penjuru dunia Islam guna menyampaikan misi kepada para pemilik kekuatan yang subtansinya adalah ”apabila kalian menolong kami, maka merekalah orang pertama yang menghujani kebaikan”.

Kebanyakan individu masyarakat di saat sekarang ini, terkadang tidak mau bergabung dengan Hizbut Tahrir, terkadang untuk mendukung saja mereka takut, dan terkadang beberapa ide mereka bertentangan dengan ide Hizbut Tahrir. Namun di sana ada faktor umum, dan saya yakin semua sepakat dengannya, yaitu bahwa Hizbut Tahrir sejak saat didirikannya tidak menerima jika mendapatkan kurang dari sepuluh burung yang di atas pohon, dan Hizbut Tahrir tetap teguh dengan pilihannya ini. Dan semuanya akan benar-benar tampak jelas di masa mendatang. Sehingga tidak lama lagi kami akan mengundang ke sebuah pesta umat, yang di dalamnya kami akan mengundang Hizbut Tahrir untuk memakan sepuluh burung bahkan bisa lebih dari itu.

Sumber: al-aqsa dari www.qudsnet.com, 25/7/2009

Oleh: Raji al-Aqqabi
»»  read more

Senin, 10 Agustus 2009

Tahapan Dakwah dan Aktivitas Politik Hizbut Tahrir

Tahap pertama sesungguhnya adalah tahap pembentukan gerakan, dimana saat itu ditemukan benih gerakan dan terbentuk halqah pertama setelah memahami konsep dan metode dakwah Hizb. Halqah pertama itu kemudian menghubungi anggota-anggota masyarakat untuk menawarkan konsep dan metode dakwah Hizb, secara individual.
Siapa saja yang menerima fikrah Hizb langsung diajak mengikuti pembinaan secara intensif dalam halqah-halqah Hizb, sampai mereka menyatu dengan ide-ide Islam dan hukum-hukumnya yang dipilih dan ditetapkan oleh Hizb. Sehingga, mereka memiliki kepribadian islam, yaitu mempunyai pola pikir yang islami (akliyah islamiyah) dan menjadi¬kannya, ketika melihat setiap pemikiran, kejadian atau peristiwa baru, senantiasa dengan pandangan Islam, serta tatkala memutuskan sesuatu selalu berlandaskan pada tolok ukur Islam, yaitu halal dan haram. Ia pun memiliki pola jiwa yang islami (nafsiyah islamiyah), sehingga akan menjadikan kecenderungannya senantiasa mengikuti Islam walau kemanapun, serta menentu-kan langkah-langkahnya atas dasar Islam. Sehingga, mereka ridla kepada sesuatu yang diridlai Allah dan Rasul-Nya, marah dan benci kepada hal-hal yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka, lalu mereka akan tergugah mengemban dakwah ke tengah-tengah umat setelah mereka menyatu dengan Islam. Sebab pelajaran yang diterimanya dalam halqah merupa¬kan pelajaran yang bersifat amaliyah (praktis) dan berpengaruh (terhadap lingkungan), dengan tujuan untuk diterapkan dalam kehidupan dan dikembang¬kan di tengah-tengah umat.

Apabila seseorang telah sampai pada tingkatan ini, dialah yang akan mengharuskan dirinya bergabung dan menyatu menjadi bagian dari gerakan Hizb. Demikianlah yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, pada tahap pertama dalam dakwahnya –yang berlangsung selama tiga tahun. Pada saat itu Beliau menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat secara perorangan dengan menawarkan apa yang telah diturunkan Allah SWT kepadanya (berupa aqidah dan ide-ide Islam). Siapa saja yang menerima dan mengimani beliau berikut risalah yang dibawanya, maka ia akan bergabung dengan kelompok yang telah dibentuk Nabi SAW atas dasar Islam, secara rahasia. Beliau selalu menyampaikan bagian-bagian risalah, dan selalu membacakan ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan kepada beliau, sampai merasuk ke dalam diri mereka. Beliau menemui mereka secara sembunyi-sembunyi, mengajar mereka secara rahasia di tempat-tempat yang tidak diketahui masyarakat pada umumnya. Mereka melaksanakan ibadah juga secara diam-diam, sampai saatnya Islam dikenal dan menjadi pembicaraan masyarakat di Mekah, sebagian mereka bahkan masuk Islam secara berangsur-angsur.

Pada tahap pembentukan kader ini, Hizb membatasi aktivitasnya hanya pada kegiatan pembinaan saja. Hizb lebih memusatkan perha¬tiannya untuk membentuk kerangka gerakan, memperbanyak anggota dan pendukung, membina mereka secara berkelompok dan intensif dalam halqah-halqah Hizb dengan tsaqafah yang telah ditentukan sehingga berhasil membentuk satu kelompok partai yang terdiri dari orang-orang yang telah menyatu dengan Islam, menerima dan mengamalkan ide-ide Hizb, serta telah berinteraksi dengan masyarakat dan mengembangkannya ke seluruh lapisan umat.

Setelah Hizb dapat membentuk kelompok partai sebagaimana yang dimaksud di atas, juga setelah masyarakat mulai merasakan kehadirannya, mengenal ide-ide dan cita-citanya, pada saat itu sampailah Hizb ke tahap kedua.

Tahap kedua adalah tahap berinteraksi dengan masyarakat, agar umat turut memikul kewajiban menerapkan Islam serta menjadikannya sebagai masalah utama dalam hidupnya. Caranya, yaitu dengan menggugah kesadaran dan membentuk opini umum pada masyarakat terhadap ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah ditabanni oleh Hizb, sehingga mereka menjadikan ide-ide dan hukum-hukum tersebut sebagai pemikiran-pemikiran mereka, yang mereka perjuangkan di tengah-tengah kehidupan, dan mereka akan berjalan bersama-sama Hizb dalam usahanya menegakkan Daulah Khilafah, mengangkat seorang Khalifah untuk melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Pada tahap ini Hizb mulai beralih menyampai¬kan dakwah kepada masyarakat banyak secara kolektif. Pada tahap ini Hizb melakukan kegiatan-kegiatan seperti berikut:
  1. Pembinaan Tsaqafah Murakkazah (intensif) melalui halqah-halqah Hizb untuk para pengikut¬nya, dalam rangka membentuk kerangka gerakan dan memperbanyak pengikut serta mewujudkan pribadi-pribadi yang islami, yang mampu memikul tugas dakwah dan siap mengarungi samudera cobaan dengan pergolakan pemikiran, serta perjuangan politik.
  2. Pembinaan Tsaqafah Jama’iyah bagi umat dengan cara menyampaikan ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah ditetapkan Hizb, secara terbuka kepada masyarakat umum. Aktivitas ini dapat dilakukan melalui pengajian-pengajian di masjid, di aula atau di tempat-tempat pertemuan umum lainnya. Bisa juga melalui media massa, buku-buku, atau selebaran-selebaran. Aktivitas ini bertujuan untuk mewujudkan kesadaran umum di tengah masyarakat, agar dapat berinteraksi dengan umat sekaligus menyatukan¬nya dengan Islam. Juga, untuk menggalang kekuatan rakyat sehingga mereka dapat dipimpin untuk menegakkan Daulah Khilafah dan mengembalikan penerapan hukum sesuai dengan yang diturunkan Allah SWT.
  3. Ash-Shira’ul Fikri (Pergolakan Pemikiran) untuk menentang ideologi, peraturan-peraturan dan ide-ide kufur, selain untuk menentang aqidah yang rusak, ide-ide yang sesat dan pemahaman-pemahaman yang rancu. Aktivitas ini dilakukan dengan cara menjelaskan kepalsuan, kekeliruan dan kontradiksi ide-ide tersebut dengan Islam, untuk memurnikan dan menyelamatkan masyarakat dari ide-ide yang sesat itu, serta dari pengaruh dan dampak buruknya.
  4. Al-Kifaahus Siyasi (Perjuangan Politik) yang mencakup aktivitas-aktivitas:
    • Berjuang menghadapi negara-negara kafir imperialis yang menguasai atau mendominasi negeri-negeri Islam; berjuang menghadapi segala bentuk penjajahan, baik penjajahan pemikiran, politik, ekonomi, maupun militer. Mengungkap strategi yang mereka rancang, membongkar persekongkolan mereka, demi untuk menyelamatkan umat dari kekuasaan mereka dan membebaskannya dari seluruh pengaruh dominasi mereka.
    • Menentang para penguasa di negara-negara Arab maupun negeri-negeri Islam lainnya; mengungkapkan (rencana) kejahatan mereka; menyampaikan nasihat dan kritik kepada mereka. Dan berusaha untuk meluruskan mereka setiap kali mereka merampas hak-hak rakyat atau pada saat mereka melalaikan kewajibannya terhadap umat, atau pada saat mengabaikan salah satu urusan mereka. Disamping berusaha untuk menggulingkan sistem pemerintahan mereka, yang menerap¬kan perundang-undangan dan hukum-hukum kufur, yaitu dengan tujuan menegakkan dan menerapkan hukum Islam untuk mengganti¬kan hukum-hukum kufur tersebut.
5. Mengangkat dan menetapkan kemaslahatan umat, yaitu dengan cara melayani dan mengatur seluruh urusan umat, sesuai dengan hukum-hukum syara’.

Dalam melakukan semua aktivitas ini, Hizb senantiasa mengikuti jejak Rasulullah SAW, khususnya setelah turun kepada beliau firman Allah SWT:

فَـاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ و أَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala yang diperintahkan (kepadamu), dan ber¬palinglah dari orang-orang musyrik.” (Al-Hijr 94)

Ketika itu beliau langsung menampakkan risalahnya secara terang-terangan dengan mengajak orang-orang Quraisy pergi berkumpul ke bukit Shafa, kemudian menyampaikan kepada mereka bahwa sesungguhnya beliau adalah seorang nabi yang diutus, dan beliau meminta agar mereka mengimaninya. Beliau menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Quraisy sebagaimana beliau melakukannya kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy, tuhan-tuhan sesembahan mereka, keyakinan-keyakinan, dan ide-ide mereka; dengan cara menjelaskan kepalsuan, dan kerusakannya. Beliaupun mencela dan menyerang mereka sebagaimana yang beliau lakukan terhadap keyakinan-keyakinan, dan ide-ide yang ada pada saat itu.

Sedangkan ayat-ayat Al-Quran yang turun kepada beliau secara beruntun selalu terkait dengan kondisi yang ada pada saat itu. Ayat Al-Quran turun dengan menyerang kebiasaan-kebiasaan buruk mereka, seperti; memakan harta riba, mengubur hidup-hidup anak wanita, curang dalam timbangan, ataupun berzina. Ayat-ayat itu juga menyerang para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, memberinya predikat sebagai orang-orang bodoh, termasuk kepada nenek moyang mereka; disertai dengan pengungkapan terhadap persekongkolan-persekong¬kolan yang mereka rencanakan untuk menentang Rasul SAW, dakwah beliau dan para sahabat beliau.

Hizb dalam mengembangkan ide-idenya; menentang ide-ide lain (yang bertentangan dengan Islam) dan kelompok-kelompok politik (yang tak berasaskan Islam); melawan negeri-negeri kafir; atau dalam menentang para penguasa, senantiasa bersikap terbuka, terang-terangan, dan menantang, tidak berbasa-basi, berpura-pura ataupun ber¬kompromi; tidak berputar-putar dan tidak pula mementingkan keselamatan diri sendiri, tanpa memandang hasil dan keadaan yang terjadi. Hizb tetap akan menghadapi setiap hal yang bertentangan dengan Islam dan hukum-hukumnya. Suatu keadaan yang akan membawanya kepada bahaya berupa penyiksaan pedih dari para penguasa, perlawanan kelompok-kelompok politik non Islami dan para pengemban dakwah (yang bertentangan dengan Hizb), bahkan kadang-kadang menghadapi perlawanan mayoritas masyarakat.

Dalam hal ini Hizb selalu meneladani sikap Rasulullah SAW. Beliau datang dengan membawa risalah Islam ke dunia ini dengan cara yang menantang, terang-terangan, namun yakin terhadap kebenaran yang diserukannya, dan menentang kekufuran berikut ide-idenya yang ada di seluruh dunia. Beliau menyatakan perang atas seluruh manusia, tanpa memandang lagi warna kulit –baik yang hitam maupun yang putih– tanpa memperhi-tungkan adat-istiadat, agama-agama, kepercayaan-kepercayaan, para penguasa ataupun masyarakat-nya. Beliau tidak menoleh sedikit pun, kecuali kepada risalah Islam. Beliau memulai dakwahnya di tengah-tengah kaum musyrikin Quraisy, dengan menyebut tuhan-tuhan sesembahan mereka disertai celaan, menentang segala sesuatu yang menjadi keyakinan mereka dan memandang rendah sembahan mereka. Sedangkan beliau –dalam melakukan semua ini– adalah sendirian, tanpa seorang pun yang mendampinginya, tanpa senjata apapun kecuali keyakinannya yang amat mendalam terhadap risalah Islam yang dibawanya.

(Diambil dari kitab : منهج حِزبُ التحرير في التغيير)
»»  read more

Lebih Dekat dengan Hafid Abdurrahman, Ketua Umum DPP Hizbut Tahrir Indonesia : Medan Jihad Kami Adalah Kesadaran Masyarakat

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah sebuah fenomena di Indonesia. Kemunculan resminya ke publik pada tahun 2000 saat menggelar Kongres Internasional Khilafah Islamiyah di Jakarta seakan menjadi pintu masuk jutaan umat muslim yang interest terhadap perjuangan yang diusung HTI.

Hizbut Tahrir sendiri didirikan di Al-Quds (Jerussalem) pada 1953 oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (1908-1977) radhiyallahu ’anhu, seorang alim dan terhormat, pemikir besar, politisi ulung, dan hakim Mahkamah Banding di Al-Quds. Pada 1980-an, Hizbut Tahrir mulai bergerak di Indonesia, sebelum resmi bernama HTI pada 2000.

Periode lima tahun pascaresmi tampil ke publik, HTI telah menjadi kekuatan baru kelompok Islam yang kritis menyuarakan ketidakadilan dan pemberlakuan syariat Islam di muka bumi. Bahkan, saat ini, daerah penyebaran Hizbut Tahrir telah mencapai 33 provinsi di Indonesia.

Dua kali aksi sejuta umat di ibu kota (pada 2003 dan 2006) tentang pentingnya pembentukan daulah islamiyah (negara Islam yang berdaulat) dan konsep kekhilafan (kepemimpinan) sukses digelar HTI. Meski demikian, kelompok tersebut menolak dikatakan bertujuan membentuk negara Islam Indonesia. Bagaimana sebenarnya posisi gerakan itu dalam spektrum kelompok Islam di Indonesia?

Berikut rangkuman wawancara Jawa Pos dengan Ketua Umum DPP HTI Hafid Abdurrahman.


"Save Indonesia with Syariah", spanduk yang dibawa oleh massa Hizbut Tahrir lima tahun belakangan, menghiasi baik media cetak maupun elektronik dalam negeri. Sejak saat itu, tuntutan mengenai pemberlakuan syariah Islam terus dikemukakan HTI.

Terakhir, masa kelompok tersebut juga melakukan penyikapan saat Menlu AS Condolezza Rice mengunjugi Indonesia 14-15 Maret lalu. Mereka menilai kunjungan Rice itu sebagai bentuk intervensi. Selain itu, menurut HTI, krisis dan bencana telah menimpa kehidupan umat manusia selama 82 tahun karena tidak menganut sistem kekhilafahan Islam.

Di Indonesia sendiri, dengan latar belakang banyaknya kelompok Islam yang ada, Hizbut Tahrir tetap memiliki khazanah perjuangan yang khas. Dengan mengusung konsep kekhilafahan, Hizb melihat bahwa titik fundamental persoalan yang menimpa umat saat ini adalah menyangkut tidak adanya kepemimpinan yang dibentuk berdasarkan umat Islam.

"Jadi, setelah kekhalifahan di Turki runtuh, sebenarnya terdapat dua sikap yang banyak mengemuka saat itu. Mereka yang ingin berdiri sendiri dan menolak berbagai konsep yang diajukan Barat, namun ada juga yang moderat dan mengakomodasi prinsip-prinsip tersebut," ujar Hafid Abdurrahman.

Hal itu belakangan membuat kelompok-kelompok Islam memiliki berbagai pandangan tersendiri mengenai urgensi pembentukan khalifah di Indonesia. Hizbut Tahrir merupakan salah satu kelompok Islam yang konsisten mengusung isu dan kepentingan mengenai perlunya pembentukan negara Islam yang berdaulat. "Tapi, tujuan kami bukan semata ingin membentuk negara Islam Indonesia," ujarnya.

Menurut dia, dalam paradigma Hizbut Tahrir, negara Islam bukan merupakan konsep nation state. "Jadi lebih luas daripada itu, konsep khalifah tersebut harus diakui umat Islam secara internasional sehingga lebih multinasional," paparnya.

Hafid mencontohkan bahwa penyerangan Israel, Amerika Serikat, dengan sekutunya ke negara-negara Islam, seperti Afghanistan dan Palestina, menjadi hipotesis pemikiran yang berkembang di Hizbut Tahrir. Sebelumnya, banyak pemikir maupun penguasa Islam yang menghubungkan konsep kekhilafan dengan berdirinya satu negara Islam.

Selain itu, salah satu hal yang menonjol dalam kelompok Hizbut Tahrir adalah metode yang dipilih. Di antara gerakan Islam yang ada, terdapat gerakan radikal yang memilih untuk melakukan jihad fisik dengan berperang hingga gerakan liberal. Namun, Hizbut Tahrir memilih untuk berjuang mengupayakan kesadaran masyarakat.

Kelompok ini tidak akan masuk dan mengakomodasi prinsip demokrasi yang dinilai bertentangan dengan nilai Islam. Tapi, Hizbut juga tidak menyarankan jihad fisik layaknya gerakan Islam radikal yang ada.

Mengenai persoalan demokrasi, Hafid mencontohkan berbagai persoalan yang saat ini mengemuka, seperti pro kontra persoalan judi maupun RUU Antipornografi dan Pornoaksi. Itu terjadi akibat adanya kesenjangan antara logika legislasi dan kesadaran masyarakat. "Padahal, kalau dari logika Islam, semuanya jelas. Meski demikian, karena saat ini kita menganut asas demokrasi di mana terdapat freedom of speech, persoalan tersebut bisa mencuat karena adanya perbedaan persepsi tersebut," jelasnya.

Hafid juga mengemukakan bahwa Hizbut Tahrir berbeda dengan kelompok-kelompok radikal yang mengusung isu sentral mengenai jihad. "Perjuangan kami lebih pada tingkat kesadaran. Jadi, diibaratkan medan jihad, kami adalah kesadaran masyarakat," paparnya.

"Langkah kami untuk mengusung syariah dan Daulah Islamiyah tersebut lebih merupakan upaya untuk menyadarkan masyarakat. Ketika resistensi masyarakat terhadap konsep-konsep Islam tidak ada, itu bukti bahwa pemikiran Hizbut berhasil," sebutnya.

Sementara itu, ketika dikonfrontasikan dengan pendapat bahwa konsep yang diusung Islam adalah kuno dibandingkan dengan demokrasi, lulusan IKIP Malang tersebut membantahnya. "Saat Ibnu Sina menerjemahkan Republik karya Plato dan menuangkan berbagai gagasan keislaman menunjukkan bahwa demokrasi sebenarnya lebih usang. Sementara itu, dari segi ketahanan gagasan sendiri, kekhilafan Islam sudah bertahan hingga 14 abad, kalau konsep barat ini berapa lama sih?" tanyanya.

Konsep kapitalisme barat saat ini memang banyak digugat karena melanggengkan ketergantungan negara ketiga. Selain itu, pemikir-pemikir barat sudah mulai banyak yang meramalkan kebangkrutan kapitalisme. Salah satu di antaranya adalah Francis Fukuyama.

Sementara itu, menyangkut problem-problem mutakhir bangsa, Hizbut Tahrir memiliki pandangan-pandangan tersendiri. Di antaranya mengenai pengelolaan sumber daya alam yang banyak dipolemikkan. "Terutama menyangkut UU Migas 2001 yang belum sesuai dengan prinsip syariah," sebutnya.

Hafid menjelaskan, dalam Islam laiknya kepemilikan pribadi sangat dilindungi dan tidak dapat serta-merta dijadikan kepemilikan publik (umum). "Demikian juga halnya dengan kepemilikan umum yang tidak bisa diprivatkan begitu saja. Jadi, karena untuk hajat hidup orang banyak, pengelolaan tersebut dilakukan negara atau perusahaan yang dibentuk negara," jelasnya. (iwan ungsi/suyunus rizki)


Data Pribadi

Nama : Hafid Abdurrahman
Tempat Tanggal Lahir : Lamongan, 10 Juli 1971
Alamat : Jalan Mojopahit 11, Cimanggu Permai, Bogor
Istri : Siti Rofida
Anak 4 orang :
1. Fajrul Falakh
2. Salsabila
3. Zaharal Haq
4. Fachry Izzul Haq
Jabatan : Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia
Riwayat Pendidikan :
- Jurusan Bahasa Arab IKIP Malang (1994-1998)
- University of Malaya, Jurusan Akidah dan Pemikiran Islam (1998-2001)
»»  read more

Senin, 03 Agustus 2009

Pemikiran Ushul Fiqh Hizbut Tahrir

Pengantar

As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani –rahimahu-Llah— telah melakukan telaah historis yang sangat mendalam dalam kaitannya dengan sejarah usul fikih, peta pemikiran usul fikih mazhab-mazhab Islam klasik, pengaruh pemikiran kalam dan filsafat terhadap usul fikih, dan bagaimana seharusnya usul fikih sebagai kaidah berfikir tasyri’ itu dibangun. Semuanya itu telah beliau bahas dan tuangkan dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I, dalam satu bab khusus, Ushul al-Fiqh.Maka, untuk melacak peta pemikiran usul fikih yang beliau tuangkan dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz III, mau atau tidak, kita harus melakukan kajian ulang terhadap hasil telaah historis yang telah beliau lakukan sebelumnya. Khususnya analisis historis tentang peta pemikiran ushul di atas. Dengan begitu, kita akan mempunyai gambaran yang utuh tentang pemikiran ushul fikih Hizbut Tahrir.

Harus diakui, bahwa as-Syâfi’i (w. 204 H) adalah orang yang menggariskan dasar-dasar istinbât dan mensistematikakannya dengan kaidah-kaidah umum secara menyeluruh (qâ’idah ‘âmmah kulliyyah), sehingga bisa disebut sebagai peletak dasar ilmu Ushûl al-Fiqh. Mengingat, para fukaha’ sebelum as-Syâfi’i telah berijtihad, tetapi tanpa panduan istinbât yang deskriptif. Sebaliknya mereka hanya mengandalkan pemahaman mereka terhadap makna syariah, jangkauan hukum dan tujuannya, serta apa yang diisyaratkan oleh nash-nash dan tujuan-tujuan (maqâshid)-nya. Karena kebiasaan mereka mempelajari syariah dan skill mereka yang tinggi di bidang bahasa Arab menyebabkan mereka bisa mengenal dengan mudah makna-maknanya, dan memahami tujuan serta maqâshid-nya. Dalam menggali hukum, mereka biasanya mengkompromikan berbagai nash, pemahaman dan maqâshid-nya, tanpa panduan deskriptif yang dibukukan di hadapan mereka.

Kitab as-Syafi’i di bidang ushul yang paling populer adalah ar-Risâlah. Selain itu juga ada kitab Ibthâl al-Istihsân, dan Jammâ’ al-Ilm. Bahkan di dalam kitab al-Umm sendiri berisi beberapa pembahasan tentang ushul. Misalnya, dikemukakannya beberapa kaidah kulliyyah ketika membahas beberapa hukum cabang.

Sesuatu yang luar biasa dalam ushul fikih as-Syâfi’i adalah, bahwa beliau telah melakukan pembahasan ushul secara juristik (tasyrî’i), bukan silogistik (manthiqî). As-Syâfi’i benar-benar telah menjauhkan sejauh-jauhnya ushul fikih dari metode silogistik, dan terikat sepenuhnya dengan metode juristik. Beliau tidak mengembangkan fantasi dan hipotesis teoritis, namun hanya menetapkan hal-hal yang realistik dan eksis. Maka, yang menjadi ciri khas ushul fikih as-Syâfi’i adalah, bahwa ushul fikih tersebut merupakan kaidah istinbât secara mutlak. Terlepas dari metodologi tertentu, yang menjadi metodologi mazhabnya. Sebaliknya, ia cocok untuk seluruh metodologi, meski berbeda sekalipun. Ia merupakan paradigma untuk mengetahui pandangan yang sahih dan tidak, juga merupakan aturan yang menyeluruh yang harus diperhatikan ketika menggali hukum-hukum baru, sekalipun orang tersebut telah menyusun metodologinya sendiri untuk menimbang pandangan dan telah terikat dengan aturan global ketika melakukan istinbât. Ushul fikih as-Syâfi’i memang bukan hanya kaidah ijtihad bagi mazhabnya, sekalipun mazhabnya harus terikat dengannya. Ia juga tidak berisi pembelaan terhadap mazhabnya dan penjelasan tentang pandangannya. Namun, ia merupakan kaidah istinbât umum dan menyeluruh. Hal yang menjadi pendorongnya juga bukan tendensi sektarian (kemazhaban), melainkan keinginan untuk menggariskan teknik berijtihad, serta menyusun ketentuan dan deskripsi bagi para mujtahid. Lurusnya maksud dan kesahihan pemahaman beliau dalam menyusun ilmu ushul fikih itu telah mempengaruhi para mujtahid dan ulama’ pasca as-Syâfi’i, baik yang menentang maupun yang mendukung pandangan-pandangannya. Sampai mereka semuanya –dengan beragam tendensinya– memandang perlu untuk menempuh jalan yang telah dilalui oleh as-Syâfi’i, baik dalam menyusun kaidah global (al-qawâ’id al-kulliyyah) maupun langkah di bidang fikih dan istinbât berdasarkan kaidah kulliyah dan ‘âmmah tersebut. Maka, pasca beliau, fikih telah dibangun berdasarkan kerangka ushul yang tetap, bukan sebagai kelompok fatwa dan keputusan, sebagaimana kondisi sebelumnya.

Hanya saja, sekalipun semua ulama’ tersebut menapaktilasi apa yang ditinggalkan as-Syâfi’i, dari aspek pemikiran ushul fikih, namun penerimaan mereka terhadap apa yang telah dihasilkan oleh as-Syâfi’i tetap berbeda, sesuai dengan perbedaan orientasi fikih mereka. Di antara mereka ada yang mengikuti pandangan beliau, mensyarah, memperluas dan berdasarkan metodologinya berhasil menelorkan kaidah baru. Ini seperti yang dilakukan oleh para pengikut as-Syâfi’i sendiri.[1] Ada yang telah mengambil mayoritas yang dikemukakan oleh as-Syâfi’i, sekalipun ada perbedaan dalam beberapa derivat ushulnya, namun secara akumulatif tidak berbeda. Sebab, secara akumulatif, sistematika dan langkahnya tidak berbeda dengan ushul as-Syâfi’i. Ini seperti para pengikut Hanafi, dan orang yang telah menempuh langkah berdasarkan metodologinya.[2] Ada yang berbeda dengan as-Syâfi’i dalam ushul fikih ini, seperti para pengikut Zhâhiri dan Syî’ah.[3]

Inilah sejarah ushul fikih, peta pemikirannya, kaitan satu dengan yang lain, serta perbedaan masing-masing. Sayangnya, perkembangan ushul fikih pasca generasi imam mujtahid tersebut tidak diikuti dengan perkembangan ijtihad. Tidak berkembangnya ijtihad tersebut sebenarnya karena mandulnya ushul fikih sebagai kaidah ijtihad. Itu tak lain, karena ushul fikih ketika itu telah dipenuhi perdebatan kalam dan filsafat, seperti hasan-qabih (terpuji-tercela), dan syukr al-mun’im (menyukuri Dzat Pemberi nikmat). Akibatnya, ushul fikih telah kehilangan substansinya sebagai kaidah ijtihad. Puncaknya, terjadinya penutupan pintu ijtihad pada pertengahan abad ke-4 H/10 M.

Kritik dan Rumusan Ushul Fikih

Berdasarkan analisis kritis yang dikemukakan di atas, apa yang diinginkan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dengan as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz III adalah membuat rumusan ushul fikih yang bukan untuk kepentingan mazhab tertentu, sebagaimana yang telah dilakukan oleh as-Syafi’i dengan ar-Risalah, Ibthal al-Istihsan, Jamaa’ al-’Ilm dan al-Umm-nya. Karena, Hizbut Tahrir yang mengusung pemikiran ushul fikih tersebut bukanlah mazhab, dan tidak bertujuan untuk mendirikan mazhab tertentu. Khilafah yang ingin dibangun oleh Hizbut Tahrir juga bukan negara mazhab. Karena itu, ushul fikih yang diusung oleh Hizbut Tahrir ini justru didedikasikan untuk semua mazhab, dan kelak bisa menjadi pegangan bagi khalifah dalam berijtihad untuk merumuskan kebijakannya.

Sebagaimana ushul fikih yang dirumuskan oleh as-Syafi’i, pendekatan yang digunakan di dalam ushul fikih ini juga sama, yaitu metode tasyri’i (juristik), dan bukan manthiqi (silogistik). Semua yang dituangkan dalam ushul fikih ini pun merupakan perkara yang disepakati oleh kalangan ulama’ ushul sebagai syar’i, sehingga produknya pun bisa dipastikan syar’i.[4] Selain itu, substansi ushul fikih sebagai kaidah berfikir tasyri’i berhasil ditampilkan, dimana berbagai perdebatan kalam dan filsafat yang bertele-tela dan melelahkan telah dibuang.[5] Sehingga siapapun yang menelaahnya akan menemukan sebuah kaidah berfikir tasyri’i yang dia butuhkan untuk membangun pemikiran hukum.

Sistematika Pembahasan

An-Nabhani kemudian mendefinisikan ushul fikih dengan kaidah yang bisa digunakan untuk menggali hukum syara’ dari dalil-dalil tafshili (kasuistik).[6] Dengan definisi ini, sebenarnya obyek pembahasan ushul fikih meliputi dalil, hukum, dan segala hal yang terkait dengan keduanya. Karena itu, beliau sengaja tidak memasukkan pembahasan di luar kedua konteks tersebut, seperti ijtihad dan taklid, sebagaimana lazimnya kitab-kitab ushul fikih.

Hukum dan Segala yang Terkait Dengannya:

Dalam hal ini, ada empat hal yang dibahas: (1) al-Hakim (pembuat hukum), (2) al-Mahkum ‘alayh (obyek hukum), (3) al-Mahkum fih (sasaran hukum), dan (4) al-Hukm (hukum). Mengenai al-Hakim, yaitu siapa yang berhak membuat hukum? Kesimpulannya hanya Allah.[7] Sedangkan siapa yang menjadi obyek hukum (al-Mahkum ‘alayh), yang lazim disebut mukallaf? Kesimpulannya adalah semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim, dengan syarat: baligh, berakal dan mampu. Ini tentu berlaku dalam konteks khithab, dan bukan dalam konteks tathbiq. Sebab, sebagai obyek seruan (al-mukhathab), baik Muslim maupun non-Muslim sama, yaitu sama-sama terkena seruan hukum, tanpa pengecualian sedikitpun. Hanya saja, dalam tataran implementasi (tathbiq)-nya, tetap dibedakan. Mengenai sasaran hukum (al-mahkum fih)-nya, tak lain adalah af’al al-’ibad (perbuatan manusia). Adapun hukumnya sendiri bisa diklasifikasikan berdasarkan ragam seruan (khithab)-nya menjadi dua: hukm at-taklifi dan hukm al-wadh’i. Masing-masing terdiri dari wajib, haram, sunah, makruh dan mubah untuk hukm at-taklifi, sedangkan syarat, sebab, mani’, ‘azimah-rukhshah, serta sah-fasad-batal untuk hukm al-wadh’i.

Inilah empat hal yang berkaitan dengan pembahasan hukum. Selebihnya, kitab ini lebih banyak membahas tentang dalil, dan segala yang terkait dengannya.

Dalil dan Segala yang Terkait Dengannya:

Mengenai dalil, an-Nabhani, menegaskan bahwa dalil syara’ harus qath’i, karena merupakan perkara ushul, bahkan kedudukannya dalam konteks ushul fikih sangat penting. Dari sinilah, beliau memetakan dalil yang benar-benar layak disebut dalil, dan sesuatu yang diklaim sebagai dalil, padahal bukan dalil. Yang pertama adalah al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas, sedangkan yang kedua adalah Syar’u Man Qablana, Mazhab Sahabat, Istihsan, Mashalih Mursalah, dan Ma’alat al-Af’al. Khusus mengenai Maqashid as-Syari’ah, beliau tegaskan, bahwa Maqashid as-Syari’ah bukanlah dalil syariah, yang tidak bisa digunakan untuk menarik kesimpulan hukum, layaknya dalil.

Ini tentang dalil. Mengenai, bagaimana dalil tersebut digunakan untuk menarik kesimpulan hukum (kaifiyyah al-istidlal)? Maka, an-Nabhani memaparkan karakteristik dalil, yaitu al-Kitab dan as-Sunnah, sebagai dua nas yang berbahasa Arab, yang harus diketahui dan dikenali dengan cara riwayah. Dari sana lahirlah rumusan tentang ragam lafadz, seperti Mufrad (tunggal) dan Murakkab (ganda), ragam lafadz dari aspek lafadz dan maknanya, seperti Munfarid, Musytarak, Mutaradif, Haqiqah dan Majaz, serta dalalah lafadz, seperti Manthuq dan Mafhum dengan segala kriterianya.

Dalam konteks dalil, al-Kitab dan as-Sunnah, sebagai teks hukum, maka isinya bisa diklasifikasikan menjadi lima: Pertama, perintah dan larangan (al-amr wa an-nahy). Kedua, umum dan khusus (al-’am wa al-khash). Ketiga, bebas dan terikat (al-muthlaq wa al-muqayyad). Keempat, global dan deskriptif (al-mujmal wa al-mubayyan). Kelima, penghapus dan yang terhapus (an-nasikh wa al-mansukh). Masing-masing kemudian diuraikan secara mendetail.

Pada bagian akhir, an-Nabhani memasukkan pembahasan tentang at-Ta’adul wa at-Tarajih, sebagai penegasan dari penjelasan lain tentang quwaat ad-dalil dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I. Sebagai catatan tambahan, kitab ini sebenarnya banyak diilhami oleh dua karya besar ulama’ sebelumnya, yaitu al-Amidi dengan al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, dan as-Syaukani dengan Irsyad al-Fuhul-nya. Dua rujukan, yang sama-sama digunakan di kalangan pesantren tradisional NU. Wallahu a’lam.(Hafidz Abdurrahman)




[1] Yang mengikuti pandangan-pandangan as-Syâfi’i adalah para pengikut Hambali. Mereka telah mengambil ushul fikih as-Syâfi’i, sekalipun mereka berpendapat bahwa Ijma’ –yang bisa diterima– hanyalah Ijma’ Sahabat. Sementara para pengikut Mâliki, yang lahir pasca as-Syâfi’i, metodologi mereka sebenarnya sama dengan kebanyakan yang dikemukakan dalam ushul fikih as-Syâfi’i. Meskipun mereka menetapkan perbuatan penduduk Madinah sebagai hujah (dalil), dan berbeda dengan beliau dalam beberapa rincian. Mengenai mereka yang menempuh jalan as-Syâfi’i, dan mengembangkan pandangan-pandangannya adalah para pengikut mazhabnya, yang telah giat mengkaji ilmu ushul fikih dan banyak melakukan penulisan dalam bidang tersebut. Telah disusun beberapa buku di bidang ushul fikih berdasarkan metodologi as-Syâfi’i, yang masih tetap menjadi pilar dan penyangga ilmu ini. Karya orang-orang terdahulu yang paling agung dan telah dikenal adalah tiga buku: Pertama, buku al-Mu’tamad karya Abû al-Husayn Muhammad bin al-Bashri (w. 413 H); Kedua, buku al-Burhân karya Abd al-Malik bin Abdillâh al-Juwayni, yang terkenal dengan nama Imam al-Haramayn (w. 478 H); Ketiga, kitab al-Mustashfâ karya Abû Hâmid al-Ghazâli (w. 505 H). Setelah mereka muncul Abû al-Husayn ‘Alî yang terkenal dengan nama al-Amidi (w. 631 H). Beliau mengumpulkan ketiga buku ini dan memberikan beberapa tambahan dalam buku yang diberi nama al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, yang merupakan buku paling agung yang pernah disusun dalam bidang ushul fikih.

[2] Yang mengambil kebanyakan yang dikemukakan oleh as-Syâfi’i, namun berbeda dalam beberapa rincian adalah para pengikut Hanafi. Sebab, metodologi istinbât mereka sama dengan ushul fikih as-Syâfi’i, namun dalam ilmu ushul fikih tersebut mereka mempunyai kecenderungan yang terpengaruh dengan masalah derivatif (furû’). Mereka mengkaji kaidah ushul untuk digunakan mendukung masalah derivatif, sehingga mereka telah menjadikan masalah derivatif tersebut sebagai dasar; kaidah umum dibangun berdasarkan masalah derivatif, lalu digunakan untuk mendukungnya. Boleh jadi hal yang mendorong mereka mempunyai kecenderungan seperti ini adalah pembahasan mereka mengenai ushul, yaitu untuk mendukung mazhab mereka, bukan menghasilkan kaidah yang menjadi dasar istinbât mereka. Ini karena istinbât Abû Hanifah (w. 150 H), yang telah mendahului as-Syâfi’i, dan wafat pada tahun di mana as-Syâfi’i dilahirkan, tidak didasarkan pada kaidah umum yang menyeluruh. Begitu juga murid-murid yang hidup setelahnya, seperti Abû Yûsuf, Muhammad dan Zafar. Mereka belum memberi perhatian khusus untuk menyusun ushul fikih, sehingga datanglah kemudian para ulama’ mazhab Hanafi; mereka mempunyai kecenderungan untuk menggali kaidah yang bisa membantu masalah-masalah derivatif mazhab Hanafi. Jadi, kaidah tersebut datang belakangan, setelah derivatnya, dan bukan sebelumnya. Sekalipun demikian, ushul mazhab Hanafi secara keseluruhan ditelurkan dari ushul fikih as-Syâfi’i. Hal yang berbeda dengan mazhab as-Syâfi’i, seperti lafadz umum itu qath’i sebagaimana lafadz khusus, dan tidak ada ruang bagi mafhûm as-syarth dan shifat, tidak bisa men-tarjîh karena banyaknya perawi, dan sebagainya, adalah masalah furu’, bukan kaidah kulliyah. Maka, bisa dikatakan bahwa ushul fikih Hanafi dan as-Syâfi’i adalah ushul fikih yang sama. Jadi, kecenderungannya pada masalah derivatif dan perbedaan dalam beberapa rincian tidak bisa dikatakan sebagai ushul fikih yang berbeda, sebaliknya merupakan ushul fikih yang sama, dari aspek keseluruhan, keglobalan dan kaidah-kaidahnya. Bahkan, hampir anda tidak akan menemukan adanya perbedaan antara kitab ushul fikih as-Syâfi’i dengan kitab ushul fikih Hanafi. Sebaliknya, semuanya tadi merupakan ushul fikih yang sama. Kitab ushul fikih mazhab Hanafi yang paling agung adalah Ushûl al-Bazdawi atau Kanz al-Wushûl Ilâ Ma’rifat al-Ushûl, yang ditulis oleh Fakhr al-Islâm Alî bin Muhammad al-Bazdawi (w. 483 H).

[3] Sementara yang berbeda dengan ushul fikih as-Syâfi’i adalah mazhab Zhâhiri dan Syî’ah. Mereka berbeda dengan ushul fikih as-Syâfi’i dalam bebarapa pilar dasarnya, bukan hanya rinciannya. Mazhab Zhâhiri jelas menolak Qiyas, semuanya, dan mereka hanya berpijak kepada dhâhir-nya nash, bahkan apa yang disebut dengan Qiyâs Jalli pun tetap tidak mereka anggap sebagai Qiyas, melainkan mereka anggap sebagai nash. Penilaian mereka terhadap nash adalah penilaian terhadap dhâhir-nya, bukan yang lain. Imam mazhab ini adalah Abû Sulaymân Dâwûd bin Khalaf al-Asfahâni (w. 270 H). Beliau awalnya pengikut mazhab as-Syâfi’i, dan mendapat pendidikan fikih dari para pengikut as-Syâfi’i, lalu meninggalkan mazhab as-Syâfi’i dan memilih membuat mazhab sendiri, yang hanya berpijak kepada nash, kemudian mazhabnya disebut mazhab Zhâhiri. Di antara pengikutnya adalah Imâm Ibn Hazm. Beliau telah memasarkannya kepada sebagian orang, dan mereka juga telah memberikan bentuk yang brilian terhadapnya, sehingga buku-bukunya diterima, padahal buku-buku tersebut bukan buku fikih dan ushul yang berbeda dari aspek pembahasan fikih dan wajh al-istidlâl­-nya. Sedangkan Syî’ah, mereka berbeda dengan ushul fikih as-Syâfi’i dengan perbedaan yang sangat besar. Sebab, mereka telah menjadikan pernyataan para imam mereka sebagai dalil syara’, seperti al-Qur’an dan as-Sunnah. Bagi mereka, itu adalah hujah, setidak-tidaknya setelah kehujahan al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka juga menjadikan kata-kata para imam sebagai mukhashshish (penspesifik) atas as-Sunnah. Syî’ah Imâmiyyah, bahkan telah memposisikan para imam mereka berdampingan dengan as-Sunnah. Bagi mereka, ijtihad itu terikat dengan mazhab, sehingga seorang mujtahid tidak boleh menyimpang dari pandangan-pandangan mazhabnya. Artinya, mujtahid tidak boleh berijtihad yang menyimpang dari pandangan Imâm Ja’far as-Shâdiq. Mereka menolak hadits, kecuali melalui jalur para imam mereka. Mereka tidak menggunakan Qiyas (analogi). Telah diriwayatkan secara mutawatir dari para imam mereka, sebagaimana yang mereka riwayatkan dalam buku-buku mereka, bahwa jika syariat dianalogikan, maka agama ini pasti hancur.

[4] Ini, antara lain, terlihat dalam pembahasan tentang dalil. Di sini, beliau memilah, mana yang layak disebut dalil, dan bagaimana semestinya kedudukan dalil, serta mana yang diklaim sebagai dalil, sekalipun bukan dalil. Dalam rumusannya tentang dalil, an-Nabhani hanya menerima empat: al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Adapun yang lain, seperti Syar’u man qablana, Mazhab Sahabi, Mashalih Mursalah, Istihsan, dan Ma’alat al-Af’al yang diklaim sebagai dalil, dengan tegas beliau nyatakan bukan dalil. Bahkan dalam kasus Qiyas, beliau tetapkan, bahwa Qiyas yang bisa diterima adalah Qiyas Syar’i, yang ‘illat-nya dinyatakan oleh nas, bukan akal.

[5] Pembahasan hasan-qabih beliau dudukan dalam konteks al-Hakim, siapa yang berhak membuat hukum? Sedikit pun beliau tidak menyinggung perdebatan Mu’tazilah dan Ahlussunnah, tetapi langsung membuat rumusan, tiga skema hasan-qabih. Mana yang bisa ditentukan oleh akal, dan mana yang tidak, berikut alasannya. Meski kesimpulannya sama dengan al-Baqillani dan al-Iji, bahwa al-hasan ma hassanahu as-syar’u wa al-qabih ma qabbahahu as-syar’u (Terpuji adalah apa yang dinyatakan terpuji oleh syara’, dan tercela adalah yang ditercelakan oleh syara’).

[6] Dalil tafshili itu adalah dalil kasus per kasus, atau dalil kasuistik. Misalnya, dalil wajibnya shalat adalah Q.s. al-Baqarah [02]: 43, 83, dan 110. Dalil wajibnya puasa Ramadhan adalah Q.s. al-Baqarah [02]: 183. Dalam hal ini, dalil kasus shalat tidak bisa digunakan untuk dalil dalam kasus yang lain. Meskipun al-Qur’an itu sendiri berisi dalil bagi kasus-kasus yang lain. Maka, al-Qur’annya itu sendiri disebut dalil ijmali.

[7] Meski, pada saat yang sama, dalam dua konteks yang berbeda, hak akal untuk menjadi hakim tetap tidak dinafikan. Pertama, ketika menghukumi mahiyah (substansi) benda, apakah gula manis, kopi pahit, es dingin, dan seterusnya. Kedua, ketika menghukumi fakta yang sesuai dan tidaknya dengan fitrah manusia, seperti zalim buruk, adil baik, dan seterusnya.


sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2008/04/29/pemikiran-ushul-fiqh-hizbut-tahrir/
»»  read more

Jumat, 31 Juli 2009

Amir ke 3 HT

Atha Abu Ar-Rasythah, Amir Hizbut Tahrir Saat Ini
Pada tanggal 11 Shafar 1424 H atau 13 April 2003 M, ketua Diwan Mazhalim Hizbut Tahrir mengumumkan pemilihan آlim al-Ushûl (Ahli Ushul Fikih) ‘Atha Abu ar-Rasytah-Abu Yasin sebagai amir Hizbut Tahrir. Melalui kepemimpinannya, beliau adalah seorang yang sangat diharapkan dapat membawa Hizbut Tahrir untuk meraih pertolongan Allah Swt. Hal itu karena beliau memiliki perhatian yang luar biasa terhadap dakwah. Beliau juga melakukan manajemen baik atas aktivitas dakwah dan pemanfaatan potensi para syabab dengan seoptimal mungkin.

Riwayat Hidup

Beliau adalah ‘Atha bin Khalil bin Ahmad bin Abdul Qadir al-Khathib Abu ar-Rasytah. Menurut informasi yang paling kuat, beliau dilahirkan pada tahun 1362 H atau 1943 M. Beliau berasal dari keluarga dengan tingkat keberagamaan seperti masyarakat umum. Beliau dilahirkan di kampung kecil Ra’na, termasuk wilayah Provinsi al-Khalil di negeri Palestina. Ketika masih kecil, beliau menyaksikan dan merasakan bencana atas Palestina dan pencaplokan Yahudi atas Palestina pada tahun 1948 M, dengan dukungan Inggris dan pengkhinatan para penguasa Arab. Kemudian beliau dan keluarganya berpindah ke kamp para pengungsi di dekat al-Khalil.

Beliau menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di kamp pengungsian. Lalu beliau menyelesaikan pendidikan SMU dan memperoleh ijazah Tsanawiyah al-Ula (menurut jenjang di Yordania) dari Madrasah al-Husain bin Ali ats-Tsanawiyah di al-Khalil pada tahun 1959 M. Kemudian beliau memperoleh ijazah ats-Tsanawiyah al-Amah (menurut panduan sistem pendidikan Mesir) pada tahun 1960 di Madrasah al-Ibrahimiyah di al-Quds asy-Syarif. Setelah itu, beliau bergabung dengan Universitas Kairo Fakultas Teknik pada tahun pelajaran 1960-1961 M. Beliau memperoleh ijazah insinyur dalam bidang teknik sipil dari Universitas Kairo pada tahun 1966 M. Setelah lulus dari Kairo, beliau bekerja sebagai insinyur di beberapa negara Arab. Beliau memiliki karya dalam bidang teknik sipil, yaitu Al-Wasîth fî Hisâb al-Kamiyât wa Murâqabah al-Mabânî wa ath-Thuruq (Metode Penghitungan Kuantitatif dan Monitoring Bangunan dan Jalan).

Beliau bergabung ke dalam Hizbut Tahrir semasa pendidikan menengah sekitar pertengahan tahun lima puluhan. Dalam perjuangan di jalan Allah, beliau pernah dipenjara beberapa kali di penjara-penjara para penguasa zalim. Beliau terus menjadi pengemban dakwah dalam barisan Hizbut Tahrir dalam seluruh tingkatan organisasi dan administrasi: sebagai dâris, anggota, musyrif, nâqib mahaliyah, anggota wilâyah, mu’tamad, juru bicara resmi, dan anggota maktab al-amir. Sejak 11 Shafar 1424 H atau 13 April 2003 M, atas izin Allah, beliau terpilih untuk memikul tampuk kepemimpinan Hizbut Tahrir. Beliau senantiasa memohon kepada Allah agar memberikan pertolongan kepadanya untuk mengemban amanah besar tersebut.

Beberapa karyanya dalam bidang keislaman adalah sebagai berikut:

1. Tafsir surah al-Baqarah dengan judul, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûrah al-Baqarah (Pokok-Pokok Tafsir Praktis–Surat al-Baqarah.

2. Kajian beliau dalam bidang Ushul Fikih, yaitu Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl (Cara Mudah untuk Menguasai Ushul Fikih).

3. Sejumlah boklet:

a. Al-Azmât al-Iqtishâdiyah: Wâqi‘uhâ wa Mu‘âlajâtuhâ min Wijhah Nazhari al-Islâm (Krisis Ekonomi: Realita dan Solusinya Menurut Pandangan Islam).b. Al-Ghazwah ash-Shalîbiyah al-Jadîdah fî al-Jazîrah wa al-Khalîj (Perang Salib Baru di Jazirah Arab dan Teluk).c. Siyâsah at-Tashnî’ wa Binâ’ ad-Dawlah Shinâ’iyan (Politik Industrialisasi dan Pembangunan Negara Industri).Hizbut Tahrir pada masanya hingga sekarang telah mengeluarkan sejumlah buku, antara lain:

1. Min Muqâwimât an-Nafsiyah al-Islâmiyah (Pilar-Pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah).2. Qadhâyâ Siyâsiyah Bilâd al-Muslimîn al-Muhtallah (Masalah-Masalah Politik–Negeri-Negeri Kaum Muslim yang Terjajah).3. Revisi dan perluasan atas buku Mafâhîm Siyâsiyah li Hizb at-Tahrîr (Konsepsi-Konsepsi Politik Hizbut Tahrir).4. Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah (Struktur Negara Khilafah–Pemerintahan dan Administrasi)5. Revisi dan penyempurnaan atas Masyrû’ ad-Dustûr Dawlah al-Khilâfah (Rancangan Konstitusi Daulah al-Khilafah); dikeluarkan pada tahun 2006.Beliau senantiasa memohon kepada Allah Swt. pertolongan dan bantuan untuk melaksanakan amanah dakwah menurut arahan yang dicintai oleh-Nya dan Rasul-Nya saw. Beliau juga senantiasa memohon kepada Allah Swt. agar membukakan melalui kedua tangannya jalan berdirinya Daulah Khilafah Rasyidah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Memenuhi Doa.

Di antara aktivitas brilian dan sangat menarik perhatian pada masanya adalah, bahwa Hizb pada tanggal 28 Rajab 1426 H atau 2 September 2005 M menyampaikan seruan kepada kaum Muslim berkaitan dengan aktivitas untuk mengingatkan bencana besar berupa hancurnya Khilafah 84 tahun sebelum seruan tersebut dikumandangkan. Hizbut Tahrir telah mengumandangkan seruan itu kepada kaum Muslim setelah shalat Jumat pada hari itu dimulai dari Indonesia dengan berbagai kotanya di sebelah timur hingga Maroko di tepian lautan Atlantik di sebelah barat. Seruan itu telah memberikan pengaruh yang sangat baik. Demikian pula sejumlah aktivitas Hizb dalam menggemakan seruan kebenaran di berbagai konferensi, di berbagai medan aktivitasnya dan berbagai forum yang diselenggarakannya.

Dalam tiga tahun masa kepemimpinannya, Hizb sekarang telah dipenuhi dengan kebaikan.

Kami memohon kepada Allah Swt. agar semakin memperluas dan menambah kebaikan itu, sebagaimana berita gembira pertolongan dan kemenangan telah mulai bergema atas seizin Allah Swt. kepada Hizb bersama amir Hizb saat ini. Hal itu semakin membentangkan harapan akan terealisasinya masa ini sebagai masa terealisasinya pertolongan dan kemenangan atas izin Allah Swt.

Di antara hal yang tampak menonjol dalam diri amir Hizb sekarang adalah kewaraannya dan kuatnya beliau berpegang pada syariah; juga keteguhan dan keilmuannya. Beliau telah mengambil manfaat besar dari berbagai posisi penanggung jawab berbeda yang pernah beliau emban dalam menejemen aktivitas Hizb, khususnya posisi sebagai juru bicara resmi, muktamad, dan anggota maktab amir terdahulu. Hal itu menjadikannya dapat memimpin Hizb. Beliau betul-betul mengetahui tugas, monitoring dan aktivitas yang dituntut setiap posisi penanggung jawab. Oleh karena itu, para syabab Hizb seakan dapat melihat amir mereka ada bersama mereka, memimpin mereka hingga dalam masalah rinci. Hal ini menjadikannya dapat memanfaatkan kemampuan para syabab dengan pemanfaatan paling optimal.

****

Demikianlah, dari Masjid al-Aqsha yang diberkahi, telah diumumkan bertolaknya aktivitas Hizbut Tahrir pada awal tahun 50-an abad yang lalu. Hizbut Tahrir telah menggariskan target utama, yakni mendirikan Khilafah Rasyidah. Al-’Alim al-‘’Allâmah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullâh terus memegang tampuk kepemimpinan Hizb hingga ketika beliau wafat setelah sekitar 25 tahun kepemimpinan beliau atas Hizb.

Setelah itu al-’Alim al-Kabîr Syaikh Abdul Qadim Zallum memegang kepemimpinan Hizb sejak tahun 1977 M. Aktivitas Hizb pada masanya menjadi besar karena bertambah banyaknya jumlah anggota Hizb. Tangan Hizb juga meluas mencapai banyak negara di dunia. Hizb berhasil mengorganisasi dan menghimpun ribuan syabab Muslim. Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullâh wafat dalam usia lebih dari 80 tahun setelah beliau memegang tampuk kepemimpinan Hizb sekitar 25 tahun.

Setelah beliau, sejak tahun 2003 M kepemimpinan Hizb dipegang oleh salah seorang ulama Hizb yang paling menonjol, seorang ahli ushul fikih, yaitu ‘Atha Abu ar-Rasytah, untuk membawa Hizb bertolak dengan kuat, beraktivitas untuk memetik buah dari tanaman yang telah ditanam, dipelihara dan dibesarkan pada masa dua orang syaikh sebelumnya. Alangkah baiknya apa yang ditambahkan beliau terhadap tanaman yang telah tumbuh dengan baik setelah kepemimpinan dua orang syaikh rahima-humâllâh.

Ungkapan paling indah yang bisa dikatakan tentang kepemimpinan ketiga amir Hizb adalah ungkapan yang sangat baik yang diungkapan oleh salah seorang syabab Hizb: Mereka adalah tiga orang amir. Di tangan mereka Allah Swt. telah dan akan menyempurnakan tiga perkara: tiga orang amir yang menyempurnakan tiga periode:

Periode pendirian dan pembentukan kelompok politik.
Periode aktivasi dan pengumuman.
Periode meraih kemenangan dan dengan izin Allah Swt. pertolongan dan kemenangan akan terealisasi.

Amin.

Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2007/05/20/atha-abu-ar-rasythah-amir-hizbut-tahrir-saat-ini/

»»  read more

Amir ke 2 HT

Al-’Alim al-Kabir Syeikh Abdul Qadim bin Yusuf bin Abdul Qadim bin Yunus bin Ibrahim

Beliau adalah Al-’Alim al-Kabir Syeikh Abdul Qadim bin Yusuf bin Abdul Qadim bin Yunus bin Ibrahim. Syeikh Abdul Qadim Zallum lahir pada tahun 1342H (1924M). Menurut pendapat paling kuat, beliau lahir di Kota al-Khalil, Palestin. Beliau berasal dari keluarga yang dikenal luas dan terkenal kecerdasannya. Ayah beliau -rahimahullah- adalah salah seorang dari para penghafal al-Quran. Beliau membaca al-Quran di luar kepala hingga akhir hayat beliau. Ayahanda Syeikh Zallum bekerja sebagai guru pada masa Daulah al-Khilafah Utsmaniyah.

Paman ayahanda beliau, iaitu Syaikh Abdul Ghafar Yunus Zallum, adalah Mufti al-Khalil pada masa Daulah al-Khilafah Utsmaniyah. Keluarga Syeikh Zallum termasuk keluarga yang memelihara dan mengurus Masjid al-Ibrahimi al-Khalil. Mereka termasuk keluarga yang memelihara peninggalan Nabi Ya’qub as. Keluarga Zallum adalah orang-orang yang menjunjung ilmu di atas mimbar-mimbar pada hari Jumaat (menjadi Khathib solat Jumaat) dan hari raya. Mereka adalah orang-orang yang menebar ilmu di berbagai musim dan perayaan. Dulu Daulah Utsmaniyah mengagih-agihkan tugas mengurus masjid al-Ibrahimi kepada keluarga-keluarga terkenal di al-Khalil. Adalah suatu kehormatan dan kemuliaan bagi keluarga-keluarga itu mendapat tugas mengurus Masjid al-Ibrahimi al-Khalil. Syeikh Abdul Qadim Zallum membesar dan berkembang di kota al-Khalil hingga mencapai usia 15 tahun.

Beliau menempuh pendidikan dasar di Madrasah al-Ibrahimiyah di al-Khalil. Kemudian ayahanda beliau -rahimahullah- memutuskan untuk mengirim beliau ke al-Azhar asy-Syarif untuk mempelajari fikih, agar menjadi pengembangnya dan menjadi sebahagian dari orang-orang yang menyeru kepada Allah SWT. Setelah beliau genap berusia 15 tahun, ayahanda beliau mengirimkan beliau ke Kaherah, yakni ke Universiti al-Azhar. Hal itu terjadi pada tahun 1939M. Beliau memperoleh ijazah al-Ahliyah al-غlâ pada tahun 1942M. Berikutnya, beliau memperoleh ijazah Pendidikan tinggi (Syahadah al-Aliyah) Universiti al-Azhar pada tahun 1947. Kemudian beliau memperoleh Ijazah al-Alamiyah dalam bidang keahlian al-Qadha’ (peradilan) -seperti ijazah kedoktoran sekarang- pada tahun 1368H (1949M). Selama perang Palestin-Israel, Syeikh Zallum beraktiviti menghimpun para pemuda dan kembali dari Mesir untuk berjihad di Palestin. Namun, ketika beliau kembali, perdamaian telah diumumkan dan perang telah pun berhenti. Oleh sebab itu, beliau tidak berkesempatan berjihad di Palestin meski beliau telah bertekad untuk itu.

Beliau dicintai oleh rakan-rakan sejawat beliau di Universiti al-Azhar. Mereka memanggil beliau “al-malik”, hal itu kerana beliau sangat menonjol dalam pelajaran beliau. Ketika kembali ke al-Khalil pada tahun 1949M, beliau bekerja dalam bidang perguruan. Beliau diangkat menjadi guru di Madrasah Bait al-Lahem selama beberapa tahun. Kemudian beliau pindah ke al-Khalil pada tahun 1951 dan bekerja sebagai guru di Madrasah Usamah bin Munqidz. Syeikh Zallum berjumpa dengan Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah pada tahun 1952. Lalu Syeikh Zallum pergi ke al-Quds untuk bergabung dengan Syeikh Taqiyuddin dan melakukan kajian serta berdiskusi seputar masalah parti (Hizb). Beliau telah bergabung dengan Hizbut Tahrir sejak awal mula aktiviti Hizb. Beliau menjadi anggota qiyadah Hizb sejak tahun 1956M. Beliau adalah seorang jurucakap yang ulung, sekali gus dicintai oleh masyarakat. Beliau menyampaikan kuliah sebelum solat Jumaat di masjid al-Ibrahimi di ruang yang disebut al-Yusufiyah. Kuliah itu dihadiri oleh ramai orang. Kemudian beliau juga menyampaikan kuliah setelah solat Jumaat di masjid yang sama di ruang yang disebut ash-Shuhn. Kuliah ini juga dihadiri oleh ramai orang. Ketika diumumkan (berita) pilihan raya anggota parlimen pada tahun 1954M, beliau mencalonkan diri di Kota al-Khalil. Begitu juga pada tahun 1956. Akan tetapi, di kedua-dua pilihan raya itu beliau gagal, kerana penipuan yang berupa pemalsuan keputusan pilihan raya yang dilakukan oleh negara. Beliau pernah ditangkap dan dimasukkan ke penjara al-Jafar ash-Shahrawi (penjara al-Jafar ash-Shahrawi adalah penjara di padang pasir yang berada di al-Jafar, suatu desa yang bersempadan dengan Desa Ma’an di bagian selatan Yordania. Penjara ini khusus untuk para tahanan politik). Beliau menempati penjara itu selama beberapa tahun sehingga Allah memberikan pertolongan dengan pembebasan beliau.

Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullah benar-benar merupakan seorang pembantu yang amat dipercayai oleh amir pendiri Hizbut Tahrir (Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah) dan menjadi salah satu anak panah di busur amir pendiri Hizb. Syeikh Taqiyuddin sering mengutus Syeikh Zallum untuk beberapa tugas besar dan beliau tidak ragu sedikit pun. Syeikh Zallum rahimahullah lebih mengedepankan dakwah daripada keluarga, anak-anak, dan kenikmatan-kenikmatan dunia yang berlimpah. Hari ini anda melihat beliau di Turki, besok di Iraq, lusa di Mesir, tulat di Lebanon, kemudian di Jordan dan selepas itu di tempat-tempat lain lagi. Di mana sahaja amir beliau, iaitu Syeikh Taqiyuddin rahimahullah meminta Syeikh Zallum, maka Syeikh Zallum selalu berada di sisi amir dan siap melaksanakan kebenaran (al-haq). Salah satu misi Syeikh Zallum di Iraq adalah misi yang sangat penting yang tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang pilihan di antara orang-orang pilihan. Beliau melaksanakan misi itu sesuai taklif perintah amir Hizb, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani. Kondisi beliau di sana (Iraq) atas izin Allah sungguh mulia. Ketika amir pendiri Hizb, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah wafat, Syeikh Zallum terpilih untuk memegang amanah sesudahnya. Beliau memikul amanah ini dan menjalankannya dari satu dataran tinggi ke dataran tinggi yang lain. Beliau lantang berdakwah. Di bawah kepimpinannya, medan dakwah Hizbut Tahrir pun semakin meluas hingga mencapai Asia Tengah dan Asia Tenggara. Bahkan arena dakwah bergema di benua Eropah dan juga benua lainnya. Hizbut Tahrir benar-benar mengalami proses peluasan pada zaman kepimpinan Syeikh Zallum -rahimahullah-.

Pada akhir masa al-Alim Syeikh Abdul Qadim Zallum ini, terjadi fitnah di dalam tubuh Hizb, iaitu ketika syaitan-syaitan berhasil menyelinap masuk dan membisikkan ke dalam fikiran sekelompok anggota. Mereka lalu ‘memanfaatkan’ kelembutan peribadi Syeikh Zallum dan menjalankan misi mereka secara rahsia (dari dalam). Mereka berusaha membengkokkan Hizb dari perjalanan lurus yang ditempuhinya selama ini. Walaupun berlaku goncangan yang hebat dalam parti, namun, berkat kebijaksanaan dan ketegasan Syeikh Zallum dan dengan pertolongan Allah, usaha-usaha kelompok tersebut berjaya dipatahkan. Tubuh Hizb pun kembali sembuh dan malah ia pulih dengan menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Al-Alim Syeikh Abdul Qadim Zallum rahimahullah terus mengembang dakwah dan memegang kepemimpinan Hizb hingga mencapai usia lebih kurang 80 tahun. Ketika itu, beliau telah pun menghabiskan selama dua pertiga dari usia beliau untuk jalan dakwah dan telah memimpin Hizb sekitar dua puluh lima tahun. Selama hidupnya, beliau telah menjadi pembantu yang dipercayai oleh amir pendiri Hizb, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, dan setelah kurang lebih 25 tahun menjadi amir Hizb, maka beliau lalu mengundurkan diri dari kepemimpinan Hizb. Setelah itu Hizbut Tahrir menyaksikan pemilihan amir yang baru. Begitulah apa yang terjadi.

Syeikh Zallum mengundurkan diri dari kepemimpinan Hizb pada hari Isnin tanggal 14 Muharram 1424H (17 Mac 2003M). Sekitar 40 hari setelah itu, Al-Alim Syeikh Abdul Qadim Yusuf Zallum rahimahullah meninggal di Beirut pada malam Selasa tanggal 27 Safar 1423H (29 April 2003M) pada usia lebih kurang 80 tahun. Majlis takziah diselenggarakan di Dewan (rumah utama) Abu Gharbiyah asy-Sya’rawi di al-Khalil. Di kala itu Kota al-Khalil belum pernah menyaksikan pemandangan sedemikian di mana masyarakat dari berbagai kota dan desa mengirimkan para utusan, para penyair, para jurucakap dan orang ramai yang berduyun-duyun datang mengirimkan ucapan takziah dalam bentuk syair dan kalimat-kalimat belasungkawa. Deringan telefon susul-menyusul menyampaikan kepada semua yang hadir kalimat duka dan belasungkawa sama ada dari Sudan, Kuwait, berbagai penjuru Eropa, Indonesia, Amerika, Jordan, Mesir dan dari berbagai penjuru dunia lainnya. Hal yang sama juga terjadi di majlis takziah yang diselenggarakan di Amman dan beberapa tempat lainnya.

Selama hidupnya, Syeikh Zallum rahimahullah senantiasa menyampaikan Islam dan istiqamah berjalan di dalam kebenaran. Beliau tidak takut sedikit pun di jalan Allah terhadap celaan orang-orang yang suka mencela. Beliau terus melakukan aktiviti tanpa kenal penat dan lelah dan tidak pernah bersikap lemah di jalan dakwah. Beliau dikenal tawadhu’, berakhlak mulia, lemah lembut dan dihormati ramai orang. Beliau juga dikenal banyak melakukan qiyam al-lail dan sering menangis saat sedang membaca ayat-ayat al-Qur’anul kareem. Beliau terkenal dengan kesabaran dan kekuatan syaksiyah di jalan dakwah. Beliau sering diburu dan dikejar oleh penguasa-penguasa yang zalim hingga Allah SWT memanggilnya ke haribaanNya. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmatNya yang Maha Luas.

Di antara karya beliau dan buku-buku yang dikeluarkan Hizbut Tahrir pada masa beliau adalah:-

  1. Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Harta kekayaan Dalam Daulah Khilafah).
  2. Perluasan dan revisi atas kitab Nizham al-Hukm fi al-Islam (Sistem Pemerintahan Islam) karya Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani.
  3. Ad-Dimuqrathiyah Nizhamul Kufr (Demokrasi Adalah Sistem Kufur)
  4. Hukm asy-Syar’i fi al-Istinsakh wa Naql al-A’dha’ wa Umur Ukhra (Hukum Syariah dalam Masalah Kloning, Pemindahan Organ dan Masalah Lainnya).
  5. Manhaj Hizb at-Tahrir fi Taghyir (Metode Hizbut Tahrir dalam Melakukan Perubahan Total)
  6. At-Ta’rif bi Hizb at-Tahrir (Mengenal Hizbut Tahrir).
  7. Al-Hamlah al-Amirikiyah li al-Qadha’ ‘ala al-Islam (Serangan Amerika untuk Menghancurkan Islam).
  8. Al-Hamlah ash-Shalibiyah li Jurj Busy ‘ala al-Muslimin (Serangan Salib George Bush untuk Menghancurkan Kaum Muslimin).
  9. Hazat al-Aswaq al-Maliyah (Kegoncangan Pasar Modal).
  10. Hatmiyah Shira’ al-Hadharat (Kenescayaan Benturan Antar Peradaban)
»»  read more

Pendiri HT

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang âlim allâmah (berilmu dan sangat luas keilmuannya). Beliau adalah pendiri Hizbut Tahrir. Nama lengkapnya adalah Syaikh Taqiyuddin bin Ibrahim bin Mushthafa bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani. Nasab beliau bernisbat kepada kabilah Bani Nabhan, salah satu kabilah Arab Baduwi di Palestina yang mendiami kampung Ijzim, distrik Shafad, termasuk wilayah kota Hayfa di Utara Palestina.

Syaikh lahir di kampung Ijzim. Menurut pendapat yang paling kuat, beliau lahir pada tahun 1332 H – 1914 M. Beliau dilahirkan di gudang ilmu dan keagamaan yang terkenal dengan kewaraan dan ketakwaannya. Ayah beliau adalah Syaikh Ibrahim, seorang syaikh yang faqih dan bekerja sebagai guru ilmu-ilmu syariah di kementerian Pendidikan Palestina. Ibunda beliau juga memiliki pengetahuan yang luas tentang masalah-masalah syariah yang diperoleh dari ayahandanya, yaitu Syaikh Yusuf.

Syaikh Yusuf, seperti yang dimuat di dalam buku ­At-Tarâjum adalah: Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad an-Nabhani asy-Syafi‘i, Abu al-Mahasin, seorang sastrawan, penyair dan sufi. Beliau termasuk qadhi senior. Beliau memangku jabatan sebagai qâdhî di Qishbah Jenin, termasuk provinsi Nablus. Beliau berpindah ke Konstantinopel. Lalu beliau diangkat menjadi qâdhî di Kiwi Sanjaq, termasuk provinsi Moushul. Berikutnya beliau menjabat sebagai kepala Mahkamah al-Jaza’ di Ladzaqiyah, kemudian di al-Quds. Lalu beliau menjabat kepala Mahkamah al-Huquq di Beirut. Beliau memiliki banyak karya yang jumlahnya mencapai 48 buah karya (buku).

Lingkungan tumbuh itu memberikan pengaruh besar kepada pembentukan kepribadian islami Syaikh Taqiyuddin. Beliau telah menghapalkan al-Qur’an seluruhnya pada usia belia sebelum genap berusia 13 tahun. Syaikh Taqiyuddin dipengaruhi oleh ketakwaan dan kesadaran kakek beliau dari pihak ibu dan mengambil banyak manfaat dari keilmuan sang kakek yang luas. Syaikh Taqiyuddin juga mendapatkan kesadaran politik pada usia yang sangat muda, khususnya dalam masalah-masalah politik penting. Sebab, kakek beliau memiliki penguasaan atas masalah-masalah politik karena hubungan dekatnya dengan para pejabat pemerintahan di Daulah Ustmaniyah. Syaikh Taqiyuddin juga mendapat faedah dari menghadiri majelis-majelis dan diskusi-diskusi fiqhiyyah yang diselenggarakan oleh kakek beliau, Syaikh Yusuf. Kecerdasan dan kejeniusan Taqiyuddin selama keikutsertaan beliau di majelis-majelis ilmu itu telah menarik perhatian sang kakek. Kakek beliau sangat manaruh perhatian terhadap hal itu. Sang kakek akhirnya meyakinkan ayahanda beliau akan pentingnya mengirim beliau untuk belajar di al-Azhar guna melanjutkan pendidikan syar‘i.

Keilmuan dan Pendidikan Beliau

Syaikh Taqiyuddin bergabung dengan Tsanawiyah al-Azhariyah pada tahun 1928. Beliau lulus pada tahun itu juga dengan peringkat excelent dan mendapat ijazah al-Ghuraba. Sesudah itu beliau melanjutkan ke Kuliyah Dar al-Ulum yang merupakan cabang al-Azhar. Pada saat yang sama beliau juga mengikuti halqah-halqah ilmiah di al-Azhar asy-Syarif, yaitu mengikuti halqah para syaikh yang ditunjukkan oleh kakek beliau, seperti Syaikh Muhammad al-Hadhari Husain rahimahullâh. Hal itu bisa beliau lakukan karena sistem pendidikan al-Azhar dulu membolehkan yang demikian. Meski Syaikh Taqiyuddin secara bersamaan menempuh pendidikan di al-Azhar dan di Darul Ulum, beliau tampak menonjol dan istimewa dalam keseriusan dan kesungguhan beliau. Hal itu menarik perhatian para sejawat dan pengajar beliau ketika mereka mengetahui kedalaman pemikiran, keunggulan pendapat dan kekuatan argumentasi beliau dalam berbagai diskusi dan dalam forum pemikiran yang memenuhi ma‘had-ma‘had keilmuan pada waktu itu di Kairo dan di negeri-negeri kaum Muslim lainnya.

Ijazah yang beliau peroleh adalah ijazah Tsanawiyah al-Azhariyah, ijazah al-Ghuraba’ dari al-Azhar, Diploma dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab dari Universitas Darul Ulum di Kairo. Beliau juga mendapatkan ijazah dari Sekolah Tinggi Peradilan Syariah yang menjadi cabang dari al-Azhar, yaitu ijazah dalam masalah Peradilan. Kemudian beliau keluar dari al-Azhar pada tahun 1932 dan meraih ijazah al-Alamiyah—sekarang setingkat doktor—dalam masalah syariah.

Bidang-Bidang Aktivitas Beliau

Syaikh Taqiyuddin bekerja dalam bidang pengajaran syariah di kementerian pendidikan hingga tahun 1938. Pada tahun itu beliau beralih untuk beraktivitas di bidang peradilan syariah. Secara gradual beliau meniti karir di bidang peradilan syariah itu. Beliau memulainya dengan menjabat kepala sekretaris Mahkamah Haifa Pusat. Kemudian beliau naik jabatan menjabat asisten qadhi, kemudian menjabat qadhi Mahkamah Ramalah hingga tahun 1948. Pada tahun itu beliau keluar ke Syam akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi. Pada tahun itu juga beliau kembali untuk menjabat qadhi Mahkamah Syariah al-Quds. Setelah itu, beliau diangkat menjadi qadhi di Mahkamah Banding Syariah (Mahkamah al-Isti’nâf asy-Syar’iyah) hingga tahun 1950. Kemudian beliau mengundurkan diri dan beralih untuk memberikan ceramah kepada para mahasiswa tingkat dua di Fakultas Ilmu Islam (Al-Kuliyah al-’Ilmiyah al-Islâmiyah) di Amman hingga tahun 1952. Beliau—rahimahullâh—bagaikan samudera ilmu. Beliau adalah seorang yang sangat luas pengetahuan-nya dalam berbagai bidang keilmuan. Beliau adalah mujtahid mutlaq sekaligus seorang pembicara yang memiliki argumentasi yang kuat.

Karya-Karya Beliau

1. Nizhâm al-Islâm (Peraturan Hidup Islam).

2. At-Takattul al-Hizbiy (Pembentukan Partai Politik).

3. Mafâhîm Hizb at-Tahrîr (Konsepsi-Konsepsi Hizbut Tahrir).

4. Nizhâm al-Iqtishâd fî al-Islâm (Sistem Ekonomi Islam).

5. Nizhâm al-Ijtimâ‘i fî al-Islâm (Sistem Pergaulan Islam).

6. Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm (Sistem Pemerintahan Islam).

7. Ad-Dustûr (Konstitusi).

8. Muqaddimah ad-Dustûr (Pengantar Konstitusi).

9. Ad-Dawlah al-Islâmiyah (Negara Islam).

10. Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah (Kepribadian/Jati Diri Islam) tiga juz.

11. Mafâhîm Siyâsiyah li Hizb at-Tahrîr (Konsepsi-Konsepsi Politik Hizbut Tahrir).

12. Nazharât Siyâsiyah (Pandangan-Pandangan Politik).

13. Nidâ’ Hâr (Seruan Hangat).

14. Al-Khilâfah (Khilafah).

15. At-Tafkîr (Hakikat Berpikir).

16. Sur‘ah al-Badîhah (Kecepatan Berpikir).

17. Nuqthah al-Inthilâq (Titik Tolak).

18. Dukhûl al-Mujtama’ (Terjun ke Masyarakat).

19. Tasalluh Mishra (Peningkatan Kekuatan Senjata Mesir).

20. Al-Ittifâqiyât ats-Tsinâ’iyah al-Mishriyah as-Sûriyah wa al-Yamaniyah (Kesepakatan-kesepakatan Bilateral Mesir-Suriah dan Mesir-Yaman).

21. Hall Qadhiyah Filisthîn ’alâ ath-Tharîqah al-Amirikiyah wa al-Inkilîziyah (Solusi Masalah Palestina ‘ala Amerika dan Inggris).

22. Nazhariyah al-Firâgh as-Siyâsî Hawla Masyrû‘ Ayzinhâwir (Pandangan Kevakuman Politis Seputar Proyek Izenhouwer).

Di samping itu, beliau menulis ribuan leaflet pemikiran, politik dan ekonomi. Beliau juga mengeluarkan sejumlah buku menggunakan nama anggota Hizbut Tahrir untuk memudahkan distribusinya. Hal itu setelah adanya undang-undang yang melarang pendistribusian buku-buku beliau. Di antara buku itu adalah:

1. As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ (Politik Ekonomi Yang Agung).

2. Naqdh al-Isytirâkiyah al-Maraksiyah (Kritik atas Sosialisme-Marxis).

3. Kayfa Hudimat al-Khilâfah (Bagaimana Khilafah Dihancurkan).

4. Ahkâm al-Bayyinât (Hukum-hukum Pembuktian).

5. Nizhâm al-‘Uqûbât (Sistem Sanksi dan Pidana).

6. Ahkâm ash-Shalâh (Hukum-hukum Shalat).

7. Al-Fikr al-Islâmiy (Pemikiran-Pemikiran Islam).

Sebelum mendirikan Hizbut Tahrir, beliau telah mengeluarkan buku Inqâdz Filizthîn (Membebaskan Palestina) dan Risâlah al-‘Arab (Misi Arab).

Sifat-Sifat dan Akhlak Beliau

Ustadz Zuhair Kahalah, yang bekerja sebagai direktur administratif Fakultas Ilmu-ilmu Islam (Al-Kuliyah al-‘Ilmiyah al-Islâmiyah) yang senantiasa menyertai Syaikh Taqiyuddin sejak beliau menginjakkan kaki di Fakultas, pernah berkata, “Syaikh Taqiyuddin adalah seorang yang adil dan lurus, mulia dan bersih. Beliau adalah seorang yang mukhlis, memiliki energi yang eksplosif. Beliau sangat marah dan sekaligus sedih terhadap apa yang menimpa umat akibat ditanamkannya institusi Yahudi di jantung umat.

Beliau memiliki perawakan sedang, berbadan tegap, penuh semangat, tidak temperamental, ahli dalam berdebat, memiliki argumentasi yang kuat, dan berpegang teguh dengan apa yang beliau yakini adalah haq. Beliau mempunyai jenggot yang sedang dan sebagiannya sudah memutih. Beliau memiliki kepribadian yang kuat, sangat berpengaruh (berwibawa) saat berbicara, dan meyakinkan saat memaparkan argumentasi. Beliau tidak menyukai disia-siakannya tenaga, kembali atas dasar materi, dan isolasi dari kemaslahatan umat. Beliau juga tidak suka seseorang lebih tersibukkan oleh perkara-perkara kehidupan pribadinya. Beliau berjuang demi kebaikan umat sebagai implementasi terhadap sabda Rasul Saw:

«مَنْ لَمْ يَهْتَمْ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ»

Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslim maka ia bukan bagian dari kaum Muslim.

Beliau termasuk orang yang banyak mengulang-ulang dan menukil sabda Rasul saw itu. Beliau juga berbela sungkawa terhadap (menyayangkan sikap) Imam al-Ghazali penulis buku Al-Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, yang membiarkan saja kaum salibis menyerang negeri-negeri Islam, sementara ia mencukupkan diri berdiam di masjid mengarang buku-bukunya.

Pendirian Hizbut Tahrir dan Perjalanan Beliau di Dalamnya

Syaikh Taqiyuddin mulai mengkaji secara mendalam dan menaruh perhatian besar pada partai-partai, gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi yang tumbuh sejak abad keempat hijriah. Beliau mengkaji secara mendalam cara-cara, pemikiran-pemikiran dan sebab-sebab penyebarannya ataupun kegagalannya. Beliau mengkaji partai-partai itu karena kesadaran beliau akan wajib adanya kelompok islami yang beraktivitas mewujudkan kembali Khilafah. Setelah penghancuran Khilafah melalui tangan seorang penjahat Mustafa Kamal (Attaturk) kaum Muslim belum mampu mewujudkan kembali Khilafah meski ada banyak organisasi islami yang berjuang pada waktu itu.

Ketika muncul negara Israel pada Mei 1948 di tanah Palestina, dan tampak kelemahan Arab di hadapan kelompok-kelompok kecil orang Yahudi anak asuh mandatori Inggris di Yordania, Mesir dan Irak; semua itu mempengaruhi/merangsang penginderaan Syaikh Taqiyuddin. Lalu Syaikh mulai mengkaji sebab-sebab hakiki yang dapat membangkitkan kaum Muslim. Beliau menuliskan hal itu di dua risalah yaitu Risâlah al-’Arab (Misi Arab) dan Inqâdz Filishthîn (Membebaskan Palestina); keduanya beliau keluarkan pada tahun 1950 M.

Pada saat beliau beralih beraktivitas di bidang peradilan, beliau mulai menjalin kontak dengan para ulama yang beliau kenal dan beliau jumpai saat bersama-sama di Mesir. Beliau mengajukan kepada mereka ide pendirian partai politik yang berlandaskan Islam untuk membangkitkan kaum Muslim dan mengembalikan kemuliaan dan keagungan mereka. Dalam upaya mengajukan ide tersebut, beliau berpindah-pindah di antara kota-kota di Palestina. Beliau mengajukan satu perkara yang telah mencapai kematangan dalam pemikiran beliau kepada pribadi-pribadi yang menonjol di antara para ulama dan pioner pemikiran. Untuk itu, beliau menyelenggarakan berbagai forum. Beliau mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di seluruh penjuru Palestina. Pada forum-forum itu beliau berdiskusi dengan para ulama tentang metode kebangkitan yang sahih. Beliau banyak berdiskusi dengan para aktivis berbagai kelompok dan partai-partai politik, partai-partai nasionalis dan patriotis. Beliau menjelaskan kepada mereka kesalahan jalan mereka dan kemandulan aktivitas mereka. Beliau juga memaparkan banyak masalah politik dalam ceramah-ceramah beliau dalam berbagai acara keagamaan di Masjid al-Aqsha, Masjid Ibrahim al-Khalil dan masjid-masjid lainnya. Dalam ceramah-ceramah itu, beliau menyerang sistem-sistem di Arab dengan mengatakan bahwa sistem-sistem itu adalah buatan para penjajah Barat dan sarana mereka untuk melanggengkan cengkeraman mereka terhadap negeri-negeri kaum Muslim. Di samping itu, beliau juga membongkar rencana-rencana politik negara-negara Barat. Beliau mengekspos niat busuk Barat untuk menentang Islam dan kaum Muslim. Beliau memahamkan kaum Muslim akan kewajiban mereka dan menyeru mereka untuk berpartai berlandaskan Islam.

Syaikh Taqiyuddin pernah maju dan mencalonkan diri untuk menjadi anggota parlemen. Karena sikap beliau yang lurus, kegiatan politis dan aktivitas beliau yang penuh kesungguhan untuk mendirikan partai politik yang berideologi Islam, karena sikap beliau yang berpegang secara kuat pada Islam, serta karena intervensi negara terhadap hasil Pemilu, maka hasil Pemilu tidak berpihak pada kemenangan beliau.

Kegiatan politik Syaikh Taqiyuddin tidak berhenti. Tekad beliau juga tidak padam. Beliau terus menjalin kontak dan berdiskusi sampai beliau mampu meyakinkan sejumlah orang —para ulama, qadhi terkemuka, serta mereka yang memiliki politik dan pemikiran yang menonjol— tentang pendirian partai politik berasaskan Islam. Lalu beliau mulai mengajukan kepada mereka kerangka kepartaian dan pemikiran-pemikiran yang mungkin dijadikan bekal tsaqâfiyah bagi partai itu. Pemikiran-pemikiran beliau itu mendapatkan ridha dan penerimaan dari para ulama tersebut. Puncak aktivitas politik beliau adalah dengan mendirikan Hizbut Tahrir.

Syaikh mulai beraktivitas untuk membentuk partai di kota al-Quds. Pada saat itu beliau bekerja di Mahkamah al-Istinaf asy-Syar‘iyah (Mahkamah Banding Syariah) di kota tersebut. Beliau menjalin kontak dengan beberapa tokoh di sana, di antaranya Syaikh Ahmad ad-Daur dari Qalqiliyah, Nimr al-Mishri dari al-Lad, Dawud Hamdan dari Ramalah, Syaikh Abdul Qadim Zallum dari kota al-Khalil, Dr. ‘Adil an-Nablusi, Ghanim Abduh, Munir Syaqir, Syaikh As’ad Bayoudh at-Tamimi, dan lain-lain.

Pada awalnya, pertemuan di antara para pendiri Hizbut Tahrir itu berlangsung secara acak dan tidak teratur. Mayoritasnya dilakukan di al-Quds atau di al-Khalil. Pertemuan itu dilakukan untuk saling bertukar pendapat dan untuk menarik orang-orang baru. Diskusi yang berlangsung terfokus pada masalah-masalah keislaman yang mempengaruhi kebangkitan umat. Kondisi ini terus berlangsung seperti itu hingga akhir tahun 1952 M.

Pada tanggal 17 November 1952 M, lima orang anggota pendiri Hizb menyampaikan permintaan resmi kepada Kementerian Dalam Negeri Yordania dengan maksud untuk mendapatkan izin pendirian partai politik. Kelima orang itu adalah:

1. Taqiyuddin an-Nabhani, Pemimpin Partai.

2. Dawud Hamdan, Wakil Ketua merangkap Sekretaris Partai.

3. Ghanim Abduh, Bendahara Partai.

4. Dr. Adil an-Nablusi, anggota.

5. Munir Syaqir, anggota.

Kemudian Hizb melengkapi syarat-syarat perundang-undangan yang dituntut oleh Undang-Undang Jam’iyah Utsmani. Hizb berpusat di al-Quds. Hizb mulai menyampaikan informasi dan pemberitahuan sesuai dengan undang-undang. Hizb menyampaikan penjelasan pendirian partainya kepada pemerintah dan melampirkan Anggaran Dasar Partai. Hizb juga menyiarkan status pendiriannya di Koran Ash-Sharîh no. 176, tanggal 14 Maret 1952 M. Dengan semua itu, Hizbut Tahrir telah menjadi partai resmi menurut undang-undang terhitung sejak hari Sabtu 28 Jumada ats-Tsaniyah 1372 H, bertepatan tanggal 14 Maret 1953 M. Sejak saat itu Hizb memiliki wewenang untuk langsung melaksanakan kegiatan kepartaiannya dan berhak melaksanakan semua aktivitas kepartaian yang dinyatakan di dalam angaran dasarnya. Hal itu sesuai dengan Undang-undang Jam‘iyah Utsmani yang masih berlaku saat itu.

Namun, pemerintah memanggil lima orang pendiri Hizb dan menangkap empat orang dari mereka. Kemudian pemerintah mengeluarkan penjelasan bertanggal 7 Rajab 1372 H – 22 Maret 1953 M yang menganggap Hizbut Tahrir adalah tidak legal dan melarang para aktivis Hizb untuk melakukan kegiatan kepartaian apapun. Pada tanggal 1 April 1953 M, penguasa memerintahkan pencopotan papan nama Hizbut Tahrir yang digantungkan di kantor Hizb di al-Quds, kemudian pemerintah benar-benar menanggalkannya.

Hanya saja, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tidak memperhitungkan larangan itu sama sekali. Beliau terus melangkahkan kaki dalam mengemban misi yang untuk itu Hizbut Tahrir didirikan. Ketika Dawud Hamdan dan Nimr al-Mishri keluar dari kepemimpinan (Qiyadah) Hizb pada tahun 1956 M, posisinya digantikan oleh Syaikh Abdul Qadim Zalum dan Syaikh Ahmad ad-Daur. Akhirnya, kepemimpinan Hizb terdiri dari para ulama besar itu di bawah kepemimpinan Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Qiyadah Hizb itu telah melaksanakan tugas-tugas dakwah dengan sebaik-baiknya. Semua itu berkat karunia dan keridhaan dari Allah SWT.

Dari wilayah al-Aqsha, Hizbut Tahrir mulai melakukan pembinaan umum (tatsqîf jamâ‘i) untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam. Hizb memperlihatkan kegiatan yang luas sehingga memaksa penguasa mengambil langkah-langkah yang kuat untuk melarang (menghalangi) Hizb membentuk dirinya dan memperkuat organisasinya. Syaikh an-Nabhani terpaksa harus meninggalkan al-Quds pada akhir tahun 1953 secara suka rela. Namun, Beliau dilarang kembali lagi (ke al-Quds).

Pada bulan November 1953 M, Syaikh an-Nabhani terpaksa melakukan perjalanan ke Damaskus. Beliau tinggal di sana hanya sebentar. Pemerintah Suriah menangkap beliau dan mendeportasi beliau di perbatasan Suriah-Lebanon. Namun, pemerintah Lebanon juga melarang beliau untuk memasuki tanah Lebanon. Beliau lalu meminta kepada pejabat kantor kepolisian Lebanon di Wadi al-Harir agar mengizinkan beliau melakukan kontak dengan seseorang di Lebanon yang beliau kenal. Lalu pejabat keamanan Lebanon itu mengizinkan Syaikh an-Nabhani melakukan kontak dengan sejawat beliau. Syaikh an-Nabhani meminta sejawat beliau itu agar menghubungi Mufti Syaikh Hasan al-’Alaya, mufti Lebanon. Ketika berita itu sampai kepada Syaikh al-’Alaya, maka beliau segera pergi kepada pejabat Lebanon dan memerintahkannya untuk langsung memasukkan Syaikh an-Nabhani ke tanah Lebanon. Jika tidak, Syaikh al-’Alaya akan menyebarkan berita itu di seluruh penjuru negeri yang mengklaim demokratis tetapi melarang seorang ulama agama Islam untuk menginjakkan kedua kakinya di tanah Lebanon. Tidak ada pilihan bagi penguasa Lebanon kecuali tunduk dan menerima perintah mufti Lebanon tersebut.

Sejak Syaikh Taqiyuddin berada di Lebanon, beliau mulai menyebarkan pemikiran-pemikiran beliau di sana. Beliau terus melakukan hal itu tanpa gangguan hingga kira-kira tahun 1958 ketika penguasa Lebanon mulai menekan beliau setelah mereka menyadari bahaya pemikiran-pemikiran beliau terhadap mereka. Akibatnya, Syaikh terpaksa berpindah dari Beirut ke Tripoli/Tarablus (Lebanon) secara sembunyi-sembunyi. Salah seorang yang dekat dengan beliau dan dapat dipercaya mengatakan, “Syaikh menghabiskan sebagian besar waktu beliau untuk membaca dan menulis. Radio sering berada di hadapan beliau dan beliau mendengarkan berita-berita dunia agar beliau bisa menuliskan leaflet-leaflet politik yang kuat. Syaikh adalah seorang yang takwa dalam seluruh maknanya, lembut dalam pandangan dan lisannya. Saya belum pernah mendengar satu hari pun beliau mencaci, mencela atau melecehkan seorang pun dari kaum Muslim; khususnya pengemban dakwah Islam meski mereka berbeda ijtihad (pendapat) dengan beliau.

Aktivitas thalab an-nushrah (penggalangan dukungan) Syaikh yang pertama adalah di Irak dan beliau sangat menaruh perhatian terhadapnya. Syaikh melakukan perjalanan ke Irak beberapa kali untuk tujuan tersebut. Bersama Syaikh Abdul Qadim Zallum (Abu Yusuf) yang saat itu ditugaskan di sana, Syaikh Taqiyuddin melakukan beberapa kontak penting, di antaranya kontak dengan almarhum Abdus Salam Arif dan yang lain. Perjalanan beliau yang lain adalah perjalanan beliau sebelum beliau wafat. Saat itu beliau ditangkap di Irak. Beliau banyak disiksa di sana, namun berbagai siksaan yang ditimpakan interogator itu tidak mendapatkan hasil. Semua yang Syaikh katakan adalah perkataan mengenalkan dirinya sendiri: “seorang syaikh yang sedang mencari solusi”. Lalu mereka merasa iba kepada Syaikh. Kemudian mereka mendeportasi beliau melalui perbatasan Suriah dalam keadaan tangan beliau lumpuh. Beliau sangat lemah akibat keras dan jahatnya siksaan yang dilakukan para thâghût itu kepada beliau. Pendeportasian beliau melalui perbatasan Suriah itu terjadi sebelum intelijen Yordania mendatangi pihak keamanan Irak dan mengatakan kepada mereka, “Orang yang kalian tangkap adalah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang sedang kalian cari-cari.” Akan tetapi, kesempatan itu telah hilang. Segenap pujian hanya milik Allah.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani telah mendirikan Hizbut Tahrir di atas kaki-kaki yang kokoh. Jarak ke arah tercapainya tujuan tinggal sejauh dua anak panah atau lebih dekat. Akan tetapi, bagi setiap sesuatu telah ditentukan batas waktunya (ajalnya).

Pada awal Muharram 1398 H, pada saat fajar hari Ahad bertepatan dengan tanggal 11 Desember 1977 M, umat Islam seluruhnya telah kehilangan seorang ulama di antara ulama mereka yang paling menonjol. Ia bagaikan samudera ilmu; orang yang paling terkenal di antara para fukaha pada masanya, seorang mujadid (pembaharu) pemikiran Islam abad XX, seorang fakih, mujtahid. Ia adalah al-Alim al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, amir Hizbut Tahrir, sekaligus pendirinya. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman al-Awza’i di Beirut. Allah mewafatkan beliau, sementara beliau belum mencicipi buah aktivitas beliau —yang untuk itulah beliau mencurahkan seluruh umurnya— yaitu berdirinya Daulah Khilafah Rasyidah yang berjalan berdasarkan metode kenabian. Beliau meninggalkan amanah bagi pengganti sekaligus rekan seperjuangan beliau, yaitu Al-’Alim al-Kabîr Syaikh Abdul Qadim Yusuf Zallum. Beliau pun tidak menyaksikan tujuan yang telah beliau perjuangkan dengan segenap daya untuk merealisasikannya. Namun, seluruh kesungguhan upaya beliau telah membuahkan hasil: jutaan orang telah bergabung di dalam Hizbut Tahrir dan mengemban pemikiran-pemikirannya, di samping adanya jutaan lainnya yang mendukung Hizb. Para aktivis Hizb telah tersebar di seluruh penjuru dunia dan di banyak penjara para penguasa kufur, para thâghût, dan para penguasa zalim.[]

»»  read more

Followers