Sebelum menentukan apakah zakat profesi disyariatkan atau tidak oleh
Islam, terlebih dahulu harus dipahami bahwa zakat adalah ibadah yang telah
ditetapkan tata caranya oleh syara’, baik yang berhubungan dengan
syarat-syaratnya, pihak yang wajib menunaikan serta yang berhak menerima,
jenis benda yang wajib dizakati, kadar, dan cara-cara pendistribusiannya.
Syariat Islam telah menetapkan jenis-jenis binatang yang wajib dizakati,
misalnya sapi, kambing, domba, dan onta. Tidak ada zakat untuk unggas
(burung, dan ayam), udang, jengkerik, belut dan sebagainya; meskipun
dipelihara dalam jumlah yang besar. Syariat juga telah menetapkan
jenis-jenis tanaman yang wajib dizakati. Tidak ada zakat untuk fakihah
(buah-buahan), sayur mayur, terung, lobak dan lain sebagainya (lihat Dr.
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy Adillatuh).
Akan tetapi, jika unggas, buah-buahan dan sayur-mayur tersebut dijadikan
komoditas perdagangan, maka penjual wajib membayar zakatnya. Akan tetapi,
zakat yang dikeluarkannya bukan dari zakat ternak atau zakat sayur-mayur
dan buah-buahan, akan tetapi zakat perdagangan. Tidak ada zakat bagi mobil,
maupun bangunan. Namun, jika mobil dan bangunan itu dijadikan barang
dagang, maka keduanya wajib dizakati. Sebab, kedua barang tersebut telah
dijadikan komoditas perdagangan, sehingga berlaku zakat perdagangan.
Tatkala berkomentar terhadap zakat tanaman, Hasan al-Bashriy, at-Tsauriy
dan Imam Sya’bi berpendapat bahwa tidak wajib zakat kecuali pada
jenis-jenis yang empunyai keterangan yang tegas yaitu: gandum, padi,
biji-bijian, kurma dan anggur. Yang lainnya tidak wajib, karena tidak ada
keterangannya. Imam asy-Syaukani berpendapat bahwa pendapat madzhab ini
adalah pendapat yang paling rajih (Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, bab Zakat).
Ibnul Qayyim berpendapat, “Tiada tuntunan dari Nabi Saw untuk memungut
zakat dari kuda, baghal, keledai, tidak pula dari sayur-sayuran, semangka,
krambaja, buah-buahan yang tidak ditakar dan disimpan, kecuali anggur dan
kurma. Sebab, Rasulullah Saw telah mengambil zakatnya sekaligus, tanpa
memisahkan yang basah dan kering.” (ibid, bab zakat).
Dalam sebuah hadits riwayat Daruquthniy dituturkan, bahwasanya ‘Abdullah
bin Musghirah bermaksud memungut zakat dari hasil tanah Musa bin Thalhah
berupa sayur-sayuran. Musa bin Thalhah berkata, “Kamu tidak boleh
memungutnya, karena Rasulullah saw tidak pernah mengatakan bahwa tidak
wajib zakat pada sayur-sayuran.” [HR. Daruquthniy dan al-Hakim, hadits
mursal dan kuat].
Atsram meriwayatkan, bahwa seorang pejabat pada masa Umar mengirim surat
kepadanya tentang kurma, dimana dinyatakan oleh pejabat itu bahwa buah
persik dan delima lebih banyak dan berlipat ganda hasilnya daripada buah
kurma. Umar membalas surat itu, bahwa tidak dipungut zakat dari padanya,
sebab, itu termasuk pohon berduri (Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, bab zakat).
Untuk itu, para ‘ulama terdahulu beristinbath, bahwa jika tidak ada nash
sharih yang menyatakan benda ini, hewan ini, atau tumbuhan ini wajib
dizakati, mereka tidak menzakati benda, tumbuhan, maupun hewan tersebut.
Dengan kata lain, tidak ada zakat pada jenis benda yang tidak ditetapkan
oleh syariat. Jika seseorang menetapkan bahwa benda ini, tumbuhan ini, atau
hewan ini harus dizakati, sedangkan syara’ tidak menetapkannya, sungguh ia
telah mensejajarkan dirinya dengan Sang Pembuat Hukum (syâri’) itu sendiri.
Demikian pula mengenai zakat profesi. Sesungguhnya, Islam tidak pernah
mensyariatkan zakat profesi. Ini bisa kita lihat dari kenyataan, bahwa para
fuqaha dan ahli tahqiq ternama, tidak pernah membahas masalah ini (zakat
profesi) dalam kitab-kitab fiqh mereka. Padahal, pada saat itu, profesi
pegawai negara, misalnya qadliy, pencatat, dokter, dan sebagainya sudah
ada, baik sejak zaman shahabat hingga masa tabi’în. Namun, tidak ada
satupun dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw menarik zakat
berdasarkan profesi mereka, misalnya profesi petani, nelayan, dokter, dan
sebagainya. Bahkan, sikap generasi awal-awal Islam menolak pemungutan zakat
jika jenisnya tidak ditentukan oleh nash syara’. Mereka juga tidak pernah
berdalil dengan alasan keadilan dan kesetaraan, apalagi berdalil bahwa
hasil dari hewan ini, atau tumbuhan ini, atau profesi ini lebih besar,
sehingga tidak adil jika tidak ada zakatnya. Sebab, alasan-alasan semacam
ini hanya lahir dari hawa nafsu, bukan dari akal yang dibimbing oleh
syariat Islam. Perhatikan riwayat-riwayat berikut:
1. Dalam sebuah hadits riwayat Daruquthniy dituturkan, bahwasanya ‘Abdullah
bin Musghirah bermaksud memungut zakat dari hasil tanah Musa bin Thalhah
berupa sayur-sayuran. Musa bin Thalhah berkata, “Kamu tidak boleh
memungutnya, karena Rasulullah saw tidak pernah mengatakan bahwa tidak
wajib zakat pada sayur-sayuran.” [HR. Daruquthniy dan al-Hakim, hadits
mursal dan kuat].
2. Atsram meriwayatkan, bahwa seorang pejabat pada masa Umar mengirim surat
kepadanya tentang kurma, dimana dinyatakan oleh pejabat itu bahwa buah
persik dan delima lebih banyak dan berlipat ganda hasilnya daripada buah
kurma. Umar membalas surat itu, bahwa tidak dipungut zakat dari padanya,
sebab, itu termasuk pohon berduri (Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, bab zakat).
Dari riwayat-riwayat ini bisa diketahui, bahwa para shahabat tidak pernah
memungut zakat dari sesuatu yang tidak ditentukan nashnya secara jelas,
meskipun hasilnya berlimpah ruah, atau berlipat ganda. Ayam yang dipelihara
dalam jumlah ribuan bahkan jutaan, tidak boleh dipungut zakatnya.
Sebaliknya, kambing yang jumlahnya 50 ekor harus ditarik zakatnya.
Adapun dalil yang digunakan oleh pihak yang mewajibkan zakat profesi,
adalah:
1. Berhujjah dengan apa yang disebut dengan mâl al-mustafâd. Mereka
menyatakan bahwa terhadap mâl al-mustafâd harus dizakati sebesar 1/40
begitu diterima. Mereka juga menyandarkan pada pendapat-pendapat para
shahabat, semisal Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Mu’awiyah; sebagian tabi’in
misalnya al-Zuhriy, al-Hasan, Makhul, dan al-Bashriy.
2. Mereka juga mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat uang dan harta,
bahkan ada pula yang mengkaitkan dengan zakat hasil pertanian. Mereka
beralasan, jika petani saja harus mengeluarkan zakat ketika panen,
sedangkan hasilnya tidak seberapa dibanding profesi seorang dokter,
insinyur, dan lain-lain, maka betapa tidak adilnya jika zakat profesi tidak
disyariatkan.
Kritik Atas Zakat Profesi
A. Pendapat Shahabat Bukanlah Dalil Syara’
Pada dasarnya riwayat-riwayat yang berbicara tentang mâl al-mustafâd,
semuanya berstatus hadits mauquf, yakni hanya bersambung pada thabaqat
shahabat belaka. Dalam konteks seperti ini, maka hadits-hadits tersebut
tidak bisa dijadikan hujjah untuk membenarkan adanya zakat profesi, sebab
ia didasarkan pada pendapat para shahabat. Pendapat shahabat bukanlah dalil
syara’, dan tidak absah digunakan sebagai hujjah (Taqiyuddin an-Nabhani,
al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz III, hal. 478). Imam Syafi’iy menolak
berhujjah dengan pendapat para shahabat. Beliau berkata, “Tidak
diperkenankan memberi hukum atau berfatwa melainkan berdasarkan berita yang
benar yang berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah.” (Dr. Abdul Wahab Khalaf,
‘Ilm al-Ushûl al-Fiqh).
B. Seandainya status hadits tentang mâl al-mustafâd tidak perlu
dipersoalkan, maka mâl al-mustafâd yang tersebut di dalam hadits-hadits
tersebut tidak seketika diambil zakatnya ketika diterima, akan tetapi
berbicara pada konteks yang lain; yakni ketika telah sampai nishab dan
haul. Adapun hadits yang digunakan hujjah dalam masalah mâl al-mustafâd
adalah sebagai berikut:
Pertama, Hubairah bin Yaryam berkata, “’Abdullah bin Mas’ud telah memberi
kami sebuah baju, kemudian ia mengambil zakat dari baju itu.” (Abu ‘Ubaid,
al-Amwâl, hal.504).
Kedua, dari Yazid dari Hisyam bin Hisaan dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas,
dituturkan bahwasanya ‘Ikrimah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas tentang seorang
laki-laki yang memperoleh harta (mâl al-mustafâd). Ibnu ‘Abbas berkata, “Ia
harus mengeluarkan zakat saat ia menerimanya.”
Terhadap hadits yang pertama, Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwâl menyatakan,
“Menurut saya, berdasarkan hadits riwayat dari Abu Bakar dan ‘Utsman, maka
maksud dari riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud ini adalah keduanya memungut zakat
tatkala harta tersebut telah wajib dizakati sebelum pemberian, bukan
tatkala seseorang itu menerima pemberiannya.”
Pengertian semacam ini ditunjukkan oleh hadits lain yang diriwayatkan oleh
‘Abdullah bin Mas’ud sendiri: “Siapa saja yang menerima harta (mâl
al-mustafâd) maka tidak ada zakat di dalamnya hingga mencapai haul.” (Imam
Dzahabi mengomentari hadits ini, bahwa di dalam isnadnya terdapat Khusaif
bin ‘Abdurrahman al-Jazariy al-Haraniy Abu ‘Aun salah seorang mawaliy Bani
Umayyah; dan ia dilemahkan oleh Imam Ahmad. Namun, Ibnu Mu’in berkata ia
adalah laki-laki yang baik dan terpercaya).
Adapun hadits yang kedua, ‘Abu ‘Ubaid berkomentar sebagai berikut, “Orang
menafsirkan —atau sebagian orang— bahwa yang dimaksud oleh Ibnu ‘Abbas
adalah harta emas dan perak. Menurut saya, maksud dari perkataan Ibnu
‘Abbas di atas tidaklah demikian. Saya adalah orang yang lebih faqih
dibandingkan mereka (orang yang menafsirkan dengan emas dan perak). Sebab,
penafsiran semacam itu bertentangan dengan pendapat umat Islam. Menurut
saya, bahwa yang dimaksud oleh Ibnu ‘Abbas adalah zakat atas apa yang
keluar dari tanah. Sebab, penduduk Madinah menamakan tanah-tanah mereka
dengan harta (al-amwâal). Kami tidak menjumpai satupun hadits di dalam
sunnah yang menyatakan bahwa harta wajib dizakati ketika dizakati, kecuali
apa yang keluar dari tanah. Seandainya maksud dari perkataan Ibnu ‘Abbas
tidaklah demikian, sungguh saya tidak tahu apa maksud dari haditsnya.”
(Pentahqiq kitab al-Amwâl, [bh]Muhammad Khalil al-Harâs[/b] menyanggah
pendapat Abu ‘Ubaid ini dan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Ibnu ‘Abbas
adalah harta tersebut tumbuh sedikit-demi sedikit, Jika ia telah mencapai
haul dan terpenuhi nishabnya, maka harta tersebut harus dikeluarkan
zakatnya tatkala telah mencapai nishab).
Pentahqiq kitab al-Amwâl, Muhammad Khalil al-Harâs, dalam cacatan kaki,
menyatakan, “Hadits ini (hadits riwayat Ibnu ‘Abbas/hadits kedua)
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, maknanya adalah jika harta tersebut
telah mencapai nishab, maka ia harus dikeluarkan zakatnya dan tidak harus
menungguh tercapainya haul, kemudian baru dikeluarkan zakatnya).”
Dari komentar Abu ‘Ubaid di atas bisa disimpulkan, bahwa mâl al-mustafâd
yang termaktub dalam riwayat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, dan lain-lainnya,
tidak serta merta ditarik zakatnya ketika diterima, akan tetapi baru
ditarik ketika telah mencapai nishab dan haul.
Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwâl menuturkan beberapa riwayat tentang al-mâl
al-mustafâd yang selalu dikaitkan dengan haul.
Ashim bin Dlamrah dari Ali ra, bahwanya ia berkata, “Tidak ada zakat bagi
al-mâl al-mustafâd hingga ia mencapai haul (tersimpan selama satu tahun).”
[HR. Abu Dawud, Imam Ahmad, dan al-Baihaqiy].
Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Nafi’ dari Ibnu ‘Umar [HR. Daruquthniy
dan Ibnu Abi Syaibah]. Riwayat senada juga dituturkan oleh al-Qatadah dari
Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Umar (Abu ‘Ubaid, al-Amwâl, hal.503-504).
Muhammad bin ‘Uqbah berkata, “Saya bertanya kepada Qasim bin Muhammad
tentang zakat. Ia berkata, ‘Adapun Abu Bakar, jika seorang laki-laki hendak
mengambil pemberiannya, ia bertanya, apakah orang tersebut memiliki harta
yang layak untuk dizakati. Jika orang itu menyatakan bahwa ia memiliki
harta yang layak untuk dizakati, maka Abu Bakar balas mengambil sebagian
harta yang hendak ia ambilnya. Jika laki-laki itu menyatakan bahwa ia tidak
memiliki harta yang layak untuk dizakati, maka Abu Bakar menyerahkan
pemberiannya kepada laki-laki itu’.”
Riwayat senada juga diketengahkan oleh Muhammad bin Abu Bakar. Dalam
riwayat lain dituturkan, bahwasanya Ibnu Abi Salamah meriwayatkan dari
‘Umar bin Husain dari ‘Aisyah anak perempuan dari Qudamah bin Madzmuun,
perempuan itu berkata, “’Ustman bin ‘Affan jika mengeluarkan pemberian, ia
mengirimnya kepada bapakku. Kemudian ia berkata, ‘Jika kamu memiliki harta
yang wajib dizakati, maka kami akan membuat perhitungan dari pemberianmu’.”
Ini menunjukkan bahwa, pembahasan mâl al-mustafâd, terkategori dalam zakat
mâl (emas dan perak) yang mensyaratkan adanya nishab dan haul. Para ‘ulama
sepakat bahwa haul menjadi syarat bagi zakat mâl.
Berbeda dengan zakat profesi yang dikenalkan oleh Yusuf Qaradlawiy.
Sesungguhnya ia telah memasukkan zakat profesi dalam kategori mâl
al-mustafâd, dan menariknya begitu diterima; bisa bulanan, harian,
mingguan, tergantung diterimanya harta tersebut. Menurutnya, gaji dokter,
insinyur, wiraswastawan dan sebagainya terkategori mâl al-mustafâd. Oleh
karena itu, ia harus ditarik zakatnya begitu diterima, yakni 1/40-nya.
Sesungguhnya, pendapat semacam ini adalah pendapat ganjil yang tidak pernah
dikenal oleh ‘ulama-‘ulama masa awal Islam. Bahkan, maksud dari mâl
al-mustafâd yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud sama sekali
berbeda dengan zakat profesi yang diketengahkan oleh Yusuf Qaradlawiy.
Benar, ada beberapa harta yang diperselisihkan para ulama mengenai syarat
haulnya. Ada harta-harta tertentu yang penarikan zakatnya dilakukan begitu
diterima, tanpa harus menunggu haul. Namun ada pula, yang harus menungguh
hingga mencapai nishab dan haul. Contoh harta yang tidak mensyaratkan
adanya haul adalah, zakat pertanian, rikaz, dan barang temuan. Namun, ini
tidak berarti, bahwa kebolehan zakat profesi —tanpa syarat haul— harus
diakui karena ulama berselisih pendapat tentang syarat haul. Tidak boleh
dinyatakan demikian. Sebab, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa
untuk mâl al-mustafâd langsung bisa ditarik ketika diterima, akan tetapi
harus menunggu haul dan nishab —kami telah memaparkan seluruh dalil tentang
maal mustafad yang dikaitkan dengan nishab dan haul.
Adapun riwayat-riwayat lain yang menyanggah pendapat Qaradlawiy adalah
sebagai berikut:
Dari Mukhâriq, dituturkan bahwa Thâriq telah berkata, “Pada masa ‘Umar
harta pemberian-pemberian kami tidak dikeluarkan zakatnya, hingga kami
mengeluarkan zakatnya.”
Abu ‘Ubaid berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa zakat tidak diambil dari
pemberian kecuali harta yang telah dimiliki oleh mereka. Seandainya
pemberian itu harus dizakati, tentunya ‘Umar akan mengambil zakat darinya.”
(Abu ‘Ubaid, al-Amwâl, hal. 505).
C. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan dengan sharih tentang wajibnya
zakat profesi, maka seorang muslim tidak boleh menetapkan adanya zakat
profesi. Seorang muslim tidak boleh berpandangan, bahwa tidak
disyariatkannya zakat profesi adalah bentuk ketidakadilan dan kedzaliman.
Sebab, petani yang pendapatannya tidak seberapa tetap dikenai zakat ketika
panen, sedangkan dokter, insinyur dan profesi lain “yang tidak terlalu
berat” dibandingkan profesi petani justru tidak ditarik zakatnya. Mungkin
kita bisa memberikan ilustrasi yang serupa untuk menangkis syubhat ini.
Rasulullah Saw telah menarik zakat dari unta, sapi, kerbau, kambing dan
domba; namun beliau tidak menarik zakat pada kuda, keledai, baghal, dan
sebagainya. Rasulullah Saw bersabda, “Telah maafkan bagimu mengenai kuda
dan hamba sahaya, dan tidak wajib zakat pada keduanya.” [HR. Ahmad dan Abu
Dawud]. Tentunya kita tidak mungkin berfikiran, “mengapa peternak domba
ditarik zakatnya sedangkan peternak kuda atau keledai tidak ditarik,
bukankah ini tidak adil?” Jika kita berfikiran seperti ini, berarti kita
telah menyangsikan keadilan hukum yang telah digariskan oleh Allah dan
RasulNya.
D. Adapun pengqiyasan antara zakat profesi dengan zakat hasil pertanian,
maupun zakat maal, adalah tertolak. Sebab, tidak ada ‘illat dalam zakat
hasil pertanian, sehingga layak untuk diqiyaskan pada profesi selain
petani. Adapun mengenai ‘illat adanya keadilan dan kesetaraan, sesungguhnya
‘illat semacam ini tidak bernilai sama sekali untuk membangun hujjah.
Sebab, ‘illat yang absah digunakan untuk qiyas adalah ‘illat syar’iyyah,
bukan ‘illat ‘aqliyyah. Padahal, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan
bahwa ‘illat zakat adalah untuk kesetaraan dan keadilan. Selain itu, zakat
hasil pertanian tidak boleh diqiyaskan dengan zakat profesi karena petani
harus mengeluarkan zakat tatkala ia memanennya. Pendukung zakat profesi
menyatakan, bahwa saat panen sama dengan saat gajian, jadi seorang dokter
ketika gajian harus ditarik zakatnya juga. Sesungguhnya qiyas semacam ini
adalah qiyas serampangan yang didasarkan pada hawa nafsu belaka.
Sesungguhnya, nash yang berbicara tentang zakat hasil pertanian tidak
mengandung ‘illat sama sekali, sehingga layak digunakan dalil untuk qiyas.
Perhatikan firman Allah SWT, “Keluarkanlah zakat biji makanan itu pada hari
panennya.” (Qs. al-An’âm [6]: 141). Nash ini berbicara pada konteks khusus,
yakni zakat biji makanan, dan tidak berbicara pada aspek yang lain. Oleh
karena itu, hukumnya hanya berlaku pada konteks biji makanan, dan tidak
boleh dianalogkan dengan yang lain. Selain itu, nash ini tidak menunjukkan
adanya ‘illat sama sekali. Padahal syarat utama qiyas adalah adanya ‘illat.
Lantas, apa bisa kita mengqiyaskan sesuatu yang tidak ada ‘illatnya?
Dengan demikian, zakat profesi adalah bentuk peribadatan baru yang tidak
pernah dikenal baik di zaman Rasulullah, shahabat, maupun ulama-ulama
terkenal. Bahkan, mereka tidak pernah menyinggung masalah ini dalam
kitab-kitab fiqh mereka. Ini menunjukkan bahwa zakat profesi tidak pernah
disyariatkan di dalam Islam. Jika demikian, kita bisa menyimpulan bahwa
zakat profesi harus ditolak demi menegakkan hujjah dan kebenaran. Wallahu
a’lam bi ash-shawab.
(Tim Konsultan Ahli Hayatulislam [TKAHI])
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 komentar to “Adakah Zakat Profesi Dalam Islam?”
Posting Komentar
KIrimkan Komentar anda tentang Artikel Ini