1. Kelompok Islam Liberal (Islib) menganalogikan Islam sebagai organisme yang hidup, yang harus disentuh oleh tangan sejarah. Artinya, Islam akan berubah-ubah sesuai dengan kondisi jaman. Analogi seperti ini tidak benar, sebab:a. Islam itu ajaran yang diturunkan Allah SWT Dzat Maha mengetahui. Islam datang untuk merubah kondisi masyarakat. Realitas dalam al-Qur'an dan As Sunnah menunjukan hal ini. Sebagai contoh, saat itu pembunuhan bayi perempuan, riba, pengurangan timbangan, dan ‘ashobiyah kesukuan merupakan hal yang biasa. Rasul datang bukan untuk melegalisasi hal tersebut, melainkan justru merubahnya. Islam datang sebagai perekayasa sosial untuk membentuk suatu peradaban yang sesuai dengan aturan Islam.
b. Perubahan pada jaman Nabi seperti ziyarah kubur, sebelumnya dilarang kemudian dibolehkan tidak dapat dipahami bahwa kaum muslim sepeninggal Rasulullah boleh mengubah-ubah hukum seperti yang dilakukan Nabi. Sebab, posisi Nabi adalah sebagai penyusun hukum yang berasal dari Allah SWT (musyarri’). Sedangkan kaum muslim sebagai pengikutnya yang harus menerapkan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Pencipta alam. Dari realitas Nabi memerintahkan berziarah setelah sebelumnya dilarang menunjukkan bahwa pelarangan itu tidak tegas sehingga hukum akhir ziyarah kubur itu boleh.
2. Mereka menyatakan penafsiran tidak boleh literal tapi harus non literal.
a. Pemahaman seperti ini tidaklah sesuai dengan fakta. Sebab, hukum asal dari setiap kata dan pernyataan adalah literal dan jelas. Sebagai contoh kalimat: “Saya ingin makan”, makna awal yang dipahami adalah ia ingin makan karena lapar. Tidak dapat dipahami bahwa dia ingin jalan-jalan, dengan alasan bahwa ‘makan’ dalam konteks tersebut adalah ‘makan angin’ (jalan-jalan). Suatu makna awal literal dapat berubah menjadi non literal apabila terdapat pernyataan-pernyataan lain yang menunjukkan perubahan makna tersebut. Begitu pula al-Qur'an. Kitab Suci umat Islam ini merupakan kalamullâh, firman-firman Allah SWT yang berupa pernyataan-pernyataan. Jadi, hukum asal dari makna ayat-ayatnya adalah literal dan jelas selama tidak ada nash lain sebagai qarinah (indikasi) yang mengubah makna tersebut.
b. Pandangan Islib bahwa penafsiran itu haruslah non literal tidak konsisten. Sebagai misal, mereka kukuh memaknai jihad sebagai ‘aktivitas pebuh kesungguhan’. Padahal, ini adalah makna literal, bukan non literal. Sebaliknya, nash-nash yang mengandung kata jihad menunjukkan perang, perbuatan Rasulullah SAW pun ketika turun ayat-ayat ‘jihad’ yang dilakukannya adalah perang. Jadi, bila mereka konsisten dengan konsep penafsiran non literal semestinya memaknai jihad sebagai perang, bukan sebatas ‘sungguh-sungguh’. Contoh lain adalah kata ‘islam’, mereka memaknainya dengan ‘berserah diri’. Semua agama yang berserah diri disebut ‘islam’. Padahal, ‘islam’ dalam arti ‘berserah diri’ merupakan makna literal dalam bahasa Arab. Bila semua kata ‘islam’ dan turunannya dalam al-Qur'an, dihubungkan dengan hadits serta tindakan Rasul menyeru para penguasa dengan kalimat ‘aslim taslam’ maka akan diketahui bahwa ‘islam’ dalam al-Qur'an tersebut maknanya adalah dîn yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka menggembargemborkan penafsiran non literal dalam hal-hal yang tidak sesuai dengan ide dasar mereka (sekulerisme dan liberalisme). Sedangkan, bila penafsiran literal yang cocok dengan ide dasarnya tersebut maka penafsiran non literal pun mereka lupakan.
c. Dengan penafsiran non literal berarti tidak terikat dengan teks (nash). Sebenarnya, inilah ruh kebebasan mereka. Tidak terikat dengan nash berarti tidak terikat dengan kaidah-kaidah ilmu untuk memahami nash. Karenanya, kaidah ilmu bahasa dan karya para ulama terdahulu dalam hal tersebut dianggap penghalang untuk memahami al-Qur'an sehingga harus dikesampingkan. Ini suatu kemunduran yang berujung pada ditinggalkannya cara berpikir produktif. Bila ini yang terjadi maka alih-alih kemajuan berpikir Islam lahir, justru berpikir liar yang jauh dari Islam yang akan muncul. Karenanya, konsep pemikiran penafsiran non literal dalam makna yang mereka usung hanya akan menelorkan pemikiran liar yang menjauhkan umat dari Islam.
d. Dilihat dari realitas dan hakikat bahasa, penafsiran itu dapat berdasarkan manthûq (literal) ataupun mafhûm (non literal). Tapi, mafhûm ini tidak boleh keluar apalagi tidak ada kaitannya sama sekali dengan manthûq. Dalam memahami mafhûm ini diperlukan pemahaman bahasa, keterkaitan antara ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, serta sabab nuzul dari ayat tersebut.
3. Mereka menyatakan penafsiran al-Qur'an harus bersifat substansial, yang penting spirit Islamnya. Konsepsi demikian bertentangan dengan realitas dan isi al-Qur'an itu sendiri, antara lain:
a. Apa tolok ukur bahwa substansi sesuatu adalah anu. Islam adalah baju dan isi, akidah dan syariah. Banyak ayat dan hadits yang mengkaitkan antara praktik dengan akidah. Tidak ada pendekatan substansi atau aksiden dalam al-Qur'an ataupun hadits. Ketika ayat-ayat turun dan hadits diucapkan Rasul, sahabat-sahabat tidak pernah mendiskusikan ataupun menanyakan apa substansinya.
b. Pembahasan pendekatan substansi-aksiden merupakan pendekatan yang dilahirkan oleh Aristotelles, bukan dari Islam.
4. Mereka menyatakan penafsiran haruslah secara kontekstual agar sesuai dengan denyut nabi perubahan manusia dan mengikuti realitas budaya lokal.
a. Pemahaman seperti ini lahir dari ketidakmampuannya membedakan antara hadharah dan madaniyah, serta sains dan tsaqofah. Realitas menunjukkan bahwa realitas manusia terkait dengan kumpulan pemahaman tentang kehidupan (hadharah) dan budaya materil (madaniyah). Hadharah berbeda tergantung pada akidah dan ideologinya. Hadharah ini tetap selama akidahnya tetap. Berbeda dengan hadharah, madaniyah berkembang sesuai dengan denyut nadi perubahan manusia. Oleh sebab itu, bila yang dikehendaki adalah modernitas dalam konteks budaya materi maka Islam menyerahkannya kepada manusia, serta tidak terkait dengan cara penafsiran al-Qur'an. Namun, kemajuan materil ini harus dikawal oleh hadharah Islam sehingga muncul modernitas yang beradab,bukan modernitas liar berperikehewanan seperti kini tengah berlangsung dibawah pimpinan ideologikapitalisme. Jadi, keinginan kesesuaian Islam dengan perubahan modernitas manusia lalu diwujudkan kedalam penafsiran kontekstual merupakan hasil broken logic.
b. Penafsiran kontekstual seringkali hanya didasarkan pada penyesuaian dengan kondisi kekinian. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa jilbab merupakan produk budaya lokal Arab sehingga tidak wajib diikuti. Padahal, realitas menunjukan: Pertama, sebelum turun ayat jilbab wanita Arab tidak berjilbab, Kedua, jilbab itu isim jins yang bersifat tetap tidak berubah. Sama halnya dengan an nas, mulai dari Adam hingga kapan pun. Jadi, jilbab itu berlaku umum. Oleh sebab itu, dalih penafsiran kontekstual hanyalah upaya legalisasi terhadap keadaan kekinian.
5. Mereka mengatakan perlu dibedakan mana Islam dan mana Arab?
a. Hal ini tidak serta merta salah. Persoalannya, apa tolok ukur baku untuk memilah mana Islam dan mana Arab? Mengapa sholat disebut hukum universal untuk semua muslim, sementara potong tangan dan qishash tidak? Padahal Arab, Indonesia dan sebagainya sebagai objek hukum, sedangkan hukumnya itu sendiri sama. Karenanya tolok ukur yang harus digunakan untuk membedakannya adalah khithabnya itu sendiri yang terdapat di dalam nash; apakah wajib, sunnah, haram, makruh ataukah mubah.
b. Islib menyatakan bahwa kategori wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah merupakan produk sejarah. Padahal, orangyang jeli akan melihat bahwa didalam al-Qur'an dan As Sunnah terdapat istilah faridhatam minallâh, nâfilatalaka, kuriha qîla wa qâla, sunnati, harrama. Jadi, ini adalah kategori dari Allah SWT. Sementara ungkapan bahwa semua itu poduk sejarah tidak punya argumentasi. Berikutnya, bila benar bahwa hal itu produk sejarah, tetapi produk tersebut terdapat didalam al-Qur'an dan As Sunnah, atas argumen apa kita tidak wajib terikat pada hal tersebut dengan dalih produk sejarah?
c. Dalam konteks ajaran Islam, semua itu diturunkan untuk semua manusia (kâffata lin nâs), bukan Arab ataupun non Arab semata, bukan lokal tertentu, sehingga tidak ada istilah Islam pribumi dan Islam Arab seperti yang mereka gembar-gemborkan.
6. Islib percaya bahwa islam yang diikuti hanyalah nilainya yang universal yang harus diterjemahkan dalam konteks tertentu. Bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanyalah ekspresi budaya yang kita tidak wajib mengikutinya,kata mereka. Hal ini merupakansudut pandang sempit, tidak sistemik. Padahal,siapapun yang mengelaborasi al-Qur'an akan melihat:
a. Pertama, tinjauan sistem. Dalam al-Qur'an terdapat jilbab, menundukan pandangan, larangan zina, khalwat, pernikahan, rajam/cambuk dan sebagainya ini merupakan sistem yang integral. Bukan sekedar substansi/nilai melainkan juga ‘bentuk’ real yang tidak berdiri sendiri untuk menyelesaikan persoalan. Jika, dari semua itu yang diambil adalah substansinya maka yang akan terjadi adalah hilangnya hukum Islam sehingga Islam hanya tinggal nama digantikan oleh sistem hukum kapitalis. Contoh, jilbab substansinya kepantasan, menundukan pandangan substansinya tidak terangsang, zina substansinya anak terjamin, khalwat substansinya tidak ada pemaksaan, rajam/cambuk substansinya jera, dan lain-lain. Muncullah kehidupan dengan pakaian yang penting pantas, kumpul kebo boleh asal bertanggung jawab dan suka sama suka, pernikahan dipandang sebagai lembaga yang mengekang kebebasan, hukuman zina penjara itupun kalau ada delik aduan. Bukankah ini sistem kapitalisme yang kini ada. Jadi, akankah kita menyatakabn bahwa sekalipun bentuknya berbeda tetapi sama-sama substansinya Islam?
b. Kedua, pendekatan universal atau lokal tidak memiliki landasan didalam Islam. Karena itu cara berpikir seperti ini bukanlah cara berpikir Islam dan tidak ada hubungannya dengan Islam.
7. Islib: Umat Islam menyatu dengan umat lain disatukan oleh kemanusiaan.
a. Tidak jelas apa itu konsep kemanusiaan. Kalaulah nilai kemanusiaan yang dimaksud adalah persamaan, keadilan, kemakmuran bagi seluruh manusia dan sebagainya, bukan hanya mereka yang menganut agama tapi juga atheis. Nilai ini diterima oleh semua manusia. Pertanyaannya adalah sistem apa yang dapat mewujudkan hal tersebut? Disinilah Islam memberikan pemecahan praktis supaya hal tersebut terwujud. Pada kenyataannya nilai kemanusiaan yang dimaksud adalah HAM, pluralisme, dan sebagainya, yang realitasnya menunjukan tidak memanusiakan manusia.
b. Betul, manusia harus menyatu. Tapi, aturan mana yang dipakai? Ketika aturan yang digunakan adalah sosialisme atau kapitalisme justru manusia tidak dimanusiakan. Sedangkan dengan diterapkannya Islam manusia didudukkan sebagai manusia. Sejarah menunjukkan ketika kapitalisme/sosialisme diterapkan muncul konflik kemanusiaan. Sedangkan saat Islam diterapkan tidaklah demikian.
8. Islib: Klasifikasi muslim-kafir merupakan penghancuran terhadap kemanusiaan.
a. Pernyataan ini menunjukkan adanya kesalahan logika. Ini dibangun berdasarkan premis (1) bahwa manusia itu diciptakan sama sederajat tidak ada perbedaan, (2) klasifikasi muslim-kafir bertentangan dengan nilai manusia. Padahal realitas menunjukkan bahwa manusia ada yang baik ada yang buruk, ada yang kaya ada yang miskin, bangsa juga berbeda-beda, ada yang iman ada yang ingkar kepada Allah SWT dan sebagainya. Ini menunjukkan sebenarnya realitasnya manusia itu berbeda. Jadi, adanya pembedaan terhadap manusia merupakan fakta. Persoalannya adalah pembedaan mana yang dibenarkan dan mana yang tidak. Hal ini kembali kepada standar apa yang digunakan. Dalam al-Qur'an Allah SWT membedakan antara kafir dengan muslim.
b. Pembedaan muslim-kafir ini dipilih oleh manusia itu sendiri atas dasar kesadaran bukan dipaksa oleh Allah SWT. Adalah wajar Allah SWT mencela orang kafir yang kufur pada Penciptanya.
c. Kedudukan seseorang kafir ini adalah sebutan dari Allah SWT. Namun, hal ini tidak berarti Islam membolehkan tindakan semena-mena terhadap orang kafir. Ahlu dizimmah tidak boleh disakiti, bahkan wajib dilindungi. Adapun dalam Islam ada konsep jihad untuk menyebarluaskan Islam kepada kaum kafir merupakan pilihan ketiga setelah sebelumnya ditawarkan kepada mereka masuk Islam dan ahlu dzimmah. Itupun bukanlah memrangi individu-individu orang kafir tapi dalam rangka menghancurkan institusi-institusi politik/penguasa yang menghalang-halangi diterimanya Islam secara terbuka.
9. Islib: Kita membutuhkan struktur yang tegas membedakan kekuasaan politik dan kekuasaan agama. Politik perlu ada kekuatan kesepakatan publik, agama individual.
a. Cara pandang ini adalah cara pandang sekuler yang lahir dari Kristen. Analogi ini tidak layak untuk Islam.
b. Dalam v dan As Sunnah perkara agama tidak melulu persoalan pribadi. Persoalan akidah, ibadah, makanan, minuman, akhlak, dan muamalah (termasuk ulil amri) terdapat didalamnya. Bila realitasnya Allah SWT menyatukan persoalan politik dan ‘agama ritual’ dalam Islam, manakah yang harus diikuti Allah SWT ataukah manusia yang hendakmemisahkan antara keduanya?
c. Kekhawatiran munculnya kediktatoran atas nama Tuhan tidak ada dalam Islam. Islam bukan teokrasi, ada muhasabah, negara manusiawi bukan ilahi, dan sebagainya. Dalam sejarah memang terjadi kesalahan, tapi sejarah bukan hukum Islam. Selain itu, jangan sampai pandangan buruk terhadap sejarah membunuh masa depan umat ini.
10. Islib: Tidak ada hukum Allah yang ada adalah prinsip umum (maqashidusy syar’iyyah) dan sunnatullah (ekonomi punya hukumnya sendiri, dan sebagainya).
a. Realitas menunjukkan bahwa di alam terdapat hukum Allah SWT dan Sunnatullah. Dalam ekonomi, ada sunnatullah. Bagaimana agar produktivitas meningkat, produk laku, ekonomi merata, dan sebagainya. Tapi juga terdapat hukum Allah SWT, produk apa yang boleh dijual-belikan, bolehkah bertransaksi dengan anak kecil, dan sebagainya. Jadi, penolakan terhadap adanya hukum Allah SWT menunjukan pembangkangan terhadap hukum Allah SWT dalam al-Qur'an, disamping ketakberhasilannya membedakan antara hukum Allah SWT dengan sunnatullah di alam.
b. Kedudukan maqashidusy syar’iyyah dalam Islam merupakan dampak diterapkannya hukum Islam. “Dimana ada syara’ disitulah ada maslahat”.
11. Rasul adalah tokoh historis yang perlu dikritisi.
a. Kedudukan Rasul adalah penyampai wahyu, tidak mengikuti kecuali wahyu. Tuduhan bahwa Rasul juga manusia yang dapat salah (termasuk dalam tabligh risalah) sehingga perlu dikritisi merupakan penolakan terhadap nash al-Qur'an yang menyatakan Rasul itu tidak mengikuti selain wahyu.
b. Makna [/i]Ittiba’[/i]. Hukum ittiba’ adalah wajib bagi setiap Muslim. Untuk ittiba’ harus memenuhi tiga kualifikasi: (1) mumatsalah (sama persis), (2) ‘ala wajhih (jika Rasul mewajibkan harus diwajibkan, dan jika mensunahkan harus disunahkan, dan seterusnya), (3) min ajlih (sesuai dengan timing pelaksanaan Nabi).
c. Tuduhan apa yang dilakukan Nabi sebagai “Menegosiasikan wahyu dengan situasi” tidak benar. Ini menuduh Rasulullah membuat hukum berdasarkan hawa nafsunya sendiri. Al-Qur'an menyatakan beliau bukan mengikuti hawa nafsu tapi dari wahyu.
12. Islib: “Wahyu berupa verbal atau akal. Wahyu verbal telah terputus, tapi wahyu non verbal masih turun hingga sekarang”. Pemahaman ini sangatlah gegabah, sebab:
a. Wahyu berbeda dengan akal. Wahyu merupakan ilham yang diberikan Allah SWT kepada manusia yang maksum. Ketika menyatakan wahyu masih turun lewat akal berarti menyatakan ada orang maksum. Sementara akal merupakan ppemindahan realitas ke otak lewat indra lalu informasi awal yang ada diotak menafsirkan apa realitas tersebut.
b. Mereka menyatakan pula bahwa temuan besar merupakan wahyu Tuhan karena akal anugerah Tuhan. Hal ini merupakan kesalahan fatal, pertama, salah analogi akal anugerah Tuhan digeneralisasi temuan besar sebagai wahyu Tuhan. Padahal, teknik mencuri juga produk akal, apakah dikatakan bahwa teknik mencuri adalah wahyu? Kiat manipulasi uang negara juga produk akal yang karenanya juga merupakan wahyu?
c. Mereka meyakini bahwa dulu dalambahsa Arab orang yang menyampaikan pesan Tuhan disebut Nabi/Rasul sekarang dalam bahasa Indonesia boleh jadi ustadz, kiyai, guru dan lain-lain. Ini kesalahan logika yang timbul akibat kesalahan analogi. Terjadi pengalihan makna lughowi pada makna syar’iy/istilahiy. Contoh fâ’il dalam nahu bukanlah pekerja.
d. Makna ijtihad. Dalam Islam [i]ijtihad bukanlah akal liar.
13. Islib: Penafsiran digali bukan hanya dari muslim tapi juga kafir. Gagasan ini berbahaya dari beberapa segi:
a. Penafsiran perlu pola berpikir Islam yang dasarnya keimanan
b. Mereka menyatakan bahwa kebenaran itu permata kaum mukmin, diamna saja ditemukan maka harus diambil. Padahal, hadits tentang al-hikmah ini lemah. Hadits:
Hikmah adalah sesuatu yang hilang dari orang Mukmin, di mana saja mereka menemukannya, mereka (hendaknya) mengambilnya.
Hadits ini dinyatakan oleh Ibn Hibbân, dalam kitab Majrûhîn, sebagai hadits dhaif, karena di sana terdapat sanad, Ibrâhîm al-Mahzûmi, yang dikatakan sebagai orang yang Fâhisy al-khatha’ (salah yang sangat dahsyat). Jika seandainya matan hadits ini diterima, maksudnya menurut Ibn Hajar dan as-Suyûthi, adalah hendaknya kebenaran Islam diterima karena substansi kebenarannya, bukan karena melihat ketokohan orangnya. Dan ingatlah pernyataan Ali r.a.: a’rifu ‘amman ta’khudzu dinakum (Adabud dunya wa din, Al Mawardi,), ketahuilah dari siapa kalian mengambil agama kalia
14. Islib: Syariat Islam adalah sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal? Definisi ini didasari oleh cara berpikir keliru dalam butir-butir diatas. Karenanya, hasilnya juga salah.
15. Reason, freedom dan demokrasi: Menurut mereka, reason (akal) bisa produktif karena ada freedom (kebebasan), baik freedom of thinking (kebebasan berfikir) maupun freedom of speech (kebebasan berbicara), dan keduanya itu hanya ada kalau ada demokrasi. Karena itu, demokrasi mutlak mereka perjuangkan. Demikian halnya kebebasan, juga mereka dewa-dewakan. Dengan keduanya itulah, konon mereka akan meraih progresifitas intelektual. Benarkah? Buktinya, dengan freedom, baik freedom of thinking maupun freedom of speech itu berapa banyak hasil karya intelektual yang bisa mereka keluarkan? Sebut saja, Fazlul Rahman, berapa banyak karya intelektualnya? Berapa banyak karya intelektual Nurcolish, Kamaruddin Hidayat, dan lain-lain? Sementara mereka menikmati freedom of thinking maupun freedom of speech. Bandingkan dengan karya an-Nawawi, Ibn Taimiyyah, Ibn Hajar al-Asqalani, as-Suyuthi, dan lain-lain? Manakah yang lebih produktif? Ulama’ dulu atau kalangan intelektual liberal yang menikmati freedom of thinking maupun freedom of speech? Mengapa mereka tidak seproduktif ulama’-ulama’ dahulu? Kalau demikian, apakah masalahnya karena tidak adanya freedom of thinking atau freedom of speech? Atau karena justru mereka tidak mewarisi tradisi berfikir produktif ulama’-ulama’ itu? Bahkan, berjuta-juta kitab telah dihasilkan oleh ulama’ dahulu sepanjang Khilafah Islam, ketika tradisi intelektualitas Islam yang produktif masih diwarisi ummat Islam. Jadi, masalahnya bukan karena freedom atau demokrasi, melainkan masalah tradisi berfikir produktif.
16. Kemutlakan syariat dan relativitas fiqih, atau kemutlakan Islam dan relativitas pemikiran Islam: Menurut mereka, syariat Islam mutlak benar, namun fiqih tidak. Karena fiqih merupakan perkara furu’, sehingga debatable. Sebenarnya ini merupakan serangan terhadap fiqih, sebagai ilmu mengenai hukum syara’ yang mempunyai pijakan dan landasan yang jelas, yaitu dalil syara’. Mengenai fiqih itu furu’ dan debatable, sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda. Bahwa, fiqih disebut furu’, karena lawan ushul, atau non-akidah. Namun tidak berarti setiap masalah furu’ berarti debatable. Contoh, hukum wajibnya shalat, zakat, haji, puasa dan jihad, misalnya, adalah hukum-hukum furu’, karena bukan hukum akidah, dan disebut fiqih, namun hukum tersebut tidak debatable. Sebab, dikemukakan oleh nas yang qath’i. Bahwa kemudian di dalam fiqih ada hukum furu’ yang debatable, seperti rukun wudhu’, shalat dan lain-lain, tidak bisa digenerasilisir, sehingga semua hukum furu’ bersifat debatable.
17. Al-Qur’an tidak autentik: Menurut mereka, al-Qur’an yang dikatakan autentik ini mempunyai banyak kelemahan, dari sisi penulisan, dianggapnya tidak konsisten. Belum lagi kontoversi bacaan, antara satu dengan yang lain. Ditambah perbedaan riwayat mengenai jumlah surat dan ayat, seperti ungkapan Aisyah dalam al-Itqân, karya as-Suyuthi. Pertama, sesungguhnya masalah penulisan yang tidak konsisten, misalnya lafadz: shalat ditulis dengan cara yang berbeda, adalah karena rasm (bentuk tulisan) adalah tawqîfî, seperti apa adanya dari Nabi, sebagaimana penukilan dari Nabi. Di sinilah, bedanya antara nuqila ilayna (dinukil kepada kita) dengan ruwiya ilayna (diriwayatkan kepada kita). Al-Qur’an itu dinukil dari Nabi ---dari Jibril--- seperti apa adanya, sementara al-Hadits diriwayatkan. Riwayat tentu berbeda dengan nukil. Nukil disampaikan apa adanya, tidak ditambah atau dikurangi, sementara riwayat lebih fleksibel. Kedua, mengenai masalah kontroversi bacaan, antara satu sama lain, jika bersumber dari sumber mutawatir, maka masing-masing harus diterima, karena masing-masing merupakan bacaan yang sahih, tanpa di-tarjîh karena faktor bahasa dan lain-lain. Ketiga, mengenai riwayat yang dinukil as-Suyuthi di seputar perbedaan jumlah surat dan ayat dalam al-Qur’an, maka harus didudukkan, bahwa riwayat Aisyah sesungguhnya merupakan riwayat ahad, dan sumber ahad tidak bisa menjadi pedoman [i]Mushaf. Dari sinilah, maka perbedaan antara Musfhaf, seperti Mushaf Ibn Mas’ud, Ali, Aisyah dan lain-lain dengan Musfhaf yang ada sekarang tidak bisa digunakan untuk membuktikan, bahwa autentisitas al-Qur’an saat ini diragukan.
Inilah sekilas gagasan cabang dari kelompok liberal. Berdasarkan ini nampak bahwa gagasan-gagasan cabang (disamping ide dasar) kaum liberal (sebutan lebih tepat bagi istilah ‘Islam Liberal’) tidak lebih dari legalisasi ide-ide kapitalisme dengan label Islam.
Comments :
0 komentar to “Mengkritisi Pemikiran Cabang Islam Liberal”
Posting Komentar
KIrimkan Komentar anda tentang Artikel Ini