Senin, 10 Agustus 2009

Lebih Dekat dengan Hafid Abdurrahman, Ketua Umum DPP Hizbut Tahrir Indonesia : Medan Jihad Kami Adalah Kesadaran Masyarakat

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah sebuah fenomena di Indonesia. Kemunculan resminya ke publik pada tahun 2000 saat menggelar Kongres Internasional Khilafah Islamiyah di Jakarta seakan menjadi pintu masuk jutaan umat muslim yang interest terhadap perjuangan yang diusung HTI.

Hizbut Tahrir sendiri didirikan di Al-Quds (Jerussalem) pada 1953 oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (1908-1977) radhiyallahu ’anhu, seorang alim dan terhormat, pemikir besar, politisi ulung, dan hakim Mahkamah Banding di Al-Quds. Pada 1980-an, Hizbut Tahrir mulai bergerak di Indonesia, sebelum resmi bernama HTI pada 2000.

Periode lima tahun pascaresmi tampil ke publik, HTI telah menjadi kekuatan baru kelompok Islam yang kritis menyuarakan ketidakadilan dan pemberlakuan syariat Islam di muka bumi. Bahkan, saat ini, daerah penyebaran Hizbut Tahrir telah mencapai 33 provinsi di Indonesia.

Dua kali aksi sejuta umat di ibu kota (pada 2003 dan 2006) tentang pentingnya pembentukan daulah islamiyah (negara Islam yang berdaulat) dan konsep kekhilafan (kepemimpinan) sukses digelar HTI. Meski demikian, kelompok tersebut menolak dikatakan bertujuan membentuk negara Islam Indonesia. Bagaimana sebenarnya posisi gerakan itu dalam spektrum kelompok Islam di Indonesia?

Berikut rangkuman wawancara Jawa Pos dengan Ketua Umum DPP HTI Hafid Abdurrahman.


"Save Indonesia with Syariah", spanduk yang dibawa oleh massa Hizbut Tahrir lima tahun belakangan, menghiasi baik media cetak maupun elektronik dalam negeri. Sejak saat itu, tuntutan mengenai pemberlakuan syariah Islam terus dikemukakan HTI.

Terakhir, masa kelompok tersebut juga melakukan penyikapan saat Menlu AS Condolezza Rice mengunjugi Indonesia 14-15 Maret lalu. Mereka menilai kunjungan Rice itu sebagai bentuk intervensi. Selain itu, menurut HTI, krisis dan bencana telah menimpa kehidupan umat manusia selama 82 tahun karena tidak menganut sistem kekhilafahan Islam.

Di Indonesia sendiri, dengan latar belakang banyaknya kelompok Islam yang ada, Hizbut Tahrir tetap memiliki khazanah perjuangan yang khas. Dengan mengusung konsep kekhilafahan, Hizb melihat bahwa titik fundamental persoalan yang menimpa umat saat ini adalah menyangkut tidak adanya kepemimpinan yang dibentuk berdasarkan umat Islam.

"Jadi, setelah kekhalifahan di Turki runtuh, sebenarnya terdapat dua sikap yang banyak mengemuka saat itu. Mereka yang ingin berdiri sendiri dan menolak berbagai konsep yang diajukan Barat, namun ada juga yang moderat dan mengakomodasi prinsip-prinsip tersebut," ujar Hafid Abdurrahman.

Hal itu belakangan membuat kelompok-kelompok Islam memiliki berbagai pandangan tersendiri mengenai urgensi pembentukan khalifah di Indonesia. Hizbut Tahrir merupakan salah satu kelompok Islam yang konsisten mengusung isu dan kepentingan mengenai perlunya pembentukan negara Islam yang berdaulat. "Tapi, tujuan kami bukan semata ingin membentuk negara Islam Indonesia," ujarnya.

Menurut dia, dalam paradigma Hizbut Tahrir, negara Islam bukan merupakan konsep nation state. "Jadi lebih luas daripada itu, konsep khalifah tersebut harus diakui umat Islam secara internasional sehingga lebih multinasional," paparnya.

Hafid mencontohkan bahwa penyerangan Israel, Amerika Serikat, dengan sekutunya ke negara-negara Islam, seperti Afghanistan dan Palestina, menjadi hipotesis pemikiran yang berkembang di Hizbut Tahrir. Sebelumnya, banyak pemikir maupun penguasa Islam yang menghubungkan konsep kekhilafan dengan berdirinya satu negara Islam.

Selain itu, salah satu hal yang menonjol dalam kelompok Hizbut Tahrir adalah metode yang dipilih. Di antara gerakan Islam yang ada, terdapat gerakan radikal yang memilih untuk melakukan jihad fisik dengan berperang hingga gerakan liberal. Namun, Hizbut Tahrir memilih untuk berjuang mengupayakan kesadaran masyarakat.

Kelompok ini tidak akan masuk dan mengakomodasi prinsip demokrasi yang dinilai bertentangan dengan nilai Islam. Tapi, Hizbut juga tidak menyarankan jihad fisik layaknya gerakan Islam radikal yang ada.

Mengenai persoalan demokrasi, Hafid mencontohkan berbagai persoalan yang saat ini mengemuka, seperti pro kontra persoalan judi maupun RUU Antipornografi dan Pornoaksi. Itu terjadi akibat adanya kesenjangan antara logika legislasi dan kesadaran masyarakat. "Padahal, kalau dari logika Islam, semuanya jelas. Meski demikian, karena saat ini kita menganut asas demokrasi di mana terdapat freedom of speech, persoalan tersebut bisa mencuat karena adanya perbedaan persepsi tersebut," jelasnya.

Hafid juga mengemukakan bahwa Hizbut Tahrir berbeda dengan kelompok-kelompok radikal yang mengusung isu sentral mengenai jihad. "Perjuangan kami lebih pada tingkat kesadaran. Jadi, diibaratkan medan jihad, kami adalah kesadaran masyarakat," paparnya.

"Langkah kami untuk mengusung syariah dan Daulah Islamiyah tersebut lebih merupakan upaya untuk menyadarkan masyarakat. Ketika resistensi masyarakat terhadap konsep-konsep Islam tidak ada, itu bukti bahwa pemikiran Hizbut berhasil," sebutnya.

Sementara itu, ketika dikonfrontasikan dengan pendapat bahwa konsep yang diusung Islam adalah kuno dibandingkan dengan demokrasi, lulusan IKIP Malang tersebut membantahnya. "Saat Ibnu Sina menerjemahkan Republik karya Plato dan menuangkan berbagai gagasan keislaman menunjukkan bahwa demokrasi sebenarnya lebih usang. Sementara itu, dari segi ketahanan gagasan sendiri, kekhilafan Islam sudah bertahan hingga 14 abad, kalau konsep barat ini berapa lama sih?" tanyanya.

Konsep kapitalisme barat saat ini memang banyak digugat karena melanggengkan ketergantungan negara ketiga. Selain itu, pemikir-pemikir barat sudah mulai banyak yang meramalkan kebangkrutan kapitalisme. Salah satu di antaranya adalah Francis Fukuyama.

Sementara itu, menyangkut problem-problem mutakhir bangsa, Hizbut Tahrir memiliki pandangan-pandangan tersendiri. Di antaranya mengenai pengelolaan sumber daya alam yang banyak dipolemikkan. "Terutama menyangkut UU Migas 2001 yang belum sesuai dengan prinsip syariah," sebutnya.

Hafid menjelaskan, dalam Islam laiknya kepemilikan pribadi sangat dilindungi dan tidak dapat serta-merta dijadikan kepemilikan publik (umum). "Demikian juga halnya dengan kepemilikan umum yang tidak bisa diprivatkan begitu saja. Jadi, karena untuk hajat hidup orang banyak, pengelolaan tersebut dilakukan negara atau perusahaan yang dibentuk negara," jelasnya. (iwan ungsi/suyunus rizki)


Data Pribadi

Nama : Hafid Abdurrahman
Tempat Tanggal Lahir : Lamongan, 10 Juli 1971
Alamat : Jalan Mojopahit 11, Cimanggu Permai, Bogor
Istri : Siti Rofida
Anak 4 orang :
1. Fajrul Falakh
2. Salsabila
3. Zaharal Haq
4. Fachry Izzul Haq
Jabatan : Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia
Riwayat Pendidikan :
- Jurusan Bahasa Arab IKIP Malang (1994-1998)
- University of Malaya, Jurusan Akidah dan Pemikiran Islam (1998-2001)

Comments :

0 komentar to “Lebih Dekat dengan Hafid Abdurrahman, Ketua Umum DPP Hizbut Tahrir Indonesia : Medan Jihad Kami Adalah Kesadaran Masyarakat”

Posting Komentar

KIrimkan Komentar anda tentang Artikel Ini