Rabu, 19 Agustus 2009

Keteguhan Pengemban Dakwah Dalam Menjaga Fikrah Islam

Kali ini kita akan mengambil 'ibrah dari sebuah kisah yang dikeluarkan oleh Al Hafidz Abu Nu'aim Al Ashfahaniy[1] rahimahullah dalam magnum opus beliau, kitab Hilyatul Auliyaa' Wa Thobaqotul Ashfiyaa'[2].Meski pun sederhana, tapi cerita ini akan memberi inspirasi kepada siapa saja yang mengaku ingin memikul beban dakwah dan ingin menjaga kebersihan fikrah pada diri ummat. Berikut kisahnya:
Abdush Shomad bin Ma'qil berkata bahwa ia pernah mendengar Wahb bin Manabih berkata, “suatu hari, orang yang sangat dihormati di jamannya mendatangi seorang raja yang suka memaksa rakyatnya untuk makan daging babi. Ketika ia mendatangi raja, orang-orang merasa salut sekaligus cemas terhadapnya. Pengawal raja mengatakan kepadanya, “berikan seekor anak kambing kepadaku untuk kami sembelih, sehingga anda dihalalkan untuk memakannya. Jika sang raja meminta daging babi, maka kami akan memberikan daging kambing itu kepada anda lalu makanlah.” Pengawal itu kemudian menyembelih anak kambing dan memberikan kepadanya. Sang raja juga diberi daging tersebut, namun raja memerintahkan agar ia (orang yang dihormati itu) diberi daging babi. (Tapi diam-diam) si pengawal memberi orang mulia itu daging kambing yang tadi diberikan kepadanya. Lantas sang raja menyuruh orang mulia tersebut untuk memakannya (daging babi palsu itu). Tapi orang mulia itu tidak mau. Pengawal sudah memberi isyarat kepadanya agar ia memakannya karena daging itu sebenarnya adalah daging kambing yang tadi ia serahkan. Tapi orang mulia itu tetap tidak mau memakannya. Akhirnya, sang raja memberi perintah kepada pengawal untuk membunuh orang tersebut. Ketika pengawal tadi membawanya, ia bertanya, “mengapa anda tidak mau memakannya, padahal itu adalah daging kambing yang tadi anda serahkan kepadaku, apakah anda mengira bahwa aku memberi daging lain?” Orang mulia itu menjawab, “aku tahu bahwa daging itu memang daging kambing akan tetapi aku khawatir orang-orang akan menjadikan aku sebagai panutan, sehingga orang-orang yang disuruh makan daging babi akan berkata, “si fulan pernah memakannya”. Akibatnya semua orang akan menjadikan diriku sebagai panutan sehingga aku menjadi fitnah bagi mereka”. Lalu orang mulia itu dibunuh”.
Saudaraku, apa pelajaran yang ingin disampaikan oleh Abu Nu'aim rahimahullah kepada kita sehingga beliau memasukkan kisah ini ke dalam kitab beliau itu? Beliau ingin menunjukkan bahwa seorang panutan itu tidak boleh memikirkan keselamatan dirinya saja ketika bertindak. Dia harus memikirkan juga bahwa perbuatan dan perkataannya merupakan rujukan bagi ummat. Seorang juru dakwah sejati tidak boleh membiarkan peluang adanya distorsi fikroh pada diri ummat. Seandainya orang mulia itu makan daging kambing yang diberikan oleh pengawal, niscaya dia akan selamat dari daging babi, selamat dari dosa, dan selamat dari hukuman. Tapi dia tahu bahwa hal itu akan merusak pemahaman orang banyak secara permanen. Dan rusaknya pemahaman membawa implikasi jangka panjang yang sulit untuk diluruskan. Maka orang tersebut memilih mati dari pada melihat bencana kesesatan ummat. Dari sikap yang dia ambilnya itu manusia bisa belajar tentang ketegaran jiwa dalam berpegang teguh kepada agama Allah. Meskipun dia mati, tapi apa yang dia lakukan akan menjadi teladan dan akan memberi inspirasi bagi ummat, sehingga akan lahir lebih banyak lagi orang-orang yang memiliki mental seperti dia.
Syaikh Taqiyuddin An Nabhaniy rahimahullah dalam nidzomul islam mengatakan, “seorang pengemban dakwah tidak akan mencari muka dan basa-basi di depan masyarakat, bermuka dua atau bersikap toleran terhadap penguasa (dzalim).” Beliau juga berkata, “demikian seharusnya sikap seorang pengemban dakwah islam, yaitu menyampaikan dakwah secara terang-terangan, menentang segala adat, kebiasaan, ide-ide sesat dan persepsi yang salah, bahkan akan menentang opini umum masyarakat kalau memang keliru, sekalipun untuk itu dia terpaksa bermusuhan.” Beliau juga berkata “seorang pengemban dakwah tidak akan mengambil jalan kompromi dan tidak akan mengorbankan nilai-nilai islam”.
Hizb, yang pernah beliau pimpin semasa hidup, tidak basa-basi dalam mencap negara-negara yang ada saat ini berikut konstitusi dan perundangannya dengan stempel “kufur”. Dalam buku manhaj dakwah dikatakan bahwa “hizb dalam mengemban ide-idenya; dalam menentang ide-ide lain (yang kufur) dan menentang kelompok-kelompok politik (yang tidak islami); dalam melawan negeri-negeri kufur; atau dalam menentang para penguasa (dzalim) akan senantiasa bersikap terbuka, terang-terangan, menentang, tidak basa-basi, tidak berpura-pura, tidak berkompromi, tidak berputar-putar, tidak mementingkan keselamatan sendiri dan tanpa pula mamandang hasil dan keadaan yang terjadi.” Hizb juga mengatakan, “Demikian pula Hizb tidak akan berkompromi dengan penguasa dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka, berikut konstitusi dan perundangan mereka dengan alasan bahwa hal ini akan membantu kelancaran dakwah. Sebab syara' memang tidak membolehkan mengambil sarana yang haram untuk memenuhi suatu kewajiban. Sebaliknya, Hizb akan mengoreksi dan mengkritik para penguasa itu dengan tegas. Hizb menganggap bahwa peraturan yang mereka terapkan adalah peraturan kufur, sehingga harus dihilangkan dan diganti dengan hukum-hukum islam. Hizb juga menganggap bahwa mereka pada hakekatnya adalah orang-orang yang fasiq dan dzalim karena telah menjalankan hukum-hukum kufur, sebagaimana Hizb juga menganggap bahwa siapa pun di antara penguasa itu yang mengingkari kelayakan islam atau kelayakan salah satu hukum-hukumnya untuk diterapkan adalah orang kafir”.
Semua kata-kata keras dan tegas itu disampaikan tanpa memikirkan masa depan dan keselamatan Hizb. Sebab, kewajiban dakwah harus ditunaikan apa pun konsekuensinya. Perlu diingat bahwa penjelasan tentang manhaj dakwah yang keras dan tegas itu disampaikan di depan para delegasi konferensi ISNA di Missouri, Amerika Serikat pada tahun 1989. Maka bisa dibayangkan bagaimana keteguhan jiwa delegasi Hizb yang membacakan pidato dahsyat itu dalam konferensi tersebut.[3]
Ketegasan yang seharusnya diambil tatkala menentang sistem dan perundangan kufur itu tidak akan tampak jika kita justru mencitrakan diri sebagai orang yang tidak bermasalah dengan negara nasionalistik-sekuler berikut UUDnya, dasar negaranya, dan seluruh peraturan kufur yang dihasilkan olehnya? Ummat harus tahu bahwa kita berlepas diri dari semua itu! Ummat harus melihat bahwa kita berhadapan secara diametral di seberang kebathilan, agar yang bathil terlihat bathil dan yang haq terlihat haq! Agar ummat nantinya mampu melihat dengan mata yang kita pakai saat ini! Itu jauh lebih penting dari keslamatan dan kedudukan kita. Wallaahul muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq wa huwal Musta'aan

[1] Beliau adalah Ahmad bin Abdullah bin Ahmad Al Ashfahaniy. Lahir pada tahun 336 H, wafat pada tahun 430 H. Imam Adz Dzahabi rahimahullah mengatakan: “beliau adalah imam al hafidz (penghafal hadits), tsiqoh (periwayatannya terpercaya), sangat alim (berilmu), mahaguru islam (syaikhul islam), dan Abu Nu'aim yang sufistik”. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Abu Nu'aim adalah salah satu penghafal hadits terkemuka, penulis buku terbanyak, dan karya tulisnya banyak dimanfaatkan orang. Beliau lebihdari pada disebut tsiqoh, sebab karya tulis beliau kualitasnya lebih tinggi dari gelar itu..”.
[2] Kitab yang sangat masyhur, memuat pelajaran-pelajaran berharga dari kehidupan dan petuah kaum salafush sholih. Jika anda membaca buku, kemudian pengarangnya menyebutkan “diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Al Hilyah”, maka Al Hilyah yang dimaksud adalah kitab ini. Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al Bidayah mengatakan: “di antara kitab beliau (Abu Nu'aim) adalah Hilyatul Auliyaa' yang terdiri dari banyak jilid”.
[3] Bandingkan dengan berbagai kelompok yang ketika berhadapan dengan seorang tokoh penting saja bicaranya penuh dengan berbasa-basi dan kekaburan demi mencari muka dan mendapat hubungan baik dengan tokoh tersebut.

Comments :

0 komentar to “Keteguhan Pengemban Dakwah Dalam Menjaga Fikrah Islam”

Posting Komentar

KIrimkan Komentar anda tentang Artikel Ini